bc

The Psychopath System - How To Kill Administrator

book_age18+
119
FOLLOW
1K
READ
system
no-couple
mystery
scary
genius
ambitious
evil
game player
high-tech world
MMORPG
like
intro-logo
Blurb

Ini kisah tentang orang-orang yang menjalani kehidupan dengan berat dan penuh tekanan membuat mereka nekat memainkan game yang akan mengajarkan mereka arti kesenangan menyakiti orang lain.

Namun, siapa sangka tujuan utama dibuatnya game itu karena untuk mengurung mereka selamanya di dalam dunia game.

Kini orang-orang malang itu hanya bisa melarikan diri dan mencari cara untuk bisa kembali ke dunia nyata dan keluar dari dunia game virtual tersebut. Namun, bagaimana jadinya jika musuh yang menginginkan nyawa mereka adalah seorang psikopat gila yang kecanduan membunuh orang lain, yang tidak lain merupakan sang pencipta game itu sendiri yang menyebut dirinya sebagai Adamas/Administrator? Dan yang lebih menegangkan karena satu-satunya cara agar mereka bisa keluar dari dunia game yaitu dengan mereka yang harus membunuh sang Administrator yang tentunya sulit untuk dilakukan karena orang itulah yang telah menciptakan game tersebut.

Lantas bagaimana nasib para p****n yang terjebak di dalam game psikopat tersebut? Ikuti petualangan mereka dan rasakan ketegangan yang dirasakan para tokoh dalam cerita ini.

chap-preview
Free preview
TPS, 01
Indonesia, 2040  Planet Bumi sudah pasti akan selalu berputar mengitari porosnya, waktu terus berjalan dan zaman pun silih berganti. Dari satu zaman ke zaman lain, perkembangan teknologi terus tumbuh dengan pesat. Seperti saat ini, di tahun 2040 semua negara di dunia seolah tengah berlomba memperlihatkan perkembangan ilmu teknologi yang berhasil mereka raih. Dan salah satu persaingan itu terlihat dari pembuatan beraneka tipe robot canggih yang seolah di masa depan nanti bisa menggantikan kinerja manusia sehingga kelak manusia hanya tinggal bersantai karena semua kebutuhan mereka telah dilayani oleh para robot.  Bukan hanya penciptaan robot yang menjadi salah satu bentuk perkembangan dari ilmu teknologi, melainkan ada hal lain yang berhasil diciptakan berkat ilmu teknologi yaitu game berbasis MMORPG (Massively Multiplayer Online Role-Playing Game). Jenis game ini jauh lebih canggih dibandingkan dulu. Karena di zaman sekarang para pemain yang memainkan jenis game ini seolah pikiran dan kesadaran mereka tengah berpetualang di dunia game, sedangkan tubuh asli terlihat hanya sedang berbaring layaknya seseorang yang sedang tidur.  Setiap negara berlomba menciptakan jenis game ini untuk menarik minat umat manusia yang di zaman ini kerap kali lebih senang menghabiskan waktu di dalam dunia game dibandingkan di dunia nyata. Bagi mereka para gamers, berpetualang di dunia game jauh lebih menyenangkan dibandingkan menjalani kehidupan di dunia nyata yang penuh dengan konflik, intrik dan politik. Sebagai bentuk pelarian dari kerasnya hidup di dunia nyata, para gamers terkadang sampai lupa waktu sehingga menghabiskan seluruh waktunya di dalam dunia game.  Dan salah satu gamer yang menjadikan game sebagai bentuk pelarian dari kerasnya dunia nyata adalah dia … seorang pemuda berusia 19 tahun bernama Candra Dewangga. Dia yang seorang mahasiswa jurusan komputer di salah satu universitas swasta terkemuka di Jakarta, alih-alih mengerjakan tugas kuliahnya yang menumpuk justru lebih memilih menghabiskan waktunya dengan bermain game. Meski game yang semalaman dia mainkan bukan game yang mengharuskan dia log in ke dunia lain, melainkan hanya game online di komputernya.  Candra tertidur saat tanpa sadar dia sudah bermain game balap mobil selama enam jam lebih. Saat pemuda itu membuka mata dan menyadari dirinya tertidur dengan menjadikan tangannya yang tergeletak di atas meja sebagai bantalan, suara decakan meluncur keras dari mulutnya. Kedua matanya pun memicing karena silau dengan cahaya dari layar komputernya yang ternyata masih dalam kondisi menyala.  Candra bergegas mematikan komputer itu dan bangkit berdiri dari duduknya. Padahal hari ini dia harus berangkat pagi ke kampus karena harus mengikuti sesi kuis di salah satu mata kuliah yang berlangsung pukul 08.00 pagi. Candra melirik ke arah jam yang bertengger kokoh di dinding kamar, menyadari dirinya tak akan sempat berangkat tepat waktu jika harus mandi terlebih dahulu, pemuda itu memutuskan hanya akan menggosok gigi, mencuci wajah, berganti pakaian dan langsung berangkat ke kampus yang letaknya sekitar 15 km dari rumahnya.  Tak membutuhkan waktu yang lama bagi Candra untuk bersiap-siap, karena hanya dalam waktu 15 menit kini dia sudah siap berangkat ke kampus. Candra keluar dari kamar setelah menyampirkan tas ranselnya di salah satu bahu. Niat awal ingin langsung berjalan menuju pintu, langkahnya terhenti karena tanpa sengaja ekor matanya menangkap celah dari pintu kamar ibunya yang sedikit terbuka. Candra pun menelisik ke sekitar ruangan tengah dimana dirinya berada, dan ketika dia menemukan ada sebuah jas pria yang tersampir di sandaran sofa, pemuda itu hanya bisa menghela napas panjang, sudah bisa menebak apa yang terjadi semalam di rumah itu tanpa sepengetahuannya.  Kendati sudah mengetahui penyebab ada jas seorang pria tersampir di sandaran sofa rumahnya, Candra tetap berkeinginan untuk membuktikannya langsung. Pemuda itu pun dengan berani melangkah mendekati pintu yang dalam kondisi sedikit terbuka itu. Dia mengintip ke dalam kamar sang ibu begitu berdiri di depan pintu, hanya bisa menggelengkan kepala saat melihat sosok pria asing dengan tubuh telanjang tengah tertidur dalam posisi tengkurap di ranjang sang ibu.  “Apa yang kamu lakukan di sana, Candra?”  Candra tersentak kaget, suara itu begitu familiar di telinganya. Bahkan tanpa perlu menoleh ke belakang, Candra sudah tahu persis siapa pemiliknya.  Candra pun berbalik badan, dan benar saja seperti yang sudah dia duga, sosok ibunya kini sedang berdiri sambil bersedekap d**a dengan hanya mengenakan handuk yang melilit dari sebatas d**a dan hanya menutupi sedikit pahanya yang mulus.  Candra hanya bisa menggelengkan kepala, melihat kondisi ibunya yang seperti itu sembari membawa pulang pria asing ke dalam kamarnya merupakan makanan sehari-hari yang biasa dilihat oleh Candra.  “Tidak ada. Aku pikir ibu yang sedang tidur,” jawab pemuda itu, berbohong tentu saja karena sejak dia melihat jas seorang pria, dia sudah bisa menebak kamar ibunya tengah menjadi hak milik pria asing yang dibawa ibunya pulang semalam.  “Iya, ibu tanya kamu kenapa mencari ibu?”  Karena sudah ditanya seperti itu oleh ibunya, Candra pikir ini saat yang tepat untuk mengatakannya. Alasan Candra bergadang memainkan game semalam karena selain dia begitu jenuh dengan hidupnya, juga karena dia sedang menunggu sang ibu yang tak kunjung pulang ke rumah.  “SPP semester ini belum ada sedikit pun yang dibayar. Jadi aku ingin meminta uang pada ibu untuk membayar SPP.”  Mendapati raut wajah ibunya yang tenang kini berubah memerah, Candra sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun pemuda itu tetap diam, menunggu sang ibu memberikan jawaban atas permintaannya tadi.  “Apa kau bilang, kau meminta uang untuk membayar SPP kuliahmu?”  Candra mengangguk karena ya, beberapa menit yang lalu dia baru saja berkata demikian. Candra hanya bisa meringis saat sebuah tamparan keras tiba-tiba mendarat di salah satu pipinya membuat wajah pemuda itu berpaling ke samping akibat betapa kerasnya tamparan itu.  “Jangan coba-coba meminta hal seperti ini lagi pada ibu!” Bentak wanita itu pada putranya yang 19 tahun lalu dia lahirkan hingga mempertaruhkan nyawa. Namun miris rasa sayang yang dulu dia rasakan kepada sang putra, kini sirna sepenuhnya disebabkan oleh suaminya yang tak bertanggungjawab dan memilih tinggal bersama istri mudanya alih-alih bersama dirinya dan Candra. Menatap wajah Candra hanya mengingatkannya pada suami yang dibencinya, membuat Candra kerap kali menjadi sasaran kemarahan wanita itu.  “Lalu aku harus minta pada siapa kalau bukan pada ibu?” “Minta pada pria yang membuatmu bisa terlahir ke dunia. Minta pada b******n yang lebih memilih hidup bersama istri mudanya dibanding kita.” “Tapi, Bu. Ayah …” “Ibu tidak mau mendengar alasan apa pun, lebih baik pergi sana. Jangan harap kamu bisa menerima uang sepeser pun dari ibu. Minta pada pria gila itu.”  Candra nyaris tersungkur ke depan saat sang ibu mendorong punggungnya begitu keras sebagai bentuk pengusiran.  “Pergi sana! Melihat wajahmu itu hanya membuat ibu naik darah. Pergi!”  Seraya memegangi sebelah pipinya yang terasa panas karena tamparan ibunya, Candra melangkah pergi. Dan berpikir dia tak memiliki pilihan selain meminta bantuan pada orang itu … pada ayahnya yang sebenarnya menjadi orang yang paling tidak ingin dia temui di dunia ini.    ***   Candra menenggak air dari botol air mineral yang dia beli di kantin kampus, meski perutnya terasa melilit karena dirinya begitu kelaparan, Candra hanya bisa mengisi perutnya dengan air itu karena uang yang dia miliki hanya tersisa untuk membeli air mineral itu. Sebenarnya masih ada beberapa lembar uang di dalam dompet, namun uang itu akan dia gunakan sebagai ongkos menuju rumah ayahnya sehabis pulang kuliah nanti.  Candra yang sejak pagi belum mengisi perutnya dengan makanan apa pun kini terlihat begitu menyedihkan. Setiap kali perutnya mengeluarkan suara memalukan karena meraung-raung minta diisi, Candra akan menyumpalnya dengan air. Tak ingin kondisinya yang menyedihkan itu dilihat oleh orang lain, Candra memilih menyendiri di taman belakang kampus. Di sana cukup sepi dan jarang didatangi mahasiswa lain karena suasananya yang cukup mencekam. Banyak pohon besar yang tumbuh di sana dan Candra sedang duduk di bawah salah satu pohon, bersandar pada batang pohon dengan menjadikan tanah berumput sebagai alas tempat duduknya.  “Heeh, coba lihat anak haram itu, seperti biasa dia menyendiri di tempat ini.”  Candra tersentak saat mendengar sebuah suara tiba-tiba mengalun dari arah belakang pohon yang dia sandari. Napas pemuda itu tiba-tiba memburu karena dia sudah bisa menduga apa yang akan menimpanya setelah ini. Candra bergegas berdiri dari duduknya, bermaksud untuk melarikan diri sebelum orang-orang itu mengganggunya. Namun …  “Woi, woi, mau kemana, hah? Mau melarikan diri dari kami rupanya!”  Candra tak bisa berkutik saat kemejanya ditarik dari belakang. Begitu pun saat tiga orang pria kini mengelilinginya, menatap Candra seolah mereka seorang predator yang siap menganiaya buruannya yang malang.  “Jangan ganggu aku. Biarkan aku pergi,” pinta Candra, tubuhnya gemetaran hebat karena kondisi seperti ini hampir setiap hari dia terima di kampus.  Berawal dari seorang mahasiswa dari jurusan yang berbeda dengan Candra, dia menyebarkan berita tentang ayahnya yang tak pernah pulang karena terpikat oleh pesona ibu Candra yang merupakan seorang wanita panggilan. Kini Candra yang harus terkena imbasnya karena dia selalu dibully, dihina dan dianiaya oleh orang-orang di seantero kampus.  Candra tak memungkiri mahasiswa itu memang mengatakan kebenaran karena dilihat dari sudut mana pun ibunya memang seorang wanita panggilan yang setiap hari selalu melayani pria-p****************g yang berani mengeluarkan uang untuk menikmati tubuhnya. Candra tahu dulu ibunya terpaksa memilih pekerjaan kotor ini demi membiayai hidup mereka karena ayah Candra yang meninggalkan mereka begitu saja tanpa pernah memberikan nafkah. Ini pula alasan terbesar Candra begitu membenci ayahnya karena selain meninggalkan mereka tanpa mau bertanggungjawab membiayai hidup mereka, secara tidak langsung pria itu juga yang telah merusak hidup ibunya. Dulu ibu Candra melakukannya dengan terpaksa. Namun seiring berjalannya waktu wanita itu kini seolah sudah terbiasa dengan pekerjaannya dan berubah menjadi wanita yang hanya mementingkan dirinya sendiri alih-alih mementingkan Candra yang menjadi putra semata wayangnya.  Dan akibat pekerjaan kotor ibunya pula, Candra yang harus menanggung konsekuensinya. Ketiga pria yang kini sedang mengelilingi Candra nyaris setiap hari menganiaya Candra, memaksa agar pemuda malang itu memberikan uangnya untuk mereka. Mereka sama sekali tak percaya saat Candra mengatakan tak memiliki uang sepeser pun karena yang mereka yakini anak seorang wanita panggilan seperti Candra pasti memiliki uang yang melimpah karena setiap hari diberi oleh ibunya.  “Hari ini aku tidak punya uang sepeser pun,” ucap Candra karena dia sudah menduga apa yang diinginkan ketiga pria yang tengah mengepungnya tersebut. “Halaah, bohong. Kamu pikir kami percaya? Cepat keluarkan dompetmu!”  Candra menggeleng-gelengkan kepala, dia tak berbohong sedikit pun. Dia sama sekali tak memiliki uang karena ibunya sudah hampir satu minggu tak memberinya uang, karena alasan ini pula Candra harus rela mengisi perutnya yang kelaparan hanya dengan air mineral.  “Ambil tasnya!”  Begitu perintah itu meluncur dari pria berambut gondrong yang menjadi ketua preman kampus itu, kedua rekannya langsung melakukan seperti yang diperintahkan sang ketua. Mereka secara paksa merebut tas yang menempel sempurna di punggung Candra, tak segan-segan memukuli Candra saat pemuda itu mencoba melawan.  “Jangan! Aku mohon jangan ambil uang itu!”  Candra memohon sambil menatap iba pada beberapa lembar uang terakhir di dalam dompet yang akan dia gunakan sebagai ongkos menuju rumah ayahnya sepulang kuliah nanti.  Tentu saja ketiga pria itu tak menggubris permintaan Candra karena yang didapatkan Candra setelah itu adalah pukulan demi pukulan dari mereka.  “Dasar anak haram penipu. Tadi dia bilang tidak punya uang. Lalu ini apa? Ini uang kan namanya?” Sang ketua preman kampus itu menampar wajah Candra dengan menggunakan enam lembar uang lima puluh ribu di tangannya. Sedangkan Candra tak mampu berkutik karena setelah perut dan wajahnya dipukuli, kini kedua tangannya dipegang oleh dua pria lainnya.  “Jangan diambil uangnya, aku mohon. Itu uang terakhir yang aku miliki. Kembalikan padaku.” Sekali lagi Candra mencoba memohon dan sekali lagi pula permohonannya tak digubris ketiga pria tersebut. “Bos, dia sudah berani menipu kita. Dia harus diberi hukuman.”  Sang ketua preman kampus menyeringai sebelum dia menganggukan kepala sebagai bentuk persetujuan. Pria itu lantas melangkah pergi, membiarkan kedua rekannya memukuli dan menendang tubuh tak berdaya Candra hingga pria malang bertubuh kurus itu kini hanya bisa meringkuk di tanah sambil memegangi perutnya yang sejak tadi menjadi incaran kedua pria yang memukulinya.  “Rasakan ini!” Seorang pria menendang wajah Candra dengan kaki kanannya seolah pria itu telah kehilangan hati nuraninya sebagai manusia. “Makanya jangan berani menipu kami.” Pria lain ikut mengancam dan sebagai penyiksaan terakhir pria itu menginjak d**a Candra sebelum melenggang pergi bersama rekannya setelah puas membuat Candra kini babak belur dan penuh luka lebam di wajah dan beberapa bagian tubuhnya.  Dengan napas yang terengah dan masih dalam posisi meringkuk di tanah, Candra hanya bisa meringis kesakitan. Dia mencoba bangun tapi dia tak memiliki kemampuan untuk itu karena rasa sakit yang menyerang sekujur tubuhnya.  Di saat Candra berpikir tak mungkin ada yang mau menolongnya karena semua orang di kampus begitu benci dan jijik padanya, Candra terenyak begitu merasakan tangan seseorang merangkulnya dan mencoba membantunya untuk bangun.  “Eliza,” gumam Candra, lega luar biasa begitu melihat sosok orang yang baru saja membantunya.  Gadis cantik dengan rambut panjang sepunggung yang kini sedang memapah Candra hingga duduk di kursi yang diletakan di taman itu merupakan kekasih Candra yang sudah dia pacari selama satu tahun lamanya. Mungkin hanya Eliza seorang yang masih peduli padanya di kampus. Karena jika ketiga preman kampus tadi menganiayanya dalam bentuk serangan fisik, mahasiswa lain kerap kali menganiaya Candra dalam bentuk sikap dan ucapan. Dijauhi dan dikucilkan merupakan hal yang sudah biasa bagi Candra. Sedangkan dihina, dicaci maki dan diejek merupakan makanan sehari-hari yang membuat telinganya sudah cukup kebal mendengar berbagai kata hinaan yang kasar dan kotor. Seperti julukan anak haram yang diberikan ketiga preman kampus tadi, panggilan seperti itu sudah biasa diterima Candra namun pemuda itu sudah terbiasa mendengarnya dan mencoba mengabaikan.  “Terima kasih. Untung kamu datang tepat waktu. Kalau tidak, mungkin sampai besok aku hanya meringkuk di sana. Tubuhku sakit sekali.” Candra terkekeh di akhir ucapannya, berusaha bersikap tegar dan tak ingin terlihat lemah di hadapan sang kekasih.  Candra merasa Eliza sangat pendiam hari ini karena gadis itu biasanya selalu berteriak histeris setiap kali melihat Candra terluka sehabis dipukuli preman kampus yang selalu mengambil uangnya secara paksa. Namun hari ini gadis itu begitu tenang, bahkan tak terdengar sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Candra hanya memperhatikan dalam diam saat Eliza mengambil sesuatu dari dalam tasnya.  “Ini, ambil.”  Dan pemuda itu hanya bisa tertegun begitu melihat untuk kesekian kalinya Eliza memberinya uang setelah mengetahui semua uang Candra telah diambil. Candra sebenarnya tak enak hati karena hampir setiap hari dia harus menerima bantuan dari Eliza, namun jika tidak menerimanya dia tak memungkiri sangat membutuhkannya atau dirinya tak akan bisa pulang ke rumah. Dengan tangan bergetar karena rasa sakit disertai rasa malu luar biasa, Candra dengan terpaksa menerima uang yang terulur padanya.  “Maaf ya. Aku selalu merepotkanmu. Tapi aku janji nanti pasti akan aku ganti semua uang kamu.”  Mungkin Eliza bosan mendengarnya karena setiap saat selalu kata-kata seperti itu yang terlontar dari mulut Candra setelah menerima uang pemberiannya. Tapi bagi Eliza ini adalah terakhir kalinya dia mendengar Candra berkata demikian padanya.  “Can, maaf ya. Tapi anggap saja uang itu yang terakhir dariku.”  Candra mengernyitkan dahi, tak paham tentu saja dengan maksud ucapan Eliza tersebut. “Oh, iya. Kamu tenang saja, aku tidak akan meminta bantuanmu lagi setelah ini. Jadi kamu juga tidak perlu repot-repot membantuku lagi. Terima kasih ya atas semua bantuanmu.”  Eliza menggelengkan kepala seolah dia ingin memberitahu bukan itu maksud ucapannya tadi. “Maksudnya ini bantuan yang terakhir karena aku ingin kita putus, Can.”  Tidak perlu ditanya bagaimana perasaan Candra saat ini. Kecewa, sudah pasti. Sakit hati, tak diragukan lagi. Namun dari semua rasa sakit di sekujur tubuhnya akibat pukulan ketiga preman kampus tadi, sakit yang dia rasakan di dalam hati karena ucapan kekasihnya jauh terasa lebih sakit.  “Kamu bercanda kan, El?” “Aku serius,” sahut Eliza sembari menatap serius wajah Candra. “Aku capek pacaran denganmu. Lagi pula sampai kapan aku harus menahan malu karena menjadi pacar kamu, aku juga ikut-ikutan dihina dan diejek mahasiswa lain.”  Candra terbelalak mendengar pengakuan Eliza ini karena berbulan-bulan mereka berpacaran hingga nyaris menyentuh waktu satu tahun, tak pernah sekalipun Eliza berkata demikian.  “Bukan kebahagiaan yang aku dapatkan selama berpacaran denganmu, tapi justru hinaan dan sakit hati. Aku selama ini kasihan padamu, Can, karena itu aku mencoba bertahan. Tapi aku sudah tidak sanggup lagi. Maaf ya.” “Kamu bilang apa barusan? Kamu kasihan padaku? Kamu bilang dulu cinta padaku karena itu kamu mau jadi pacarku.”  Eliza mengembuskan napas pelan, “Itu dulu, sebelum aku tahu ibumu seorang wanita panggilan penghancur rumah tangga orang lain. Jika aku tahu sejak awal, aku mana mungkin mau menjadi pacarmu, Can. Lebih baik aku pacaran dengan pria lain yang jauh lebih baik darimu. Memang aku dulu bodoh karena terpesona oleh wajah tampan kamu tanpa mencaritahu dulu asal-usul keluarga kamu.”  Tanpa sadar Candra mengepalkan tangan, kesal dan tersinggung mendengar penghinaan dari Eliza. Padahal dia sudah terbiasa mendengar penghinaan yang jauh lebih pedas dari kata-kata Eliza ini, namun entah kenapa penghinaan yang diberikan Eliza jauh membuatnya sakit hati dibandingkan penghinaan orang lain.  “Lalu kenapa selama ini kamu bertahan jadi pacar aku kalau kamu sudah tidak mencintaiku?” “Aku sudah bilang tadi aku kasihan padamu,” sahut Eliza tanpa ragu. “Tapi setelah aku pikir-pikir, berpacaran denganmu hanya memberikan rasa malu dan siksaan untukku. Aku menderita menjadi pacarmu, Can, karena itu kita putus saja ya.”  Tanpa menunggu respon dari Candra, Eliza bangkit berdiri dari duduknya. “Anggap saja ini pertemuan terakhir kita, Can. Setelah ini kalau kita tidak sengaja berpapasan, anggap saja kita tidak pernah saling mengenal.”  Eliza berniat melangkah pergi namun baru dua langkah berjalan, dia kembali berbalik badan menghadap Candra. “Oh, iya. Satu lagi, uang yang selama ini aku berikan padamu tidak perlu diganti. Aku anggap itu sebagai sumbangan untukmu. Selamat tinggal.”  Dan Candra tak tahu apa yang harus dia lakukan untuk meluapkan amarah dan kebencian pada semua orang yang telah melukainya sekejam ini.   ***   Candra memutuskan menunda kepergiannya ke rumah sang ayah yang tinggal di kota lain, selain karena tubuhnya yang babak belur sehingga tidak memungkinkannya untuk bepergian jauh, uang untuk ongkos pun sudah tak ada lagi. Uang yang diberikan Eliza hanya cukup untuk ongkosnya pulang ke rumah.  Setibanya di rumah, kondisi sepi seperti biasa karena ibunya sedang pergi entah kemana, yang pasti wanita itu sedang melayani p****************g yang menyewanya. Mengabaikan luka di sekujur tubuhnya yang belum dia obati, Candra masuk ke dalam kamar. Pemuda malang itu merebahkan diri di ranjang dan memejamkan mata untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak.  Awalnya bermaksud untuk tidur, Candra dikejutkan oleh suara aneh dari komputernya seolah ada pesan masuk yang baru saja masuk ke komputer itu. Candra bangkit dari posisi berbaringnya dan menatap heran ke arah layar komputernya yang tengah menyala terang padahal dia yakin sebelum berangkat ke kampus sudah mematikannya.  Dengan susah payah, Candra berjalan menghampiri meja tempat komputernya diletakan, dia lalu mendudukan diri di kursi tepat di depan meja.  Benar, memang ada sesuatu yang masuk ke komputernya, dengan logo aneh menyerupai tiga huruf ‘TPS’, Candra yakin itu merupakan sebuah aplikasi asing yang tiba-tiba masuk ke komputernya. Penasaran dengan isi aplikasi itu, Candra pun membukanya.  The Psychopath System  Kira-kira itulah nama aplikasi tersebut setelah Candra membukanya. Sebuah game virtual berbasis MMORPG yang sedang melejit di dunia, tentu termasuk di Indonesia. Banyak game sejenis itu yang sudah pernah Candra mainkan namun ini pertama kalinya dia melihat game tersebut.  Lagi dan lagi rasa penasaran yang membuat Candra nekat menekan tombol berisi informasi game dan seketika dia terbelalak saat membaca penjelasan mengenai game tersebut.  Berdasarkan penjelasan yang tertera di dalam aplikasi, The Psychopath System (TPS) merupakan game yang akan memberikan para pemainnya kebebasan untuk mengeluarkan semua amarah dan kebencian bahkan sekalipun menjadi seorang pembunuh. Tentu bukan manusia asli yang dibunuh di dalam game karena yang menjadi target incaran pembunuhan para pemain adalah NPC (Non-Player Character). Sebagai penggila berbagai jenis games tentunya Candra tahu persis NPC tidak lain merupakan karakter di dalam game yang diciptaan oleh pembuat game atau administrator, hanya sebagai karakter pendukung di dalam game.  “Game untuk berburu NPC dan membunuh mereka.” Candra bergumam sendirian setelah mulai memahami cara bermain game itu.  “Huh, apa katanya tadi, game untuk meluapkan kebencian dan amarah.” Candra lalu terkekeh karena menurutnya game itu begitu lucu dan konyol. Mana ada jenis game yang tujuannya untuk memburu dan membunuh para NPC.  Tapi Candra tiba-tiba tertegun, dia berpikir betapa banyak rasa benci dan amarah yang dia pendam di dalam hati kepada semua orang yang telah menyakitinya. Bahkan Eliza kini termasuk ke dalam daftar orang yang dibencinya.  “Game untuk membunuh ya. Menarik juga.”  Hingga Candra akhirnya mulai tertarik dengan game misterius tersebut.  “Sepertinya tidak ada salahnya mencoba bergabung, kalau game-nya tidak seru aku kan tinggal log out dan hapus akun juga avatar di sana.”  Candra mengangguk-anggukan kepala seolah keputusan untuk bergabung dengan game itu sudah yakin dia ambil, karena yang dilakukan setelahnya adalah menekan tombol ‘OK’ sehingga dia pun secara otomatis bergabung dengan game itu.  “Eh, kok seperti ini? Aku langsung bergabung tanpa perlu membuat akun. Aneh sekali.”  Ya, Candra menemukan keanehan pada game itu karena dari pengalamannya bermain game yang lain, sebelum resmi bergabung dia harus membuat akun, menentukan avatar dengan mengisi kolom informasi tentang dirinya. Namun game misterius itu sungguh aneh karena hanya dengan menekan tombol ‘OK” maka secara otomatis dia sudah bergabung dengan game tersebut.  Candra hanya bisa melongo saat kini dia mendapatkan sebuah notifikasi berupa pesan yang masuk ke inbox game bernama TPS itu. Dengan tangan gemetaran, Candra mencoba membuka pesannya.  Selamat datang dan bergabung dengan The Psychopath System. Untuk memudahkanmu log in ke dalam game, kami akan mengirimkan peralatannya ke alamat rumahmu. Jadi mohon ditunggu.  Hanya pesan singkat itu yang ditemukan Candra. Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepala karena benar-benar merasa game itu sangat aneh.  “Mana bisa peralatannya dikirimkan ke rumah, aku saja tidak mengisi kolom apa pun termasuk kolom informasi alamat. Game sampah, pasti ini ulah orang iseng.”  Candra lantas beranjak bangun dari duduknya dan kembali merebahkan tubuh di ranjang untuk tidur karena dia yakin aplikasi game itu hanya omong kosong belaka.  Namun, siapa sangka keesokan paginya yang Candra dapatkan adalah sebuah paket aneh yang sudah berada di depan pintu rumahnya, yang membuat pemuda itu mematung di tempat karena kini menyadari game TPS bukan hanya omong kosong belaka seperti yang dia pikirkan sebelumnya. Game itu benar-benar nyata.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Menantu Dewa Naga

read
177.0K
bc

Marriage Aggreement

read
80.8K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
860.5K
bc

Scandal Para Ipar

read
693.7K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
624.3K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K
bc

Aku Pewaris Harta Melimpah

read
153.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook