Satu
“Septi, kamu mau tidak dikenalkan sama putranya Bu Dani, orang blok G yang baru setahun pindah rumah di Komplek ini?”
“Septi tidak kenal Bu Dani, Ma.”
“Ya jelas kamu tidak kenal. Bu Dani itu kan jarang keluar rumah, juga tidak ikut arisan RT maupun RW.”
“Lalu, Mama bisa kenal dia dari mana?”
“Dari Bu Imran yang bertetangga satu gang dengannya dan tidak sengaja mereka ngobrol bareng saat sedang beli sayur Bang Mu’in, baru seminggu yang lalu. Terus, Bu Imran cerita deh tentang kamu yang baru saja putus sama mantan kamu.”
“Ih, kok Bu Imran bisa tahu soal aku baru putus sama pacar aku? Pasti Mama yang cerita.”
“Tadinya Mama juga tidak mau cerita, tapi dia bilang katanya dia lihat kamu nangis saat pulang diantar sama laki-laki. Ya mau tidak mau Mama cerita dong biar dia tidak salah paham.”
“Ahhh, Mama mah pakai cerita segala. Aku kan jadi malu.”
“Ah, sudahlah tidak usah pakai malu segala. Mungkin memang sudah jalannya Mama cerita jadinya dia bisa kenalin Bu Dani sama keluarga kita.”
“Memangnya putranya Bu Dani setuju untuk dikenalin sama aku?”
“Setujulah. Bu Dani juga kan lagi cariin jodoh untuk anaknya soalnya usia anaknya sudah 32 tahun. Katanya dia kesepian setiap kali anaknya pergi bekerja selama berbulan-bulan.”
“Memangnya pekerjaan anaknya apa?”
“Pelayar.”
“Pelayar?”
Yang langsung terlintas di dalam pikiran Septi detik itu juga adalah pekerjaan yang menghasilkan banyak uang meskipun harus ditinggal sampai berbulan-bulan lamanya, tapi setidaknya kondisi finansialnya jika dia menikah dengan laki-laki itu nanti akan sangat baik.
Sehingga Septi pun tidak ragu untuk mencoba berkenalan dengan laki-laki itu setelah dia mempertimbangkannya hanya selama 2 jam saja.
Sebelumnya, Septi telah berpacaran dengan Ardit selama 8 tahun lamanya. Niatnya dari awal berpacaran dengan Ardit adalah untuk menikah, begitu pun Ardit yang menjanjikan masa depan bersamanya. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dan tidak terasa usia Septi telah memasuki usia 29 tahun, Septi mulai merasakan keraguan terhadap hubungannya dengan Ardit.
Ardit tidak kunjung melamarnya, pekerjaan Ardit juga masih bongkar pasang dari berbagai profesi, dia juga tidak punya tabungan, dan mirisnya, Ardit menjadi tulang punggung keluarga untuk Ibu dan kedua adiknya sejak Bapaknya meninggal 2 tahun yang lalu.
Semula, Septi tidak masalah jika Ardit menjadi tulang punggung keluarga. Dia malah sempat merasa bangga pada pacarnya itu karena Ardit telah menjadi laki-laki yang bertanggung jawab untuk keluarganya. Tetapi, rasa bangganya itu perlahan berubah setelah Septi sadar kalau ternyata cara Ardit memacarinya selama ini tidaklah serius. Bahkan, teman dekat mereka yang hanya berpacaran tiga tahun saja sudah menikah. Sedangkan Septi, Ardit seperti terus menggantung harapan Septi yang sudah ingin berumah tangga.
Hubungan percintaannya dengan Ardit memang tidak kunjung mendapat restu dari Mamanya Septi. Tapi, perasaan cinta Septi yang sangat besar untuk Ardit membuatnya tidak peduli pada larangan Mamanya soal sosok Ardit, sampai dia bertahan pada hubungan yang sangat lama dengan Ardit hingga mendekati hubungan satu dekade.
Suatu hari, Septi kembali mempertanyakan keseriusan Ardit padanya dan seperti biasanya Ardit mengatakan kalau dirinya benar-benar serius menjalin hubungan dengan Septi.
“Tapi, aku butuh waktu untuk nabung buat kita nikah nanti. Kamu kan tahu sendiri kalau rumah orang tuaku baru saja kena banjir, jadi hampir semua perbotan rusak karena terendam air. Jadi yang menjadi fokus aku sekarang adalah beli perabotan baru untuk isi rumah orang tua aku.”
“Lalu, kapan kamu mau nikahin aku? Mau sampai berapa lama lagi aku harus digantung seperti ini sama kamu, Dit?”
“Aku juga tidak bisa janjikan waktunya. Yang pasti, bukan tahun ini dan juga bukan tahun depan.”
Rasanya lemas sekali saat Septi harus mendengar jawaban Ardit tersebut.
“Dit, sepertinya kamu benaran deh tidak serius pacaran sama aku. Entah apa yang ada dipikiran kamu. Soal tanggung jawablah ke keluarga kamu, biayain sekolah adik kamulah, inilah, itulah. Aku benar-benar dinomer sekiankan sama kamu. Padahal selama ini aku yang paling support kamu dibandingkan dengan keluarga kamu. Aku juga yang kasih tambahan uang dari gajiku yang hanya guru honorer saja. Bahkan, aku sama sekali tidak minta pernikahan yang mewah sama kamu dan kamu sudah tahu itu dari 7 tahun yang lalu. Tapi, kamu memang tidak juga berubah.”
“Lantas, mau kamu apa?”
“Putus. Kita putus saja!”
Ardit pun bergeming sesaat saat kalimat itu terlontar dari mulut Septi yang sedang emosi. Tapi, sebagai laki-laki yang penuh dengan beban tanggung jawab dan merasa telah mengecewakan pacarnya, Ardit mau tidak mau menerima keputusan Septi untuk mengakhiri hubungan kasih mereka.
Dengan tenang Ardit pun membalas ucapan Septi. “Ya sudah kalau memang itu yang kamu inginkan, kita putus saja. Maafin aku yang telah mengecewakan kamu selama ini.”
Saat itu juga derai air mata langsung mengalir deras di wajah Septi. Dia tidak kuasa menahan rasa kecewa yang teramat hebat pada balasan Ardit atas keputusannya yang tidak serius dia inginkan.
Sejak saat itu, kandasnya hubungan 8 tahun mereka menjadikan Septi bertekad untuk tidak lagi pacaran terlalu lama dengan laki-laki yang akan dia kenal nanti, siapapun laki-laki itu.
Akhirnya, setelah satu Minggu lamanya Septi dan Rio mengenal hanya lewat pesan saja, Rio pun mengajak Septi untuk kopi darat. Mereka janjian di sebuah Kafe dekat Komplek rumah mereka.
“Kamu yang namanya Septi, putrinya Bu Sari ya?”
“Iya. Kamu Rio, putranya Bu Dani?”
“Benar sekali.” Rio pun segera duduk di depan Septi setelah melepaskan jabatan tangannya dengan Septi.
Pertemuan pertama mereka ternyata berlangsung dengan lancar. Keduanya saling memiliki ketertarikan satu sama lain. Hingga hubungan mereka berlanjut ke tahap pacaran.
Sejak Septi berpacaran dengan Rio, Septi mulai mengubah pola hidupnya menjadi lebih sehat. Mulai dari rajin minum infuse water, makan sayur, mengurangi konsumsi karbohidrat dan makanan atau minuma manis, rutin berolahraga lari setiap Minggunya, dan masih banyak lagi perubahan yang Septi lakukan. Perubahan pola hidup sehatnya itu tidak luput dari ucapan Rio yang memintanya untuk tampil modis dan memiliki tubuh yang ideal sesuai dengan tinggi badan Septi.
Septi pun rela melakukan semua saran yang Rio berikan padanya, lantaran dia berpikir kalau saran tersebut bisa membuat hidupnya jauh lebih baik meskipun Septi harus memaksakan diri melakukan semua perubahan itu.
Baru dua bulan Septi menjalin kasih dengan Rio, laki-laki itu sudah langsung melamarnya, sesuai dengan tekad Septi yang tidak ingin berlama-lama berpacaran.
Lamaran itu pun dilakukan di kediaman rumah Septi dengan menghadirkan dua keluarga besar. Berbagai persiapan pernikahan mulai dilakukan usai menentukan tanggal baik untuk hari pernikahan mereka. Akan tetapi, sebuah rahasia tak terduga harus terungkap dihitungan hari pernikahan mereka.
“Tidak mungkin ini terjadi.” Septi menutup mulutnya dengan telapak tangannya saat dia harus menemukan sesuatu tentang kehidupan Rio yang sebenarnya.
***