bc

MONSTER

book_age18+
70
FOLLOW
1K
READ
kidnap
goodgirl
student
tragedy
mystery
bully
first love
friendship
horror
lonely
like
intro-logo
Blurb

Elizabeth Miller adalah seorang gadis yang tertutup dan selalu diremehkan oleh teman-teman sekelasnya. Sosoknya yang terlihat lemah seringkali membuatnya menjadi bahan ejekan mereka. Namun siapa yang tahu kalau ternyata di balik semua itu Lizzie menyimpan sesuatu yang membuat semua orang yang mengetahui akan takut kepadanya.

Cover by Me

Pict https://pixabay.com/photos/redhead-redhair-ginger-love-model-4541897/

Font by PicsArt

chap-preview
Free preview
Bab 1
Sebuah kelas tanpa adanya guru yang mengajar akan selalu ramai. Setiap siswa selalu sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Biasanya para siswa baik perempuan maupun laki-laki akan berkumpul bersama teman-teman sekelompok mereka. Mendiskusikan apa saja yang menurut mereka sangat menarik. Para anak perempuan akan membicarakan para siswa laki-laki yang populer di sekolah. Sementara para siswa laki-laki lebih membahas tentang prestasi mereka di sekolah, terutama di bidang olahraga. Namun tidak dengan gadis berambut pirang keemasan itu. Elizabeth Miller tampak sendiri saja dengan headset terpasang di telinga. Lizzie, panggilan akrab gadis itu, memang tidak mempunyai teman di kelas. Pribadinya yang tertutup tidak menarik perhatian kelompok mana pun untuk menjadikannya teman apalagi anggota mereka. Menurut teman-teman sekelasnya, Lizzie sangat tidak menyenangkan. Ia terlalu serius. Karena sifatnya yang tertutup dan suka menyendiri itulah yang menyebabkan teman-teman sekolahnya suka membully, menurut mereka Lizzie aneh. Namun Lizzie tidak pernah memedulikan itu. Ia pun tidak pernah menangis saat dibully atau saat hampir seluruh teman menjauhinya. Lizzie selalu menikmati kesunyiannya. Ia sudah terbiasa dengan itu. Sejak kecil Lizzie selalu dijauhi. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Kalaupun ada, mereka hanya bertahan dalam pertemanan selama beberapa hari. Setelah itu ia akan dijauhi dengan alasan yang tidak ia ketahui. Yang pasti anak yang kemarin berteman dengannya akan terlihat berteman dengan anak yang selalu membullynya. Selalu seperti itu, sampai-sampai Lizzie kecil sempat berpikir kalau ia sangat jelek sehingga tidak ada seorang pun yang mau berteman dengannya. "Teman-teman, aku ada pengumuman!" Rachel Murray, gadis terpopuler di sekolah mereka, yang kebetulan satu kelas dengan Lizzie, adalah orang yang paling suka mengejek dan membully Lizzie. Bagi Rachel tidak ada hari tanpa menghina Lizzie. Sosok Lizzie yang pendiam dan tertutup sangat bertolak belakang dengan Rachel yang cantik dan supel. Mereka bagaikan dua kutub yang berlawanan. "Aku akan mengadakan pesta pada akhir pekan nanti, dan kalian semua diundang!" seru Rachel gembira. "Kecuali Lizzie!" Wajah gembira Rachel langsung berubah seratus delapan puluh derajat menjadi angkuh saat menyebutkan nama Lizzie. Sayangnya Lizzie tidak pernah peduli. Ia juga tidak mendengar apa yang dikatakan Rachel tadi, musik yang disetelnya lumayan keras membuatnya tidak mendengar apa-apa selain suara musik dari headset. Rachel berdecak kesal. Ia sangat benci ketika ia sedang bicara tetapi tidak ditanggapi. Kepopulerannya seolah menurun karena hal itu. Sangat menyebalkan. Sayangnya saat ia akan menghampiri Lizzie yang masih duduk manis di kursinya wali kelas mereka mereka masuk. Seorang pemuda berambut pirang mengikutinya di belakang. Rachel bergegas kembali duduk ke kursinya, begitu juga yang lain. Matanya lekat menatap pemuda yang baru kali ini dilihatnya. Apakah pemuda itu siswa baru? Lizzie juga tidak jauh berbeda. Gadis itu segera melepas headset dari telinganya begitu melihat Mr. Samuel memasuki kelas bersama seorang pemuda asing. Mungkin pemuda itu siswa baru. Entahlah, ia tak peduli. Pemuda itu nanti juga akan bergabung dengan siswa lainnya yang membullynya. "Selamat siang, Anak-anak!" sapa Mr. Samuel ramah. Pria itu memang terkenal sebagai guru yang ramah. Mr. Samuel selalu tersenyum sehingga banyak siswa yang menyukainya. Lizzie dan teman-teman sekelasnya sangat senang karena pria bertubuh tambun itu yang menjadi wali kelas mereka. "Maaf saya terlambat masuk kelas, karena ada urusan yang harus saya selesaikan terlebih dahulu." Para siswa mengangguk. Karena sikap ramah Mr. Sam, anak-anak selalu memakluminya. Lagipula Mr. Sam tidak pernah terlambat mengajar kecuali memang ada urusan yang sangat penting yang harus diselesaikan segera. "Well, saya rasa kalian sudah tahu kalau kalian akan mendapatkan teman baru." Tidak ada yang bersuara, kelas menjadi hening seketika. "Nah, Anak Muda, saya rasa kau bisa mengenalkan dirimu sekarang." Pemuda yang sejak tadi hanya menunduk itu akhirnya mengangkat kepala. Decakan kagum dan helaan napas tertahan terdengar begitu tatapannya menyapu seisi kelas. "Hai," sapanya. "Namaku Keith Chase, senang bertemu kalian." Kelas kembali sepi. Tak ada yang memberikan sambutan padanya. Keith memahami hal itu, mungkin mereka masih malu atau apalah itu. Padahal seharusnya ia yang malu, apalagi dengan tatapan-tatapan kagum yang tertuju padanya. Karena tak ada seorang pun yang bersuara, Lizzie berinisiatif untuk menyambut pemuda itu. Sebenarnya ia malu melakukannya. Selama beberapa tahun bersekolah, ia tidak pernah menonjolkan diri. Ia selalu menjadi sosok yang ditindas dan diremehkan, tidak ada seorang pun yang ingin mengenalnya. Lizzie yakin pemuda yang mengaku bernama Keith itu juga seperti yang lainnya, akan mengejek dan menghinanya nanti setelah beberapa hari bersekolah. Namun, ia kasihan melihat Keith yang seperti anak hilang berdiri di depan kelas tanpa ada sepatah kata pun yang dikeluarkan teman-teman sekelasnya walaupun hanya sekedar menyapa. "Hai, Keith!" balas Lizzie. Gadis itu memberanikan diri berdiri. "Selamat datang di sekolah. Aku harap kau betah." Lizzie yakin sekarang semua mata itu pasti mengarah kepadanya. Tentu saja dengan tatapan yang berbeda dari yang diterima Keith. Kalau teman-teman sekelasnya menatap Keith dengan tatapan kagum dan memuja ketampanan pemuda itu, sementara mereka menatapnya dengan tatapan membunuh. Entah apa salahnya, padahal ia hanya membalas sapaan siswa baru saja. "Terima kasih," sahut Keith tersenyum. Yang sumpah demi apa pun, pemuda itu semakin terlihat tampan. Lizzie mengakui itu. Keith sangat tampan, ukuran tubuhnya proporsional, rambut pirang, mata biru, membuat Keith seperti jelmaan Ken Barbie. Siapa pun yang melihat pasti akan mengatajsn hal yang sana dengannya. Satu kata untuk Keith, sempurna! "Baiklah, Keith, kau bisa duduk di kursi kosong di pojok sana!" Mr. Samuel menunjuk sebuah kursi kosong yang terletak di deretan paling belakang. "Kuharap kau tidak keberatan," ucapnya." Keith mengangguk. "Tentu saja tidak, Sir," jawab Keith kemudian segera melangkah ke kursinya dengan diiringi tatapan kagum hampir seisi kelas. "Dia sangat tampan," komentar Rachel lirih, tetapi masih dapat didengar oleh orang-orang yang duduk di dekatnya. Sonia Lopez, salah satu sahabat Rachel, yang duduk di depan gadis itu mengangguk, membenarkan perkataan sahabatnya. Keith chase memang pemuda yang sangat tampan, lebih tampan dari Aaron Wilson, pangeran sekolah mereka. "Sayangnya ia harus disambut oleh si menyebalkan Lizzie!" Suara lirih bernada ketus dan meremehkan itu membuat Rachel dan Sonia memutar bola mata mereka bersamaan. Jennifer Ansley juga sahabat Rachel. Ia merupakan salah satu yang sering membully Lizzie. Bibir Rachel mengerucut kesal. "Sungguh acara penyambutan yang sangat buruk!" komentarnya. Sonia dan Jen mengangguk mengiakan bersamaan. Mereka sangat setuju dengan apa yang dikatakan Rachel. Menurut mereka pemuda setampan Keith tidak pantas disambut oleh gadis yang sangat tidak menarik seperti Lizzie. Keith harusnya mendapatkan lebih. "Salahmu kenapa kau tadi tidak membalas sapaannya!" sungut Jen. Gadis itu menyalahkan Rachel yang tadi hanya diam saja menatap Keith dengan mulut terbuka. "Hei, kau juga tadi diam saja!" balas Rachel tidak mau kalah. "Seharusnya kau yang tadi menyambutnya." Sonia memutar bola mata. "Sampai kapan kalian akan tetap saling menyalahkan?" tanyanya kesal masih dengan suara lirih. "Kita sedang dalam pelajaran." Mereka masih berbisik. Mr. Samuel sudah memulai materi pelajarannya di depan kelas. Mereka semua menghormati Mr. Samuel sehingga tidak ada yang berani berbicara keras saat pelajarannya. Rachel berdecak, begitu juga Jen. Kedua gadis itu menegakkan tubuh mereka. Sebelum menatap ke depan rachelasih sempat melirik kursi bagian belakang paling pojok. Gadis itu tersenyum tipis saat melihat Keith memperhatikan arah depan mereka. Pemuda itu sungguh-sungguh belajar. *** Bel istirahat sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu, tetapi Lizzie masih betah duduk di kursinya. Gadis itu tidak berniat untuk keluar dari kelas, kecuali untuk ke perpustakaan. Dan hari ini ia memutuskan untuk tidak kemana-mana. Ia akan berada di dalam kelas saja untuk membaca buku, kemarin ia baru meminjam buku lagi di perpustakaan. Di rumah ia terlalu sibuk sehingga tidak mempunyai waktu untuk membacanya. Di sekolah adalah tempat yang tepat untuk membaca. Meskipun di mana pun ia berada semua tempat selalu sama baginya, tetapi ia lebih menyukai saat di sekolah. Sendiri di dalam kelas lebih menyenangkan daripada berada di rumahnya yang terasa sedikit kurang menyenangkan. Sebutan home sweet home tidak berlaku bagi Lizzie. Karena dimana pun ia berada, ia tetap sendiri. Ia juga tidak memiliki teman di rumah. "Hai, kau Lizzie kan?" Lizzie mendongak mendengar pertanyaan itu. Mata birunya mengerjap saat tahu kalau yang baru saja menyapanya adalah Keith si Sisea Baru. "Elizabeth Miller?" tanya Keith lagi memastikan. Ia baru beberapa jam di sekolah ini dan belum mempunyai teman. Tadi saja tidak ada yang menyaisnya saat ia memperkenalkan namanya di depan kelas, hanya gadis ini saja. Lizzie mengangguk. Keith mengembuskan napas lega, ia tidak salah menyebut nama orang. Tadi ia ragu untuk menyapa, ia takut salah. Beruntungnya ia karena tidak salah orang. "Kau tidak kemana-mana?" tanya Keith lagi. "Maksudku apakah kau tidak ke kantin atau ke tempat lain, seperti ke taman mungkin." Lizzie menggeleng. "Aku lebih senang membaca," jawabnya. Lizzie tentu saja sangat senang, setelah sekian tahun bersekolah akhirnya ada yang mau menyapanya. Ia berharap mereka bisa menjadi teman. "Apa aku boleh duduk di sini?" tanya Keith hati-hati. Tangannya menunjuk kursi kosong yang berada di depan Lizzie. Gadis itu hanya mengangkat bahu. Itu bukan kursinya, ia tidak berhak melarang atau memberikan izin untuk mendudukinya. "Terserah kau saja," jawabnya. Keith tersenyum. Gadis yang tidak banyak bicara, pikirnya, ia menyukainya. Kebanyakan gadis sangat berisik, mereka akan membicarakan apa saja. Ia tidak tahan dengan semua itu. Suara mereka membuatnya pusing. Keith duduk di kursi di depan Lizzie. Sejak pertama masuk ke kelas tadi ia sudah tertarik pada gadis ini. Saat semua orang memperhatikannya, gadis ini malah terus asyik mendengarkan musik. Dari mana ia tahu? Tentu saja dari headset yang terpasang di telinganya. Headset yang segera disimpan begitu ia melihat ada guru di depannya. Gadis ini juga yang membalas sapaannya di saat semua orang memandang kagum ke arahnya. Ia memang juga melihat tatapan kagum dan memuja di mata birunya, tetapi tak kentara. Tidak seperti yang lain yang terlihat sangat mengaguminya. Sekarang juga seperti itu. Gadis ini tidak menjerit ataupun gugup saat diajaknya bicara, ia menanggapinya biasa saja, malah terkesan acuh. Tipe yang sepertinya tidak peduli dengan keadaan sekitar. Mungkinkah gadis ini termasuk gadis yang tidak populer? Atau gadis ini memang seorang yang tidak ingin berada di keramaian seperti dirinya. Well, bagaimanapun gadis ini, ia sudah menariknya saat pertama mereka bertemu. "Membaca di taman kurasa lebih menyenangkan," ucap Keith setelah diam beberapa saat. Ia memang menyukai kesunyian, taman dan kantin adalah dia tempat yang sering dihindarinya. Keith tersenyum dalam hati, sepertinya mereka cocok. "Terlalu banyak orang, aku tidak terlalu menyukainya," jawab Lizzie tanpa menatap Keith. Matanya fokus pada buku yang diletakkan di mejanya. "Aku lebih fokus membaca kalau di sini." Keith mengangguk. Sepertinya dugaannya benar, gadis ini seorang introvert. "Kenapa tidak di perpustakaan saja?" tanyanya. Bukan maksud Keith untuk mengganggu kegiatan membaca Lizzie, hanya saja ia ingin lebih mengenal gadis ini. Kalau dilihat-lihat, gadis di depannya ini sangat cantik. Matanya berwarna biru, sangat serasi dengan rambut pirang dan hidung kecilnya yang mancung. Bibirnya merah alami tanpa sapuan apa pun. Tidak perlu seorang yang suka berdandan untuk melihat Lizzie tidak memakai riasan apa pun di wajahnya. Gadis ini memiliki kecantikan alami. Kulitnya putih terkesan pucat, mungkin karena jarang terkena sinar matahari. "Aku sedang tidak ingin ke sana." Jawaban itu membuat kedua sudut bibir Keith terangkat. Walaupun tidak menatapnya, setidaknya gadis ini masih mau menanggapinya. Keith bukan orang yang dingin, ia terkesan ramah dan mudah bergaul, ia hanya menyukai kesunyian. Ia juga tidak pernah memilih dalam berteman. Bagi Keith, temannya populer atau tidak, itu bukan sebuah masalah. Yang penting baginya temannya itu baik dan tidak banyak bicara. "Kenapa?" Sekarang wajah itu terangkat, menatap Keith dengan tatapan bosan. "Kenapa kau selalu bertanya?" tanyanya setelah berdecak satu kali. Keith tersenyum menutupi kegugupannya. Sungguh, rasanya jadi campur aduk saat mata biru itu menatapnya. Pemuda itu meneguk ludah kasar sebelum menjawab, ia perlu untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja terasa kering. "Maaf, aku tidak bermaksud mengganggumu," jawab Keith masih sedikit gugup. "Aku hanya ingin tahu kenapa kau tidak keluar kelas. Itu saja." Lizzie mengangguk paham. Mungkin pemuda ini ingin mengucapkan terima kasih padanya karena sambutannya tadi. Tidak apa-apa. "Kalau kau ingin berterima kasih atas sambutan ku tadi, kau tidak perlu melakukannya," ucap Lizzie. Gadis itu menjilat bibirnya sekali sebelum meneruskan. "Aku tidak masalah dengan itu." Lizzie tersenyum canggung. "Aku baru pertama kali melakukannya." "Sungguh?" tanya Keith dengan mata sedikit melebar. Lizzie mengangguk lagi, kali ini dengan gugup. Percayalah, saat Keith melakukan itu, ia terlihat semakin tampan. Apalagi dilihat dalam jarak sedekat ini. Jantung Lizzie sedikit memacu. "Wow ini hebat!" "Maksudmu?" tanya Lizzie bingung. Ia tidak tahu bagian mana yang menurut pemuda itu hebat? Baginya ini biasa saja. Alis gadis itu berkerut. "Kau pertama kali melakukan penyambutan, dan itu untukku," sahut Keith. "Bukankah itu hebat?" tanyanya. "Entahlah." Lizzie mengangkat bahu. "Menurutku ini biasa saja," jawabnya. "Do you think so?" tanya Keith meyakinkan. Keyakinannya tentang Lizzie yang seorang introvert sedikit berkurang. Menurutnya Lizzie hanya kurang berteman. Lizzie mengangguk. Kemudian tanpa menjawab gadis itu kembali menunduk, kembali membaca bukunya. Keith bergerak serba salah. Ia tidak memiliki topik pembicaraan lagi. Ia juga tidak memiliki buku yang ingin dibaca. Ia siswa baru di sini dan belum mengenal semua tempat, sehingga ia tidak tahu di mana letak perpustakaan. Kesunyian itu berlanjut. Bahkan setelah beberapa menit mereka masih tidak ada yang bersuara lagi. Masih betah dengan kebisuan mereka, sampai Keith yang bsrinisiatif untuk kembali bersuara. Pemuda itu bertanya lagi. "Lizzie, apa kau mau mengantarkanku ke perpustakaan?" Lizzie mengangkat wajah, mata birunya kembali menatap Keith penuh tanya. "Aku baru beberapa jam menjadi siswa di sini dan aku masih belum tahu di mana perpustakaan berada. "So, will you take me there?" pinta Keith. Lizzie memutar bola mata jengah. Gadis itu mengembuskan napas, alasan Keith cukup masuk akal. Namun kenapa Keith harus meminta tolong padanya? Kenapa tidak kepada gadis lain saja? Ia tahu kalau gadis-gadis populer di kelasnya menyukai Keith. Meskipun siswa baru Keith sudah cukup populer di kelasnya, tentu itu karena wajahnya yang tampan. Sungguh, ia tidak keberatan menemani pemuda ini ke perpustakaan. Namun itu akan menambah masalah untuknya. Gadis-gadis itu pasti akan membullynya lagi. Sekarang sudah cukup lama mereka tidak mengganggunya. Lizzie yakin itu akan terjadi lagi kalau mereka melihatnya berjalan berdampingan bersama Keith. "Kenapa? Apa kau keberatan?" tanya Keith tanpa menghilangkan nada kecewa dari suaranya. Lizzie bergerak tidak nyaman di kursinya. Matanya liar mengawasi seisi kelas. Ia tidak keberatan, sungguh. Hanya saja ia juga tidak mau gadis-gadis itu mengganggunya lagi. Ia sudah bosan dengan sua perlakuan tidak adil teman-temannya. "Maafkan aku, tapi..." Jeda. Lizzie kembali menjilat bibir. "...kenapa kau tidak meminta salah satu gadis populer di luar sana untuk mengartarmu? Mereka pasti akan dengan senang hati mengantarkanku ke sana." "Aku tidak mengenal mereka." Keith menggeleng pelan. "Kau juga tidak mengenalku," ucap Lizzie cepat. Gadis itu menggigit pipi dalamnya. Sungguh, ia tidak ingin membuat masalah. Ia yakin Keith akan menjadi sumber masalah baginya kalau ia mengantarkan pemuda ini ke tempat yang dimintanya. "Tetapi setidaknya kita sudah berbicara dan mengenalkan diri satu sama lain." "Aku belum mengenalkan diriku padamu," bantah Lizzie. Gadis itu menggeleng. "Aku sudah tahu namamu," sahut Keith. "Kau Elizabeth Miller." Lizzie mengangguk. Keith memang sudah tahu namanya, dan ia juga sudah tahu nama pemuda ini. Namun itu bukan saling mengenal yang dimaksudkannya. Lizzie menggaruk pelipis, ia masih mencari alasan untuk menolak permintaan Keith. "Iya, kau memang sudah tahu namaku." Sekali lagi Lizzie mengangguk. "Tetapi aku tidak mengenalkan diriku padamu, kau mencari tahu." Keith tersenyum, yang sumpah demi apa membuat wajahnya lebih tampan berkali lipat. Lizzie menatapnya lekat, bahkan ia sampai lupa bagaimana caranya berkedip. "Maafkan aku," ucap Keith sambil tangannya mengusap tengkuk. "Kau belum mengenalkan namamu, karena itu aku berinisiatif untuk mencari tahu sendiri." Lizzie mengembuskan napas dari mulut keras di depan Keith, tanpa ia sembunyikan. Lizzie menyandarkan punggung ke belakang. Ia sudah kehabisan alasan untuk menolak mengantarkan Keith ke perpustakaan. Namun ia juga tidak bisa mengatakan iya untuk mengantarkannya. Ia sedang menghindari masalah yang kemungkinan besar akan ditimbulkan pemuda ini. "Maaf aku terkesan memaksa, tetapi aku sungguh tidak mengenal siapa pun selain dirimu di sekolah ini," ucap Keith. "Kau gadis pertama yang kuajak bicara." Kenyataan itu mencubit hati Lizzie. Ia adalah gadis pertama yang diajak pemuda di depannya ini berbicara. Berarti Keith belum berbicara dengan gadis-gadis lainnya yang pada kenyataannya lebih menarik dan lebih cantik darinya. Satu lagi, populer. Kemungkinan besar Keith akan meninggalkannya seperti teman-temannya dulu setelah berbicara dengan yang lain. "Karena itu, maukah kau membantuku?" tanya Keith lagi, kali ini disertai wajah memelas. "Aku janji, setelah ini tidak akan mengganggumu lagi kalau kau menginginkannya." Lizzie bersedekap, bibirnya terkatup rapat. Ia tidak paham dengan kalimat terakhir yang tadi dikatakan Keith. Ia masih menelusuri atrinya. "Aku mohon." Lizzie membuang muka. Ia benci mendengar seseorang memohon, mengingatkannya pada dirinya yang selalu tidak berdaya. Namun ia juga kasihan. Mungkin kalau sekali saja mereka berjalan berdampingan tidak akan ada masalah. Lagipula ia hanya mengantarkan kan? Keith yang meminta, bukan ia yang menawarkan diri. "Baiklah!" Lizzie akhirnya mengangguk. Ia memang paling benci dengan kata 'mohon' tetapi ia juga paling tidak tega kalau seseorang mengucapkan kata itu di depannya. "Tetapi aku hanya akan mengantarkanmu ke sana, setelah itu aku akan langsung kembali ke kelas." Keith yang sebelumnya tersenyum lebar sekarang senyum itu surut. Ia tidak mau tersesat di hari pertamanya sekolah. Selain itu ia juga ingin menghabiskan waktu lebih lama bersama gadis ini, semakin lama berbicara dengannya Keith semakin merasakan ketertarikan. Yang tentu tidak akan mungkin terjadi kalau Lizzie hanya mengantarkannya saja tanpa menemani. "Lalu aku akan kembali ke kelas bersama siapa?" tanya Keith dengan mata melebar dan sepasang alis tebal yang terangkat. "Kau bisa kembali ke kelas sendiri," jawab Lizzie acuh. Gadis itu mengangkat bahu seolah tak peduli. Keith mengerang. "Aku tidak mau tersesat di sekolah pada hari pertama aku sekolah," ucapnya memelas. Lizzie kembali memutar bola mata. "Jangan seperti anak kecil!" sahutnya sedikit membentak. "Kau bisa bertanya pada orang yang kau jumpai atau kau ikuti saja tanda panah. Itu adalah petunjuk." Keith menggeram tanpa suara. Sungguh ia tidak mengharapkan hal seperti ini terjadi. Ia ingin Lizzie menemaninya ke perpustakaan, bukan sekedar mengantar. Namun sepertinya Lizzie tidak menginginkan itu. Gadis ini seolah tidak iingin keluar dari zona nyamannya. Ataukah Lizzie sedang menghindari sesuatu? Apakah gadis ini sudah memiliki seorang kekasih? Atau mungkin ada hal lain, seperti pembullyan misalnya. Kalau benar seperti itu, hal ini tidak bisa dibiarkan. Ia paling tidak suka hal semacam itu, sahabatnya tewas karena dibully. Itu penyebab utama ia pindah sekolah ke kota ini. Ia ingin melupakan salah satu mimpi buruknya. "Kenapa kau menolak?" tanya Keith menyelidik. "Apa kau takut gadis-gadis populer di luar sana akan mengganggumu kalau kau menemaniku?" Tak ada jawaban. Lizzie membuang muka, tidak mau menatapnya. Sehingga Keith yakin kalau dugaannya benar.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Married With My Childhood Friend

read
43.8K
bc

LIKE A VIRGIN

read
840.9K
bc

HOT AND DANGEROUS BILLIONAIRE

read
570.4K
bc

See Me!!

read
87.9K
bc

HOT NIGHT

read
605.8K
bc

LAUT DALAM 21+

read
289.3K
bc

UN Perfect Wedding [Indonesia]

read
75.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook