bc

Menikah (Bukan) Untuk Bahagia

book_age16+
42
FOLLOW
1K
READ
goodgirl
confident
dare to love and hate
sweet
humorous
sassy
spiritual
stubborn
sacrifice
Neglected
like
intro-logo
Blurb

Kehidupan damai Sabrina tiba-tiba saja harus terasa seperti permen nano-nano semenjak kedatangan Sakha kerumahnya malam itu dan berujung pada sebuah pernikahan. Ingin menolak namun Sabrina tidak mempunyai alasan khusus untuk menolak. Cinta? Bahkan Sabrina pun yakin Sakha sendiri tidak mencintainya saat itu sehingga Sabrina tidak terlalu memikirkan masalah itu. Bagi Sabrina dia pasti akan bisa bahagia walaupun menjalani pernikahan tanpa didasari rasa cinta di awalnya.

Lantas apakah Sabrina dan Sakha mampu bertahan dengan perjalanan rumah tangga mereka tersebut? Apakah mereka mampu bertahan dengan segala perbedaan di antara keduanya? Apalagi ketika rahasia yang tidak pernah diduga pun ikut mewarnai perjalanan keduanya.

-Aku memilihmu karena Allah SWT yang telah memilihkanmu untukku.- Sabrina Farayumna

-Ketika namamu aku ucapkan di ijab qabul, sejak itu pulalah namamu tertambat tanpa ku sadari di hatiku.- Arsakha Wisnu

chap-preview
Free preview
Sabrina dan Sakha
-Menikah itu artinya kamu bersedia menerima segala kurangnya pasanganmu dan melengkapinya dengan kelebihan yang ada pada dirimu-                 Perempuan muda bergamis hitam dengan khimar senada namun dengan list bendera Palestina itu berlari dengan tergopoh-gopoh. Dia sudah terlambat tiga puluh menit dan ini seharusnya tidak terjadi kalau saja dirinya tidak tidur lagi sehabis murojaah selesai subuh tadi. Lihat saja yang terjadi justru di luar kebiasaan dirinya. Rencananya hanya tertidur sebentar, namun yang terjadi dia malah kebablasan tidur. Bahkan saat memacu motornya sepanjang perjalanan tadi lafadz istighfar selalu dia ucapkan. Sungguh dia sangat menyesal dengan apa yang dilakukannya. Lihat saja karena kelalaiannya, dia jadi terlambat. Bahkan alarm yang berdering pun tidak bisa membangunkannya. Ah, alih-alih membangunkannya. Sekedar membuatnya tersadar pun tidak.                 Kendati dia mengetahui betapa ruginya ketika tidur di saat-saat selepas subuh, namun tetap saja hal itu susah sekali dihindari. Padahal sedekah subuh itu amatlah banyak keutamannya. Walaupun mengetahui itu, Sabrina tetap seringkali melewati waktu yang penuh dengan keberkahan itu begitu saja. Padahal ada banyak kerugian ketika dia melakukan itu. Salah satu kerugiannya adalah, karena sengaja tidur selesai subuh dia jadi terlambat dan ini amatlah memalukan untuknya.                 Area parkir motor dengan pondok pendopo yang memang terletak di area rumah ustadzahnya itu memang berada berlawanan arah dengan tempat parkir. Matanya sesekali melirik jam yang terletak manis di pergelangan tangannya. Sudah terlambat hampir tiga puluh lima menit.                 Langkahnya terhenti. Kini dia sudah berdiri tidak jauh dari lokasi tujuannya. Perempuan itu berusaha mengatur napasnya dan berusaha untuk tenang. Setelah dia merasa sudah lebih baik, perempuan itu kemudian berjalan pelan menuju pendopo. Namun matanya menatap lokasi tersebut dengan heran. Kosong tiada orang.                 Perempuan itu mencoba mengingat-ingat kembali hari dan waktu hari ini. Dia tidak mungkin salah hari apalagi waktu. Dia jelas mengingat tanggal bahkan lengkap dengan waktu yang telah mereka sepakati. Bahkan tempatnya pun dia ingat persis. Tapi mengapa jadi kosong tiada orang seperti ini? Apa mungkin pekanannya dibatalkan?                 "Kamu salah tempat."                 Sabrina-nama gadis itu, menoleh cepat. Kini tidak jauh dari tempatnya seorang lelaki yang sangat dia kenal menatapnya dengan wajah datar. Lelaki itu berpenampilan seperti biasa, memakai kemeja merah lengan panjang yang dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam. Wajahnya datar dan Sabrina sangat kesal dengan ekspresi itu. Namun berdebat untuk hal yang tidak penting itu akan semakin membuang waktunya. Lagipula dia juga tidak mungkin akan berdebat sepagi ini dengan lelaki ini. Alangkah lebih baik dia harus menanyakan kembali apa maksud perkataan lelaki itu.                 "Maksudnya?"                 "Kamu itu salah tempat." Jawab lelaki itu datar.                 Sabrina menghela napasnya dengan kasar. Dia sangat mendengar apa yang lelaki itu katakan. Masalahnya apa maksud dari perkataan itu yang Sabrina tidak mengerti.  "Iya, maksud kamu salah tempat gimana? Bisa ngomongnya lebih jelas lagi nggak sih?" Tanyanya gusar. Lelaki itu tampaknya amat sulit bicara dengan kalimat yang panjang.                 Melihat Sabrina yang gusar, lelaki itu masih sama. Menatap Sabrina dengan datar tanpa ekspresi hingga akhirnya berucap "Nih." Bukannya menjawab, lelaki itu justru menyodorkan sebuah ponsel pada Sabrina.                 Jangan salahkan Sabrina jika harus terus mendumel dalam hati. Lelaki ini sungguh menguji kesabarannya.                 Mata gadis itu membulat begitu menyadari bahwa itu adalah ponsel miliknya. "Cerobohnya kamu itu harus dihilangin. Iya kalau tertinggal di rumah kalau ternyata di tempat lain gimana?" Ujar lelaki itu panjang. Setidaknya lebih panjang dari biasanya.                 "Iya makasih." Kata Sabrina ketus. Perempuan itu kemudian mengambil benda pipih berselimut case cokelat tersebut. Dia lalu menghidupkan data seluler di ponselnya dia baru menyadari kalau paket datanya telah habis semalam. Begitu pula pulsa. Sabrina adalah jenis manusia yang malas mengisi pulsa semenjak tersedianya fasilitas chat di android.                 Kalau sudah begini bagaimana dia bisa menghubungi teman satu halaqahnya? Dia bahkan tidak tahu kalau ternyata tempat mereka pekanan minggu ini berubah. Jika sudah begini, Sabrina harus segera mencari konter terdekat. Lagipula mengapa perubahannya bisa mendadak seperti ini? Sabrina sangat bingung sekarang.                 "Siniin ponselnya." Lelaki di hadapannya bersuara.                 “Hah? Apa?” Sabrina menatap lelaki itu dengan bingung. “Kamu mau apa?” Lelaki itu menghela napasnya. “Hpnya siniin.” Katanya singkat. Sabrina yang masih kesal kemudian memberikan ponselnya dengan malas. "Ngapain?" Tanya Sabrina menatap lelaki itu ingin tahu.                 Namun bukannya menjawab, lelaki tanpa ekspresi itu justru tampak serius memainkan ponsel milik Sabrina.                 "Kamu mau hapus koleksi drakorku lagi ya?" Tanya Sabrina lagi. Sekali lagi jangan salahkan Sabrina jika prasangka buruk itu terus terngiang di kepalanya. Lagipula bagaimana dia tidak berprasangka buruk, jika yang dihadapinya sekarang adalah jenis manusia yang sangat sulit untuk diajak bicara. Namun seperti biasa, seolah tidak mendengar pertanyaan Sabrina lelaki itu tidak merespon. Sungguh Sabrina begitu khawatir karena beberapa hari yang lalu koleksi drama koreanya dihapus tanpa sisa oleh lelaki ini. Tanpa permisi tanpa suara, Sabrina hanya bisa melihat atraksi itu dengan tatapan tidak berdaya. Lelaki itu masih tidak menjawab. Dia hanya melirik sekilas pada Sabrina, namun hanya sebentar. Justru lelaki itu masih fokus dengan ponsel Sabrina. "Arsa, kamu ngapain ponselku sih?!” Tanya Sabrina semakin gusar. Semalam dia baru saja download drama Korea terbaru. Maka tidak heran paket internetnya habis. Kalau sampai drakornya dihapus lelaki itu, bisa terbuang sia-sia paket internetnya semalam.                 "Ini." Lelaki di hadapannya memang selalu membuat Sabrina darah tinggi. Ditanya apa, dijawab apa. Kini bukannya menjawab, dia justru menyodorkan kembali ponsel Sabrina. “Nggak usah kebanyakan nonton drama.” Katanya kemudian yang membuat Sabrina langsung memeriksa koleksi dramanya dengan cemas.                 “Kamu beneran menghapus drakorku lagi? Iih Arsa, paketku habis loh semalam karena download  itu. Kamu buang paket internetku dengan sia-sia tahu nggak.”                 “Salah sendiri kenapa paketnya dipakai untuk hal yang tidak bermanfaat.” Sabrina melotot tidak terima.                 “Hiburan tahu!” Sungutnya.                 “Hiburan juga bisa dengan yang bermanfaat.” Kata Sakha lagi.                 “Iih kamu-“                 "Tanya aja sekarang mereka dimana." Lelaki yang dipanggil Arsa itu bersuara lagi dan memotong ucapan Sabrina. Sabrina baru saja ingin protes, namun urung karena tiba-tiba dia melihat banyaknya notifikasi yang muncul. Apalagi di aplikasi berwarna hijau yang sering dijadikannya sebagai ruang diskusi hingga curhat dengan para sahabatnya.                 "Kok bisa? Ini pake hostpot kamu?" Tanya Sabrina pada lelaki itu. Tidak bersuara namun lelaki itu mengangguk. Sabrina enggan protes, walaupun jengkel setengah mati melihat respon lelaki di hadapannya itu. Lagipula yang terpenting sekarang adalah dia harus segera datang ke lokasi yang diinfokan teman satu halaqahnya di grup WA. "Kamu tahu Taman Dealova?" Tanya Sabrina kemudian. Dirinya berharap lelaki itu akan bersuara untuk menjawab. Kadang Sabrina harus berpikir keras untuk memahami tindakan lelaki itu. Apalagi dengan ucapannya yang pendek-pendek, Sabrina harus berusaha mencerna apa maksud lelaki itu.                 Tuhkan dia kembali diam. Jikalau lelaki ini bukanlah suaminya, Sabrina pasti akan memarahinya. Iya, lelaki yang sedari pagi tadi membuat moodnya hancur itu adalah suaminya. Arsakha Wisnu, begitu nama lengkapnya. Lelaki yang dikenalnya sejak kuliah ketika masa-masa orientasi kampus hingga training di organisasi itu adalah lelaki yang datang ke rumahnya secara tiba-tiba bersama ayahnya selepas Isya dua bulan lalu. Lelaki itu juga adalah teman sekelasnya. Sungguh kebetulan yang mencengangkan.                 Awalnya Sabrina kira kedatangan Sakha hanyalah kedatangan biasa, berhubung Sakha juga pernah datang ke rumahnya bersama beberapa temannya ketika ada keperluan terkait organisasi di masa perkuliahan dulu. Namun ternyata bukan itu, pertemuan Sakha dengan ayahnya di masjid kala itu berbuntut panjang. Lelaki itu ternyata dengan sadar meminta dirinya untuk dijadikan istri. Sabrina yang saat itu baru pulang dari luar karena harus mengurusi beberapa urusan begitu terkejut ketika melihat lelaki itu berada di ruang tamu rumahnya. Tampak begitu akrab dengan ayah-ibunya dan juga dengan Fatih, adiknya.                 Walaupun heran karena lelaki itu duduk anteng di rumahnya, Sabrina memilih untuk menyapa singkat dan enggan bertanya apa yang dilakukan lelaki itu. Selain karena keduanya yang memang mengikuti organisasi dakwah di kampus sehingga membuat keduanya jarang berinteraksi, Sabrina juga malas berurusan dengan Sakha. Lelaki itu jarang bicara dan Sabrina yang memang tipikal orang yang pecicilan seringkali diabaikan oleh Sakha ketika dirinya bertanya atau berbicara sesuatu dengan Sakha. Malam itu, Sabrina pun memilih untuk segera ke kamar dan melanjutkan diskusi dengan beberapa sahabatnya.                 Siapa yang menyangka kalau ternyata malam itu  lelaki itu datang membawa misi  yang sama sekali tidak pernah ada dalam pikiran Sabrina. Hingga akhirnya mereka resmi menikah dan membuat banyak orang tercengang. Bagaimana bisa seorang Sabrina ternyata menikah dengan Arsakha, pujaan di hati banyak perempuan. Ah, Sabrina pun tidak percaya bahwa Arsakha adalah seorang yang Allah takdirkan menjadi suaminya. Sungguh, jodoh adalah rahasia Allah.                 Baru dua bulan menikah, Sabrina sudah sangat sering jengkel dengan sifat Sakha. Lelaki yang dulu dia kira pendiam dan menjadi idola banyak teman-temannya itu ternyata sangat menyebalkan. Barangkali kalau ditest tekanan darah, maka tekanan darah Sabrina akan naik semenjak menikah. Pernikahan yang dulu Sabrina impikan akan membuatnya bahagia setiap hari ternyata berbanding terbalik. Sabrina memang bahagia karena akhirnya Allah menjaganya dari hal-hal yang dilarang syari'at ketika proses menuju pernikahan, Sabrina juga bersyukur Allah mentakdirkan sosok yang begitu paham agama untuk menjadi imamnya, hanya saja Sabrina seringkali jengkel dengan sifatnya yang pendiam dan kaku.                 Selalu menjawab pertanyaan Sabrina dengan jawaban singkat bahkan terkadang hanya sekedar anggukan, selalu membalas pesannya dengan kata-kata singkat  dan jarang sekali sekedar menyapanya ketika mereka ada perkumpulan alumni organisasi. Sabrina dan Sakha seperti dua orang yang tidak saling mengenal.                 Sabrina bahkan merasa heran mengapa lelaki pendiam seperti Sakha justru memilihnya untuk dijadikan seorang istri.                 "Ayo ikut." Sakha berjalan lebih dulu. Sabrina hanya diam memandangi punggung suaminya itu. Perkataannya singkat dan Sabrina tidak mengerti maksudnya apa, lagipula sekarang bukan saatnya untuk dirinya pergi ke tempat lain, dia sudah terlambat hampir satu jam untuk pekanan.                 Sakha menoleh dan mendapati Sabrina masih diam di tempatnya yang tadi. "Ayo!" Seru lelaki itu. Sabrina masih saja diam. Lelaki itu menghela napasnya dengan kasar dan berjalan menghampiri Sabrina.                 "Ayo ikut." Katanya lagi.                 Sabrina masih enggan bergerak. Sakha sedari tadi mengatakan ‘ayo ikut!’ namun tidak mengatakan tujuan mereka.                 “Bi, kalau kamu diam disitu nanti kita nggak berangkat.” Nada bicaranya sudah terdengar gusar.                 "Kemana? Kamu dari tadi bilang ayo ikut tapi nggak bilang kemana. Aku itu mau pekanan bukan mau jalan-jalan."                 "Yang bilang mau jalan-jalan itu siapa?" Sakha bertanya dengan wajah datar.                 Sabrina diam mencoba memahami maksud lelaki itu. Namun tampaknya dia menyerah memahami langsung perkataan Sakha dan akhirnya kembali bertanya. "Ya terus kita mau kemana?"                 "Taman Dealova." Jawab Sakha kemudian berjalan meninggalkan Sabrina. Sementara itu Sabrina masih kaget dengan jawaban singkat Sakha.                 Dia mau nganterin aku? Salah makan kali ya itu orang. Pikir Sabrina yang masih berdiam diri di tempatnya berdiri.                 Melihat lelaki itu berjalan di depannya, entah harus bahagia karena Sakha mau mengantarnya ke lokasi yang dimaksud ataukah harus sedih karena memang faktanya Sakha tidak pernah mau mengajaknya jalan-jalan menunjukkan kalau dirinya sudah menikah. Sabrina sadar, dirinya tidak seperti rekan-rekannya di LDK kebanyakan, dia pecicilan, suka asal-asalan, pelupa dan masih banyak kekurangan lainnya. Tapi jikalau Sakha sudah mengetahui banyak kekurangan pada dirinya, mengapa lelaki itu lantas meminta dirinya untuk menikah dengannya?                 "Bi, ayo!" Mendengar seruan Sakha, Sabrina pun berjalan dengan cepat dan hati yang dongkol tepatnya. Jangan lupakan gerutuan yang keluar begitu saja dari mulutnya. Apalagi melihat  lelaki itu berjalan tanpa menunggunya.                 Sesampai Sabrina dan Sakha di parkiran, Sabrina hanya melihat dua motor dan tentunya salah satu dari itu adalah motor maticnya dan sama sekali tidak ada motor Sakha.                 "Kita pakai motormu ya. Tadi aku kesini naik grab." Ujar Sakha dan membuat pandangan Sabrina teralih padanya. Lelaki ini naik grab hanya untuk mengantarkan ponsel miliknya? Sejak kapan suaminya bisa bersikap semanis ini? Dia hanya pergi ke tempat ini untuk mengantarkan ponselnya bahkan sekarang dia juga akan mengantarkannya ke tempat pekanan. Sabrina jadi berpikir bahwa di depannya ini bukanlah suaminya. Sejak menikah mana pernah Sakha bersikap semanis ini. Ah jangankan bersikap manis, bicara saja jarang. "Mana kuncinya?" Suara Sakha menginterupsi dirinya.                 Sabrina mencari sesuatu di tasnya dan ketika sudah menemukan kunci dengan gantungan penjepit kuku itu dia langsung memberikan itu pada Sakha. Lelaki itu menerima kunci itu dan segera mengkondisikan motor Sabrina. Mata Sabrina masih menatap Sakha dengan bingung. Pertama bagaimana bisa Sakha tahu kalau pekanan minggu ini berubah, terus bagaimana bisa Sakha tahu kalau dirinya sekarang tidak punya paket internet.                 "Ayo naik!" Kata Sakha yang sudah siap untuk pergi. Sabrina masih diam tidak bergeming dan bersuara.                 Hingga akhirnya suara Sakha kembali menginterupsinya. “Bi, ayo!”                 “Kamu tahu aku salah tempat dari mana?” Tanya Sabrina.                 “Penting banget?” Sakha malah bertanya balik. Wajahnya masih tanpa ekspresi.                 “Iyalah. Banget.”                 “Nggak penting.”                 Sabrina menggeleng cepat. “Salah. Ini penting banget. Kamu tahu darimana?” Desak Sabrina dengan tatapan ingin tahu.                 “Naya chat aku. Dia bilang minta infoin ke kamu kalau tempatnya berubah.” Jawab Sakha tenang. Naya? Bagaimana bisa Naya berani seperti itu mengirimkan pesan pada Sakha? Gadis itu adalah gadis yang paling pendiam dan kalem di antara para sahabatnya di kelompok lingkarannya. Apa Sakha dan Naya memang dekat tanpa ada yang tahu?                 “Kenapa diam? Jadi pergi nggak?” Sabrina masih menatap suaminya bingung. Dia tidak pernah tahu bahwa Sakha sedekat itu dengan Naya. “Mikirin apa?”                 “Hah? Nggak kok.”                 “Nggak usah mikirin aneh-aneh.”                  “Iya, nggak kok. Aman kok aman.” Kata Sabrina sembari tersenyum hambar. Dia akan menanyakan hal ini nanti. Tapi tidak mungkin sekarang, apalagi dengan situasi keduanya yang tidak bisa dibilang harmonis.                 “Ayo naik. Kamu udah terlambat.”                 "Kamu yakin?" Tanya Sabrina cemas. Ini bisa dibilang adalah kali kedua mereka boncengan, apalagi di lingkungan sekitar teman-teman mereka bisa dikatakan ini adalah kali pertama. Sabrina merasa tidak nyaman jika harus menjadi perhatian banyak orang, walaupun itu teman-temannya sendiri.                 "Memangnya kenapa?"                 "Ya kalau kita boncengan nanti apa yang akan dikatakan orang-orang? Emangnya kamu nggak malu?"                 Sakha mengernyitkan dahi, matanya menatap tajam pada Sabrina. "Kenapa harus malu? Memang kita melakukan kesalahan?” Sabrina menggeleng pelan. Dia jelas merasa aneh jika harus boncengan dengan Sakha. Apalagi dengan hatinya yang masih tidak tenang karena penasaran tentang Sakha dan Naya.                 "Kamu malu kalau perginya bareng?"                 Sabrina mengggeleng cepat. "Bukan gitu, tapi..." Sabrina sungguh tidak nyaman harus berkata jujur. Apalagi melihat ekspresi wajah Sakha yang sangat membuat Sabrina kesal sekaligus tidak tega.                 "Kita sudah menikah dan tidak ada hal yang harus membuatmu malu." Ujar Sakha panjang. Namun tetap saja, Sabrina masih dengan berdiri diam menatap Sakha. Mulutnya memang terkatup rapat. Namun isi pikirannya sudah berjalan kemana-mana.                 "Ayo, kamu bisa makin terlambat."                 "Oke." Jawab Sabrina akhirnya. Tak lupa dia meletakkan tasnya di tengah-tengah antara dirinya dan Sakha. "Udah." Kata Sabrina.                 Sakha tidak bersuara seperti biasa, seperti biasa hanya anggukan yang Sabrina pahami sebagai respon dari lelaki itu. Tanpa Sabrina sadari, lelaki berwajah datar yang sedari tadi pagi membuatnya kesal itu tersenyum tipis. Sedangkan pikiran Sabrina masih berputar-putar tentang Sakha. Dia bahkan tidak sadar kalau tangannya memegang baju Sakha untuk berpegangan ketika motornya sudah melaju.                 “Sa!”                 “Hmmh..”                 “Kamu naik grab cuma nganterin hp ku doang ya? Sampai mau repot-repot nganterin aku pula. Kamu nggak salah makan?!” Tanya Sabrina agak keras supaya suaranya tidak teredam angin jalanan.                 “Hmmh...”                 Jawaban Sakha  membuat Sabrina memutar bola matanya dengan malas. Mendengar jawaban abstrak Sakha membuat Sabrina enggan bicara lagi. Padahal tadi Sabrina sempat berharap jawaban Sakha akan panjang dan menyenangkan hatinya dengan sikapnya yang manis. Namun ternyata tetap sama, Sakha tetaplah Sakha yang irit bicara.                 Apakah Sabrina bisa bertahan dengan pernikahan semacam ini?                

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.2K
bc

My Secret Little Wife

read
91.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.0K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.0K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook