bc

SURVIVE AS VILLAIN'S MOTHER

book_age16+
1.7K
FOLLOW
5.1K
READ
reincarnation/transmigration
escape while being pregnant
independent
inspirational
drama
comedy
bxg
royal
magical world
secrets
like
intro-logo
Blurb

Berbeda dengan manusia yang mendapat kesempatan masuk ke dalam novel sebagai tokoh bombastis, aku justru terjebak sebagai karakter sampingan.

Setidaknya aku bisa menikmati kehidupan damai dan menyenangkan walau diriku bukan antagonis kaya raya, tokoh utama supermanis, dan karakter pembantu yang dikelilingi tokoh tampan. Tidak masalah. Tidak masalah.

Akan tetapi, aku salah BESAR! Ternyata tubuh yang aku tempati milik karakter sampingan JAHAT, Camila Blanche. Dia menipu Duke Axton demi mengandung keturunannya kemudian melarikan diri dan kembali kepada Duke hanya demi menuntut hak sebagai istri. Alih-alih mendapat posisi istri, Camila justru mati di tangan Duke Axton!

Mudah saja mengabaikan cerita, tetapi aku telanjur merasuki tubuh Camila ketika dia telah berbadan dua!

Tolong kembalikan aku ke bumi! Kembalikan aku ke bumi!

Biarkan aku hidup sebagai pekerja kapitalis bersahaja daripada mengemban amanat sebagai Camila.

Kembalikan hidupku. Kembalikan!

***

"Kau menyembunyikan putraku."

Duke Axton, lelaki yang ingin aku hindari, mengetahui keberadaan putranya.

"Dia adikku, bukan? Aku akan menjadi kakak yang baik."

Benjamin, putra Duke Axton dari istri sah, mendadak melimpahkan kasih sayang kepada putraku.

Ada apa dengan kedua Axton ini? Biarkan aku dan putraku hidup damai. Anggap kami tidak ada dalam hidup kalian. Abaikan, tolong abaikan! Lalu....

"Kami berdua mirip," kata Count Romeo, salah satu penggemar karyaku. "Aku bisa jadi ayah terbaik melebihi pengharapanmu."

Count, apa kau tidak salah pilih istri?

chap-preview
Free preview
1
Hidup seorang diri, terlebih dengan pendapatan di bawah angka makmur, amat pedih dan menyakitkan. 31 tahun. Lajang. Bekerja serabutan. Berhasil menyelesaikan pendidikan tepat waktu, tetapi tidak mampu memperoleh pekerjaan menjanjikan dan menjamin masa depan. Tinggal di indekos yang kemungkinan besar ditempati kuntilanak. Jelas bukan rekam jejak mengagumkan. Hari ini sengaja meminta cuti karena sakit perut. Bukan hanya sakit perut, melainkan demam. Prinsip hidup orang miskin: Jangan sampai sakit sebab biaya berobat amat mahal. Hidup di era kapitalis, segala sesuatu dinilai berdasar uang, dan, mau tidak mau, relasi orang dalam (bila beruntung). Konon leluhurku (dulu) merupakan tuan tanah; sawah berhektare, rumah megah, dan pemilik sanggar seni ludruk. Sebagai keturunan entah nomor berapa dari si leluhur-yang-konon-kaya-ini, aku tidak merasa mendapat keuntungan apa pun. Tidak ada orang dalam yang bisa memasukkanku ke kantor bonafide. Tidak ada uang suap. Hanya ada sedikit uang sekadar mengisi perut, membayar listrik, pajak tanah dan kendaraan, iuran air, pulsa, serta sedikit kesenangan. Rasa sakit membuatku lemas dan sulit fokus saat bekerja. Ranjang yang kasurnya bau busuk, satu-satunya alas tidur milikku, sama sekali tidak membantu proses kesembuhan. Aku terbaring sembari menyaksikan sepasang cecak yang mengeluarkan suara “ckckckkc” lalu mereka lari bersembunyi di balik jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas. Selalu menunjuk angka dua belas. Jarum merah, jarum terkecil di antara ketiga jarum penunjuk, tidak bergerak. Seolah waktu milikku memang berhenti di sana, di angka dua belas; tidak bergeser, tetap, membeku. Tidak ada guling, hanya ada satu bantal yang sarung bantalnya telah berubah warna menjadi sesuatu yang menyerupai titik-titik kelabu dan cokelat dan hitam bebercak. Susah payah mencoba meraih ponsel yang tergeletak di meja, mengecek pesan. [Lekas kirim uang. Adikmu harus ikut darmawisata ke Bali.] Ibu bulan kemarin meminta uang belanja baju baru dengan alasan kepentingan menghadiri pernikahan kerabat. Aku bahkan harus menyisihkan dana makan demi itu. Sekarang dia mengharap uang darmawisata. Padahal bisa saja dia menjual panen padi dan menggunakan uang hasil panen untuk biaya darmawisata. Namun, dia tidak melakukannya. Dia ingin uang panen ditabung dan digunakan demi biaya pernikahan kakak lelakiku. “Ya, ya,” kataku kepada diri sendiri. “Tentu saja.” Setelah menutup layar pesan, aku membuka aplikasi novel dan mengecek kelanjutan cerita favoritku. Bahkan di antara tuntutan hidup dan keinginan mengajukan pengunduran diri dari daftar Kartu Keluarga, masih ada hal-hal yang bisa membuatku senang: Membaca. Tidak terhitung jumlah buku yang berdesakan di lemari pakaian karena terlalu sayang menyisihkan uang untuk rak buku. Alhasil novel, komik, dan beberapa buku nonfiksi tersimpan di lemari pakaian. Sebagian tersimpan rapi di kontainer plastik. Aku tidak memiliki banyak pakaian selain yang kubawa ketika merantau, terlipat rapi dalam koper yang kini berada di bawah ranjang. Dalam ponsel aku mengunduh beberapa aplikasi baca; mulai dari novel, webtoon, puisi, bahkan langganan premium buku terbitan mayor. Kecanduan, bisa jadi. Hanya ada mereka, buku-buku, yang setia menemaniku. Ada sedikit pelipur dalam setiap kata. Penyembuh dari betapa kesepian dan monotonnya hidup milikku. Hanya dengan membaca aku merasa tetap waras. Mataku sedikit berkunang-kunang ketika membaca. Perutku mulai melilit. Entah karena kelaparan atau suatu penyakit. Aku belum sempat menemui dokter dan barangkali tidak akan ke rumah sakit. Uang menipis, harus kirim dana darmawisata, lalu listrik dan uang sewa. Mungkin aku harus menjual beberapa koleksi buku. Meski berat, tapi harus aku lakukan. Aku tidak sanggup menahan sakit yang melilit, seolah ada jarum menusuk-nusuk perut. Ponsel terlepas dari genggaman, jatuh, dan aku meringkuk menahan ngilu. Air mata terasa panas di pipi. Aku bahkan tidak bisa mengeluarkan suara lenguh kesakitan. Satu-satunya yang bisa aku lakukan hanyalah memejamkan mata. Berharap tidur bisa menolong menghilangkan rasa sakit. *** Pepatah tidur bisa meredakan rasa sakit, ternyata, berfungsi untukku. Rasa ngilu yang melilit perut telah lenyap. Demam pun tidak lagi terasa. Anehnya, aroma kamarku tercium lebih sedap daripada seharusnya. Tidak ada bau apak. Wangi karbol mendominasi penciuman. Samar-samar aku bisa mencium bau lain, seperti parfum beraroma bunga. Perlahan aku membuka kelopak mata, bersiap menyambut pagi, dan mulai bekerja. Langit-langit berwarna putih langsung menyapa. Tidak ada bercak jamur akibat air hujan yang lolos dari genting bocor. Tidak ada lampu neon. Tidak ada cecak. Tidak ada jam dinding mati. Hanya ada.... Bersih! Aku bangkit, mengangkat punggung, dan mencoba mencari penjelasan. Mungkinkah ada orang baik hati memindahkanku dari kamar indekos b****k ke tempat manusiawi? Tirai berwarna krem menjadi sekat antara satu ranjang dengan ranjang lain. Ranjang besi dengan kasur putih—jenis yang biasa digunakan rumah sakit ataupun klinik. Ada beberapa orang terbaring di ranjang; sebagian terlelap, yang lain tengah bercakap dengan seseorang. Wanita-wanita berpakaian jubah putih berkeliaran dari satu ranjang ke ranjang lain; merapikan kasur, membantu menyuapi seseorang, dan mengganti perban. Ini aneh! Aneh! Warna kulit mereka mengingatkanku kepada turis asing. Bahkan warna rambut yang mereka miliki pun tidak hitam, melainkan pirang, merah, dan cokelat. Apa aku bermimpi? Apa ada jin yang menerbangkanku ke luar negeri? Pasti ada penjelasan. Ketika aku hendak turun dari ranjang, salah satu wanita berjubah menghampiriku. “Miss Mila, apa Anda sudah merasa baikan?” Bahkan bahasanya pun asing. Tunggu! Kenapa aku bisa memahami bahasa yang dia gunakan? Selama beberapa detik aku hanya mengedip, mencoba menjernihkan pandangan, sembari berhitung dalam hati bahwa ini tidak nyata! 1. 2. 3.... “Apa Anda merasa pusing?” Wanita itu kembali bertanya. Aku memfokuskan mata kepada tanda aneh di kerudung yang menyembunyikan sebagian rambut—mirip kerudung biarawati junior. Bunga? Lingkaran? Beberapa untaian rambut bewarna cokelat tampak mengikal di belakang bahu. “Miss Mila?” Suaraku terdengar amat asing! Mana mungkin aku tidak mengenali suaraku sendiri? Suara yang aku keluarkan, kali ini, terdengar rendah nyaris mencicit. Tiba-tiba saja wanita itu menampilkan ekspresi khawatir; dahi berkerut dan menggigit bibir. Dia berbalik, pergi ke suatu tempat, lantas kembali dengan dua orang; satu pria dan seorang wanita muda. “Astaga, Mila. Kau membuatku cemas,” kata si wanita muda sembari menyentuh d**a. Dia memiliki warna rambut cokelat karamel dan mata hijau. Berbeda dengan wanita berjubah putih, dia mengenakan gaun katun berwarna merah. “Seharusnya kau memberitahu kami keadaanmu!” “Anna benar, Mila,” si pria menimpali. Rambut pirang dan mata hitam. Dia mengenakan celana kodok dan kemeja putih. “Kau membuatku cemas setengah mati.” “Memberi tahu apa?” Memangnya apa yang perlu aku katakan? “Kau hamil, Mila! Andai kami tahu kondisimu, maka aku dan Henry akan membantumu menyelesaikan tugas.” Hahaha. Hamil? Aku? 31 tahun lajang dan belum pernah bersentuhan khusus dengan pria mana pun? Jangan bercanda. Tidak mungkin. TIDAK MUNGKIN! “Milaaaaa!” Aku jatuh tak sadarkan diri.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.2K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
8.8K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.2K
bc

Time Travel Wedding

read
5.3K
bc

Romantic Ghost

read
162.3K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
3.1K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook