bc

TARZIA (Nostalgia Kisah Cinta)

book_age12+
15
FOLLOW
1K
READ
love-triangle
friends to lovers
goodgirl
sweet
first love
poor to rich
twink
affair
gorgeous
like
intro-logo
Blurb

Cinta pertama Tarzia/Zia & Joshua/Jojo/Joe tak direstui Ayah Zia karena perbedaan status sosial mereka. Zia dikirim ke Turki dan tanpa sengaja bertemu Ahmad yang kaya raya. Ahmad tak percaya lagi pada cinta setelah dikhianati kekasihnya, namun baginya Zia berbeda. Dia justru membantu Zia bertemu kembali dengan Jojo. Takdir malah mempersatukan Ahmad & Zia dalam ikatan pernikahan. Meski bergeliman harta, Zia merasa kesepian, dia malah berselingkuh dengan Joe yang telah menjadi vocalist band terkenal. Padahal di saat itu Ahmad mulai mencintainya. Zia merasa bersalah, dia meninggalkan Joe dan mencoba mencintai Ahmad. Namun hati tak dapat dipaksakan. Di Kampus, Tarzia berkenalan dengan Kevin, mahasiswa kritis yang berjiwa sosial tinggi. Mereka saling jatuh cinta. Lantas bagaimanakah dengan Ahmad dan Joe?

chap-preview
Free preview
Tentang Tarzia
Namanya Tarzia, Ibunya adalah orang Turki sedangkan Ayahnya orang Indonesia. Tapi jangan tanya bahasa Turki padanya, dia takkan bisa. Karena dia lahir dan besar di Indonesia, di tanah jawa yang subur. Sejak usia 17 tahun memiliki 2 kewarganegaraan yaitu sebagai Warga Turki dan Warga Negara Indonesia tentunya. Tak hanya mendapat identitas dua Negara, dia juga mendapat identitas sebagai pacar Joshua. Sahabatnya sejak kecil hingga SMA, yang orang asli Indonesia dengan kulit sawo matangnya dan bahasa jawanya yang mendhok. Joshua memang berbeda, senyumnya manis dan dia selalu bisa membuat Tarzia tertawa dengan sifatnya yang humoris. "Hari ini kita resmi jadian, kamu jadi bojoku, aku jadi koncomu. Semoga hubungan kita langgeng sampai pernikahan dan punya anak. Pasti seru karena anak kita mirip zebra." Kata-kata Joshua membuat Tarzia terperangah. "Loh, kok anak kita mirip hewan sih?" Tanyanya dengan polos saat itu. "Lha iya, kulitku hitam, kulitmu putih, mesti zebra anaknya belang-belang." Begitulah kira-kira guyonannya yang membuat Tarzia tertawa terpingkal-pingkal. Sejak jadian, mereka berangkat ke sekolah bersama dengan sepeda motor butut milik Ayahnya Joshua. "Punten Pak, assalamu'alaikum." Joshua berpamitan pada Ayah Tarzia. "Wa'alaikumsalam..." Jawab Ayahnya dengan ketus. Sebenarnya Sang Ayah tak suka kalau Tarzia bergaul dengan Joshua, karena Joshua cuma anak petani dan pekerjaan Joshua cuma mengembala sapi tiap sore. "Ayah gak setuju kamu dekat-dekat sama dia apalagi sampai punya hubungan." Suatu malam Ayah menasehatinya seakan dia sudah tau kalau anaknya dan Joshua sudah berpacaran 1 bulan yang lalu. Ibuk memang tidak banyak bicara kalau Ayah yang memberi keputusan, Ibunya orangnya penurut dan patuh. "Tapi kenapa Yah? Jojo baik, sopan, lucu..." Tarzia membela Joshua di hadapan Ayahnya. "Memangnya kamu bisa hidup cuma dengan itu? Ayahnya kerja di sawah kita Zia, dia ngawon sapinya kita, apa yang bisa diandalkan?" Aneh rasanya dia berkata kasar begitu pada orang yang sangat setia bekerja padanya selama bertahun-tahun. Bagaimana kalau sampai Pak Teguh, Ayahnya Joshua mendengarkannya. Bagaimanapun sebagai anak, Tarzia harus menurut pada orang tuanya, tapi itu hanya jika di depan Ayahnya saja. Diam-diam mereka memilih backstreet. Setiap pagi Tarzia diantar oleh Ayah ke sekolah, tapi saat pulang sekolah, dia tetap pulang bersama Jojo. "Kenapa sih Ayah kamu melarang kita pergi sekolah bareng?" Tanya Jojo waktu itu sambil mengemudikan sepeda motor. Tarzia memeluk pinggang Jojo dengan erat, menyandarkan kepalanya di punggung Jojo lalu berkata. "Biar saja Ayah melarang kita. Kita selalu punya cara untuk sama-sama kan?" Kalimat itu membuat Jojo merasa lega, dia tersenyum dan menggengam tangan Tarzia dengan tangan kirinya. "Kata guru biologi hati manusia penuh darah, warnanya merah, tapi hati kamu kok putih ya?" Kembali Jojo membuat Tarzia tersenyum dan terhibur dengan leluconnya itu. Meski Jojo tidak bisa mengantarkan Tarzia sampai ke depan rumah seperti biasanya. Tapi dia mengantarkannya tak jauh dari rumah, sehingga Tarzia masih bisa berjalan kaki menuju rumah. "Hati-hati jantung hatiku." Jojo masih juga belum pergi sebelum melihat Tarzia sampai ke rumah dengan selamat. Tarzia menoleh lalu berlari kembali padanya. "Lha kok balik lagi?" Tanya Jojo dengan polos. Gadis itupun tersenyum lalu mendekat dan mencium pipi kiri Jojo. Seketika wajah Jojo memerah karena merasa malu sekaligus senang. "Dah..." Tarzia melambaikan tangan dan kali ini dia benar-benar berlari menuju rumah. Itu adalah salah satu momen paling romantis yang pernah mereka lakukan. Biasanya mereka pergi sekolah bersama, pulang bersama, makan di kantin sekolah bersama, membaca buku di bawah pohon yang ada di halaman sekolahpun bersama-sama. Tarzia bahkan menemani jojo mengembala sapi di padang rumput dimana jojo akan memainkan seruling dan Tarzia hanya bisa tertawa melihatnya bernyanyi dan berjoget. Tapi entah siapa yang tega merusak keindahan kebersamaan itu. Tiba-tiba Ayah memutuskan mengirimkan Tarzia dan Ibunya kembali ke Turki. "Secepatnya Ayah akan mengurus kepindahan kamu ke Turki." Siapapun pasti takkan terima dengan keputusan sepihak dan tergesa-gesa itu. "Zia udah kelas 3 SMA Ayah, bentar lagi Zia lulus, Zia gak mau kemana-mana." Begitupun dengan Tarzia, dia pasti akan menolaknya. Tapi Ayah tetap teguh pada keputusannya. "Ayah gak mau tau, kamu harus ke Turki sama Ibuk kamu." "Setidaknya biarkan Zia sampai lulus SMA dulu Mas." Malam itu untuk pertama kalinya bahkan Ibunya menolak perintah Ayah. Ayah terdiam sejenak melihat ke arah Ibuk yang menundukkan kepalanya. "Aku tidak pernah minta apa-apa sama kamu kan? Tolong kali ini saja." Tarzia merasa terharu pada keberanian Ibuk. Ayah tak menjawabnya saat itu, dia memilih masuk ke kamarnya. "Buk..." Aku langsung memeluk Ibuk dengan erat dan kutumpahkan air mataku. Mungkin semalaman Ayah dan Ibuk berdebat, tetapi satu hal yang pasti, Tarzia bersyukur tak jadi pindah ke Turki untuk sementara sampai dia lulus SMA, meskipun resikonya harus home schooling. Untungnya Jojo selalu punya 1001 cara agar mereka bisa bertemu meski hanya lewat jendela kamar rumah. Kodenya tak lain dan tak bukan adalah permainan suling Joshua yang merdu. Segera dibukakan jendela kamar dan Tarzia tersenyum lepas melihat Jojo membawakan setangkai bunga padi yang indah. "Maaf ya, nyari mawar di sini susah, adanya cuma bunga padi, tapi ini lebih mahal dari mawar kok, karena kalau dia tumbuh jadi padi dan berbuah, butiran berasnya mahal kalau dijual." Jojo tertawa dan Tarziapun ikut tertawa. Jojo lalu menyelipkan bunga padi itu dirambut Tarzia yang ikal yang dibiarkan tergerai. "Gimana di sekolah?" Tanya Tarzia padanya. "Sekolah masih seperti biasa, tapi hatiku kosong, hampa dan sunyi tanpa kehadiranmu." Jawab Jojo. Tarziapun tersenyum lalu meraih tangannya dan mencium tangan Jojo. "Sabar ya, nanti pas ujian Nasional, aku bakal balik ke sekolah." Tuturnya. Jojo mengangguk, masih dengan wajah lesunya. "Jangan gini dong, aku jadi ikutan sedih..." Tarzia memegang wajah Jojo dan Jojo kembali tersenyum. "Iya deh, bidadariku." Ucap Jojo. Setiap wanita pasti akan meleleh dengan sikap Jojo yang menggemaskan itu. Tarzia tak sabar menanti hari ujian Nasional tiba. Hari itu Ayah sendiri yang mengantarkannya dengan sepeda motor ke sekolah. "Nanti Ayah jemput, tunggu di sini." Perintah Ayah. Tarziapun mengangguk. Setelah Ayah pergi, Jojo langsung menghampirinya. "Tadi Ayahmu bilang apa?" Tanyanya penasaran. "Nanti Ayah jemput di sini. Tapi itu gak akan terjadi." Tarzia tersenyum dengan segudang ide cemerlang di kepalanya. "Kok bisa?" Jojopun semakin penasaran. "Ikut aku...!" Tarzia menarik tangan Jojo lalu mengajak Jojo naik motornya dan pergi dari sekolah. "Kita mau kemana? Kita kan ada ujian?" Sambil mengendarai sepeda motor, Jojo terus bertanya. "Udah, ikutin aku aja." Kata Tarzia. Merekapun tiba di terminal bis, masih dengan pakaian seragam sekolah. "Kita ngapain di sini? Mau jemput seseorang?" Tanya Jojo lagi. "Bukan, kita mau pergi, yang jauh, ke tempat yang gak akan ada orang ngelarang kita bersama." Inilah saat yang tepat baginya mengutarakan rencananya pada Jojo. Jojo terlihat kaget saat mengetahuinya. "Kamu udah gila? Kita ini masih sekolah Zia, kita bahkan belum lulus? Kita mau kemana?" Jojo terlihat kesal dan tak setuju dengan rencana itu. Tarzia terkejut kenapa mendadak Jojo berubah. "Jojo, kamu gak sayang sama aku, kamu gak cinta sama aku?" Tanyanya. Jojo memegang wajah Tarzia dan menatap matanya dalam-dalam. "Aku sangat mencintai kamu, tapi bukan begini caranya. Ini salah. Ini justru akan nambah masalah." Tarzia terdiam, terpaku di hadapan Jojo, dia hanya dimabuk cinta pada Jojo dan tak berfikir jauh ke depan. Dia hanya takut kehilangan Jojo atau jauh darinya. "Terus kita harus gimaba? Aku akan dikirim ke Turki setelah lulus SMA, kita gak akan ketemu Jo." "Kalau itu keputusan Ayah kamu, kamu harus turutin, mungkin kita memang gak dirakdirkan bersama." Dengan mudahnya Jojo berkata demikian. Air mata Tarzia tumpah membasahi pipi, orang-orang mulai memperhatikan mereka. Jojo lalu mendekapnya. "Jangan nangis di sini. Ayo pergi." Dia mengajak Tarzia pergi dari terminal, kembali memboncengnya dengan sepeda motor. "Apa kamu gak punya ide lain Jo?" Tarzia masih berharap pada Jojo. Jojopun pasti sama sedihnya. "Saat ini aku gak ada pilihan, tapi aku akan buktikan kalau Ayah kamu akan menyesal memisahkan kita berdua." Rupanya Jojo punya rencana lain yang lebih besar di masa depannya nanti. Mereka kembali ke sekolah dan mengikuti ujian Nasional sampai hari terakhir. Mereka tak pernah bertemu selama 1 minggu lamanya sejak hari di terminal itu. Tarzia memilih menyendiri di kamar hingga hari kelulusan tiba. Dia mendengar lagi suara seruling yang sering dimainkan oleh Jojo, tapi kali ini saat dia membuka jendela kamar, yang diapati bukan Jojo, melainkan sepucuk surat darinya. "Selamat ya, kita lulus Ujian. Harusnya kuucapkan sendiri padamu, tapi tanganku tak kuat jika harus menjabat tanganmu untuk mengucapkan selamat tinggal. Karena kamu akan pergi jauh dariku dan mungkin kita tidak akan bertemu lagi. Semoga kelak takdir mempertemukanmu dengan orang yang kau cintai dan direstui oleh Ayahmu. Selamat tinggal Tarzia, aku takkan pernah melupakanmu. Kamu akan selalu ada dalam setiap nafasku, dalam nadi dan detak jantungku." Isi surat itu terdengar sangat puitis,  seperti bukan Jojo yang menulisnya. Tapi siapapun yang menulisnya pasti atas permintaan dari jojo atau persetujuan darinya. Karena tak ada yang tau lantunan lagu dalam melodi seruling yang dimainkan itu selain mereka berdua. Selamat tinggal Joshua, selamat tinggal kenangan indah tentang cinta pertama dalam hidup. Tarzia pergi jauh menyeberangi pulau, menyeberangi lautan, melewati angkasa ke Negeri lain bernama Turki. Turki memang indah, pemandangannya, Kotanya. Tapi hatinya masih hampa. Dia dan Ibunya tinggal di sebuah rumah sederhana yang ada di lereng perbukitan. Mayoritas penduduknya bekerja sebagai peternak domba, berkebun dan berjualan, tak jauh berbeda dengan di Indonesia. Tarzia mulai mempelajari bahasa Turki dari Ibuk dan Neneknya di sana. Sekedar untuk bahasa sehari-hari agar dia mudah bergaul dengan masyarakat setempat. Dia pun mulai memberanikan diri untuk keluar dari rumah berjalan-jalan sendirian dengan pakaian hangat, karena cuaca di sana cukup dingin. Saat Tarzia sedang menyendiri di atas bukit. Dia dikagetkan oleh suara seorang pria yang sedang mengupat sendirian, marah pada angkasa. Di tangan kanannya ada sebuah botol minuman keras sepertinya pria itu mabuk. Anehnya pria itu bukan mengupat dalam bahasa Turki melainkan bahasa Indonesia. Hal yang sangat menarik bagi Tarzia. Sebelumnya dia ingin menajuh pergi dari pria itu dan memilih pulang saja daripada terlibat dengan seseorang yang mabuk dan tak jelas di tengah bukit sendirian. Tapi Tarzia malah penasaran dan mendekatinya. "Kenapa marah pada langit? Bukannya kamu tinggal di bawah langit kenapa marah pada udara bukannya dia telah memberikanmu hidup?" Mendengar suara Tarzia yang muncul dari arah belakangnya. Pria itupun menoleh, wajahnya terlihat tidak menyenangkan dia benar-benar mabuk. "Siapa kamu?" Tanyanya. Jujur Tarzia tak tahan dengan aroma alkohol dari mulutnya itu, tapi dia sudah terlanjur nekad, jadi tak apalah. "Aku Zia, setengah Indonesia, setengah Turki. Aku baru 3 bulan di tempat nyaman dan damai ini, tapi Om ini... Maksudku, anda ini." Tarzia sedikit bingung harus menyebutnya dengan panggilan apa karena memang terlihat usianya terpaut jauh dari umurnya. Pria itu tertawa sejenak mendengar Tarzia yang kebingungan sampai akhirnya diapun menyebutkan namanya. "Ahmed, nama Indonesiaku Ahmad. Sepenuhnya Indonesia. Aku memulai usaha di Turki. Tapi bisnis itu kotor anak muda. Aku ditipu dan hartaku di bawa pergi oleh perempuan matre itu. Aku pikir gadis Turki berbeda dengan gadis Indonesia. Ternyata sama saja." Meski mabuk dia tetap bisa menceritakan kisah pilunya. "Sifat manusia itu bukan dari asal-usul atau latar belakang mereka, tapi dari hati dan pikiran mereka." Jelas Tarzia. Pria bernama Ahmad itu mengangguk seolah setuju dengan kalimat itu. Dia lalu duduk kembali di rerumputan, membuang botol minuman kerasnya jauh-jauh ke jurang lalu dia mendumal dalam bahasa Turki yang hanya dimengerti sedikit. "Aku yang bodoh. Aku yang bodoh." Hanya itu yang dapat dipahami. Pria itu terjatuh ke tanah, entah pingsan atau apa, tapi Tarzia merasa khawatir dan mencoba memeriksa kondisinya. "Hello, permisi Om Ahmad, Ahmet, bangun!" Agaknya dia benar-benar tak sadarkan diri karena mabuk berat. Tarzia melihat ke sekeliling untuk mencari bantuan tetapi tak ada seorangpun di sana. Mau tak mau terpaksa dia yang harus menolongnya. Tarzia mengangkat dan memapah tubuhnya yang tinggi dan besar itu. Rasanya begitu berat sampai tak sanggup membantunya berdiri seorang diri. Tarzia harus mencari akal. Lalu dia melihat sebuah gerobak pengangkut kayu yang ada di bawah sebuah pohon yang baru di tebang. Tarzia membuang semua isi yang ada di dalam gerobak itu lalu mendorongnya membawa menuju Ahmad. Gerobak itulah yang membantu membawa Ahmad pergi menuju ke rumah nenek. "Zia, dia siapa, kenapa kamu aja dia kesini?" Tanya Ibuku. "Nanti Zia ceritain semua Buk. Kita harus menolong dia, apalagi dia juga orang Indonesia." Tarzia mencoba memberi penjelasan pada Ibu dan Nenekku. Rupanya snag Nenek tahu betul cara untuk menyembuhkan dan membuat stamina orang yang mabuk kembali sebuah seperti sedia kala. Dia memiliki ramuan herbal rahasia yang bahkan cucunyapun tak tahu. Setelah beberapa jam kemudian, akhirnya Ahmad sadar juga. "Saya dimana, anda siapa?" Dia bertanya dalam bahasa Turki. Nenekku mengatakan kalau dia ada di rumahnya karena kondisinya mabuk dan Tarzia yang telah membawanya ke sana. Mungkin karena mabuk Ahmad tidak ingat pada Tarzia. Dia hanya tersenyum kepadanya dan mengucapkan, "Terima kasih." "Maaf, tapi saya harus pergi sekarang." Dia mencoba bangkit dari tempat tidur. "Terimakasih banyak atas pertolongan kalian." Ahmad bersalaman dengan mencium tangan Nenek. Dia terlihat sangat sopan. Nenek sepertinya sangat menyukai Ahmad, dia menepuk pundak Ahmad dan berkata. "Jaga dirimu baik-baik." Ahmad mengangguk lalu berpamitan kepada yang lainnya. "Permisi." Bersama-sama mereka mengantarnya sampai ke depan pintu. Anehnya saat dia hendak pergi, Tarzia malah memanggilnya. "Tunggu, Kamu mau kemana?" Aneh pastinya bagi Ahmad saat ada yang bertanya dalam bahasa Indonesia. "Kamu bisa bahasa Indonesia?" "Iya. Ayahku orang Indonesia, aku di sini tinggal bersama Ibu dan Nenekku." Jawab Tarzia. "Aku juga dari Indonesia." Tutur Ahmad yang nampak antusias setelah tau ternyata kami se-Bangsa dan se-Tanah air. "Aku harus balik ke apartmen." Kembali Ahmad berpamitan. Tarzia harus mengatakan sesuatu. "Kalau kamu butuh pertolongan jangan ragu kami pasti akan bantu kamu." Kalimat sederhana yang bermakna besar itu. Ahmad mengangguk sambil tersenyum. Pria berkumis dan berjenggot itu memandangnya dengan sorot mata ketulusan, seakan pikirannya sedang berkata. "Ternyata gadis ini baik juga." Entahlah, mungkin Tarzia hanya kasihan karena sudah terlanjur mendengar kisah sedihnya saat mabuk tadi. Ahmadpun benar-benar pergi. Sejak hari itu mereka tak pernah bertemu. Tarzia merasa kesepian karena sama sekali tidak punya teman baik di desa. Meski sudah kuliah di Turki tapi rasanya berbeda . Meskipun kawan baru di Kampus sangat baik padanya, tapi tetap saja tidak ada yang dapat mengerti hati Tarzia yang sangat merindukan Joshua. Entah bagaimana kabarnya sekarang, apakah dia masih ingat padanya. Satu tahun sudah waktu berlalu, Tarzia mendapat telepon dari dari kampung kalau Ayahnya sakit. Mereka diminta pulang ke sana. Mereka kembali ke Indonesia untuk melihat kondisi Ayah. Sedih rasanya melihat Ayah yang biasanya kuat bekerja keras dari bagi sampai sore, mengantarkannya ke sekolah dan menjemputnya, kini terbaring lemah. "Ayah sakit apa? Kenapa nggak mau dibawa ke rumah sakit?" Tarzia memeluk Ayah. "Rumah sakit nggak bisa menyembuhkan Ayah." Saat itu dia tidak mengerti apa dimaksud Ayah. Yang terpenting sekarang adalah fokus merawat Ayah sampai sembuh. Tarzia meninggalkan kuliah di Turki dan sepenuhnya merawat Ayah. Menyuapinya makan dan minum obat, mengajaknya berjemur di pagi hari, membersihkan badan Ayah dan mencuci pakaian Ayah yang kotor. Namun Kondisi Ayah tak kunjung membaik. Rasanya mereka hampir putus asa. "Kita harus bawa Ayah untuk diperiksa ke rumah sakit yang lebih besar Buk." Usulnya pada Ibuk. Ibukpun setuju. Dibantu seorang pekerja di sawah Ayah, mereka membawa Ayah ke rumah sakit yang lebih besar yang ada di Kotanya. Dokter ahli yang langsung memeriksa kondisi Ayah. "Tidak ada masalah dengan Ayah kamu, hasil lab.nya baik. Maaf saya harus mengatakannya, tapi kami tidak mendiagnosa penyakit apapun pada Ayah kamu." Penjelasan Dokter itu membuka pikiran Tarzia dan menyadari ada yang aneh dengan semua ini. Tapi bagaimanapun dia harus berpikir dengan logika dan nalar. Bukan pada kata-kata pekerja Ayahnya. "Ayahmu kena santet Zia. Kamu harus bawa dia ke orang pintar." Itu semua sungguh tak masuk akal. Dalam setiap sholat, dititipkan doa untuk kesembuhan Ayah pada yang maha kuasa. Bahkan pernah dia tertidur karena berzikir sampai pagi. Dalam mimpinya itu, Tarzia melihat Joshua dengan pakaian sobek-sobek, dia nampak sangat kesusahan dan hanya membawa bungkusan kain, dia akan pergi dari desa. "Jojo, kamu mau kemana?" Tarzia mencoba mengejar Joshua yang pergi bersama keluarganya. Jojo menoleh sejenak, wajahnya pucat. "Jojo!" Tapi Tarzia tak bisa mencegahnya pergi. Dalam sadarnya air matapun menetes membasahi mukenah. "Astaghfirullah hal 'adzim..." Mungkinkah Joshua sangat merindukannya saat itu. Tarzia sadar sejak dia kembali dari Turki, dia tak pernah melihat Jojo di desa. Kebetulan hari itu Tarzia ada transaksi jual beli sawah dengan seorang pembeli. "Jadi kita sepakat ya?" Tanya pembeli itu sambil mengulurkan tangan. "Iya Pak." Tarzia menyambut uluran tangan itu sebagai tanda jadi kalau sawah Ayahnya telah dijual pada Pria itu. Sejumlah uang yang ada dalam koper akan dibawa pulang ke rumah. Tarzia akan melewati rumah Joshua yang ada di dekat sawah. Sebuah gubuk kayu yang dia tempati bersama kedua orang tuanya dan kedua adiknya yang masih kecil. Rumahnya nampak kosong dan tak berpenghuni. Karena penasaran dia bertanya kepada tetangga Jojo. "Mbak, Jojo kemana ya?" "Sudah lama pindah Zia, sejak lulus SMA." Jawab wanita hamil yang sedang menjemur pakaian di depan rumahnya itu. Tarzia mulai berfikir. “Apakah yang baru kudengar nyata? Apakah arti mimpiku itu adalah kebenaran bahwa Joshua sudah pergi jauh dari hidupku.” Kini jangankan untuk memandang wajahnya, melihat bayangannya saja dia sudah tidak bisa. Kakinya terasa lemah untuk kembali ke rumah. Meski batin menangis, namun dicobanya menahan air mata di depan kedua orang tuanya. Sudah cukup lama Ayah sakit. Tarzia dan Ibuk yang mengurus usaha peternakan. Tapi mereka hanya wanita dan tak sepandai Ayah dalam mengelolanya. Pada akhirnya mereka terpaksa menjual ternak sapi juga untuk biaya berobat Ayah ke orang pintar. "Yang ini pasti mujur Buk, dia sudah terkenal se-pulau jawa. Tapi lokasinya jauh, di dekat gunung merapi." Semua info diperoleh dari orang kepercayaan Ayah. Tarzia dan Ibukpun menurut saja karena mereka sudah membawa Ayah kesana dan kemari tapi tetap saja belum dapat menemukan obat untuk penyakitnya. Berangkatlah mereka ke luar kota, berjam-jam di dalam kereta api, lalu dari stasiun mereka membawa Ayah yang begitu kurus dan lemah di kursi rodanya naik bis dan kembali melanjutkan perjalanan ke sebuah desa yang sangat jauh dan terpencil. Malam itu mereka tiba di sebuah rumah adat jawa yang minim penerangan dan hanya bercahayakan obor saja. Anehnya ramai orang yang mengantri di halaman rumah itu. "Praktek pengobatan Mbah Merapi." Sepertinya kali ini orang kepercayaan Ayahku berkata jujur kalau orang pintar yang satu ini benar-benar hebat. Setelah mengantri beberapa saat sampai Tarzia ketiduran, tibalah gilirannya dipanggil ke dalam rumah. Tarzia melirik jam tangan yang ternyata sudah pukul 21.00 WIB. Mereka masuk ke dalam. Ayahnya ditidurkan di atas ranjang kecil yang ada di ruangan itu. Seorang kakek tua tunanetra yang disebut Mbah Merapi memegang tangan Ayah dan dia bicara pada Ayah dalam bahasa Jawa kuno yang tak dapat kumengerti. Ayah tiba-tiba menangis. Ibuk segera menghampiri Ayah. Tarzia mulai cemas saat itu. Mbah Merapi lalu memegang dahi Ayah dan sejenak dia terdiam seperti paranormal yang dapat membaca pikiran orang lain. Kembali Mbah Merapi berkata dalam bahasa jawa yang kemudian diterjemahkan oleh asistennya pada Tarzia. "Cuma Mbak yang bisa mengobati Ayah Mbak." Setelah habis semua harta dijual kecuali sepetak tanah dan sebuah rumah yang berdiri di atasnya demi pengobatan terbaik unyuk Ayah, tiba-tiba saja Kakek ini berkata dialah yang dapat menyembuhkan Ayahnya. "Saya Mas? Tapi saya gak bisa apa-apa." "Sebaiknya Mbak dengar sendiri penjelasan Ayah Mbak." Kata Asisten Mbah Merapi. Ayah lalu menggenggam tangan Tarzia dengan erat. "Maafin Ayah Zia. Ayah yang sudah memecat Ayah Jojo dari pekerjaan, Ayah udah bikin keluarganya susah sampai-sampai mereka terpaksa pindah dari desa ini dan mencari tempat lain untuk hidup. Semuanya Ayah lakukan karena ayah tidak mau kalian bertemu lagi." Ternyata Ayah menderita sakit karena ulahnya sendiri yang telah berlaku kejam pada Jojo dan keluarganya. Tarzia hanya bisa menangis sesegukan, Tarzia tak bicara pada Ayahnya bahkan saat mereka telah kembali ke rumah. Ibuk merasa sedih melihatnya tak lagi mengurus Ayah seperti biasanya. "Maafkan Ayah kamu Zia. Carilah Jojo dan bawa kemari." Permintaan Ibuk yang baik itu tentunya akan aku penuhi. "Tapi Zia harus cari Jojo kemana Buk?" Itulah yang membuatnya bingung. Tarzia mulai mencari informasi dari teman-teman SMAnya dulu, barangkali ada yang tahu di mana Jojo. "Aku dengar dia tinggal di Kota sekalian kerja dan kuliah di sana. Dia merasa lega karena mendapat sedikit petunjuk. Mau tidak mau dia harus mencari Jojo ke Kota. Tarzia berpamitan pada Ibuk. "Hati-hati, kalau sudah sampai di sana, kabarin Ibuk ya." Ibuk membelai rambutnya lalu mereka berpelukan sebelum Tarzia pergi dengan membawa sebuah tas berisi pakaian, karena pastinya waktu pencarian itu tak sebentar. Tarzia tak berpamitan pada Ayahnya, tapi dia selalu berdoa untuk Ayah. Dari desa kecil Tarzia pergi ke Kota yang besar dan ramai. Mencari keberadaan Jojo di sana ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Dia sendirian, tak tahu harus tinggal di mana.  Dia memilih rumah kost yang tak jauh dari sebuah kampus. Rencananya dia akan memulai pencarian dari salah satu kampus di sana. "Kalian kenal dia gak? Namanya Joshua." Tarzia menunjukkan satu-satunya foto Jojo yang aku miliki pada sekelompok mahasiswa yang sedang bercengkrama di depan kampus. "Oh...ini Joe gak sih?" Salah seorang gadis berkemeja kotak-kotak bertanya pada pemuda yang memakai sweater merah di hadapannya. "Kayaknya bukan deh. Ini culun banget, bukan style Joe banget." Pemuda itu malah tertawa. Sepertinya kelima orang mahasiswa itu tidak mengenal Jojo. Tarzia harus mencarinya ke kampus lain yang juga ada di kota yang sama. "Permisi Pak, kenal dia gak?" Kembali kutunjukkan foto Jojo pada seorang dosen di sana. "Maaf, gak kenal." Sayangnya dosen itupun tidak mengenalnya. Tarzia mulai lelah mencari Jojo di tengah panas teriknya matahari. Sudah 2 hari dia di sana, tapi belum juga bertemu dengan Jojo. Hingga akhirnya dia mendengar suara seruling dengan melodi yang sering dimainkan Jojo untuknya sebagai kode pertemuan. "Jojo?" Tarzia langsung menebak suara yang berasal dari seberang jalan itu. Segera dia berlari untuk menyebrangi jalan tanpa melihat kesana kemari, tanpa peduli rambu-rambu lalu lintas. Semua orang yang melihatnya berteriak karena tingkahnya yang ceroboh. "Awas! Udah gila loe ya?" Seseorang meraih lengannya dan menyelamatkannya yang hampir tertabrak sebuah mobil. Siapa pemuda bertubuh tinggi ini, aku mendongak ke atas untuk melihat wajahnya. "Ahmad?" Antara sadar atau tidak yang kulihat adalah pria yang pernah ditolongnya di Turki tiga tahun lalu. Namun kali ini wajahnya tak lagi dipenuhi kumis dan jenggot sehingga dia terlihat jauh lebih muda. Dia lalu membawa Tarzia menuju ke mobil mewahnya. Tanpa paksaan Tarzia mau saja mengikutinya, dia masih melihat wajah Ahmad sedangkan Ahmad terus mengumpat, masih seperti dulu dengan kalimat kasar tapi hatinya lembut. "Kamu nggak berubah ya? Masih nekad, ceroboh, gak hati-hati." Sambil menyetir Ahmad mengomel. Tarzia malah tersenyum, sejenak dia melupakan tujuan awalnya yaitu mencari Jojo. Entah kemana dia akan membawa Tarzia, tapi hatinya yakin kalau Ahmad hanya ingin membalas perbuatan baiknya dulu. Mobil Ahmad berhenti di depan sebuah rumah lantai 3 yang cukup megah, gerbang pagarnya dibuka oleh security. Ahmad membuka pintu mobil dan meminta Tarzia turun dari mobil. Tarzia masih takjub dengan apa yang dilihat. Rumah itu 3 kali lipat lebih besar dari rumahnya di kampung. Halamannya cukup luas, tanamannya tertata rapi oleh pengurus kebun yang telaten. "Ayo masuk." Ajaknya. Seorang asisten rumah tangga segera membukakan pintu rumah dan dengan sopannya dia mempersilahkan mereka masuk. "Selamat datang." Sepertinya Ahmad adalah keturunan bangsawan. Jika dari eksterior rumahnya telah dibuat kagum, kali ini interior rumahnya membuat Tarzia takjub. Ini bukan rumah, tapi istana. Ahmad menuju ke ruang makan dan Tarzia dipersilahkan duduk oleh asisten rumah tangganya yang lain. Semua pekerja di rumahnya memakai seragam. "Tolong siapkan menu makan siangnya ya. Dan siapkan minuman segar untuk Nona ini." Ahmad memberi perintah. "Baik Tuan." Segera kedua asisten rumah tangganya menyiapkan makanan untuk kami. Makananpun disajikan, masih hangat dan panas. "Selamat menikmati Nona." Makanannya sungguh lezat, jika bukan karena rasa malu dan harga diri, pasti sudah dilahap semua hidangan yang tersedia. Sayangnya Tarzia harus menahan nafsu makannya itu dan memilih beberapa menu saja. Ahmadpun makan dengan lahapnya. Kedua asisten rumah tangganya berdiri di pojokan mengawasi kami makan siang. Mungkin menunggu aba-aba atau perintah jika majikannya membutuhkan sesuatu.  Makan siang telah selesai, semua makanan dan piring kotor disingkirkan dari meja makan. "Sebaiknya kamu mandi dan berganti pakaian dulu untuk menyegarkan diri. Setelah itu aku akan antar kamu pulang." Ahmadpun beranjak dari ruang makan sebelum Tarzia sempat mengatakan. "Aku gak mau pulang, aku harus cari..." "Mari ikut saya ke kamar tamu." Seorang asisten rumah tangga lalu mengantarkannya ke kamar tamu yang ada di lantai dua. Kamar tamu itu sangat besar. Seperti kamar VIP di hotel saja. "Di dalam lemari ada pakaian wanita, Nona bisa pilih yang sesuai. Jika perlu sesuatu, saya menunggu di luar." Tutur asisten rumah tangga Ahmad. "Makasih." Ucapnya pada wanita berhijab itu. Tarzia masuk ke kamar mandi dan berendam di bath up, rasanya sangat segar, segala kepenatan hilang. Dia memakai handuk lalu membuka lemari besar yang ada di kamar itu. Sangat banyak pakaian di sana dengan berbagai ukuran dan model, Tarzia bingung harus memilih yang mana. Sehingga pada akhirnya dia tetap memilih pakaiannya yang semula. Kaos lengan panjang dengan rok panjang. Namun kali ini Tarzia memilih mengikat rambut ikalnya sehingga lebih rapi. Saat dia keluar dari kamar tamu dan menuruni anak tangga, Ahmad melihatnya dengan tatapan kekaguman, dia tak perlu memuji, tapi Tarzia dapat merasakannya. "Kenapa gak ganti baju?" Tanyanya untuk mengelak mengakui penampilan Tarzia yang sedikit berbeda kali ini. "Aku nyaman menjadi diri aku yang seperti ini." Jawab Tarzia singkat sambil tersenyum. "Ayo pergi" Ajak Ahmad. "Tunggu sebentar." Pinta Tarzia. Dia lalu menghampiri asisten rumah tangganya yang menemaninya tadi. Wanita berhijab itu merasa sedikit takut akan ditegurnya. "Makasih ya Buk." Tarzia menyalaminya lalu pergi bersama Ahmad. Wanita berhijab itu merasa terharu, dia masih memegang tangannya dan tersenyum. Apakah selama ini tak ada yang pernah menghargainya. "Siapa yang kamu cari?" Pertanyaan Ahmad membuyarkan lamunanku. "Seseorang." Tarzia tak mau mengatakan bahwa yang dicarinya adalah kekasihnya. "Pacar?" Tanyanya lagi. "Bisa dibilang begitu." Jawab Tarzia. Ahmad tersenyum. "Dia pasti sangat istimewa sampai kamu cariin." Tebakan Ahmad memang benar. "Dia tidak istimewa, dia sangat berharga bagiku. Aku harus ketemu sama dia. Sebenarnya tadi aku hampir ketemu sama dia, tapi kamu malah bawa aku ke sini." Mendadak Tarzia menjadi sentimentil. "Maksud kamu malaikat maut?" Ahmad menjadi kesal gara-gara perkataanku itu. Harus diakui jika bukan karena Ahmad, mungkin Tarzia sudah celaka. "Makasih." Ucap Tarzia. "Kamu tinggal dimana?" Tanya Ahmad kemudian. "Kost'an." Jawabnya. Maka Ahmadpun mengantarkannya ke sebuah Kost'an yang berada di g**g sempit. "Mobil aku gak bisa masuk." Jelas Ahmad. "Gak papa, aku jalan aja." Tarzia keluar dari mobil Ahmad. Ahmad segera pergi. Lagi-lagi seperti ini. Mereka bertemu hanya untuk berpisah. Keesokan harinya, Tarzia akan memulai pencarian dari titik terakhir kemarin. Kebetulan ada sebuah telepon umum di sudut jalan itu. Dia putuskan menghubungi Ibuk di kampung. Maklumlah pada masa itu belum canggih seperti sekarang. "Buk, Zia baik-baik aja di sini. Tapi Zia belum ketemu sama Jojo. Tapi Ibuk tau gak Zia ketemu sama siapa?" Saat itu Tarzia ingin memberitahu tentang Ahmad pada Ibuk. Tapi terdengar suara Ayah memanggil. "Buk!" Nampaknya Ayah sedang butuh pertolongan. "Ayah sakit lagi ya Buk?" Dia menjadi cemas. "Sudah dulu ya Zia." Ibukpun mengakhiri pembicaraan. Tarzia harus cepat menemukan Jojo untuk minta maaf sebelum semuanya terlambat. Sayup-sayup terdengar suara musik yang sangat keras dari arah Kampus. Nampaknya sedang ada acara di sana. Tarzia menjadi penasaran dan mencoba melihat dari kejauhan. "Selamat pagi semuanya...!" Sapa seorang pemuda berkacamata hitam dengan style ala rocker meski tak serba hitam. Gayanya sangat keren apalagi ada gitar yang ditentengnya. Penonton mulai bersorak sorai melihat pemuda itu. Pemuda itu mulai memainkan gitar dan bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Semua penonton larut dalam kemeriahan acara pekan seni mahasiswa tahunan itu. Tarzia merasa sedikit terhibur dengan penampilan band itu. Suaranya sangat bagus, seperti suara Jojo. Tarzia harus cepat menemukan Jojo, jadi tanpa membuang waktu lagi, dia segera melanjutkan perjalanan menuju pusat perbelanjaan di sana. Dia sama sekali tak menyadari kalau pemuda itu adalah Joshua alias Jojo. Dia terlihat sangat berbeda dengan penampilan barunya itu. Sekarang Jojo jauh lebih keren, tidak culun lagi seperti dulu. Banyak wanita yang menggilainya. "Penampilan kamu keren banget Joe." Puji seorang mahasiswi cantik saat Jojo turun dari panggung. Jojo membuka kacamatanya lalu merangkul gadis itu. "Siapa dulu dong. Pacar kamu. Joe...!" Bahkan gaya bicaranya tak lagi seperti dulu. Saat Jojo sedang berjalan dengan mesranya bersama gadis yang kini jadi pacar barunya, muncullah seorang gadis lain yang kemudian menjambak rambut pacar Jojo. "Dasar gak tau malu. Beraninya kamu rebut cowok aku ya." Ternyata gadis yang lain itu mengaku sebagai pacar Jojo juga. "Kamu siapa? Datang-datang jambak rambut pacar aku." Tapi Jojo tak mengakui gadis bertubuh gemuk itu sebagai pacarnya. "Joe, kamu apa-apaan sih. Aku Sania, pacar kamu." Betapa sedihnya gadis bernama Sania itu mendapat perlakuan berbeda dari Joe. Joe mendekap pacar barunya sambil merapikan rambut gadis itu. "Kamu gak papa kan?" Joe begitu mencemaskan pacarnya. Perdebatan di tengah keramaian itu membuat mereka menjadi pusat perhatian. "Keterlaluan kamu Joe, aku udah ngasih semuanya untuk kamu, uang, motor, baju. Tapi kamu ninggalin aku demi dia!" Saniapun menangis saat mengatakannya. Joe malah tertawa. "Kamu yang ngasih, aku gak pernah minta, kamu ngejar-ngejar aku dan mohon-mohon supaya aku mau jadi pacar kamu, atau kamu akan bunuh diri. Aku punya buktinya. Apa perlu aku tunjukin di depan semua orang?" Jojo balik mengancam Sania. Sebagai seorang wanita, Sania pasti merasa malu jika rahasianya terbongkar. "b******k kamu Joe!" Maka diapun memilih pergi dari sana. Anehnya lagi semua orang malah mengejek Sania. "Ayo kita pergi." Joe lalu mengajak pacarnya pergi dari Kampus. Gadis cantik yang kini jadi pacar baru Joe ternyata juga tak kalah kaya. "Naik mobil aku aja." Dia memiliki mobil mewah keluaran terbaru saat itu. Tarzia sudah sampai di mall dan mulai bertanya pada orang-orang di sana. Lagi-lagi dia harus kecewa karena tak ada yang mengenal Jojo. Sedangkan pemuda yang dicari itu sedang berjalan bersama pacarnya tepat di sampingnya menaiki lift. Tarzia tidak melihatnya karena pintu lift sudah tertutup. Tarzia lalu menaiki eskalator menuju lantai dua dan kembali bertanya pada orang-orang di sana. Sama seperti di lantai satu, kali inipun tak ada yang mengenal Jojo. "Bagaimana mungkin gak ada yang kenal sama Jojo padahal ini tempat umum dan orang-orang yang datang dari berbagai kalangan." Tarzia menggerutu sendirian di depan sebuah restoran. "Strategi kamu masih kurang." Tiba-tiba Ahmad muncul. "Kamu, ngapain di sini?" Tarzia kaget dibuatnya. Ahmad lalu mengambil foto Jojo yang ada di tangan Tarzia. "Ikut aku." Dia lalu mengajak Tarzia ke sebuah studio foto yang ada di mall. "Ngapain kita kesini?" Tarzia penasaran. "Tolong perbanyak foto ini ya. Sertakan informasi orang hilang dan nomor telepon ini." Ahmad memberikan kartu nama pada pegawai di studio foto itu. "Jangan Mbak." Tarzia mencegah wanita itu. 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
202.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
10.8K
bc

My Secret Little Wife

read
91.2K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
13.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook