bc

Before Your Wedding Day

book_age18+
1.1K
FOLLOW
6.6K
READ
drama
sweet
like
intro-logo
Blurb

Mengabaikan sebuah perasaan, hanya karena takut patah adalah hal paling egois seharusnya. Karena perasaan hanya butuh pengakuan meski hanya pada diri sendiri, meski tak pernah bisa diungkapkan. Hati yang jatuh tetaplah akan jatuh sekalipun tak akan utuh jika tak tersentuh. Dan pada akhirnya yang patah tetaplah harus patah.

***

Gadis itu hanya diam, duduk di ayunan taman sambil memandangi undangan yang kini sudah ada ditangannya. Hatinya hancur, matanya mencoba menahan genangan air mata, Hanya isi kepalanya yang tetap tegar merangkai kata- kata, untuk kalimat apa yang bisa ia ungkapkan kepada seseorang yang kini duduk di ayunan sebelahnya . Seseorang yang pernah membuat hatinya jatuh, namun tak pernah mengambilnya, dan kini seseorang itu akan menikah. Jika dia pernah terasa sudah menjauh pergi, kali ini dia kembali tapi bukan untuk menetap atau hanya sekedar singgah dalam waktu yang lama.

Dia kembali hanya sebentar saja, hanya untuk berpamitan lalu dia akan benar-benar pergi setelah ini.

“Ngga nyangka ya seminggu lagi. Seminggu lagi kamu akan benar-benar pergi ninggalin saya”. Ucapnya yang masih menunduk memandangi surat undangan berwarna putih dengan design yang elegan. “Iya seminggu lagi”. Jawab seseorang itu dengan singkat,dan pandangannya tak lepas dari si gadis . Ia ingin tau hal lain apa yang sebenarnya ingin dikatakannya. Gadis itu kini mengangkat kepalanya yang sedari tadi hanya tertunduk, seolah-olah telah berhasil mengumpulkan sisa-sisa kekuatan dalam hatinya, Ia mengutarakan hal yang ingin disampaikannya . “Sebelum kamu menikah dan jadi suami orang lain, boleh saya minta satu hal dari kamu?”.

chap-preview
Free preview
Chapter 1
Jakarta, Februari 2016 Jam menunjukkan pukul setengah 7 pagi. Gadis itu buru- buru menghabiskan sarapannya dan langsung mengambil kunci mobilnya begitu selesai. Ini adalah hari pertamanya menjadi editor baru di “Serangkai Publishing”, salah satu kantor penerbitan terbesar di Indonesia, dan Ia tak ingin datang terlambat. “Maa, aku berangkat yaa... Assalammualaikum”. Pamitnya yang sudah sampai di pintu depan “Daisyyy..... kamu ngga cium tangan mama dulu?“ Suara Ibunya dari dari dapur menghentikan langkahnya. “Oiya lupa. Lagian sih mama di dapur lama banget aku kan buru-buru takut telat ma” “Mama di dapur juga kan nyiapin bekal buat kamu.” Ucap Ibunya yang kini sudah menghampiri Daisy dan memberikan kotak bekal makan siang untuknya “Yaampun ma, kayak anak SD aja deh. Aku nanti bisa makan di kantin kok, lagian selama di Bandung juga kan begitu.” Protes sang anak pada Ibunya, namun tetap tidak dihiraukan. “Ya beda dong sayang, di Bandung kan kamu tinggal sendirian. Kalo disini kan ada mama, ada yang merhatiin. Udah yaa, nih bawa. Ngga boleh protes apalagi nolak. Jangan sampe ngga dimakan loh ya. Awas kamu!” “Iya iyaa mamaku sayang, makasi yaa.. Yaudah aku jalan dulu yaa, Assalammu’alaikum Gadis itu lalu mencium tangan sang Ibu sebelum berangkat. “Wa’alaikumsalam. Hati-hati jangan ngebut.” “Iya ma Insyaallah.” *** Berpenampilan simple, dan natural adalah ciri khasnya. Kemeja soft pink polos, berpadu dengan blazer dan celana hitam panjang, juga oxfords shoes berwarna senada sebagai pilihan terakhir untuk menampilkan sedikit kesan formal di hari pertamanya, karena ia tak bisa mengenakan high heels ataupun flat shoes, sangat tidak nyaman untuknya. Dan rambut pendeknya yang berwarna golden brown dibiarkan tergerai. Tanpa riasan tebal yang berlebihan. Daisy Callista, adalah seorang gadis biasa dengan mimpi-mimpinya yang luar biasa (banyaknya) namun, belum banyak yang bisa Ia wujudkan. Dan menjadi salah satu editor di Serangkai Publishing adalah salah satu mimpinya yang sedang terwujud saat ini. Ia selalu ingin terlibat dengan proses bagaimana sebuah cerita akhirnya bisa menjadi lembaran-lembaran yang dibukukan hingga akhirnya sampai ditangan pembacanya. Itu adalah alasan yang Ia miliki sedari dulu sejak Ia bekerja sebagai copy editor di Bandung tiga tahun lalu. Dan sampai saat ini alasan itu masih sama, juga karya dari seseorang yang semakin memperkuatnya agar tak hanya sekedar berani bermimpi, tapi juga berani untuk memperjuangkannya. Itulah yang membuatnya sampai di titik ini *** Ia melajukan mobilnya dengan cepat, karena sebentar lagi jalanan pasti akan ramai, dan ia tak ingin terjebak macet. Gadis itu berusaha tenang meskipun pikirannya tak pernah bisa setenang kelihatannya. Pikirannya terlalu sibuk saat ini, atau memang selalu sibuk setiap harinya. Hari pertama untuk bertemu dengan orang-orang baru, dan berada di lingkungan baru selalu menjadi beban dalam hidupnya, pikirannya akan berkelana pada hal-hal yang belum tentu terjadi. Tentang bagaimana nanti sikap mereka kepadanya, apakah harinya akan baik-baik saja atau akan menemukan banyak kesulitan, apakah dia akan diterima di lingkungan baru, apakah dia akan mendapatkan teman yang baik, dan entah seberapa banyak lagi yang ia pikirkan. *** Sesampainya di kantor, Ia langsung menuju resepsionis untuk mengonfirmasi janji temunya. “Selamat pagi mba, ada yang bisa saya bantu?” “Iya mba, saya ada janji temu dengan mba Tania” “Oh dengan Daisy Callista ya?” “Iya mba, benar.” “Baik mba, ditunggu sebentar ya” “Iya mba.” Daisy kemudian duduk di sofa lobby setelah diminta untuk menunggu beberapa saat. “Morning beb, udah lama nunggunya?” Tak lama Ia duduk menunggu, seorang wanita cantik dengan tubuh yang proporsional bak seorang model menghampirinya. Dia adalah Tania Faralia, sekretaris di Serangkai Publishing, yang dua hari lalu telah mewawancara dan menerimanya untuk menjadi editor di Perusahaan ini. “Engga kok mba, ngga lama.” Jawab Daisy kemudian yang beranjak dari duduknya. “Oke, langsung aja yuk aku antar ke ruang kerja kamu.” Daisy pun mengikuti langkah-langkah jenjang Tania yang selalu selangkah lebih dulu darinya. Hak Stiletto yang dikenakan Tania membuatnya terlihat semakin tinggi dan jenjang, sedangkan Daisy kini terlihat seperti kurcaci jika sejajar dengannya. “Nah ini dia ruang kerja kamu, tapi maaf ya masih berantakan banget. Kemarin Pak Rohmat baru beresin sebagian aja. Gapapa kan ?”. Tanya wanita itu kepada Daisy “Iya mba gapapa, nanti saya bisa beresin dulu ruangannya.” “Oke kalau gitu, nanti aku minta tolong Pak Rohmat lagi deh buat bantuin kamu ya biar cepat dan kamu bisa langsung mulai kerja. Kalau ada butuh apa-apa, kamu bisa bilang ke aku ya, meja aku disana”. Sembari menunjuk ke arah mejanya. “Dan kalau kamu mau bikin kopi, atau teh bisa bikin di Pantry, semuanya lengkap ada camilannya juga”. “Iya mba, siap.. “ “Oke kalau gitu, aku tinggal dulu. Sebentar lagi Pak bos datang”. “Iya baik mba, makasi ya mba Tania.” Tania pun segera pergi meninggalkan Daisy yang kini sudah memulai membereskan ruang kerjanya. “Oke Daisy Callista Semangat yuk buat hari pertamanya!”. Ia bicara dan menyemangati dirinya sendiri. Hal biasa yang selalu ia lakukan untuk memberikan energi positif pada diri sendiri, yang ia percayai itu sangat ampuh untuk membuatnya bisa melalui satu hari dengan baik. *** Seorang laki-laki paruh baya mengetuk pintu ruangan Daisy yang tidak tertutup. “Nuwun sewu mba, saya diminta mba Tania untuk bantu beres-beres”. Ujarnya dengan logat Jawa yang kental. “Oh iya pak silahkan, kebetulan saya butuh bantuan untuk geser meja ini.” “Iya mba, baik. Oh iya mba, saya Rohmat OB disini. Kalau mau dibuatin kopi, dibelikan makan siang, atau butuh bantuan lain bisa panggil saya ya mba”. Laki-laki itu bicara dengan ramah, santun, dan murah senyum sekali, meskipun usianya lebih tua darinya. Daisy pun mengiyakan dan membalas senyum laki-laki itu dengan tetap melanjutkan kesibukannya membereskan ruangannya, yang sekarang dibantu oleh Pak Rohmat. Pak Rohmat berbagi cerita dengan Daisy mengenai editor sebelumnya yang bekerja di kantor ini, juga tentang dirinya sendiri, karyawan lainnya, Pak Bos, dan juga sekretarisnya. “Mba Tania selalu datang satu jam lebih awal sebelum Pak Bos datang mba. Lalu, langsung ke pantry Menyeduh teh chamomile dan menyiapkan sarapan buat Pak Bos. Karena Pak Bos ngga mau minum teh buatan orang lain selain buatan Mba Tania. Pernah waktu Mba Tania telat datang ke kantor, dia telpon saya untuk Menyiapkan teh buat Pak bos, tapi saya malah dimarahin. Beliau bilang katanya teh buatan saya rasanya beda dengan buatan mba Tania. Padahal teh yang saya pakai pun sama, yang sudah distok sama mba Tania di Pantry”. Laki-laki itu terkekeh di ujung ceritanya. Itulah cerita yang paling menarik dari Pak Rohmat yang akan Daisy ingat. Pak Rohmat pun lebih bersemangat saat menceritakannya dibandingkan bercerita yang lain. “Sudah selesai semua mba, sekarang ruangannya sudah rapih”. Daisy tersenyum puas melihat ruang kerjanya yang sekarang sudah rapih dan bersih. “Iya Pak, makasih ya udah bantuin saya.” “Iya mba sama-sama, kalau gitu saya permisi ya mba. Kalau butuh apa-apa bisa panggil saya lagi.” Pak Rohmat pun berlalu meninggalkan Daisy. Gadis itu masih mengamati sekeliling ruang kerjanya, dan melihat ke jendela. Ia menatap langit pagi yang cerah itu sambil menghela napasnya. Rasanya masih seperti mimpi berada diruangan ini. Ia mengingat-ingat lagi perjuangannya sebelum sampai di titik ini. Daisy juga bersyukur karena di hari pertamanya, Ia disambut dan diterima dengan baik di tempat ini. Suara ketukan pintu kembali terdengar yang membuyarkan lamunannya. “Daisy, kamu sudah selesai beres-beresnya?” Tanya Tania. “Sudah mba, ini baru aja selesai.” “Oke, maaf banget ya aku akan langsung kasih kerjaan buat kamu. Jadi kamu ngga bisa istirahat dulu deh. Soalnya ini naskah udah sebulan mangkrak, penulisnya udah neror terus bikin pusing. Maaf banget yaa Daisy, padahal aku tadinya mau ngajak kamu ngopi cantik dulu.” Tania memasang wajah menyesal sambil meletakkan tumpukan naskah itu di meja Daisy. “Iya Mba Tania, gapapa kok. Lagian saya juga udah ngga sabar untuk langsung mulai kerja. Saya ngga sabar untuk baca calon novel.’’ Daisy tak bisa menyembunyikan ekspresi semangatnya, yang membuat Tania tertawa melihatnya. “Baiklah kalau gitu, aku senang melihat semangat 45 kamu. Semoga selalu semangat terus ya, dan betah kerja disini.” “Iya Mba pasti.” “Soft copynya udah aku email ya.” “Oke Mbak.” “Oiya, tapi sekarang kamu ke ruangan Pak Azka dulu ya untuk perkenalan.” “Oke mba siap.” Sebelum keluar, Daisy melihat tumpukan naskah itu dan betapa terkejutnya Ia saat melihat nama penulis dari naskah tersebut. “Ankara” Naskah yang ada dihadapannya saat ini adalah milik Ankara. Penulis pujaannya selama ini. Betapa bahagianya dia, semesta seakan terlalu baik padanya atas semua yang diterimanya hari ini. *** “Mba, ini benar naskahnya Ankara?” Tanya Daisy pada Tania untuk memastikan apakah benar Ia akan menjadi editornya Ankara. “Iya beb, benar. Kenapa, kamu ngga mau ya jadi editornya dia?” Tania bertanya dengan hati-hati. “Engga kok mba, maksud aku ngga gitu. Aku Cuma kaget aja dan masih ngga percaya kalo editor baru kayak aku dapat naskahnya dia.” “Oalah yaampun aku kira kamu akan nolak. Soalnya susah banget nyariin editor yang pas buat dia. Semenjak Banyu, editornya Ankara resign, sudah tiga kali dalam sebulan dia ganti editor.” Ungkap Tania dengan nada frustasi. “Emangnya, Mas Banyu kenapa resign mba?” “Dia harus menyelesaikan S2 di Ausy dan sekaligus langsung dapat tawaran kerja sebagai editor juga disana, akhirnya mau ngga mau Ankara harus ganti editor. Padahal rencana awal pas naskah barunya masuk, Banyu sudah sepakat kalau dia tetap bisa jadi editornya Ankara dengan melalui komunikasi virtual Indo-Ausy. Tapi, karena dia sudah terikat kontrak disana dan langsung dapat naskah baru, jadi ngga bisa.” “Ooh.. gitu mba. Hmm,, kalau boleh tau, emang ngga cocoknya editor pengganti yang sebelum-sebelumnya dengan Mas Ankara kenapa mba?” “Hmm,, kalau menurut mereka sih, Ankara itu rumit dan banyak maunya, belum lagi ditambah omongannya yang terlalu sinis dan ngga mau dengar masukan dari mereka. Mungkin mereka ngga tahan dengan sikapnya yang seperti itu.” “Emangnya Ankara serumit itu kah Mba?” “Aku pernah punya pertanyaan yang sama, dan aku coba tanyakan ke Banyu. Karena dia adalah orang yang sejak awal langsung cocok bekerja sama dengan Ankara sampai bisa menerbitkan kedua novelnya. Dan aku rasa dia yang paling mengerti maunya Ankara itu seperti apa.” “Lalu?” Daisy menjadi penasaran dengan jawaban Banyu ketika ditanya oleh Tania saat itu. “Banyu bilang, Ankara itu ngga rumit kalau kita bisa mengikuti kemauan dan standarnya dia.” “Apa saya bisa menjadi seperti mas Banyu atau akan berakhir sama seperti ketiga editor penggantinya?” Mendengar penjelasan Tania membuat Daisy menjadi ragu “Kamu ngga harus seperti Banyu. Kamu cukup melakukan yang terbaik versi kamu Daisy. Aku harap kamu mau menerima kesempatan ini, atau paling engga kamu bisa coba dulu. Nanti kalau kamu nyerah gapapa, kamu bisa ganti naskah dari penulis lain. Gimana?” Daisy memikirkan kata-kata Tania, pikirannya bercampur aduk. Ia sangat ingin menjadi editor, apalagi untuk Ankara. Ia tidak mau kehilangan kesempatan menjadi editor untuk kedua kalinya, dia sudah sampai sejauh ini. Tapi, disisi lain ada ketakutan yang juga dirasakannya. “Iya mba Oke, saya bersedia jadi editornya Ankara. Lagi pula dari awal juga saya ngga berniat untuk menolaknya.” Jawabnya dengan mantap. Ia memutuskan untuk tidak berpikir terlalu panjang atau langkahnya akan terhambat. “Makasih banyak ya Daisy. Pokoknya aku janji aku akan bantu kamu, dan apapun keluhan kamu nanti aku siap menampungnya.” Tania menunjukan dua jarinya pada Daisy sebagai tanda sumpahnya yang dibalas dengan senyuman oleh Daisy. “Daisy lo pasti bisa. Ini kesempatan lo, dan please jangan takut gagal. Coba dulu, lagian kalo gagal lo masih tetap bisa jadi editor. Tapi lo ga boleh gagal untuk Ankara, harus bisa!!.” Dalam hati Daisy meyakinkan dirinya sendiri. *** “Dai, aku hampir lupa kasih tau kamu. Kalau si Ankara kasih deadline satu minggu buat naskahnya selesai di review. Gimana kamu keberatan nggak?” “Hmm,, Engga kok mbak. Insyaallah waktunya cukup.” “Sebenarnya aku agak kesal sih. Harusnya penulis nggak ada hak untuk kasih deadline ke editornya. Kamu yakin ngga mau aku nego ke dia?” “Gapapa mbaak. Mungkin dia begitu karena naskahnya sudah lama mangkrak.” “Yaah, mangkrak juga karena ulahnya dia sendiri. Yaudah kalau kamu ngerasa waktunya cukup baiklah. Tapi, nanti kalau kamu butuh tambahan waktu bilang ke aku yaa. Jangan dipaksain. Oke!” “Oke Mbak.”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.1K
bc

My Secret Little Wife

read
92.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook