bc

Gadis Kecil Sang Sugar Daddy

book_age18+
3.2K
FOLLOW
30.0K
READ
body exchange
self-improved
sweet
bxg
genius
enimies to lovers
virgin
brothers
sisters
like
intro-logo
Blurb

Warning cerita ini mengandung muatan Dewasa!

Aruna Inaranti tak akan pernah menyangka bahwa hidupnya berubah 180 derajat setelah menyelamatkan seorang Jayden Edzard, pria tampan berusia akhir 30 tahunan yang tergeletak tak berdaya di belakang hotel tempatnya bekerja. Pria itu menawarkan akan memberi imbalan sebesar 2 M agar diselamatkan dari pria-pria berjas hitam yang mengejarnya.

Aruna yang sedang merasa frustasi karena Ibu tiri yang ingin menjualnya kepada Pak Bram, pria tua bangka seharga 200 juta merasa mendapat angin segar setelah mendapatkan tawaran itu. Begitu menyelamatkan pria itu, hal mengejutkan terjadi. Pria itu yang dicekoki obat seolah kehilangan akal dan merenggut kesucian Aruna.

Di tengah perasaan sedih dan kecewa yang Aruna rasakan, Pria bernama Jayden Edzard itu malah memintanya menjadi istri Kontrak untuk menyelamatkan posisinya sebagai CEO Edzard Corp dan memberinya Imbalan berkali lipat.

Aruna merasa gamang, haruskah dia menerima tawaran pria yang telah merenggut kesuciannya itu dan mengambil imbalan yang dia tawarkan untuk menjadi Istri Kontraknya agar lepas dari keluarganya yang liciknya ataukah dia akan menolak tawaran itu yang mungkin membuatnya menikah dengan tua bangka yang dijodohkan dengan Ibu tirinya?

chap-preview
Free preview
Bab 1 - Di jual Ibu Tiri
“Bu, Es teh manisnya satu.” Seorang gadis berdiri di sebuah warung kecil di pinggir jalan, menjinjitkan kaki bahkan mendongakkan kepala ke arah bagian depan warung agar ibu pemilik warung bisa menyadari keberadaannya. Tingginya yang hanya 152 cm terlihat mungil, terlebih dengan badannya yang hanya memiliki berat 42 kg. “Mau pakai gelas atau pakai plastik, ini Neng? Kalau pakai gelas 3 rebu, kalau pakai plastik dua rebu.” Gadis itu merogoh kantung celananya, dan melihat dua lembar uang yang benar-benar lecek. Satu lembar dua ribu dan selembar dua puluh ribuan. Dia menarik napas dalam, solah hanya itu yang bisa dia lakukan untuk meringankan perasaannya. “Pakai plastik saja. Enggak apa-apa, Bu,” ujarnya melihat ibu itu berjalan ke belakang. Gadis itu membalikkan tubuh, melihat bangunan megah yang tak jauh tempatnya berada. Bangunan mewah dengan susunan-susunan jendela kaca itu tampak begitu kontras dengan warung kecil ini. Bagaikan bumi dan langit, memperlihatkan kesenjangan sosial yang begitu tinggi, begitu jauh yang bahkan tak pernah ada di dalam mimpinya Dia tak berani bermimpi atau bahkan memikirkan untuk tidur di Hotel megah itu yang kamar paling murahnya saja seharga dengan dua bulan gajinya atau bahkan seberapa keraspun, dia bekerja maka gaji tahunannya tetap tak akan mampu untuk membayar harga suite room hotel itu. Aruna Inarati, nama gadis itu. Hanyalah seorang gadis miskin yang bekerja begitu keras untuk hidupnya. Ibunya meninggal tak lama setelah melahirkannya, ayahnya berselingkuh dengan adik ibunya sendiri sehingga akhirnya Tantenya berubah menjadi ibu tiri yang tak pernah menyukainya. Ayahnya sendiri tak pernah menyayanginya, dan hanya memikirkan adik tirinya. Aruna menatap tas selempang kubas yang penuh dengan buku kuliah dan baju gantinya. Ayahnya tak membiayai kuliahnya, berbeda dengan adik tiri yang seumuran dengannya, sehingga Aruna harus bekerja sambilan untuk membiayai kuliah dan juga kehidupan sehari-harinya. Sejak Smp, hidupnya sudah begitu keras, dia terbiasa untuk bekerja membiayai hidupnya dan keluarga. “Mbak, es tehnya,” tegur ibu itu menyadarkan Aruna. “Ini, Bu uangnya,” Aruna memberikan uang dua ribu miliknya dan melangkah gontai menuju tempat yang sebenarnya tak pernah bisa dia sebut sebagai rumah. Jika saja dia memiliki uang yang cukup, hal yang pertama dia lakukan adalah pergi dari tempat itu dan memutuskan hubungan dengan mereka. Hidup sendirian sepertinya jauh lebih baik daripada terus mendapat tindakan semena-mena dari keluarganya sendiri. Setelah berjalan sekitar setengah jam dari hotel tempat Aruna bekerja, dia menatap bangunan rumah sederhana bertipe 45 miliknya. Langkahnya terhenti, keningnya berkerut saat melihat sebuah mobil sedan berwarna hitam terparkir di depan rumahnya. Dia menarik napas dalam begitu melihat pintu rumahnya yang biasanya tertutup rapat, kini terbuka dengan lebar seolah untuk pertama kali menyambutnya pulang. Tangannya bergerak meremas tasnya, menyadari bahwa ada hal yang tak biasa. “Assalamu’alaikum …” ujar Aruna begitu masuk ke rumah dengan kepala yang menunduk dan wajah yang lesu. “Walaikum salam. Tuh kan Pak Bram, anaknya datang.” Aruna tersentak saat mendengar nada lembut dan antusias dari ibu tirinya. Sontak dia mengangkat kepala, dan melihat Ibu Tirinya yang dulu selalu menyambutnya pulang dengan wajah yang cemberut dan kesal. Kini terlihat menatapnya dengan sorot mata lembut dan penuh senyuman. Rambut panjang yang biasanya dia ikat acak-acakan kini terlihat rapi dengan pakaian terbaik yang dia miliki. Aruna menatap bingung, saat melihat seorang pria paruh baya dengan pakaian batik duduk di sofa ruang tamu dengan senyuman lebar. Kepala pria itu botak, berbanding terbalik dengan kumis tebalnya yang melingkar di sisi kanan dan kiri yang mengingatkannya kepada Pak Raden. “Run, kenalin ini Pak Brams,” ujar Ibu Tiri Aruna yang tiba-tiba berdiri di sampingnya dan merangkul tangannya. Pria bernama Pak Bram itu sontak berdiri, masih menampilkan senyum lebarnya menghentakkan tubuhnya berdiri dan mengulurkan tangan. “Bramatyo, panggil saja saya Bram.” Aruna menatap uluran tangan itu, lalu memandang Ibu Tirinya meminta penjelasan. “Ah, iya. Pak Bram ini datang ke sini buat ngelamar kamu. Katanya dia bakalan ngasih kita 200 juta rupiah buat mahar nikah sama kamu,” ujar Ibu Tirinya keluar begitu saja. Perut Aruna terasa dililit, mual. Tubuhnya sebenarnya begitu liut hingga hampir tak dapat berdiri tegak jika saja dia tak mengingat bahwa dia harus bersikap kuat di depan Ibu Tirinya agar tidak diperlakukan semena-mena seperti ini. “Ibu nggak salah ngomong kan?” Tanya Aruna dengan nada bergetar. “Enggak lah?! Memang Pak Bram ke sini mau ngelamar kamu!” Decak Ibu tirinya kini mengeluarkan sifat aslinya. “Kamu seharusnya beruntung ada yang melamar kamu dan menawarkan uang 200 juta, terlebih itu, Pak Bram. Kamu lihat sendiri, dia terlihat jauh lebih muda dari usianya.” Ya, jika dibandingkan dengan pria berusia hampir 60 tahun lainnya. Tentu saja, kata itu diucapkan Aruna dalam hati. Dia hanya menatap pria tua bangka yang menatapnya dengan tatapan m***m itu sekilas. Sebelum akhirnya menurunkan tangan ibu tirinya, yang sedari tari mengenggam tangannya. “saya permisi masuk dulu. Tubuh saya sepertinya sedang tidak fit,” ujar Aruna sopan meninggalkan Pria tua bangka itu dengan ibu tirinya. “Mau kemana kamu?!” Pekik Ibu Tirinya yang tak dia hiraukan. Tubuhnya lelah, dia berangkat dari rumah jam 6 pagi dan sampai malam hari ini bahkan tak menyentuh ranjang. Dia sudah tak sanggup untuk beradu pendapat dengan Ibu Tirinya yang paling menyebalkan itu. “Aruna!” Pekik Ibu Tirinya lagi. Dari sudut matanya, dia melihat Pak Brams sepertinya sedikit tersinggung dan meminta penjelasan kepada Ibu tirinya. Tapi dia tak peduli. Aruna terus berjalan menuju kamarnya yang ada di loteng rumah. “Aruna, stop! Diam di situ!” Pekik Ibu tirinya dengan begitu kencang. Aruna yakin, teriakan itu di dengar oleh tetangga mereka yang hanya berjarak 10 meter dari rumahnya. “Apalagi sih, Bu. Aku capek seharian kerja,” ujar Aruna dengan nada malas. Dia tak ingin menambah masalah di dalam hidupnya lagi. “Kamu semakin besar, semakin kurang ajar ya!” Pekik Beliau kini berdiri di depan Aruna dengan tangan yang berkacak pinggang. Pria tua bangka itu telah pergi kemana mengingat bahwa dia mendengar suara mobil yang meraung. Aruna melirik Wajah ibunya yang tadi awalnya pura-pura baik kini mulai mengeluarkan auranya kembali, sorot mata tajam dengan tatapan yang begitu membencinya. “Bu, Aruna capek. Dari pagi tadi, aku kuliah terus lanjut kerja. Aku beneran mau istirahat.” Aruna berusaha menghindari ibunya, namun malah ditepis. Tubuh Ibunya yang lebih besar darinya menghalangi tubuh Aruna yang ingin naik ke atas tangga kecil yang sudah reyot di rumahnya itu. “Nggak ada yang nyuruh kamu buat kuliah ya! Seharusnya kamu itu beruntung aku sekolahkan sampai SMA! Main sok-sok an buat kuliah segala. Kan Aku sudah bilang kamu Nikah saja. Enak dibiayain sama suami tinggal ngangkang doang!” Ujar ibunya frontal membuatnya muak. “Umur Aruna masih terlalu muda untuk menikah, Bu!” “Muda apa?! Kamu sudah diumur yang bisa nikah. 19 tahun itu sudah cukup umur untuk menikah. Terlebih itu Pak Bram repot-repot datang ke sini untuk melamar kamu dan mengatakan akan memberi uang 200 juta. Aku anggap itu harga yang pantas karena telah merawat kamu selama ini.” Aruna terdiam. Muak, kesal. Jika saja, dia tidak menghargai orang di depannya sebagai adik Mamanya. Sudah dapat dipastikan bahwa dia ingin lebih dari membantah perkataan orang di depannya ini. Dan lagi. 200 juta. Ibu tirinya itu ingin menjual dirinya seharga 200 juta yang bahkan hanya seharga rumah susun kecil di daerah ibukota. “Kenapa tidak anak Ibu sendiri yang Ibu nikahkan dengan orang itu. Bella seusia denganku, dia juga sudah cukup umur,” bantah Aruna menyebut nama dari saudara tirinya yang hanya berbeda dua bulan dengannya. Ayahnya dulu selingkuh dengan adik ibunya sendiri dan membuat ibunya harus meregang nyawa setelah mengetahui perselingkuhan mereka. “Jangan sembararangan! Bella lebih cantik, masa depannya lebih hebat daripada kamu! Pokoknya, Aku enggak mau tahu. Kamu menikah dengan Pak Bram atau berikan ibu uang 200 juta itu!” Pekiknya dengan begitu menggelegar. “Kenapa aku harus memberimu uanh 200 juta yang bahkan tak akan bisa aku miliki. Belum cukup puas ibu dan Bell menggerogotiku. Aku bekerja mati-matian dan kalian selalu merebut jerih payahku. Dan sekarang bagaimana bisa Ibu berpikir untuk menjualku dengan Pria tua bangka itu!” Pekik Aruna hingga … Plak …. Tamparan keras mengenai wajah Aruna sehingga membuatnya terkejut. Pipinya memanas, sudut bibirnya nyeri dengan rasa berdenyut. Tangan Aruna menekan pipinya yang berdenyut. Matanya mulai berkaca, dia ingin menangis namun berusaha keras ingin dia tahan. Aruna tak ingin Ibu tirinya tahu bahwa dia sebenarnya begitu lemah. “Dasar anak tidak tahu diuntung! Seharusnya kamu berterima kasih, Aku rawat sehingga tidak tinggal di panti asuhan seperti yang ayah kamu inginkan.” Tubuhnya bergetar, menahan tangis dan kemarahan yang dia rasakan. Dia tak sanggup untuk bertemu dengan Ibu Tirinya yang bahkan jauh lebih jahat dari Ibu Tiri Cinderella. Tubuhnya lelah tapi hatinya jauh lebih lelah jika terus menderus mendapatkan hal seperti ini. Matanya menengadah menatap pintu kamar 2x2 di loteng yang selama ini menjadi persembunyian terbaiknya. Kali ini ia sepertinya tak akan bisa bersembunyi lagi di balik kamar itu. Dia menutup matanya sejenak, sebelum kemudian berbalik. “Mau ke mana kamu?!” Pekik Ibu Tirinya. “Dasar anak ga guna sama sekali. Kamu harus nikah sama Pak Bram! Aku enggak mau tahu!” Aruna tak memperdulikan teriakan-teriakan ibu Tirinya, terus saja berjalan. Hingga saat di depan pintu kamar orang tuanya, dia melihat ayahnya berdiri di sana. Hati Aruna hancur saat menyadari bahwa Ayahnya itu sedari tadi berada di rumah dan mendengarkan semua percakapan yang terjadi di antara dirinya dan Ibu tirinya tadi, dan beliau sama sekali tak membelanya. Putri sulungnya sendiri. “Seharusnya, saat itu ayah meninggalkanku saja di panti asuhan daripada membiarkan dijual begitu saja oleh istri baru Ayah,” ujarnya dengan nada getar berjalan keluar dari rumah dengan menguatkan hati. Aruna tak punya tempat yang dituju, tapi setidaknya di mana pun jauh lebih baik daripada di rumah yang selayaknya neraka ini baginya. Begitu dia membuka pintu rumah, dia menemukan Bella -saudara tirinya berdiri di depan pintu dengan pakaian mahal yang dia beli dari hasil kerja keras Aruna. Tubuhnya yang tinggi berbanding terbalik dengan tubuhnya yang kecil. Rambutnya di curly dengan Highlight pink, terlihat trendy berbanding terbalik dengan dirinya yang kucel. “Mau kemana lo?” Tanyanya dengan nada ketus namun tak Aruna pedulikan. Dia terus berjalan hingga kembali mendengar teriakan Ibu tirinya. “Bagus! Memang seharusnya Lo pergi dari rumah ini. Jangan kembali sampai Lo bawa duit 200 juta kalao lo ga mau gue nikahin sama Pak Bram!” Pekiknya dengan nada kasar. Langkah Aruna tak gentar. Dia berjanji kepada dirinya sendiri bahwa dia akan membawa uang 200 juta itu ke depan Ibu Tiri dan Ayahnya dan memutuskan hubungan keluarga yang dari dulu tak pernah dia inginkan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
84.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.3K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook