bc

Clair De Lune

book_age16+
541
FOLLOW
3.7K
READ
billionaire
love after marriage
dominant
independent
CEO
heir/heiress
drama
bxg
city
gorgeous
like
intro-logo
Blurb

"Saya mencintainya, Tam. Benar-benar mencintainya... Saya sangat mencintainya, tapi di saat bersamaan ini juga menyakitkan, lantas saya harus bagaimana?" Gumam Clair dengan kepala tertunduk dan mulai meneteskan air mata.

Clair De Lune berarti "Di bawah Sinar Rembulan"

Peraturan keluarga konglomerat yang sudah menjadi rahasia umum :

- Silakan hidup sebebas-bebasnya, kecuali, dalam menentukan pendidikan, jalan hidup, dan yang paling penting pendamping hidup. Sebab ketiga aspek itu harus menjadi campur tangan keluarga.

Seperti keluarga konglomerat pada umumnya, Clair pada akhirnya dihadapkan pada situasi di mana dirinya harus menerima perjodohan yang ditentukan sang Ayah. Bernama Darendra Hardiwidjaya, pria yang Clair temui pertama kalinya saat makan siang bersama kedua keluarga itu terlihat seperti bukan pria yang ramah, hingga dikemudian hari Clair menyadari, bahwa calon suaminya--Daren, sudah memiliki wanita idaman lain yang ia cintai.

chap-preview
Free preview
1. Wanita yang Bebas
Malam di Ibu Kota, jelas tidak sesepi sebagaimana yang terlihat di jalan raya. Di tempat-tempat tertentu khususnya, tempat hiburan malam, banyak anak-anak muda yang meluapkan kepenatan mereka, melarikan diri dari kehidupan yang sebenarnya. Salah satunya dilakukan oleh seorang wanita, di usianya yang sudah menginjak akhir dua puluhan. Wanita itu begitu bersemangat memukul drum dengan kedua stick di tangannya, menciptakan irama keras bersama prosonel band lainnya dan membuat semua orang menggila menari di bawah panggung saat mendengarnya. Namanya Clair Soedibjo, 28 tahun—seorang wanita yang jelas akan sangat berbeda jika dirinya berada dalam lingkaran kehidupan wanita itu yang sebenarnya. Hanya saja Clair yang saat ini telihat begitu menikmati permainannya, tersenyum lebar bersama anggota band yang lain bahkan bertukar tatap dengan vocalist dan ikut menggumamkan lagu yang sedang mereka mainkan. Mereka benar-benar terlihat seperti sebuah band professional yang bermain untuk fans yang mereka cintai—meski nyatanya, band itu hanya sebuah band bentukkan dadakan yang bermain tanpa jadwal pasti atau anggota tetap di sebuah bar lumayan besar sebagai bentuk pelampiasan masing-masing anggotanya. Sekali lagi. Tempat itu merupakan tempat para anak muda juga dewasa yang mencoba melarikan diri dari kehidupan dan kenyataan yang mereka hadapai sehari-hari. “Good job, Kak. Hari ini mainnya asik banget.” Salah seorang anggota band yang bermain dengan Clair tadi memberikan pujian sambil mengulurkan tangannya yang terkepal untuk Clair sambut dengan hal serupa. “Tos” Ala anak muda yang memang lebih menyenangkan dibandingkan berjabat tangan. Ngomong-ngomong, kebanyakan anggota band yang pernah bermain dengan Clair memang memiliki rentang usia yang lebih muda dari Clair, maka dari itu tak heran jika banyak yang memanggil wanita itu dengan panggilan “Kak” sebagai bentuk kesopanan. Jangan salah, meski anak-anak muda itu main di bar—yang bisa dibilang tempat berbaurnya banyak usia dengan tingkat kebebasan yang tinggi, banyak di antara mereka yang juga tetap sopan terhadap satu sama lain dan menghargai batasan yang dimiliki oleh masing-masing individu yang datang ke tempat itu. “Thanks, Dit. Lo juga mainnya keren. Yang lain juga, kalian semuanya keren.” Puji Clair balik, yang memberikan senyumannya ke anggota band yang bermain dengannya hari itu. “Kayaknya hari ini suasana hati Kak Clair lagi baik, makanya—” “Nona Clair.” Kalimat vocalist wanita yang sedang bicara dengan Clair terpotong karena seseorang memanggil Clair dari arah lain, membuat semua yang mendengar panggilan itu langsung menoleh ke arah datangnya suara. Clair meringis, memutar matanya malas mendapati sosok yang memanggil dan kini berjalan ke arahnya itu. “Guys. Gue cabut duluan, kalian lanjutin deh seneng-senengnya. Thanks buat hari ini ya! Lain kali kita main lagi.” Ucap Clair menepuk punggung beberapa yang berdiri dekat dengannya, sebelum kemudian beranjak pergi meninggalkan para anak muda itu. Clair menghampiri sosok pria yang tadi memanggilnya, menatap pria itu sinis sebelum berjalan melewati pria itu dan meninggalkannya begitu saja tanpa mengatakan apapun. “Non, kita harus pulang. Bapak—” “Tam!” Clair menghentikan langkahnya, berbalik menghadap pria yang bernama Tama itu dengan pandangan sengit. “Udah berapa kali saya bilang, jangan panggil saya dengan sebutan itu di tempat kayak gini. Kamu tuh, nggak bisa pura-pura jadi pengunjung aja apa? Dan apa-apaan…” Clair menarik napasnya panjang menatap penampilan pria itu dari atas sampai bawah, kemudian menghembuskannya kasar sebelum melanjutkan ucapannya. “Apa-apaan jas yang kamu pake ini? Mana ada orang ke bar pakai jas, sih!” Geram wanita itu bahkan hingga menggertakan rahangnya. Suara Clair pelankan, berusaha untuk tidak menarik perhatian orang-orang yang ada di sana. Sementara itu, Tama yang berdiri menjulang di depannya justru memperlihatkan ekspresi datar yang justru bingung menganai “Apa yang salah dengan pakaiannya?” Melihat ekspresi asistennya yang jelas terbaca di mata Clair membuat wanita itu menghembuskan napas pasrah, lalu tanpa menunggu jawaban dari yang bersangkutan lebih memilih pergi dari tempat itu dan tidak menghentikan langkahnya lagi hingga ia tiba di samping mobilnya. “Mau sampai kapan kamu ngikutin saya?” “Non—” Pelototan yang Clair lempar ke arah Tama membuat pria itu membungkam mulut dan terdiam sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. “Maksud saya, ini udah nggak di dalam kan, Non? Jadi saya bisa—” “Tam, kamu mau bicara sama saya atau mau saya tinggal?” Itu tandanya Clair tidak ingin dibantah mengenai ucapannya. “Kamu boleh panggil saya kayak gitu di kantor, di rumah atau di depan Papa. Tapi nggak di luar itu. Kamu udah sama saya tiga tahun ini, masa gitu aja masih nggak ngerti.” “Maaf, Non—maksud saya, Clair.” Yah, itu terdengar lebih baik. “Ngapain kamu nyusul saya ke sini? Papa yang nyuruh kamu buntutin saya kayak biasanya?” Bukan hal yang baru memang mendapati Tama berada di tempat yang mana seharusnya Clair bisa habiskan waktunya seorang diri. Di luar pekerjaan dan kewajibannya, Clair jelas manusia biasa, wanita biasa yang membutuhkan waktu untuk dihabiskannya seorang diri, bukan? Hanya saja, dalam hal ini, beberapa aspek memang tidak bisa Clair nikmati sepenuhnya karena status dan posisinya. “Bapak. Bapak baru aja pulang, Clair. Dan Bapak minta saya untuk jemput kamu dan bawa kamu pulang.” Setelah setahun terakhir mengurus bisnisnya di luar negeri, apakah akhirnya Tuna Soedibjo itu pulang? Dan hal yang pertama dilakukan beliau adalah ingin bertemu putrinya? Putrinya yang bahkan dalam setahun terakhir tidak dihubungi selain untuk urusan pekerjaan? Lucu sekali. Iya, bagi Clair itu terdengar sangat lucu. “Hm, jam segini? Jam 3 pagi? Dan hal pertama yang Papa lakuin setelah pulang adalah mau ketemu saya? Ini pasti mendesak banget, sampai ngutus kamu untuk susulin saya. Apalagi kalau bukan soal bisnisnya, kan?” Ucap Clair sarkas. “Soal itu…” “Saya tahu, saya tahu. Kita hanya perlu pulang dan dengerin beliau, kan?” Timpal Clair mengangguk-angguk mengerti. Wanita itu lantas menarik napasnya, merogoh tas dan mencari kunci mobilnya di dalam sana untuk mengendari benda itu. “Biar saya yang nyetir.” Tama yang masih di sana bersuara setelah Clair berhasil menemukan kunci mobilnya dan membuka pintu mobil di samping kemudi. “Terus mobil yang kamu bawa gimana?” Tama tidak langsung menjawab mendengar pertanyaan itu, dan Clair tahu benar pria itu tengah memikirkan solusi di kepalanya. “Udah kamu pakai mobil yang kamu bawa, biar saya nyetir sendiri. Saya masih bisa—dan saya nggak minum, Tam. Jadi kamu nggak perlu khawatir.” Clair dengan cepat langsung menambahkan, ketika melihat pria yang menatapnya itu sudah hendak mengatakan sesuatu. Pasti, dan akan selalu hal yang sama diulangi pria itu hingga Clair sudah hafal apa yang akan Tama katakan di saat-saat seperti ini. Tak lain kekhawatiran pria itu yang mengira Clair cukup bodoh untuk menyetir setelah minum sesuatu yang beralkohol. Sebenarnya Tama tidak menganggap Clair sebodoh itu sih, pria itu hanya khawatir, hanya cemas, dan tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada atasannya itu. “Lihat apa? Kamu nggak percaya kalau saya nggak mabuk? Perlu hirup aroma mulut saya? Hm?” Clair sudah siap membuka mulutnya ketika Tama menggerakan tubuhnya mundur selangkah, dan itu menciptakan kerutan di dahi Clair yang melihat sikap pria itu. “Apa itu? Kamu takut mulut saya beneran bau alkohol?” Tama menggeleng, berkali-kali bahkan menggoyangkan kedua tangannya untuk membantah pertanyaan Clair. “Nggak. Bukan begitu. Saya percaya, saya percaya jadi No—jadi kamu nggak perlu lakuin itu.” Terlihat sekali Tama berusaha keras untuk tidak memanggil Clair dengan embel-embel mengganggunya itu. “Cih. Ya udah. Sana kamu pergi. Nggak perlu khawatir ngikutin saya dari belakang. Saya pulang dan nggak akan kabur.” Clair kemudian berbalik membuka pintu mobilnya, masuk, menyalakan mesin mobil dan menjalankan kendaraan itu pergi dari sana.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
9.3K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.5K
bc

My Secret Little Wife

read
84.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook