bc

Ragu Semesta

book_age18+
771
FOLLOW
6.6K
READ
dark
contract marriage
love after marriage
others
goodgirl
CEO
drama
bxg
like
intro-logo
Blurb

Semula membantu karena saling membutuhkan satu sama lain. Pernikahan ini terjadi tanpa cinta. Berjalan tidak semestinya karena luka itu mengetuk pintu masing-masing dengan caranya sendiri. Membawa pada babak baru bernama kehidupan yang memberi kejutan lain. Ragu semesta adalah jawaban.

chap-preview
Free preview
1
"Kau mabuk lagi, Aksa?" Bunyi majalah terbanting mengusik alam sadar Aksa yang separuh tertidur dan separuh lagi terbang. Tertinggal di kursi bar yang ia duduki bersama dua sahabatnya. Yang sama-sama menikmati malam dengan dua botol besar alkohol. "Tidak," racaunya. Kepalanya sakit. Dan dia sekarang merindukan kasur. Aksa ingin naik, tetapi suara geraman tertahan terasa seperti nyaris mencekik lehernya. "Aku hanya ingin melepas bebanku. Sebentar." "Beban apa yang kau punya memangnya?" Aksa lantas mendengus. Beban apa, katanya? Apakah pria yang merangkap sebagai kepala keluarga sekaligus kepala perusahaan ini melantur? "Beban yang sekiranya tidak kau tahu, Ayah." Kesabaran Devan Aria telah habis. Terkikis oleh geraman dan tangan yang melayang di udara untuk membuat putra bungsunya sadar. Aksa limbung, mundur ke belakang dan jatuh dengan napas terengah-engah. Sial. Perutnya benar-benar terasa seperti diaduk sekarang. "Kau dengar, Aksa? Apa yang sekiranya dipikirkan anak seusiamu, hah? Kau memikirkan perusahaan? Tidak! Kenapa pula kau harus melepas beban dengan mempertaruhkan nama keluarga?" Nama keluarga? Cih. Aksa ingin mendecih di hadapan pria itu sekarang. Perutnya sakit. Bukti tamparan itu masih membekas. Bergabung bersama rona merah karena alkohol di pipi. "Usiaku dua puluh tujuh," Aksa beranjak bangun. Menemukan sang ayah bersidekap sembari memicing tajam ke arahnya. "Tidakkah, setres itu hal yang biasa? Setiap orang punya cara mereka masing-masing untuk melepas penat, Ayah. Kau kuno sekali," gerutunya. Dan bibir Aria menipis menahan kalimat makian. "Masuk ke kamarmu sekarang!" "Aku memang ingin masuk," Aksa berjalan. Berpegangan pada sisi sofa dan mendesis. "Sayangnya, Ayah menghalangi jalanku." Kedua mata Aria terpejam. Membiarkan putranya naik ke lantai atas dengan kondisi tertatih-tatih. Saat Aksa sampai di gagang pintu kamarnya, menarik napas panjang dan membeku menemukan sang ibu mengintip dari balik pintu kamar. Bibir Aksa sedikit membuka. Hendak mengatakan sesuatu, saat dia menemukan airmata itu lolos. Ibunya tidak bicara, hanya menatapnya sembari menahan isakan. Sekali lagi, bukan apresiasi yang ia dapatkan. Melainkan tatapan penuh kecewa. Aksa tidak tahu harus bagaimana sekarang. Kala sang ibu menunduk, menghapus airmatanya sendiri dan menutup pintu kamar dengan dorongan pelan. *** "Nah, Andhra. Bagaimana? Apa kau akan melamar kekasihmu dalam waktu dekat ini?" Andhra menyilangkan kaki di depan sang ibu yang duduk sembari menutup majalah mahalnya. Dengan senyum hangat khas ibu pada umumnya, Andhra bisa lebih tenang untuk duduk menikmati malam setelah makan malam usai. "Apa Mama penasaran?" "Tentu saja!" sang ibu terkekeh. "Kenapa tidak?" "Kami sudah selesai," tanpa basa-basi, Andhra memutuskan untuk bicara langsung ke inti. Membuat sang ibu terdiam, mengerutkan alis dengan tatapan tak percaya. "Kami sudah selesai. Mama tidak perlu cemas, kami selesai baik-baik." "Kenapa?" Andhra mengangkat bahu. "Bosan, mungkin? Aku merasa, aku tidak pantas untuknya. Dia gadis baik. Dan aku? Mama tahu sendiri aku seperti apa, bukan?" Vina menghela napas. Saat dia menatap putranya, dan menggeleng kecil. "Kenapa bicara begitu? Kau terlalu merendahkan dirimu sendiri, sayang." Andhra mendengus menahan senyum. "Aku serius. Saat aku meminta selesai, dia sama sekali tidak keberatan. Terkesan memang itu yang dia inginkan. Apa Mama pikir, Kara akan mencakar atau memakiku? Ternyata, tidak." Vina menggeleng miris. "Kalian berkencan selama lima tahun, dan tidak ada salahnya untuk berbicara ke jenjang yang lebih serius. Dan ternyata? Aku mendapatkan kabar buruk ini." "Ayolah, Mama," Andhra meringis kecil. "Usiaku baru tiga puluh. Aku baik-baik saja. Aku bisa mencari perempuan lain. Seperti yang Mama mau, kan? Atau Mama berniat mencarikan aku calon lain?" Kepala Vina kembali menggeleng. "Seperti kau mau saja," ujarnya dengan senyum. Lalu, matanya menangkap putri bungsunya berjalan gontai ke arah tangga setelah beranjak dari ruang makan. "Adelia, tidak mau bergabung? Andhra baru saja memberikan kabar luar biasa untuk kita." Adelia menarik langkahnya untuk diam. Menghela napas sesaat setelah mencengkram pegangan tangga. Sebelum menoleh, dan memberikan senyum tipis. "Perutku sakit setelah makan malam, Mama." Andhra melebarkan mata. Menoleh pada sang adik. "Jangan katakan, asisten rumah tangga kita memberikan garam berlebih? Kenapa Adelia tiba-tiba sakit perut?" Bibir Adelia menipis. "Aku hanya ingin minum obat, setelah itu beristirahat. Selamat malam." "Selamat malam, sayang." Kepala Andhra terangguk. Mengerti bahwa lambaian tangannya tiada guna, dia mendesah. Menggeleng pada adiknya dan baru kembali pada sang ibu. "Mama lihat? Kenapa dia keras kepala sekali? Apa salahku?" "Sudah, sudah. Mungkin, Adelia baru saja mendapatkan tamu bulanannya." Andhra bergidik dengan pura-pura. "Perempuan dengan masa bulanan mereka memang mengerikan." Membuat sang ibu mendengus menahan tawa. *** "Kau tidak salah mengajakku datang ke sini?" Aqilla Dira menggeleng. Menatap sekitarnya dan meringis. "Apa yang salah? Tempat ini eksklusif dan mahal. Lantas, kenapa?" Adelia menghela napas panjang. "Tidak. Mendadak aku risih berada di sini," gadis itu berdecak samar. "Sepuluh menit, dia tidak datang. Aku akan pergi." Dira tertawa pahit. "Bisa bersabar lebih lama lagi? Aku janji, kali ini berjalan baik-baik saja." "Kau berani bertaruh?" Dira menipiskan bibir. "Apa yang kau inginkan dariku?" "Perusahaanmu," balas Adelia dengan senyum. "Tidak, aku hanya bercanda. Lagipula, posisimu di sana masih riskan. Aku tidak akan bermain-main dengan hal itu." Lalu, tawa berat itu meluncur dari tenggorokan Dira yang terasa kering sekarang. "Kau benar. Aku dan dirimu sama. Masih menjabat sebagai manajer. Kita tidak bisa macam-macam." Adelia hanya mengangguk. Memajukan sedikit bibirnya dengan jemari tangannya tidak berhenti bergerak. Bermain di atas meja sembari menunggu. "Ah, itu dia." Adelia hanya diam. Menatap siapa sosok yang baru saja melintasi pintu masuk, mencari dimana sosok gadis berambut pirang nyentrik, dan lambaian tangan Dira cukup menarik atensinya untuk sampai di meja dan duduk di salah satu kursi kosong. "Sudah menunggu lama?" Adelia mengarahkan tatapannya pada nomor meja. "Belum terlalu. Baru lima belas menit," balas Dira singkat. Dia kembali memanggil pelayan, memesan minuman yang sama dan mengangguk. "Aku tidak tahu apa kesukaanmu, biarkan aku mentraktir kali ini." Pria itu memberikan dengusan sebagai reaksi spontan. "Terserah apa katamu." "Adelia, ini Devan Aksa. Aku pernah bicara tentangnya padamu beberapa kali. Kami ada di SMA yang sama. Setelah kuliah, kami berbeda tempat. Jadi, silakan untuk kalian berdua bicara." Alis Aksa tertaut. "Tidak ada calon lain yang ingin kau kenalkan?" "Kenapa? Kau bertanya pada perempuan yang salah kalau begitu. Bagiku, tidak ada yang terbaik selain Adelia, sahabatku." "Sahabat?" Aksa kembali mengerutkan alis. "Berapa lama kalian kenal?" "Tidak peduli berapa lama, aku duduk di sini hanya untuk mendengar apa alasanmu. Dan aku, akan memutuskan untuk lakukan apa setelahnya. Paham?" Adelia menyela dingin, membuat atmosfir meja bernomor dua itu berubah senyap dan dingin. Ekspresi datar Aksa berubah keras. Merasa tersinggung dengan ucapan gadis yang sama sekali tidak punya ekspresi lain selain datar dan sinis. Pandangan matanya menunjukkan cela terang-terangan. "Kenapa kau mau mengiyakan usulan Dira?" Gerakan mengetuk di atas meja oleh jari Adelia terhenti. Bibirnya menipis, alisnya terangkat. "Siapa bilang aku setuju? Aku tidak setuju," balasnya datar. "Aku datang hanya untuk melihatmu. Katakan saja aku ini buta, tapi aku benar-benar asing dengan sosokmu." Dira menggaruk pangkal hidungnya yang tidak gatal. "Aksa, Adelia ini serius. Dia banyak menghabiskan waktunya di kantor. Tapi, dia mengenal siapa ayahmu." "Aku tahu benar margamu. Tapi, aku tidak mengenal seluk-beluknya terlalu dalam," aku Adelia jujur. "Kau tidak perlu memperkenalkan dirimu terlalu jauh." "Dan kau akan bertanya pada siapa?" Pandangan mata Adelia berubah sinis. "Banyak hal yang bisa kuketahui tanpa harus kau tahu," bisiknya. "Jadi, sebut saja alasan mengapa kau mencari pasangan untuk menikah. Dalam arti, pura-pura ini? Apa kau kabur dari perjodohan?" "Tidak," kepala Aksa menggeleng. "Tidak sama sekali. Ini murni karena keinginanku sendiri." "Oke," Adelia menyesap Avocado Float miliknya. "Lantas, apa ini karena salah satu orang tuamu mengalami sesuatu yang berat, sampai-sampai kau berkorban agar mereka merasa lebih baik?" Dira menelan ludahnya kasar. "Adelia?" "Mudah tertebak," katanya sembari tersenyum. Mengamati bagaimana ekspresi Devan Aksa sekarang, Adelia tahu dugaannya tidak meleset. Terlebih Dira kali ini diam, gadis itu biasanya berceloteh banyak hal. Dan kali ini, menjadi pendiam. "Aku punya rapat lima belas menit lagi," Dira melirik jam tangannya. Bersiap-siap setelah mengeluarkan dompet. "Aku akan menghubungi kalian setelah aku selesai. Sampai nanti." "Sampai nanti." Adelia mengangguk dan Dira berjalan ke kasir, memberikan uang tunai dan meminta pada mereka untuk membiarkan keduanya duduk sampai benar-benar selesai bicara. "Aku meminta tolong pada Dira, mencarikan perempuan yang mudah diatur. Dan sepertinya ... kau pengecualian." Adelia tersenyum. "Aku mudah diatur," ujarnya sedikit tersinggung. "Kalau kau ingin tahu, aku ini penurut." "Benarkah?" Aksa meringis. "Kau sepertinya sedang melucu sekarang." "Memang," Adelia mengangkat kedua tangannya. "Lantas, apa yang kau mau?" Senyap melanda. Saat Aksa menarik napas, menatap pada jam dinding, kemudian pada meja yang mulai terisi penuh. Lalu, kembali pada manik hijau yang berpendar penuh ancaman. "Menikah." Adelia membeku. "Dira tidak katakan ini, bukan? Dia pasti menyembunyikan fakta sebenarnya. Aku mencari pasangan hidup, bukan pasangan kencan." *** Menikah. Pernikahan. Sepanjang Adelia merasa dirinya masih bernapas, pernikahan jelas bukan yang tergambar atau terlintas di kepalanya. Sedikit pun selama dia menjalani hari-harinya yang datar seperti biasa, pernikahan jelas bukan poin utama dalam mencapai titik tertinggi bernama kehidupan. Meski semua orang berbondong-bondong mencari pasangan sehidup-semati mereka dan demi meraih keturunan yang pantas secara fisik dan batin. "Kau serius?" Devan Aksa skeptis. Sikap apatisnya membuat Adelia mewanti-wanti dirinya sendiri. Tentang bagaimana dia membaca pola perilaku Aksa, atau menerka-nerka betapa bahaya pria yang duduk di meja yang sama dengannya. "Aku serius," katanya. Bibirnya menipis. Ketukan pada jemari tangannya terhenti tatkala mata mereka bertemu. "Usiaku sudah dua puluh tujuh. Tidak ada salahnya berpikir tentang pernikahan sedini mungkin, bukan?" Bukan kesalahan. Hanya saja, tidakkah terlalu muda? Momok menakutkan dalam pernikahan adalah kandasnya hubungan yang dibina selama bertahun-tahun karena kurang siapnya mental pribadi dalam mengarungi bahtera rumah tangga. "Kau masih terlalu muda. Untuk ukuran pebisnis, atau pewaris tahta sepertimu. Bukankah, ada baiknya kau memikirkan ini lebih jauh lagi?" "Pilihanmu hanya dua; ya, atau tidak. Kau tidak dalam kapasitas bisa menceramahiku sekarang. Atau, memberikan pendapat yang tidak akan kudengar." Oke, poin pertama sudah Adelia dapatkan. Devan Aksa jelas masuk ke dalam pria berego tinggi. Keegoisannya bisa saja mengalahkan Andhra, kakaknya. Atau yang lebih parah, bisa saja membuat Adelia kesulitan di masa depan nanti. Adelia menarik napas. Tiada guna memakukan tatapan mereka yang sama-sama keras dan dingin. Menegakkan punggung, Adelia merasa jantungnya telah berpindah ke mata kaki. "Kalau dengan alasan klasik seperti ini bisa membawaku lari dari rumah, mungkin akan kupikirkan." Alis Aksa tertaut. Menemukan satu fakta tersembunyi alasan Adelia mau mengiyakan ide konyol yang Aksa ajukan pada teman dekatnya, Aqilla Dira. "Kau ingin pergi dari rumah?" "Sudah sangat lama. Dan jika saja aku pergi, itu sama dengan bunuh diri. Aku menahan keinginan itu kuat-kuat," kata Adelia datar. "Alasan bagus," Aksa menatapnya. "Dengan menikah, kau bisa angkat kaki dari rumah besarmu. Dan pindah ke apartemen atau rumah lain." "Kau sudah memikirkan ini?" "Segalanya," Aksa mengeraskan rahang. "Apa kau menjadikan pernikahan ini sebagai pelarian? Kalau bukan tentang perjodohan, lantas apa? Kau ingin membuktikan pada mantan kekasihmu, kalau kau bisa bahagia?" Bibir Aksa menipis ketat. "Apa Dira bicara padamu tentang mantan kekasih?" Adelia mengangkat bahu. "Aku tidak banyak bertanya. Dan sahabatku tidak banyak menjelaskan. Ada baiknya aku mendengar itu darimu." Aksa menoleh pada kasir. Menemukan kalau meja mereka telah dibayar selepas Aqilla Dira pergi, Aksa mendesah berat. "Kita akan bicara lagi nanti." Lalu, membiarkan Adelia tenggelam dengan rasa penasarannya sendiri. *** "Namanya Devan Aksa, pewaris tahta dari kerajaan bisnis Devan's Steel. Perusahaan yang membawahi beberapa produksi mobil dan motor. Aku mendapat kabar, kalau sayap perusahaan melebar sampai ke produksi dalam bagian truk tronton." Adelia membuka berkas yang Hana berikan. Dengan teliti, tanpa melewatkan satu kata pun. "Lalu?" Hana menelan ludahnya. "Sebelumnya, bukan Devan Aksa yang harus mendapuk perusahaan inti. Ada Devan Taka, anak sulung yang mendapat tugas berat ini." Gerakan tangan Adelia terhenti. "Sayangnya, Devan Taka telah berpulang saat usia Aksa tujuh belas tahun. Banyak kabar beredar. Aku tidak tahu mana yang benar. Menurut pihak keluarga dan juru bicara, Devan Taka meninggal karena sakit jantung. Banyak portal media mengatakan kalau kematian Taka karena kecelakaan mobil." Adelia mengerutkan alis. "Menurutmu, mana yang benar? Keluarga atau media massa?" Hana mengangkat alis. "Aku sendiri tidak yakin, Nona Adelia. Yang jelas, pernyataan keluarga sangat kuat. Ditambah bukti-bukti yang sengaja mereka sebar. Devan Taka benar-benar pergi karena sakit, bukan kecelakaan." "Oke, kau boleh pergi." Hana membungkuk. Melepas kepergiannya dengan menutup pintu, lalu terkesiap menemukan Vina, ibu dari atasannya berjalan di lantai eksekutif, menatap Hana dengan senyum tipis. "Putriku di dalam?" "Di dalam, Nyonya Vina." "Bagus." Vina mendorong pintu kayu itu agar terbuka. Menemukan putrinya duduk sembari membelakangi, menatap jauh pada pemandangan gedung-gedung bertingkat dari dalam ruangan. "Adelia, sudah makan siang?" Kursi itu berputar. Adelia menurunkan kedua tangannya dengan anggukan tipis. "Aku baru saja kembali, Mama." Senyum Vina terulas. "Aku baru saja ingin mengajakmu dan Andhra makan bersama. Andhra menyanggupi, tapi kalau kau sudah makan, yasudah. Apa mau dikata?" Adelia hanya mengangguk. Kembali mematung menatap tabletnya. Membiarkan sang ibu tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Adelia," panggilnya. Adelia mengangkat alis. "Aku bertemu Dexa Daro di lantai satu. Di lobi. Sepertinya, dia baru saja bertemu dengan kakakmu." "Lalu?" "Dia bertanya tentangmu," balas Vina. "Aku bilang, kau baik-baik saja. Dan masih seperti biasa, belum memikirkan pernikahan atau hal apa pun yang menjurus ke sana. Adelia masih ingin bermain-main." Adelia menghela napas panjang. "Ada baiknya Mama langsung bicara ke inti. Katakan padanya, aku tidak akan menikah dengannya." Vina menghela napas berat. "Bagaimana bisa? Dia terlihat mencintaimu. Berat rasanya mengatakan tidak. Lagipula, menurutku dia orang yang baik. Andhra juga mengatakan hal serupa. Daro pria baik. Aku masih memikirkan kalau kau bersamanya." Sudut bibir Adelia tertarik getir. "Mama sudah banyak mengaturku kali ini. Apa ingin Mama mengatur pernikahanku juga? Dengan siapa aku menikah, harus bagaimana aku di masa depan? Aku bukan gadis remaja yang bisa kau kekang lagi. Jadi, berhentilah." Adelia mendesah. "Berhentilah menuruti apa kata Andhra, dan mulai percaya padaku." "Dia kakakmu," kilah Vina datar. "Dia pasti ingin yang terbaik untukmu." Kedua mata Adelia terpejam. "Sudahlah, Mama. Tidak ada gunanya kita berdebat sekarang," bisik Adelia parau. Menatap sang ibu, lalu membuang muka. "Kalau Mama sudah selesai, silakan tinggalkan ruanganku." *** "Kau akan menikah?" Suara Arion Zura melengking. Beruntung, ini ada di ruangan pribadi Devan Aksa. Atau kalau tidak, suaranya jelas akan memancing tanda tanya di sekitarnya. "Kenapa memangnya?" "Tidak ada," balas Zura parau. "Sebelum kau memikirkan pernikahan, apa kau tahu bagaimana akhirnya nanti? Kau tahu bagaimana cara memulai, dan bagaimana mengakhiri nanti? Terlebih, tidak ada perempuan yang benar-benar kau pikirkan serius." Aksa mendengus masam. "Kau bicara seolah-olah memahamiku dengan benar." "Memang begitu adanya," kata Zura santai. "Kau pikir, siapa yang membantumu selama ini? Oke, coret saja aku dan silakan banggakan Aqilla Dira. Tapi kau tidak lupa, kalau aku ada di sana saat kau kesulitan." "Aku tidak tahu," bisik Aksa pelan. "Kalau dengan pernikahan, bisa membawa ibuku ke kehidupan lebih baik. Kenapa tidak?" "Dengan cara ini kau ingin membebaskan ibumu?" Aksa kembali diam. Melemparkan tatapan paraunya ke benda lain. "Ibumu terkekang karena kematian Devan Taka," ujar Zura serak. "Kau akan membebaskannya dengan pernikahan? Apa selama ini dia tersiksa karena melihatmu menderita?" Kepala Aksa menggeleng. "Bukan dia, tapi aku. Aku yang menderita melihatnya tersiksa." Zura menarik napas. Menatap sang sahabat sekaligus partner dalam bisnis dengan tatapan penuh luka yang sama. "Aksa, ada banyak cara untuk melepaskan rasa sakit. Kalau kau menikah, bukan hanya kau yang terluka. Tetapi, istrimu nanti. Ada banyak pihak yang akan terluka di masa depan. Mau sampai kapan?" "Kau yang sekarang, tidak ada bedanya dengan Devan Aria," Zura kembali melanjutkan. "Aku banyak berharap, kalau kau tidak akan mengikuti jejak ayahmu. Kau tahu, rasanya sakit melihat orang yang kau sayangi harus duduk diam, menangis, lalu kembali berakhir dengan memendam luka. Itu menyedihkan." Aksa berdeham. "Aku tidak benar-benar bisa mencintai. Jadi, aku rasa tidak akan ada masalah. Kami akan membuat perjanjian." "Dengan siapa?" Zura menyela dingin. "Kami? Apa maksudmu dengan kami?" Bibir Aksa menipis. "Adelia. Delana Adelia." Zura membeku. Napasnya tertahan kala dia menatap mata sang sahabat. "Adelia? Adik dari Delana Andhra?" Kepala Aksa terangguk. "Aku tidak masalah dengan hal itu. Tapi, kau tahu benar siapa Delana Andhra, bukan? Kalau kau menyakiti adiknya, dia akan lakukan apa?" "Aku pikir, mereka tidak terlalu dekat?" Aksa bertanya. Zura mengangkat alis. "Oke, kita tidak pernah tahu ikatan apa dan bagaimana seseorang dibalik itu semua." Aksa menghela napas. "Aku sendiri terkejut kalau Dira akan mengenalkanku padanya. Gadis itu gila." "Kau meminta bantuannya, jelas Dira akan menyodorkan sahabatnya," gerutu Zura. Aksa kembali dibuat bingung sekarang. "Kalau dia tidak berkenan, dia bisa mundur. Aku akan mencari yang lain," katanya pelan. Zura ikut mengernyit, memberi reaksi kecil untuk sang sahabat. "Dia berpikir kami akan berkencan. Tetapi, ini berbeda. Aku meminta pernikahan, bukan kencan." "Di antara perempuan-perempuan lain yang pernah dekat denganmu, kau tidak mau mengajak salah satu dari mereka?" Rahang Aksa mengeras. "Kau gila? Mereka hanya pantas untuk bersenang-senang, bukan pantas untuk hidup bersama." "Wah, aku terkejut kau memikirkan masalah masa depanmu sampai serinci ini," ujar Zura mencemooh. Aksa memutar mata bosan. "Kalau kau tidak bisa membantu, ada baiknya kau lebih baik pergi. Selesaikan pekerjaanmu." "Baik, baik," Zura angkat tangan. Berdiri dari kursinya dan menatap Aksa datar. "Aku akan pergi. Tapi, pikirkan sekali lagi. Kau akan menjalani pernikahan kontrak. Itu artinya, kau sama saja serumah dengan orang asing. Apa itu tidak lebih aneh dan membunuh? Kalau kau mau, kau bisa mengiyakan hal itu dan hidup sampai beberapa bulan ke depan. Tanpa cinta." Aksa kembali membisu. "Tapi, untukmu kurasa bukan masalah. Kau terbiasa bermain-main, tanpa pernah benar-benar mencintai. Jadi, ciao. Aku akan terus mendesakmu bercerita sampai semua selesai." Zura melambai. Berjalan menuju pintu dan mendorongnya kembali agar tertutup. Membiarkan Devan Aksa larut dalam bayangan dan mimpi buruknya sendiri.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Married with Single Daddy

read
6.1M
bc

Long Road

read
118.3K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.1K
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.7K
bc

Suamiku Bocah SMA

read
2.6M
bc

Married With My Childhood Friend

read
43.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook