bc

Foto Lama

book_age16+
677
FOLLOW
2.3K
READ
family
mate
drama
bxg
city
friendship
slice of life
lonely
brothers
friends
like
intro-logo
Blurb

INNOVEL WRITING CONTEST --- THE NEXT BIG NAME

Berbekal sebuah foto yang di dapatkan dari mendiang ibuku, aku mencari keberadaan Ayah yang sudah lama menghilang. Namun foto tersebut malah mengantarkanku bertemu dengan seorang pria paruh baya bernama Wiryo. Dan keberadaanku di keluarga Kakek Wiryo membuat salah seorang anggota keluarganya merasa terancam. Orang itu ayahku sendiri.

Sebenarnya apa yang terjadi?

Kenapa keberadaanku menjadi sebuah ancaman untuk dirinya? Padahal keberadaanku di kota ini hanya untuk mencarinya dengan bantuan foto lama. Tetapi kenapa ia seolah membenciku, anaknya sendiri?

**

Cover by Purplerill

Gambar : Unsplash.com

Font : App text on photo

chap-preview
Free preview
Foto Lama 1
Aku Faisal Bagus, siswa sekolah tingkat tiga yang sekarang sedang sibuk-sibuknya memersiapkan untuk ujian akhir sekolah. Aku tinggal bersama ibuku, jangan tanya tentang ayahku, karena aku pun tidak tahu dan tidak mau tahu. Bukan aku menjadi anak durhaka tetapi aku memang tidak ingin membahasnya apalagi di depan ibuku. Cukup bahwa aku hidup bersama Ibu saja, berdua di rumah sederhana ini. Setiap pagi sebelum pergi ke sekolah, seperti biasa aku mengambil dagangan lebih dulu di rumah Bu Nilam, yang tidak jauh rumahnya dari rumah kami. Aku selalu ke sana untuk membawa barang dagangan yang nantinya aku akan menjual dagangan itu di sekolah, biasanya hanya aku simpan di mejaku dan teman-teman sudah tahu dan akan berbondong-bondong membelinya, apalagi ketika jam kosong dan perut mereka minta di isi namun tidak bisa ke kantin, maka daganganku adalah solusi untuk mereka. Aku senang sekali setiap kali daganganku habis sebelum jam pulang atau malah sebelum jam istirahat selesai. Sementara aku mendapatkan dua jatah donat yang aku dagangkan untuk mengganjal perutku. Aku tidak pernah jajan di kantin, kecuali saat selesai jam pelajaran olahraga, itu pun hanya membeli air dingin. Aku sengaja menyisihkan uang hasil berjualan dan kumasukkan ke dalam celengan yang berada di kamarku. Sudah aku lakukan sejak tahun kedua di sekolah menengah pertama. Hitung-hitung tabungan kalau ada sesuatu yang mendesak dan aku tidak perlu khawatir nantinya. “Sal, kamu ikutan lomba nggak?” tanya kawanku. Andri yang menjadi teman sebangku selama di kelas tiga ini. “Lomba apa?” “Lah masa kamu tidak tahu, sekolahan kan mau adain lomba. Momen terakhir di tahun terakhir kita sekolah di sini lho, Sal.” “Dalam rangka apa memangnya? Aku nggak tahu tuh.” Andri menepuk keningnya, “Aduh, Sal. Mangkanya kamu itu jangan fokus melulu sama buku. Kumaha sih maneh teh, teu apal acara sakola (Gimana sih kamu, nggak tahu acara sekolah),” balasnya yang kalimat akhirnya memakai Bahasa Sunda yang kental. Bahkan agak kasar. “Ya mana aku tahu, Dri.” Sementara aku memang memakai bahasa Indonesia karena aku bukan lah orang sunda asli meski ada beberapa kalimat Bahasa Sunda yang aku pahami. Aku rasa begitu karena selama ini Ibu tidak pernah mengajarkan aku memakai bahasa daerah sini, kami terbiasa memakai Bahasa Indonesia. Jadi aku simpulkan bahwa Ibu juga bukan asli orang Bandung. “Aku tulis nama kamu di lomba estafet ya, kamu kan jago lari dan pasti kelas kita menang. Oke! Nya kudu oke sih,” ucapnya tanpa menunggu jawabanku, Andri langsung pergi keluar kelas. Sepertinya mendaftarkan kelas kami untuk perlombaan dengan anggotanya adalah aku. Aku sendiri membiarkan Andri pergi semaunya, memang sih aku jago dalam lari, jadi tidak masalah kalau memang diikutkan dalam perlombaan tersebut. Dan ke mana saja aku ini, kenapa sampai tidak tahu bahwa sekolah tengah mengadakan acara. Benar kata Andri, aku sepertinya terlalu fokus pada buku pelajaran, mengingat sebentar lagi kami akan menghadapi ujian. Wajar kan aku fokus belajar. ** “Nak, maafkan Ibu selama ini sudah menutupi keberadaan ayahmu. Ibu hanya tidak ingin kamu terluka karena tidak pernah tahu tentang ayahmu.” Aku yang sejak tadi tengah memijat kaki Ibu menoleh dengan tatapan penuh rasa penasaran. Setelah cukup lama Ibu tidak pernah membahas tentang sosok Ayah, pun dengan aku yang tidak bertanya karena takut menyakiti hati Ibu. Sekarang beliau mengatakannya kepadaku. Aku tentu saja penasaran perihal ayahku yang selama ini tidak pernah aku kenali bahkan aku hanya tahu bahwa dalam hidupku yang aku miliki hanya lah Ibu seorang. Tidak ada siapa pun lagi bersama dengan kami di sini. “Tidak apa-apa, Bu. Faisal nggak mau membahas kalau memang membuat Ibu sedih. Faisal nggak mau melihat Ibu bersedih,” ucapku. Tidak ingin memaksa kalau memang semua sulit untuk dijelaskan olehnya. Ibu tersenyum tipis, kemudian satu tangannya mengelus rambutku dengan begitu lembut dan penuh kasih sayang. Aku begitu menyayanginya karena hanya Ibu yang berusaha dengan keras untuk aku bisa sekolah dan sebentar lagi akan lulus. Setelah ini aku berjanji akan langsung mencari pekerjaan dan tidak lagi membiarkan Ibu bekerja, meski menjual masakan yang selalu Ibu lakukan selama ini. Aku ingin Ibu istirahat dan menikmati masa tuanya. “Sekarang umurmu sudah tujuh belas, Ibu berhak memberitahu kamu tentang ayahmu. Di buku ini semua sudah Ibu ceritakan agar kamu bisa membacanya dan mengetahui tentang ayahmu. Lalu ini foto kami berdua saat kamu baru saja lahir, Ayah yang memang begitu bahagia sampai meminjam kamera dari Pak Rw waktu itu untuk mengabadikan momen ini.” Ibu memberikan sebuah buku yang tampak usang dan juga foto kami bertiga. Aku menerimanya melihat foto tersebut secara jelas, meski tampak usang tetapi aku masih bisa melihat dengan jelas wajah dari ayahku sendiri. “Kelak saat Ibu tidak bisa menemanimu kembali, Ibu berharap kamu bertemu dengan ayahmu. Ibu tidak marah meski ayahmu meninggalkan kita di sini bahkan tidak pernah memberikan kabar dan tidak pernah pulang. Ibu yakin ada alasan kenapa ayahmu seperti ini dan Ibu harap kamu bertemu dengannya.” Aku kembali menatap Ibu, guratan lelah di wajahnya tidak membuat kecantikan ibuku termakan usia. Ibu masih tetap sama dan dimataku masih tetap menjadi wanita yang luar biasa. Karena Ibu bisa membesarkanku sejauh ini bahkan menyekolahkan aku setinggi ini. Dulu ketika aku lulus dari bangku sekolah menengah pertama, aku sempat mengatakan bahwa tidak perlu melanjutkan sekolah dan aku akan bekerja membantunya. Tetapi saat itu Ibu marah besar, dia ingin melihatku memakai seragam putih-abu dan bersekolah dengan anak-anak lain. Tidak ingin membuat Ibu kecewa akhirnya aku menuruti kemauan Ibu dengan melanjutkan sekolahku. Selama sekolah aku akhirnya memutuskan untuk sambil bekerja, menjual donat yang aku ambil dari salah satu pedagang dan aku jual di sekolah, tidak membuatku merasa malu. Bahkan teman-temanku selalu memborong semua yang aku jual, aku terkenal dengan murid yang biasa namun memiliki prestasi luar biasa. Bukan aku sombong tetapi memang begitu faktanya. Karena selama sekolah juga aku berusaha keras untuk belajar agar mendapatkan beasiswa. Akhirnya perjuanganku tidak sia-sia, di tahun kedua, aku akhirnya bisa mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Aku senang karena Ibu tidak perlu lagi memikirkan biaya sekolahku dan berjualan untuk kehidupan sehari-hari kami saja. Aku pun masih membantu Ibu sampai sekarang akan lulus dari sekolah. “Terima kasih, Bu. Karena selama ini sudah berjuang untukku,” ucapku dengan penuh ketulusan. Ibu tersenyum mengusap pipiku dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca. “Ibu selalu berdoa agar kamu diberikan kemudahan setiap langkah yang kamu ambil, menjadi orang yang selalu memberikan pertolongan kepada orang lain selagi kita mampu menolong dan bahagia selalu.” “Aamiin.” ** Duniaku rasanya hilang ketika aku kehilangan wanita yang luar biasa dalam hidupku. Ibuku sudah tidak ada dan aku begitu terpukul atas kehilangan sosok yang selama ini menemaniku dan menjadi satu-satunya keluarga yang aku miliki. Setelah memberikan buku dan foto kepadaku beberapa bulan kemudian Ibu mengalami sakit-sakitan membuatku harus segera pulang tanpa melanjukan berjualan karena harus menjaga Ibu setelah pulang dari sekolah. Aku tidak pernah meninggalkan Ibu sendirian di rumah, memilih untuk berjualan ketika sekolah saja dan selesai sekolah fokus untuk mengurus Ibu. Namun pada akhirnya aku kehilangan wanita yang kucintai, Ibu meninggalkan aku untuk selamanya dengan pesan terakhirnya untuk aku segera mencari keberadaan ayahku yang pergi ke kota. Setelah Ibu meninggal dan aku dinyatakan lulus dari sekolah, aku pun pergi ke kota untuk mencari pekerjaan sekaligus mencari keberadaan ayahku. Dengan berbakal buku dan foto, aku pun meninggalkan rumah yang selama ini kutempati bersama dengan ibuku. Bukan rumah milik kami tetapi hanya rumah kontrakan saja, berutung sang pemilik begitu baik meski kami hampir setiap bulan terlambat membayar, orang-orang di sini memang begitu baik kepada kami. Aku menjual dua ekor ayam yang dulu sempat aku beli dan merawatnya. Itu pun kalau sewaktu-waktu kami membutuhkan uang maka bisa menjual ayam tersebut. Dan sekarang ternyata dua ekor ayam itu memang membantuku, meski tidak seberapa tetapi cukup untuk aku bisa memakainya selama mencari keberadaan Ayah. Aku pun berpamitan kepada tetangga dan Pak RT mengatakan akan mencari pekerjaan di kota sekaligus mencari keberadaan Ayah. Mereka mengatakan aku bisa kembali kapan pun ke sini dan mereka akan menerimaku dengan tangan terbuka, hal itu membuat aku begitu terharu karena aku di kelilingi orang baik seperti mereka. Aku meninggalkan kotaku, tempat kelahiranku dan merantau ke Ibu Kota. Dengan pakaian seadanya yang kumasukan ke dalam tas lusuh yang selama ini aku pakai ke sekolah, aku bertekat untuk menemukan ayahku.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sang Pewaris

read
53.1K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K
bc

Marriage Aggreement

read
80.9K
bc

Dilamar Janda

read
319.1K
bc

Scandal Para Ipar

read
693.7K
bc

JANUARI

read
37.1K
bc

Terjerat Cinta Mahasiswa Abadi

read
2.6M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook