bc

Ayah Duda

book_age16+
499
FOLLOW
2.5K
READ
family
mate
goodgirl
drama
bxg
single daddy
city
friendship
widow/widower
substitute
like
intro-logo
Blurb

TAP LOVE DULU YA

Spin off Bahagia (Bukan) Milik Kita

Ditinggalkan seseorang yang terlambat aku cintai adalah hal yang paling menyakitkan dalam hidup ini. Apalagi dia sudah meninggalkan aku bersama dengan anak kami.

Aku Bastian Ardhana yang saat ini menyandang status sebagai duda anak satu. Yang saat ini sedang menyesali apa yang sudah aku perbuat kepada istriku dan aku kehilangan dia untuk selamanya.

Kalau saja aku bisa meminta kepada Tuhan untuk mengulang waktuku yang sudah terlewati. Aku akan memintanya, memohon kepada Tuhan untuk mengembalikan waktuku agar aku bisa memberikan dia kebahagiaan. Bukan malah menyakiti dia seperti ini.

**

Cover by Purplerill

Gambar : Unsplash.com

Font : App text on photo

chap-preview
Free preview
Aku yang terlambat mencintaimu
Kalau saja aku bisa meminta kepada Tuhan untuk mengulang waktuku yang sudah terlewati. Aku akan memintanya, memohon kepada Tuhan untuk mengembalikan waktuku agar aku bisa memberikan dia kebahagiaan. Bukan malah menyakiti dia seperti ini. Sudah lama sekali dia pergi meninggalkan aku dengan rasa penyesalan yang amat luar biasa dan rasa cinta yang datang terlambat. Pun dengan seorang anak lelaki yang begitu mirip denganku, dia meninggalkan aku dengan semua kenangan yang perlahan semakin membuat hatiku sesak. Karena kenyataan yang ada aku tidak pernah bisa membuatnya tersenyum. Bahkan di hari terakhirnya berada di dunia ini, aku sendiri yang menjadi alasan dia pergi untuk selamanya. Aku benar-benar menjadi lelaki yang tidak bersyukur, seharusnya aku bisa memberikan kebahagiaan kepadanya, seharusnya aku tidak lantas kembali terobsesi untuk memiliki mantan tunanganku, jika pada akhirnya semua kesedihan ini membuatku menjadi lelaki yang menyedihkan dan meninggalkan penyesalan yang luar biasa. Aku sudah banyak menyakiti istriku sendiri. “Enggak usah berharap lebih dengan pernikahan ini, gue lakuin semua karena permintaan tunangan gue dan setelah bayi itu lahir, gue mau kita bercerai.” “Gue nggak sudi harus satu kamar sama lo, sebaiknya lo tidur di kamar yang lain.” “Jangan pernah meminta gue untuk mencintai lo, karena sampai kapan pun itu nggak akan mungkin.” Semua perkaataan itu seakan mengejekku dengan tidak tahu dirinya selalu terbayang dalam benakku. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa aku mengatakan semua dengan tidak berperasaan. Aku sudah benar-benar menyakiti istriku sejak lama, bahkan kepergiannya dulu membawa luka yang kembali aku torehkan kepadanya. Kenapa bukan aku saja yang matii, Tuhan! Kenapa harus Atika yang pergi dengan kesakitannya? Kenapa harus istriku? Kenapa aku bisa terlambat mencintainya? Dan semua yang tersisa adalah penyesalan yang teramat besar dalam diriku. Aku benar-benar menjadi lelaki menyedihkan karena cinta yang aku miliki tidak sempat aku sampaikan, aku kehilangan dirinya dan benar-benar terlambat jatuh cinta. “Ayah ...” Aku menghapus air mata yang membasahi pipi. Menyimpan kembali foto Atika yang selalu kupeluk saat aku sedang merindukan dirinya di malam hari. Seperti malam ini, tiba-tiba aku mengingat senyumannya. Aku harus terlihat baik-baik saja, apalagi di depan putra kami. “Kenapa jagoan Ayah?” tanyaku lantas menyuruhnya untuk mendekat dengan merentangkan kedua tanganku. Adrian Putra Ardhana, putraku dengan Atika. Jagoan kami yang sudah tumbuh dengan begitu baik. Meski begitu melewati masa sulit bersamaku, karena ditinggalkan oleh sosok ibunya saat masih berusia dua tahun. Aku selalu memberikan seluruh perhatianku kepadanya. Aku menjadi sosok ayah dan ibunya dalam waktu bersamaan. “Rian mau bobok sama Ayah, boleh?” Aku tersenyum, kemudian menyuruhnya untuk naik ke atas tempat tidur. “Sudah pergi ke kamar mandi?” tanyaku kepadanya. “Sudah. Gosok gigi, cuci muka, tangan sama kaki,” jawabnya. Meski usianya baru empat tahun tetapi kebiasaan itu tidak pernah dia lupakan, Rian anak yang begitu pintar bahkan bagiku dia terlalu mandiri di usianya yang masih kecil. Rian tidak pernah menangis jika tidak mendapatkan yang dia ingikan, tidak seperti anak lain yang harus selalu mendapatkan apa yang di inginkan. Meski aku memberikan semuanya kepada Rian, tetapi neneknya –ibuku- bisa membuat Rian menjadi anak yang luar biasa, kalau tanpa bantuan Ibu, mungkin aku tidak bisa melewati semua ini. Aku hanya bisa terpuruk dalam penyesalanku. “Kalau gitu sekarang kita bobok.” Aku menarik selimut menutupi tubuh kami berdua, tidak biasanya Rian meminta untuk tidur bersamaku. Biasanya dia akan tidur di kamar samping, di mana kamarnya berada. Sudah satu tahun ini Rian tidur sendiri dan malam ini untuk pertama kalinya dia meminta tidur bersamaku kembali. Apa mungkin Rian merasakan bahwa aku sedang merindukan ibunya dan tidak ingin aku melewati malam dengan kesedihan? “Selamat bobok, Ayah. Semoga mimpi indah,” ucapnya sebelum memejamkan kedua matanya. Tubuh mungilnya menghadapku, sebelah tangannya memelukku agak kesusahan karena tubuhku tentu saja lebih besar darinya. “Selamat bobok juga anak ayah, mimpi indah.” Aku mencium keningnya, kemudian memeluknya dengan erat. Malam ini kami berdua tidur bersama, mungkin dengan harapan yang sama, bertemu dengan Atika di dalam mimpi kami. ** “Ayah kata Nenek tahun depan aku sekolah?” Pagi ini kami sedang sarapan bersama. Hanya ada aku dan Rian yang duduk di meja makan. Asisten rumah tanggaku sedang ke pasar, selesai menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Ada telur dadar dan ayam goreng yang kemarin sempat Rian minta pada Bi Narti –asisten rumah tanggaku, kalau aku bisa makan apa saja meski dulu sempat kesulitan makan karena aku terlalu terbiasa dengan masakan mendiang istriku. Namun setelah dua tahun berlalu akhirnya aku mulai kembali terbiasa tanpa rasa masakan yang diciptakan Atika. “Iya, Rian mau kan sekolah?” tanyaku. Tahun depan Rian sudah lima tahun dan aku memutuskan untuk memasukkannya ke sekolah taman kanak-kanak. Kalau untuk sekarang, Rian hanya belajar di rumah saja, terutama saat aku libur. “Mau!” serunya begitu semangat. “Rian mau ketemu sama teman-teman, bosan banget main sama Bibi atau nenek. Rian kan mau main sama teman Rian,” lanjutnya. Aku terkekeh melihat wajahnya cemberut dan mengatakan bosan main dengan Bi Narti juga neneknya. Tentu saja, selama ini hanya mereka yang menemani Rian bermain karena aku harus bekerja. Ibu memang sering datang ke sini untuk menemani cucunya atau aku sendiri yang mengatar Rian ke rumah Ibu. “Tahun depan itu lama ya, Ayah?” tanya Rian kembali. Anak itu memang tidak pernah berhenti berbicara, selalu saja ada pertanyaan yang bahkan harus aku pikirkan dengan baik-baik agar tidak salah menyampaikan kepadanya. “Lima bulan lagi.” “Lima.” Kemudian Rian tampak sedang menghitung dengan jarinya, “Segini?” Rian menunjukkan kelima jarinya dan aku mengangguk mengiyakan. “Banyak banget, Ayah. Berarti lama kan,” keluhnya. “Sabar. Orang sabar di—“ “Di sayang Tuhan!” ucapnya mendahuluiku. “Pintar banget, sekarang habiskan makanan. Kamu sudah janji sama Nenek kan mau ke sana, katanya sudah janji juga dengan Gea mau main sama-sama.” Gea ini anaknya Indira dengan Nares. Iya, Indira mantan tunanganku. Kami berhubungan baik, bahkan sesekali mereka mengunjungi Ibu. Sudah dua tahun mereka pindah kembali ke Jakarta dan menetap di sini karena Nares dengan usaha toko kuenya tampak naik pesat. Cabangnya sudah tersebar di mana-mana. “Oh iya ... untung ayah ingetin aku. Kalau gitu cepat Ayah, nanti Gea malah cemberut karena aku lama datang,” ucapnya kemudian segera menghabiskan sarapannya dengan begitu terburu-buru. “Pelan-pelan nanti sakit tenggorokannya,” ucapku mengingatkan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
188.3K
bc

My Secret Little Wife

read
92.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook