bc

KETIKA SEORANG ISTRI SUDAH TAK CEREWET LAGI

book_age18+
8.3K
FOLLOW
64.4K
READ
drama
tragedy
serious
like
intro-logo
Blurb

"Mas, tadi Zian telepon katanya ibu sakit! ia berinisiatif membawanya ke dokter dan ternyata harus di rawat, bisa 'kah kamu transfer lima juta saja ke rekening Zian?"

"Ibumu selalu saja seperti itu, bulan kemarin juga baru keluar dari rumah sakit masa sekarang ke rumah sakit lagi! belum lagi uang biaya kuliah adik kamu, membuat kepalaku pusing."

chap-preview
Free preview
bab 1
KETIKA SEORANG ISTRI SUDAH TAK CEREWET LAGI "Mas, tadi Zian telepon katanya ibu sakit! ia berinisiatif membawanya ke dokter dan ternyata harus di rawat, bisa 'kah kamu transfer lima juta saja ke rekening Zian?" "Ibumu selalu saja seperti itu, bulan kemarin juga baru keluar dari rumah sakit masa sekarang ke rumah sakit lagi! belum lagi uang biaya kuliah adik kamu, membuat kepalaku pusing." "Mas, kamu kok ngomongnya seperti itu? bukankah dulu ketika aku berhenti bekerja kamu sudah berjanji bertanggung jawab dengan semuanya? lantas kenapa kamu bicara seperti itu?" "Nur, udahlah mas cape mau istirahat! aku akan kirim mereka uang jika sudah ada." Aku hanya bisa melihat punggung mas Raka yang sudah terbaring di atas tempat tidur, aplikasi M-Banking aku buka, saldo tabunganku tinggal sepuluh juta lagi, itupun sisa pesangon yang aku dapatkan dulu. Sengaja menyimpannya takut ada kebutuhan yang mendesak. Ku transfer uang pada rekening Zian, berharap agar ibu bisa segera pulih kembali. Paginya aku mencuci baju bekas kemarin yang dipakai mas Raka, tanganku tak sengaja meraba gulungan kertas yang ada di saku bajunya, ternyata itu struk belanjaan dengan jumlah yang begitu besar, dua puluh lima juta. "Ini struk belanjaan siapa?" "Ibu sama putri!" jawab suamiku malas. "Oh jadi begini sikapmu, mas! semalam saja aku hanya meminta lima juta dan itu untuk pengobatan ibuku bukan untuk foya-foya belanja di mall kamu bilang gak punya uang!" "Itu uangku, aku yang berhak memberinya pada siapa saja. Lagipula ibumu dan adikmu itu hanya bisa menyusahkan tidak berguna!" hardik mas Raka. "Jadi sekarang kamu perhitungan, begitu? bukan hanya putri dan ibumu yang harus dipikirkan, ibu dan adikku juga sama, mereka bagian dari hidupku itu berarti kamu harus menerimanya dengan tulus." "Sekarang kamu pintar bicara ya, apa hak mu untuk berbicara seperti itu? kamu hanya perempuan yang beruntung karena berhasil menikah denganku! kalau saja dulu aku tidak berhutang budi pada ayahmu, saat ini yang jadi istriku itu bukan kamu." "Oh jadi seperti itu! pantas saja Tuhan masih belum memberi kita keturunan karena kamu tidak benar-benar mencintaiku." "Kamu ini terlalu cerewet, ya!" sergahnya dengan sebuah tamparan keras yang berhasil mengenai pipiku. Tanganku memegang pipi kanan yang mulai berdenyut nyeri, perih dan sedikit panas. Ini pertama kalinya mas Raka menamparku, seumur hidup hanya dia yang melakukan itu padaku. "Aku kecewa sama kamu!" Pintu rumah ku banting dengan keras, air mata menemani setiap langkahku. Kalau saja dulu aku tidak menerima perjodohan ini, mungkin sudah sepantasnya aku hidup bahagia. Tujuanku adalah toko buku yang ada di dekat taman kota, terlalu malu jika harus bertemu ibu dan menangis di sana. "Kamu masih saja sama seperti dulu menyukai novel romantis." Seru seseorang yang berhasil membuat tanganku mengambang di antara novel yang berjejer. Aku menolah pada sumber suara, mataku memicing untuk mengingat siapa yang sedang berada di sampingku saat ini. "Matin!" Dia mengangguk dengan cepat, ya dia Matin, teman SMA ku dulu. "Apa kabar?" "Aku baik, kamu apa kabar?" tanyaku padanya. "Sama aku juga baik, oh iya aku dengar kamu sudah menikah?" "Hem, iya!" Akhirnya kami memutuskan untuk mengobrol lebih lama, kami bertukar cerita kecuali permasalahan ku dengan mas Raka yang tidak aku ceritakan. Matin bilang ia adalah pemilik toko buku ini, karena ia berada di kota yang berbeda, maka orang lain yang mengurusnya di sini. "Kalau kamu mau membeli buku atau hanya sekedar ingin membaca, datanglah ke sini! biar nanti aku yang bilang pada pelayan di sini bahwa kamu adalah tamuku yang istimewa." Ungkapnya dengan senyuman yang manis. "Terima kasih! oh iya, kamu sudah menikah?" "Sudah, kebetulan istriku sedang mengandung baru tiga bulan." "Wah, selamat ya! aku bahagia mendengarnya." Tatapan Matin terus saja tertuju pada wajahku, aku yakin bekas tamparan mas Raka masih belum hilang. Aku mencoba menutupinya dengan rambut yang ku gerai. "Pipi kamu kenapa merah?" Aku memegang pipiku yang masih sakit dan panas, "Oh ini, bukan apa-apa! mungkin akibat cuacanya yang terlalu panas, jadi sedikit merah." Jelasku dengan senyuman yang di paksakan. Hari mulai siang, setelah puas bercengkrama aku memutuskan untuk pulang. Lagipula aku merasa tidak enak juga kalau terlalu lama, kami adalah dua orang yang sudah menikah takutnya orang lain yang melihat berfikiran yang bukan-bukan. Tiba di rumah, mas Raka ternyata tidak pergi ke Restoran yang ia bangun lima tahun ini. Ia sedang menonton televisi dengan santai ketika aku melewatinya. "Kamu dari mana?" tanyanya dengan matanya masih fokus pada layar televisi. "Dari luar!" "Kamu pulang diantar siapa?" "Teman!" "Tidak bisa kah kamu duduk di sini ketika aku sedang berbicara?" "Aku cape, mau istirahat!" Kuputuskan untuk pergi ke kamarku, tidak ada lagi umpatan yang kudengar dari mulut mas Raka. Aku mematung di depan cermin, melihat bekas tamparan yang sangat kontras dengan warna kulitku yang putih. Pantas saja jika Matin bertanya, ternyata sangat terlihat jelas. Suara kenop pintu di putar, aku bergegas duduk di atas tempat tidur. "Ini uang yang kamu butuhkan!" mas Raka menyimpan satu tumpuk uang di sampingku. "Tidak perlu!" "Kamu jangan pura-pura tidak membutuhkannya, ambil saja!" "Aku tidak butuh!" "Kamu itu kenapa sih? dari tadi bicaranya irit banget, kamu sakit gigi? apa lidahmu ke gigit? coba lihat!" Mas Raka meraih wajahku, namun aku menepisnya. Sekali lagi ia meraih wajahku, tatapannya tepat di pipi kananku. "Aku minta maaf!" "Hem!" "Sebagai permintaan maaf ku, bagaimana kalau malam ini kita pergi makan malam di luar! kamu mau 'kan?" "Tidak usah!" jawabku seraya membaringkan tubuh kecilku ke sembarang arah. Aku bisa mendengar helaan nafas mas Raka yang berat, di pasti merasa kesal padaku. "Kamu itu kenapa? aku sudah mencoba bicara baik sama kamu, tapi kamu malah seperti ini! apa pria tadi selingkuhanmu?" teriaknya sambil menarik tanganku agar tubuhku bangun. "Sakit, Mas!" "Kamu kenapa, hah?" "Kamu masih bertanya aku kenapa? aku banyak bicara bilangnya aku cerewet, sekarang aku sedikit bicara kamu nyangka aku selingkuh! mau kamu kamu itu seperti apa? dan ini bekas tamparan mu apa bisa sembuh hanya dengan makan malam?" Mas Raka diam mematung, merasa jengah dengan keadaan ini, aku meraih tas dan ponsel yang ada di atas nakas, memutuskan untuk pergi sekadar menenangkan pikiran. "Kamu mau kemana?" Aku mengabaikan teriakan mas Raka, "Nur berhenti, kamu mau kemana?" Aku semakin berlari menjauhi mas Raka. *** Nur berlari menjauhi rumahnya, kenapa rumah tangganya menjadi pelik seperti ini? Sedang Raka meremas rambutnya frustasi, harusnya ia tidak menampar istrinya itu, ia menyesal karena perbuatannya telah menyakiti Nur. Suara pintu di ketuk dari luar, Raka bangkit dan membuka pintu, berharap istrinya kembali, namun sayang bukan ia yang datang. "Hai, Nak!" sapa Wati, ibunya Raka. "Bu, tumben gak telepon dulu?" "Masa mau ketemu sama anaknya harus telepon dulu, biasanya juga kalau hari Sabtu kamu di rumah." "Masuk, Bu!" Wati menelisik penampilan anaknya itu, matanya sedikit merah dan sembab, belum lagi rambutnya yang sedikit gondrong itu terlihat berantakan. "Kamu kenapa? kusut gitu! terus istrimu mana? kenapa yang buka jadi kamu?" Raka mengambil nafas pendek, "Nur lagi keluar!" "Istrimu aneh, suami ada di rumah ini malah keluyuran gak jelas! ibu jadi heran." Omelnya seraya masuk ke dalam rumah, meletakan satu box pizza di atas meja. "Ibu naik apa ke sini?" "Taksi. Berdua sama adikmu, kebetulan dia mau ke kampus." "Oh, aku mandi dulu ya, Bu!" "Ya, sudah, nanti kita makan pizza bareng. Mandinya jangan lama-lama!" Raka naik ke lantai dua, sedang Wati menyiapkan piring dan membuat jus untuk menemani mereka makan pizza. Nur yang entah mau pergi kemana, berakhir di sebuah taman dekat dengan toko buku milik Matin. Awalnya ia akan masuk ke sana lagi, tapi ia urungkan karena matanya sembab. Ponselnya berdering, Zian meneleponnya beberapa kali, namun baru kali ini ia menggubris ponselnya. "Halo, Zi kenapa?" "Uangnya udah masuk, Kak, tapi masih kurang." "Iya, kakak tahu nanti di tambahin lagi ya. Besok Kaka baru kesana, hari ini kebetulan lagi sibuk." "Siap, Kak! kakak tenang saja, aku akan jaga ibu." Nur mengakhiri panggilannya, pikirannya menerawang jauh, kemana ia harus mencari uang untuk tambahan berobat ibunya? Entah Dejavu atau memang takdir Tuhan, dari jauh Matin melambaikan tangannya pada Nur yang sedang duduk sendiri di taman. "Kamu datang ke sini lagi?" "Eh, tadi ada yang ketinggalan jadinya aku kembali ke sini!" "Oh, naik apa?" tanya Matin, dengan kepalanya yang celingukan melihat kendaraan yang terparkir, tapi tidak menemukannya. "Tadi naik taksi. emh ... aku boleh tanya sesuatu?" "Apa?" "Di toko buku milik kamu ada lowongan pekerjaan gak? sebenarnya aku sudah jenuh di rumah terus!" "Sebenarnya gak ada, cuman kalau kamu mau kerja di sana silahkan, ya meski hanya bantu sekedarnya saja, tapi nanti aku sama 'kan gaji nya dengan karyawan lain. Bagaimana?" "Yakin nih gak papa aku kerja di sana? secara 'kan gak ada lowongan." "Iya, gak papa! kita 'kan teman harus saling membantu, meski aku tidak tahu alasan kamu untuk bekerja." Nur hanya bisa tersenyum, meski dulu ia dan Matin teman dekat, tapi kali ini ia merasa belum waktunya jika harus menceritakan masalah rumah tangganya. "Kapan aku mulai kerja?" "Terserah kamu aja, mulai besok juga gak apa-apa. Aku bisa pulang ke Bandung setelah kamu masuk kerja, bagaimana?" "Ya, sudah besok saja. Maaf sudah merepotkanmu dan membuatmu menunda kepulangan ke Bandung." Matin mengangguk mantap. Langit mulai berubah mengeluarkan senja, ia pamit pada Matin untuk pulang. Awalnya Matin menawarkan untuk mengantarnya pulang, namun ditolak oleh Nur, ia takut suaminya akan berfikir yang bukan-bukan lagi. Sampai di rumah, tanpa rasa curiga ia membuka pintu di sana sudah ada putri dan ibu mertuanya yang sedang tertawa cekikikan. "Darimana kamu?" tanya mertuanya. "Aku dari luar, ibu sudah lama?" "Sudah, lagian kamu aneh suami di rumah kamu malah keluyuran." "Mas Raka mana?" "Dia lagi keluar nyari lauk buat makan, di kulkas hanya ada sayuran, mana mau ibu makan sayuran!" Baru saja Nur membuka mulut untuk bicara, suara deru mesin mobil memasuki halaman rumah, itu mobil Raka. Sengaja ia menunggu suaminya, bagaimana pun masalah rumah tangganya jangan sampai mertuanya tahu. "Mas, sini aku bantu!" tangan Nur meraih kantung kresek, aroma sate mulai menyeruak membuat perutnya menjadi lapar. Ia membawa sate ke dapur dan menuangkannya di atas piring, setelah semuanya beres, Nur memutuskan untuk mandi dulu sebelum makan. "Mas, satenya sudah aku pindahin ke piring, aku mau mandi dulu!" Tanpa menunggu jawaban dari Raka, ia sudah melangkah menaiki tangga. Mertuanya hanya diam, dia seperti mempunyai dua kepribadian ketika ada anaknya ia seperti baik, tapi ketika tidak ada ia tidak segan untuk membentak. "Bu, ayo makan dulu, katanya tadi lapar!" Raka, Putri dan Wati menuju meja makan, mereka makan tanpa menunggu Nur datang. Sate yang di beli Raka tinggal tersisa lima tusuk, "Kak, sisa satenya buat aku ya, aku masih lapar! secara aku 'kan harus belajar jadi harus banyak makan." Celetuk putri seraya tangannya meraih lima tusuk sate itu. "Tapi, itu un--" "Istrimu biar nanti beli lagi, Nur juga pasti tidak keberatan jika jatahnya di makan sama Putri." Tak berselang lama Nur menuju dapur, ia melihat sate yang tadi ia ia pindahkan ternyata sudah habis. Dadanya merasa sakit, sebegitu tidak dihargainya dirinya saat ini sampai-sampai mereka melupakan kalau dirinya ada di rumah ini. "Nur, maafkan putri ya, satenya di habiskan sama dia! kamu gak papa 'kan?" tanya mertuanya dengan senyuman manisnya yang palsu. "Oh, gak papa kok! kebetulan tadi aku sudah makan di luar." Ujarnya seraya melangkah pergi. "Kamu mau kemana?" kali ini Raka yang bertanya. "Mau ke kamar!" Sebelum Nur kembali melangkah, ia menyunggingkan senyuman seolah menandakan dia baik-baik saja. Ia mendengar mertua serta adik iparnya pamit pulang, setelah itu kenop pintu kamar diputar. Raka masuk dengan santainya. "Ibu menyuruhku untuk membelikan putri mobil, menurutmu bagaimana?" Nur mendongakkan kepalanya melihat Raka yang berdiri dihadapannya, "Terserah kamu, itu 'kan uangmu!" Ia pikir suaminya akan bertanya perihal dirinya sudah benar-benar makan atau belum, tapi ternyata tidak. "Ya sudah percuma bicara sama kamu, toh kamu juga tidak akan mengerti tentang mobil." Nur hanya mengangkat bahunya tidak peduli, tanpa di duga ke dua tangan Raka mencengkram bahunya kuat. "Kamu masih marah, hah?" "Sakit, Mas!" "Jika aku bertanya setidaknya kamu merespon dengan baik, bukan seperti itu!" "Lalu mas mau apa jika aku menyuruhmu untuk tidak membelikan putri mobil?" "Jangan mimpi kamu! putri itu adikku, jadi wajar saja jika aku memanjakan dia." "Kalau memang seperti itu, lantas kenapa kamu bertanya padaku?" jawab Nur dengan tak kalah sengit. "Kamu jadi seperti ini gara-gara ibu dan adikmu yang tidak berguna, kenapa gak sekalian aja ibumu menyusul bapakmu ke akhirat." "Mas! jaga ucapanmu, dia ibuku!" "Memangnya kenapa? dulu ketika mereka baik-baik saja, kamu tidak pernah seberani ini pada suamimu. Mulai sekarang, aku tidak akan membiayai adikmu biarkan dia kuliah sambil bekerja bisa 'kan?" Nur menatap suaminya dengan tatapan nyalang, tak habis pikir jika suaminya bisa mengatakan hal yang kurang pantas di dengarnya. Ia membuka pintu kamar dengan tergesa. "Kamu mau kemana?" tanya Raka ketika melihat Nur keluar dari kamar. "Mulai malam ini aku akan tidur di kamar tamu!" Paginya Raka bersiap pergi ke Restoran, ia menyiapkan bajunya sendiri, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Pagi-pagi Putri sudah menelponnya, dengan suara khas cemprengnya ia menagih mobil yang dijanjikan kakaknya itu. "Kak, jangan lupa nanti siang kita jadi 'kan beli mobil untuk aku?" "Iya, nanti kalau ada yang cocok ya!" "Kok gitu, sih! Kakak 'kan udah janji!" Raka mengambil nafasnya pelan, "Baiklah, nanti kita beli." Selesai menelepon ia masuk ke kamar mandi, saat itu Nur masuk ke kamar, mengambil semua bajunya dan memasukkannya ke dalam koper. Semua yang berhubungan dengan dirinya, ia pindahkan ke kamar tamu. Hari ini setelah Raka pergi, ia juga pergi bertemu Matin. Tak sabar rasanya ia akan kembali bekerja, selesai siap-siap ia pergi ke dapur meyiapkan sarapan untuknya dan Raka. "Ini sarapan yang kamu buat?" tiba-tiba Raka sudah berdiri di sampingnya. "Iya!" "Ini uang untuk keperluan bulan ini, untuk biaya kuliah adik kamu biarkan dia mencarinya sendiri, aku sudah bosan memberinya uang!" Nur meraih uang yang di sodorkan suaminya, dua puluh lembar dengan pecahan seratus ribuan. "Udah mas tambahin, biar kamu bisa nabung. Jadi kalau ada apa-apa dengan keluarga kamu setidaknya jangan menyusahkan aku." Uang yang di berikan Raka hanya bertambah seratus ribu, belum lagi uang itu di gunakan untuk membayar listrik dan yang lainnya. Sungguh miris nasibnya saat ini, padahal suaminya terbilang mampu untuk memberinya uang lebih. "Terima kasih!" hanya kalimat itu yang di ucapkan Nur saat ini, lidahnya seolah kelu untuk berkata lagi. Nur menuangkan nasi lengkap dengan lauk di atas piring milik suaminya. Ia juga duduk di sampingnya tanpa sepatah katapun, Raka yang melihat perubahan Nur hanya acuh saja. Nanti juga dia akan kembali seperti semula. Pikirnya. Saat Raka berangkat, ia mengulurkan tangannya pada Nur. Tidak ada yang berubah, ia masih mencium punggung tangannya, meski senyum dan tawa tak keluar dari sudut bibirnya sedikitpun. Nur ikut bersiap pergi ke kamar, memoles wajahnya dengan sedikit bedak dan memakai lipstik warna merah bibir. Taksi yang di pesannya secara online sudah menunggu di halaman rumah. "Pak, kita ke jalan Cempaka ya, berhenti depan toko buku Cahaya Dunia." "Baik, Mba!" Taksi melaju membelah jalanan kota, ponselnya bergetar satu kali, itu berarti ada pesan masuk. Ia mengambil ponsel dari saku celananya, ternyata Zian. [Kak, hari ini ibu sudah bisa pulang! tapi, uangnya masih kurang, bagaimana ini?] Nur menghembuskan nafasnya kasar, kalau saja suaminya itu bisa menekan egonya, mungkin keadaannya tidak akan seperti ini. Ia bingung kenapa Raka bisa berubah. [Nanti, Kakak transfer lagi ya] balasnya pada Zian. Ia menyimpan kembali ponselnya kali ini ke dalam tas, taksi masih melaju menuju tujuan. Tiba di sana dengan langkah pasti, ia memasuki toko buku dan bertemu dengan Matin. Mereka pergi berkeliling dan di kenalkan pada semua karyawan yang ada di sana. "Kamu akan bekerja menjadi kasir, kalau misalkan ada yang ingin kamu tanyakan, Maya bisa membantu!" "Terima kasih, Matin! semoga kebaikanmu di balas oleh Tuhan dengan lebih." "Amin, terima kasih untuk doanya. Oh iya, kamu bisa bekerja hari ini." Nur tersenyum, namun sedetik kemudian senyum itu hilang ketika ponselnya bergetar, nama Zian tertera di sana. Ia mengangkatnya seraya menjauhi Matin, entah karena penasaran atau karena apa, Matin mendekati Nur tanpa sepengetahuannya. "Ada apa Zian?" "....." "Iya, nanti kalau sudah ada uangnya pasti langsung di kirim kok, kamu jaga ibu dulu. Kakak harus bekerja dulu." "......" "Ya, sudah kakak tutup dulu teleponnya!" Nur mengakhiri panggilan nya, ketika hendak kembali ia terkejut karena Matin sudah berada di hadapannya. "M--matin!" "Ayo, ikut ke ruanganku!" Matin mendahului langkah Nur, tanpa banyak bicara ia mengekor di belakang Matin. "Duduk!" Ia mengangguk, seraya menggeser kursi dan menghempaskan bokongnya di atas kursi. "Ada apa dengan Zian?" "Hah? itu gak ada apa-apa kok!" "Kamu butuh uang berapa?" "Eh, itu!" Matin menatap lekat sahabatnya itu, ia membuang nafasnya kasar. Nur masih sama seperti dulu, tidak suka membuat orang lain susah. Ia meletakan kertas kontrak kerja di atas meja, hanya itu cara satu-satunya agar bisa mengetahui nomer rekening Nur. "Tolong kamu isi data itu, jangan lupa nomer rekeningnya juga, nanti gaji kamu langsung masuk ke sana." "Ah, baik!" Tanpa banyak protes ia mengisi semua kolom yang ada di sana, sedang Matin tersenyum penuh kemenangan akhirnya ia bisa segera membantu teman dekatnya itu. "Ini! semuanya sudah aku isi." Matin mengambil kertas tersebut, membubuhkan tanda tangan di sebelah tanda tangan Nur. "Terima kasih, kamu bisa mulai bekerja sekarang!" Nur pun keluar dari ruangan Matin, dengan cepat Matin membuka aplikasi Banking-nya, ia mentransfer uang lima juta rupiah ke dalam rekening Nur. Ponsel Nur bergetar, ia membukanya ada SMS banking, angka lima juta tertera di sana, dengan si pengirim Matin. Baru saja ia hendak membalikan tubuhnya, akan kembali ke ruangan Matin, namun ia urungkan karena ia mendapat pesan dari Matin. [Tidak usah kembali ke ruanganku, anggap saja aku meminjamkan uang padamu. Kalau kamu mau mengucapkan terima kasih, lebih baik sekarang kamu mulai bekerja] dengan emotikon orang tertawa. [Terima kasih] [Sampaikan salam ku untuk ibu dan Zian] [Baik, sekali lagi terima kasih] balas Nur pada Matin. Ia segera mengirim sisa uang pada Zian dengan perasaan campur aduk, akhirnya ia bisa bekerja dengan tenang. Siangnya Nur istirahat dibelakang toko buku, di sana ia bergabung dengan karyawan lainnya. Ia mencoba berbaur, ada kecanggungan tersendiri karena mulai sekarang ia harus membiasakan diri dengan lingkungan baru. Ponselnya bergetar, nomer Raka menghubunginya. "Kenapa, Mas?" sapanya langsung. "Kamu siap-siap, mas jemput kita akan pergi ke dealer, kebetulan Putri mendadak harus bertemu dengan dosennya." "Maaf, Mas aku gak bisa! kamu bisa minta ibu saja, sekali lagi maaf. Aku tutup dulu!" "Ta--" Nur sudah tidak bisa mendengar kalimat yang di ucapkan suaminya itu, ia kembali bergabung dengan teman-temannya yang lain. Untung saja jadwal lemburnya di mulai dari Minggu depan, jadi sore ini ia bisa pulang cepat. Sampai rumah, ia buru-buru membersihkan tubuhnya, mulai berkutat dengan kesibukannya di dapur. Suara pintu di buka dari luar, pasti suaminya sudah pulang dan benar saja, ia melihat Raka mendekat. "Kenapa kamu tadi menolak ajakan ku?" "Aku lagi gak enak badan!" jawabnya bohong. Raka semakin mendekat, ia memegang kening istrinya, tapi tidak panas. "Kita perlu bicara!" Nur menatap lamat-lamat wajah suaminya itu, "Jika mau bicara, bicaralah!" Raka meraih tangan istrinya agar mengikutinya, dengan terpaksa ia menurut saja, tenaganya sudah terkuras habis di toko buku. Kebetulan pelanggannya membludak karena ada peluncuran novel baru dari penulis ternama. "Aku minta maaf, aku menyesal karena telah menampar kamu, menyakiti hatimu. Aku janji aku gak akan mengulanginya, jujur akhir ini-ini aku merasa tertekan dengan situasi di Restoran." Nur hanya menatap suaminya tanpa bergeming sedikitpun, ia merasa Raka sedang berbohong, ia yakin bukan karena situasi Restoran, tapi karena hal lain.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
93.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.7K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook