bc

The Agency

book_age18+
174
FOLLOW
1K
READ
dark
tragedy
mystery
scary
brilliant
supernature earth
supernatural
horror
like
intro-logo
Blurb

Axel David, seorang remaja yang berhasil menarik perhatian semua orang karena karyanya itu mendapat tawaran dari suatu agensi untuk mengasah bakatnya. Tetapi, penolakan sang ibu membuatnya harus bersusah payah meyakinkannya.

Setelah berhasil masuk ke agensi tersebut, David harus dihadapkan dengan berbagai peristiwa aneh yang membuatnya mau tidak mau harus memecahkannya.

Apakah David akan berhasil menguak semuanya?

chap-preview
Free preview
Let's Get It!
"Ah, akhirnya." Remaja itu menaruh peralatan merekamnya ke dalam tas setelah melakukan cover dance. Ia menyeka keringatnya yang mengucur karena sore ini, matahari masih begitu terik menyinari bumi. Axel David namanya. Atau lebih sering dipanggil Dave atau David itu memang kerap kali mengunggah karyanya ke sosial media. Baik berupa lagu, dance atau sekedar bermain alat musik. Pengikutnya pun tidak main-main. Setidaknya, ia memiliki enam ratus ribu pengikut aktif dengan jumlah penonton yang sering melampaui satu juta di setiap videonya. Tentu saja, hal tersebut membuatnya begitu terkenal di kalangan teman sekolahnya maupun orang di luar itu. Selain bakat, remaja yang masih duduk di kelas tiga sekolah menengah atas itu juga memiliki paras yang begitu tampan. Tak ayal, ia begitu mudah mendapat banyak penggemar terutama dari kalangan gadis remaja. "Habis dari mana, Dave?" tanya wanita paru baya yang berdiri di ambang pintu rumahnya. Menunggu sang putra semata wayang kembali. "Em, itu, Ma..." "Take video? Mama sudah bilang berkali-kali kalau kamu sebaiknya fokus belajar saja. Melakukan hal seperti itu tak ada gunanya!" "Dave kan tidak pernah bolos sekolah, Ma. dave capek baru pulang sudah kena omel." Lelaki itu beranjak menuju kamarnya. Meninggalkan sang ibu yang menggeleng pasrah karena apa yang anaknya lakukan itu. David memang ingin mewujudkan cita-citanya sendiri. Ia juga tak meninggalkan tugasnya sendiri sebagai pelajar. Tetapi, keinginan sang ibu tentu tak seperti itu. Setelah semua yang David lakukan. Juga pencapaian yang didapatkannya tak lantas membuat sang ibu menyetujui keinginannya tersebut. Wanita paruh baya itu masih tetap mempertahankan keinginannya terhadap David. Anak semata wayangnya itu harus bekerja sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Karena menurutnya, menjadi apa yang dijalani David sekarang tak menjanjikan apa-apa untuk masa depan putranya yang dihidupkan seorang diri. Memang, David tak pernah mengecewakan dalam akademiknya. Tetapi, tetap saja tak diizinkan. Itulah sebabnya David memilih mengambil video di luar rumah sepulang sekolah. Pernah, sang ibu memberinya jadwal les yang penuh agar David tak bisa melakukan hobinya. Beberapa waktu memang berjalan baik. Tetapi, setelah David sakit, ia meminta sang ibu melonggarkan jadwal lesnya. Itu pun David sering kali tak masuk jadwal lesnya. Hal tersebut memang tak menjadi masalah karena ia tak terlalu memerlukan les tambahan sebenarnya. Akal-akalan sang ibu saja agar dirinya tak ada waktu mengasah bakatnya. "Dave, makan malam sudah siap." Sang ibu mengetuk pintu kamar David berkali-kali. Sementara, sang putra masih merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan belum berganti pakaian. "Dave..." "Iya. Mama duluan saja. Dave mau mandi dulu," sahut David malas. Kalau di meja makan sang ibu hanya akan membalas masalah yang sama, ia lebih memilih melewatkan makan malamnya demi mengedit video yang sudah diambilnya sore tadi. Namun, hal itu tidak terjadi karena sang ibu yang sudah kembali mengetuk pintu kamarnya. "Dave..." "Iya, Ma. Dave masih pakai baju." Ia bahkan tak sempat mengeringkan rambutnya dan keluar dari kamar. David membuang napasnya kasar. "Kenapa nungguin Dave? Kalau Mama telat makan, Dave juga yang kena." "Dave..." "Kalau Mama mau bahas masalah tadi, Dave kembali saja ke kamar." Sang ibu akhirnya diam dan mulai mengambilkan makanan untuk sang putra. "Thanks, Ma." Sekesal apapun, David tak akan melewatkan ucapan terima kasihnya. Sang ibu memang sudah mengurusnya dengan baik. Ia pun sama sudah menjadi anak yang cukup penurut. Tetapi, ia hanya ingin mewujudkan satu hal yang membuat dirinya bahagia. Mengapa ibunya tidak bisa mengerti? Apa lagi yang harus dirinya lakukan untuk meyakinkan sang ibu? Hanya suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring yang mengisi ruang makan mereka. Baik David maupn sang ibu sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. "Selesai. Dave ke kamar dulu, Ma." David yang hampir beranjak itu berhenti saat sang ibu menahan lengannya. "Duduk dulu sebentar, Dave." "Ma, besok Dave harus sekolah. Capek." "Siapa suru kamu pulang nggak tepat waktu?" David berdecak malas. Ibunya kembali mengungkit hal yang paling tak disukainya. "Jangan mulai, Ma. Dave nggak mau bahas ini sekarang." "Dave, sekali saja kamu dengar Mama!" Bentakan sang ibu membuat David membulatkan matanya "Sekali? Mama bilang Dave sekali saja dengar Mama? Seakan Dave ini anak paling tidak menurut pada orang tua. Ma, selama ini apa Dave pernah tak menuruti apa kata Mama? Dave lakukan semua yang Mama mau. Dave belajar dengan baik. Tapi, satu keinginan Dave malah membuat Mama menganggap kalau semua yang Dave lakukan semua ini sia-sia saja." David menutup matanya erat setelah mngatakan hal tersebut. Sudah lama ia menahannya. Ia hanya bisa mengangguk dan menghindar selama ini. Tetapi, kali ini ia harus bicara tentang keberatan ini. Ibunya harus tahu kalau ia juga ingin memilih jalan hidupnya. Toh, ia tak merugikan siapapun dengan apa yang dilakukannya selama ini. "Sorry, Ma." David meninggalkan sang ibu yang masih mematung di tempatnya. Mencoba mencerna seluruh perkataan David. Sementara itu, David mengunci kamarnya. Ia juga mematikan lampunya sehingga hanya ada cahaya dari luar yang menembus gorden tipisnya. Rencana mengedit videonya hancur sudah. Ia tidak mungkin melakukannya dalam perasaan yang sedang tak baik-baik saja. "Kenapa mama masih terus kayak gini?" David mengacak rambutnya. Ia tak tahu mengapa ibunya begitu membenci apa yang dilakukannya saat ini. Ibunya tak pernah mengemukakan alasannya mengapa bisa seperti itu. David menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran yang menerawang entah ke mana. Ia harus menemukan cara agar sang ibu tak lagi melarangnya. Karena, menang di olimpiade kelas lalu juga tak berarti apa-apa. Dirinya tak bisa mendapat izin. "Ah!" serunya. David mulai membuka komputernya dan mengetikan beberapa kata pengantar. Tak lupa juga dirinya mencari video terbaik dan memiliki pengunjung paling banyak. Ia tersenyum puas. "Kalau sudah begini, mungkin mama tak punya alasan lain lagi untuk tetap bersikeras. Maaf, ma. Dave sudah mencoba cara yang baik. Tapi, mama tetap keras kepala." *** Hari ini ia terlambat bangun karena tidur terlalu larut setelah mengedit video sampai selesai. Karena dirasa begitu tanggung kalau tak diselesaikan, ia akhirnya merampungan semua malam itu juga. Sepertinya ia harus dengan cepat berangkat tanpa sarapan atau dirinya akan mendapat ocehan kembali. Namun, ia mengernyit karena tak menemukan ibunya dan mendapati sebah kotak bekal yang berada di atas meja. 'Mama harus ke perkebunan pagi ini. Jangan melewatkan sarapan, Dave.' David tersenyum tipis dan langsung menyambar kotak bekal tersebut. "Terima kasih, Ma." Ia seera bergegas cepat menuju sekolah atau gerbang akan segera ditutup. David tiba-tiba ragu dengan apa yang dilakukannya semalam. Mengingat sang ibu yang begitu bekerja keras demi dirinya. Pikirannya berkecamuk sampai teman sebangkunya menepuk bahunya pelan. "Ada masalah, Dave?" "Nope." Ia menggeleng pelan sebagai jawaban. "Oh iya. Sepulang sekolah, kamu ikut rapat, Dave." Ucapan temannya yang merupakan pengurus kesiswaan itu membuat David mengernyit. Pasalnya, ia tak pernah tertarik mengikuti organisasi apapun di sekolah. "Kenapa?" "Kamu ditunjuk sebagai penampil utama." "Ha? Sejak kapan?" "Maaf. Sebenarnya, kami sudah membahas ini cukup lama. Tapi, baru bicara sekarang karena mengerjakan yang lain. Kamu tentu tidak keberatan, kan?" David hanya diam karena bingung harus menjawab apa. "Ayo lah, Dave. Perpisahan kakak kelas kita semakin dekat. Di sekolah ini, hanya kamu yang memiliki bakat seluar biasa itu." David berdeham pelan. Ia kembali teringat pada penolakan sang ibu. Orang lain saja menganggap dirinya seperti itu. Tetapi, kenapa ibunya sendiri malah tidak bisa mendukungnya? "Malah melamun. Bagaimana, Dave?" "Ya sudah." "Baik, kalau begitu sepulang sekolah langsung ke aula, ya." David mengangguk pelan sebagai jawaban. *** Sepanjang rapat, David hanya mengiyakan apapun yang mereka katakan. Ia tidak memiliki saran apa-apa. Toh, yang mereka sampaikan juga tidak macam-macam dan bisa ia sanggupi. Kalau begini, kenapa mereka tak menyampaikannya saja nanti tanpa mengundangnya? Ini cukup membosankan. Diam-diam, David membuka ponselnya dan mengunggah video yang sudah rampung dikerjakannya semalam. Beruntung, aula dekat dengan sumber internet. Jadi, jaringannya tidak menyebalkan. Ia tersenyum bangga saat melihat notifikasi yang langsung ramai. Padahal, ia baru mengunggah videonya beberapa menit yang lalu. "Jadi, Dave. Apa ingin menambahkan sesuatu?" tanya sang moderator membuat David menaruh ponselnya ke dalam saku. "Tidak. Cukup." "Berarti, kamu setuju sama semua yang disampaikan tadi?" "Ya." "Baik kalau begitu, rapat ditutup. Sekian dan terima kasih. Berhati-hatilah saat pulang." David mengambil tasnya dan keluar paling terakhir. Langit sudah cukup gelap. Ia tidak mungkin pulang dengan skateboardnya yang tadi pagi digunakannya agar cepat sampai ke sekolah. Beruntung, masih ada bus yang melintas sebelum ia kebosanan menunggu. Selain sudah petang, tapi langit juga memang mendung. Mungkin, ini yang menjadi alasan mengapa bus yang ia tumpangi sekarang sepi penumpang. David hanya mengangkat bahu dan mengambil tempat duduk yang dekat denga pintu keluar. Ia menyumpal telinganya dengan earphone dan mulai menggulir layar ponselnya. Membaca komentar penggemarnya memang meningkatkan kebahagiaannya. Memang terlalu banyak kalau harus dirinya balas satu persatu. Jadi, ia mencari komentar paling unik untuk dibalasnya. Sepuluh menit beralu, hujan mulai turun. Meski tidak deras, tapi ini mungkin akan membuat seragamnya basah karena harus berjalan dari halte menuju rumahnya. Ia berdecak saat bus berhenti dan hujan malah semakin deras. Tetapi, apa boleh buat? Di langkah keduanya, ia dikejutkan dengan seseorang yang entah sejak kapan berdiri di pojok halte yang lampunya padam. Mencoba mengabaikan semua itu, David berjalan cepat sampai entah bagaimana awalnya, ia terhuyung ke arah depan dengan begitu cepat. "Argh sial!" Ia memegangi pinggulnya yang terasa sakit karena terjatuh. Seragamnya juga kotor karena terkena tanah basah dari jalanan. "Kenapa harus menambah perkara? Mama pasti mengomel lagi." Rencana malam ini akan langsung beristirahat sepertinya gagal karena ia pakaian yang kotor dan beberapa luka di lengannya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Marriage Aggreement

read
80.7K
bc

Scandal Para Ipar

read
693.5K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
860.2K
bc

My Devil Billionaire

read
94.7K
bc

Menantu Dewa Naga

read
176.9K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
623.9K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook