bc

Achilleo Academy

book_age16+
35
FOLLOW
1K
READ
love-triangle
kidnap
friends to lovers
drama
comedy
sweet
mystery
highschool
friendship
illness
like
intro-logo
Blurb

Achilleo Academy, sebuah sekolah berasrama yang setingkat dengan SMA ini menampung anak-anak yang memiliki kemampuan di atas wajar. Sekolah yang unik ini merupakan sekolah yang paling dihindari kecuali karena terpaksa. Mengapa? Karena sekolah ini pun tak segan-segan menampung para PECANDU dan anak-anak BERANDAL.

Dengan kata lain, anak-anak yang diterima di Achilleo Academy tidak akan mungkin bisa diterima di sekolah mana pun lagi, bahkan sekolah yang paling rendah sekali pun.

Mackenzee Claudya Vesta, seorang programmer dan hacker cilik yang namanya belum diketahui oleh dunia tetapi perbuatan nakalnya dalam bidang meretas situs-situs penting sudah mendunia. Ia dan keluarganya sangat pandai menjaga rahasia ini, termasuk Achilleo Academy. Achilleo Academy merupakan penyimpan rahasia yang paling akurat, dan itu memang sudah diwajibkan sejak awal pembangunan bahwa guru-guru di sana tidak diizinkan untuk membongkar identitas murid-muridnya.

Suka, duka, persahabatan, persaudaraan, pertengkaran, percintaan, semuanya lengkap terjadi di sekolah ini. Walaupun masalah datang bertubi-tubi, tetapi itu semua akan terasa ringan jika ada teman-teman dekat atau orang yang disayangi berada di sekitar kita. Melalui kisah ini, kalian akan menemukan arti dari saling melengkapi satu sama lain.

chap-preview
Free preview
Bagian 1
Zee menekan tombol play di MP3-nya. Musik mengalun seketika dengan merdu melalui headset-nya. Ia kembali menatap keadaan sekitar, kelas barunya. Ya, tahun ini adalah tahun pertamanya di Achilleo Academy, sekolah berasrama yang setingkat dengan SMA. Achilleo Academy merupakan sekolah yang dikhususkan bagi murid-murid yang mempunyai kelebihan yang kelewat atau melebihi batas orang normal pada umumnya. Sekolah ini juga rela menampung anak-anak yang mengalami depresi mendalam maupun terjangkit n*****a. Anak-anak yang sudah terlalu nakal dan bermasalah pun bisa masuk ke sekolah ini. ‘Salah apa gue sampai-sampai mama sama papa nyekolahin gue di sekolah macem ini?’ Sambil menghayati lagu yang sedang ia dengar, Zee terus bertanya-tanya dalam hati. Zee kembali menatap teman-teman barunya, ah, bukan. Bahkan, ia dan mereka sama sekali belum bertegur sapa. Saling melempar senyum pun tidak, bagaimana bisa disebut sebagai teman? ‘Anak-anak aneh,’ Zee kembali membatin. Ia menatap seorang anak lelaki yang sedang berlari-larian, sangat tidak bisa diam sejak pertama kali perkenalan. Lalu, ada seorang gadis yang hanya memandang kosong ke depan, tidak bergerak sama sekali. Ada yang tertidur, dan ada pula yang mengutak-atik sebuah ponsel yang sepertinya rusak. Anak itu sedang dikerubungi oleh beberapa anak lain yang sama anehnya. Zee membuang wajah dengan kesal. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju kepada seorang anak lelaki bermata indah yang duduk di meja tak jauh dari tempatnya duduk. Tatapan anak itu sangat tajam dan menusuk. Anak itu benar-benar menatap Zee dengan intens. Zee yang merasa tidak nyaman akhirnya memutuskan untuk bangkit. Satu-satunya tempat yang terlintas di otaknya kini hanya satu; kantin. Saat Zee melewati anak itu yang masih menatapnya dengan tajam…. ‘Ni anak apa-apaan sih?! Bikin merinding aja,’ ucap Zee dalam hati. Tiba-tiba anak itu membuang muka dan menyeringai. “Hah, nggak usah pake merinding segala kali.” Deg. Zee yang sudah berada beberapa langkah di belakang anak itu yang memang duduk membelakanginya tersentak kaget. Ia menolehkan kepalanya, memastikan bahwa anak itu benar-benar sedang berbicara dengannya. “Ma–af?” ucap Zee, agak terbata. Anak itu hanya diam tak bersuara. Zee mendengus kesal. Ia akhirnya memutuskan untuk pergi dari sana sambil menghentakkan kakinya.  *** Di kantin…. Zee menyeruput capucchino dinginnya dengan wajah yang dilipat. Ia sungguh-sungguh bad mood hari ini. Tiba-tiba, ia kembali teringat anak lelaki yang tadi terus menatapnya dengan tajam dan berkata dengan misteriusnya. Anak itu seakan bisa membaca pikiran dan perasaannya! Zee menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat. Ia kembali meminum capucchino-nya yang sebagian es batunya sudah mencair. Zee memutuskan untuk melihat-lihat sekitar. Ah, suasana kantin tidak beda jauh dengan kelasnya. Sama-sama dihuni oleh anak-anak aneh! ‘Kecuali gue,’ Zee menambahkan dalam hati. ‘Gue anak normal, please … kenapa harus dimasukkin ke sekolah abnormal kayak gini sih?! Ngeselin!’ Zee kembali menggerutu dalam hati. Hari pertama sekolah, dan ia sama sekali belum memiliki seorang teman pun. Zee juga tidak mau berkawan dengan anak-anak aneh yang menjadi bagian dari sekolah aneh ini. “Boleh duduk di sini?” tiba-tiba sebuah suara mengagetkannya. Zee sedikit gelagapan. Ia menatap anak manis berkuncir dua itu, lalu mengangguk. Ia sedikit merapikan posisi duduknya dengan canggung. “Maaf ya kalo aku ganggu. Nggak ada bangku yang kosong lagi soalnya,” tukas anak itu dengan wajah memelas, menyadari kehadirannya kurang disukai oleh Zee karena raut wajah Zee yang berubah tiba-tiba. Wajah enggan dan terus membuang muka tidak mau menatapnya. Saat ini Zee memang sedang tidak ingin diganggu ataupun didekati siapapun, tetapi ia menjadi iba hanya dengan menatap wajah gadis itu. “Ehm, nggak apa-apa kok,” jawab Zee pendek sambil memaksakan tersenyum. Zee mengeluarkan ponsel dari saku almamaternya, lalu pura-pura memainkannya supaya suasana tidak terlalu canggung jika mereka hanya saling diam. Zee sedang tidak mood untuk memulai percakapan. Gadis itu membalas senyuman Zee dengan manisnya, lalu mulai membuka percakapan yang tidak disangka oleh Zee. Ia pikir gadis di hadapannya ini hanya akan diam sambil memakan es krim stroberinya karena melihat sikap Zee yang cuek dan dingin. “Nama kamu siapa? Anak kelas 10-G kan?” tanyanya. Zee mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk akibat berpura-pura sedang memainkan ponselnya. “Ah, hm … ya. Nama gue Mackenzee Claudya Vesta. Panggil Zee aja,” Zee memperkenalkan diri, lalu mulai beralih ke ponselnya lagi. Ia sama sekali tidak berkeinginan untuk bertanya balik siapa nama gadis itu dan kenapa ia bisa tahu bahwa kelas Zee adalah kelas 10-G. Tetapi ternyata gadis itu malah memperkenalkan dirinya tanpa ditanya. “Hahaha … kita satu kelas lho! Oh iya, kenalin, namaku Joy Olivia Natures, panggil aja Joy. Salam kenal, Zee!” Joy berkata dengan penuh senyuman sambil mengulurkan tangannya. Zee memperhatikan Joy dan tangan kanannya yang terulur dengan aneh. “Ngapain?” tanya Zee. Joy tertawa tiba-tiba. Zee makin menatapnya dengan aneh dan tidak suka. “Hahaha!!! Ah, maaf … ngapain? Kok kamu nanya begitu sih? Ya salaman lah! Itu kan yang pertama kali dilakuin orang kalo lagi kenalan,” jelas Joy. Zee terdiam beberapa saat. Dulu, saat ia baru berkenalan dengan teman-teman masa SMP-nya, tidak perlu pakai jabatan tangan segala. Mereka hanya cukup bertanya satu sama lain dan akhirnya saling menyapa. Karena menatap Joy yang masih tersenyum memohon dan tangan kanannya yang masih terulur sempurna, akhirnya Zee pun ragu-ragu mengulurkan tangan kanannya juga, menjabat tangan gadis berwajah imut itu. Joy tersenyum puas. “Naaah … gitu dong! Oh iya, ngomong-ngomong kenapa kamu bisa masuk ke sekolah ini?” tanya Joy, sesaat setelah mereka melepaskan jabatan tangan masing-masing. Zee berpikir sebentar. Akhirnya ia pun memutuskan untuk meladeni dahulu anak yang duduk di depannya ini. “Hmmm … maksudnya?” Zee bertanya. Joy menghembuskan napasnya dengan pelan. “Hhh … maksudnya… Achilleo Academy itu kan sekolah khusus untuk anak-anak yang mempunyai kemampuan yang terlewat batas jauh melampaui kemampuan orang-orang pada umumnya. Nah, sekolah ini juga menerima anak yang nakal dan bermasalah, bahkan pecandu dan yang mengalami depresi berat juga. Bisa juga dibilang sebagai salah satu tempat rehabilitasinya para pecandu dan sejenisnya. “Maksud aku … kamu masuk ke sekolah ini karena kelebihan yang kamu miliki, atau karena kamu nakal dan bermasalah? Atau pecandu?” Joy menjelaskan panjang lebar. Zee mengernyit, kaget mendengar kata-kata pecandu dan rehabilitasi. Tanpa disadari, ia pun mulai tertarik dengan percakapan ini. “Pecandu? n*****a?” Zee malah balik bertanya. Joy mengangguk. “Iya. Bukan cuma n*****a aja sih, obat-obatan atau kebiasaan berbahaya yang lain juga,” jawabnya. “Jadi … kamu masuk ke sekolah ini karena apa?” Joy mengulang pertanyaannya yang belum dijawab sama sekali oleh Zee. Zee bepikir sebentar. “Hmmm … mungkin karena kebiasaan buruk gue yang suka iseng nge-hack beberapa situs atau akun instalasi penting lain. Mungkin juga karena gue suka bikin virus-virus dalam dunia komputer untuk disebarin ke orang-orang yang gue mau. Atau … karena gue emang terlahir untuk menjadi seorang hacker dan programmer?” jelas Zee, tanpa maksud untuk menyombongkan dirinya sama sekali. Kalimat akhirnya berbunyi seperti pertanyaan karena ia sendiri juga ragu akan hal itu. Zee memang berbakat dalam dunia komputer dan internet. Ia pernah memblokir salah satu situs resmi dengan pertahanan yang kuat dan penting milik kemiliteran Jepang dan berhasil menyembunyikan data dirinya dengan baik supaya pihak Jepang tidak mengetahuinya. Berita itu masih menjadi trending topic akhir-akhir ini karena kejadiannya belum terlalu lama terjadi. Hanya ia, kedua orangtuanya, dan Achilleo Academy-lah yang mengetahui rahasia besar ini. Bahkan hingga saat ini, pihak kemiliteran Jepang masih ricuh, berusaha keras untuk mencari orang yang telah memblokir situs pribadi milik mereka dan berjanji akan menghukum dengan amat berat siapa pun yang telah memblokir situs mereka. Mungkin kedua orangtua Zee ingin melindungi anaknya, oleh karena itu mereka berusaha keras untuk menutupi rahasia besar ini dan memutuskan untuk menyekolahkan Zee di Achilleo Academy. Ngomong-ngomong, guru-guru di sekolah ini kebanyakan tahu rahasia apa saja yang ada dalam diri murid-murid mereka. Guru-guru itu akan melatih anak-anak didiknya agar mereka sadar dan tidak akan mengulangi perbuatan nakal mereka lagi, juga mendidik mereka supaya mereka bisa memanfaatkan kelebihan mereka dengan baik. Seperti Zee contohnya. Mungkin hampir seluruh guru di Achilleo Academy sudah mengetahui hal ini. Joy menganga dengan takjub. “Waaah … Zee hebat! Ngomong-ngomong, apa aja situs yang udah berhasil kamu hack?” tanya Joy, matanya berbinar-binar karena terlalu takjub. Zee terdiam sebentar. Sudah banyak sekali situs yang berhasil ia hack dan hebatnya dia sama sekali tidak ketahuan. Zee mengusap-usap tengkuknya, agak ragu menjawab, karena menurutnya itu adalah aib dan rahasianya. “Hmmm … banyak.” Mendengar gumaman dan jawaban Zee yang ragu-ragu, Joy segera menegakkan tubuhnya, tersadar akan sesuatu. “Eh, aku paham. Itu privasi kamu. Maaf ya, udah nanya macem-macem,” ujar Joy, merasa bersalah. Zee menggeleng cepat. “Nggak, nggak apa-apa kok. Gue nggak siap aja untuk ceritain detailnya ke lo. Lo sendiri masuk sekolah ini karena apa?” Zee mencoba mengalihkan pembicaraan. Joy tersenyum kembali. Sepertinya ia amat senang karena Zee bertanya balik. Sejak tadi memang selalu Joy yang bertanya. Anak manis itu bahkan membiarkan es krim stroberinya yang tinggal sedikit menjadi cair. Joy mendekati wajahnya, yang membuat Zee merasa sedikit tak nyaman. Gadis itu bahkan sedikit menjauhkan wajahnya ke belakang. Joy berkata dengan pelan, “Aku itu susah banget untuk berhenti.” Zee menatap aneh ke arah Joy yang sudah menarik wajahnya kembali. “Maksudnya?” tanya Zee sembari mengangkat sebelah alisnya karena bingung dengan jawaban Joy. Joy sedikit terkikik melihat ekspresi lucu Zee. Ia membuka mulutnya perlahan, mulai menjelaskan. “Untuk segala urusan, aku yang paling cepet, khususnya lari. Kalo udah lari, aku sama sekali nggak bisa berhenti. Itu maksudnya….” “Hah? Gue masih nggak ngerti,” ungkap Zee. Joy berbaik hati menjelaskan, “Ya … itu kelebihan aku. Aku ini cepet banget kalo urusan jalan, apalagi lari. Kalo udah lari, sama sekali nggak bisa berhenti! Aku harus nabrak sesuatu atau ditahan dulu kalo mau berhenti….” “Wih, horror dong!” komentar Zee tanpa sadar. Ia cepat-cepat menutup mulutnya. Joy tertawa tiba-tiba. “Hahahahah!!! Itu sih bukan horror! Kelebihan yang aku punya itu termasuk kelebihan yang paling bodoh dan nggak berguna sebenernya,” ujar Joy pelan, seakan tidak puas akan kelebihan yang ia miliki. Zee yang merasa telah salah bicara menatap wajah Joy sekilas. Tampak ada sedikit perubahan di air wajahnya. Yang tadinya selalu tersenyum dan tertawa dengan cerianya, kini menjadi agak muram. “Ehm, setiap kelebihan yang kita punya itu pasti ada manfaatnya kok. Cuma ya lo-nya aja kali yang belum sadar akan manfaat dari kelebihan yang lo punya,” Zee berkata dengan ragu, takut menyakiti perasaan Joy, yang mau tidak mau ia akui sebagai teman pertamanya di sekolah aneh ini. Joy menatap Zee dengan hangat, lalu mulai tersenyum. “Mungkin,” sahutnya. Zee hanya diam. Tiba-tiba … “ZEE! BEL UDAH BUNYI YA DARI TADI?!” Joy berteriak kencang sekali. Zee sedikit mengusap-usap telinganya yang pengang, lalu menatap keadaan sekitar yang sepi. Zee sama terbelalaknya dengan Joy. Tanpa ba-bi-bu lagi, Joy langsung bangkit dan berlari dengan super-duper kencang sambil menggandeng tangan Zee meninggalkan kantin. “JOOOYYY!!! BERHENTIII!!! JANGAN KENCENG-KENCEENNGG!!!” teriak Zee di sepanjang koridor yang mereka lewati dengan paniknya. Tetapi apa daya, Joy sangat sulit untuk dihentikan. Bahkan sepertinya ia sama sekali tidak mempedulikan teriakan Zee yang begitu membahana, sampai-sampai anak-anak murid lainnya yang masih berada di koridor menatap mereka dengan bingung.  *** Ketika mereka sudah dekat dengan kelas…. “JOOOYYY!!! STOOOPPP!!!” teriak Zee dengan panik. Zee berusaha menghentikan langkah kaki Joy, tetapi tetap saja tidak bisa. Setiap kali ia ingin berhenti, pasti Joy akan menariknya kembali dan terus berlari bersamanya. Joy berusaha berhenti, tetapi raut wajahnya mengatakan bahwa ia tidak bisa. Joy menggeleng lemah sambil terus berlari, hingga…. “AAAAAAAAAA!!!” BRUUUGGHH!!! Zee jatuh tersungkur sesaat setelah ia berteriak sekencang-kencangnya di depan kelasnya sendiri akibat menabrak seseorang. Ia memegang lengan dan lututnya yang memerah. Nyeri. Begitu pula dengan Joy. Gadis manis itu nampak meringis kesakitan dan masih tetap pada posisinya. Zee perlahan menatap seorang lelaki yang telah ia tabrak dengan Joy tanpa sengaja. Lelaki itu juga jatuh berdebam di atas lantai, meringis kesakitan, sama seperti dirinya dan Joy. Anak-anak lain yang melihat kejadian itu hanya diam tercengang. Tanpa disuruh, Joy sudah berdiri dengan tegap dan mengucapkan kata maaf berkali-kali. “Maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf….” “Udah, berhenti!” lelaki yang mereka tabrak tanpa sengaja itu sedikit membentak. Dengan raut wajah yang jelas-jelas terlihat kesal, lelaki itu bangkit dan menepuk-nepuk celana serta seragam sekolahnya yang sedikit berdebu. Lelaki itu melirik ke arah Joy sekilas, lalu menatap Zee yang masih terduduk dengan wajah sebal. Joy kembali membuka mulutnya sembari menunduk karena saking takut dan merasa bersalahnya. “Maaf ya … aku bener-bener nggak sengaja. Aku sama sekali nggak bisa berhenti. Aku—” “Terserah,” anak itu memotong ucapan Joy dengan dinginnya. Joy kaget. Ia menatap lelaki itu dengan wajah yang menyedihkan. Kedua bola mata besarnya yang nampak tak berdosa itu terbuka lebar dan sedikit berkaca-kaca, seperti ingin menangis. Zee yang menatap perubahan raut wajah Joy terpancing seketika. Entah mengapa ia sama sekali tidak terima Joy diperlakukan seperti itu. Zee langsung bangkit, tidak lagi mempedulikan rasa sakit di tangan dan lututnya. Ia menatap lelaki itu dengan tajam. “Dia udah minta maaf kali. Biasa aja dong,” ujar Zee singkat dan tenang, tetapi begitu menusuk.  Lelaki itu menatap Zee dengan kaget. Zee segera membuang muka. Ia meraih pergelangan tangan Joy dan menggandengnya masuk ke dalam kelas.  *** Sepulang sekolah…. Zee terduduk di bangku taman sekolah yang asri nan indah. Teman-temannya kebanyakan sudah kembali ke kamar asrama masing-masing, tetapi tidak dengan Zee. Ia sedang ingin sendiri. Bahkan ia sama sekali belum tahu di mana letak kamarnya dan siapa yang akan sekamar dengannya. Ngomong-ngomong, satu kamar asrama terdiri atas 4 orang anak. Karena bosan, Zee akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar mengitari sekolah barunya ini sambil menarik tas kopernya. Saat melewati pintu lapangan basket indoor yang tertutup, Zee menghentikan langkah kakinya. Dengan perlahan, ia mulai mendorong pintu itu dan membukanya lebar-lebar. Tampak di lapangan sana ada seorang lelaki yang sedang men-dribble sebuah bola basket lalu memasukkannya ke dalam ring. Nice shoot! Tampaknya lelaki itu tidak menyadari kehadiran Zee. Entah apa yang sedang merasuki kepalanya, Zee terus berjalan ke dalam dan menuruni tangga tribun dengan perlahan. Ia berdiri tepat di pinggir lapangan basket besar itu. JDUGH!!! Bola basket berwarna kecokelatan itu kembali memasuki ringnya dengan sempurna. Bola itu menggelinding tepat ke arah Zee dan menyentuh ujung kakinya. Zee yang sedang bengong karena takjub sama sekali tidak menyadari kehadiran bola itu. Bagaimana tidak? Dalam jarak sejauh itu, bola basket itu berhasil masuk ke ringnya dengan sempurna! Tanpa sadar, lelaki yang tadi memainkan bola basket itu menoleh ke arah Zee. Ia sedikit kaget karena Zee yang tiba-tiba muncul. “Ehm, maaf? Bisa tolong lempar bolanya ke gue?” tegurnya. Zee gelagapan. Ia tersadar dari lamunannya. “Ah, i-iya!” Zee meraih bola basket itu dan melemparkannya ke arah lelaki tadi. “Thanks,” ujar lelaki itu sambil tersenyum. Zee hanya mengangguk malu-malu. Lelaki itu menghampiri Zee dengan perlahan. “Ada perlu apa? Kok lo bisa ada di sini? Hmmm … lo kelas 10-G kan?” tanya anak itu. Zee mengangguk patah-patah. “Hm … ya. Maaf ngeganggu. Nggak ada apa-apa kok, gue cuma kebetulan lewat aja tadi,” jawab Zee. Lelaki itu mengangguk mengerti. Suasana canggung nampak menyelimuti mereka berdua. “Eh, gue harus balik ke asrama. Duluan ya!” Zee memutuskan untuk mengakhiri percakapan. Ia balik badan sebelum anak itu menjawab. Saat ia baru tiga langkah dari tempat semula…. “Tunggu.” Zee menghentikan langkahnya. Ia menoleh tanpa memutar tubuhnya kembali. “Nama lo siapa? Gue juga kelas 10-G,” lelaki itu melanjutkan. Zee merutuk dalam hati. Bagaimana bisa ia tidak hafal wajah teman-teman sekelasnya? Dan itu memang kenyataannya. Mungkin karena ini adalah hari pertamanya di Achilleo Academy. “Mackenzee Claudya Vesta,” Zee menjawab nama lengkapnya. Tanpa sadar ia memutar tubuhnya, menghadap lelaki itu. “Ah, yang namanya Mackenzee itu lo ternyata—” “Zee aja. Lo?” Zee memotong ucapan lelaki itu. Lelaki itu mengangkat sebelah alisnya, lalu mengangguk. “Oke. Nama gue Dimmytri Axendra Julian. Panggil Dimmy aja. Gue ketua kelas 10-G. Lo pasti tau kan?” jawabnya yang ternyata bernama Dimmy itu sembari bertanya. Zee mengangguk, lalu memutar bola matanya, merutuk dalam hati, ‘Ya elah! Mau pamer apa gimana sih ni anak?’ Zee menatap anak itu lagi. “Udah terlalu sore, bentar lagi makan malem bersama. Gue harus ke kamar untuk mandi dan siap-siap. Duluan ya, Dim!” ucap Zee. Ia menyunggingkan senyum manisnya dan berlalu meninggalkan Dimmy yang juga tersenyum.  *** ‘Kamar nomor 212 mana sih…’ rutuk Zee dalam hati. Ia berjalan perlahan melewati pintu-pintu besar asrama putri. Sementara asrama putra berada di depan asrama putri, jadi posisinya berhadapan. Tanpa sengaja, Zee menabrak pelan bahu seorang siswi dan membuat buku yang sedang dipegangnya terjatuh. Ternyata itu adalah buku panduan khusus asrama putri. “Ah, maaf! Gue nggak sengaja,” kata Zee. Ia meraih buku panduan itu dan menyerahkannya ke anak perempuan yang tadi ia tabrak. Anak itu tersenyum simpul. “Nggak apa-apa, gue yang salah. Maaf ya,” balasnya, masih tetap tersenyum. Zee membalas senyum itu dan mengangguk pelan. Mereka terdiam sebentar dalam posisi saling berhadapan. Anak itu meneliti Zee dari kaki hingga kepala, lalu sedikit memiringkan kepalanya. “Kita temen sekamar rupanya!” ujar anak itu semangat. Zee membelalakkan kedua matanya. Mereka baru bertemu sekarang, tetapi kenapa anak itu mengatakan hal demikian? “Maksudnya? Dari mana lo tau kita sekamar?” tanya Zee heran. Anak itu tersenyum. “Kamar 212 kan? Ada di sana, gue juga mau ke sana kok. Oh iya, kenalin, nama gue Elleanor Amanda Ceres, panggil gue Elle aja ya. Nama lo?” anak itu entah mengapa mengatakan hal-hal yang membuat Zee kebingungan. Bagaimana mungkin anak yang bernama Elle itu tahu nomor kamar asramanya? “Hm … Mackenzee Claudya Vesta, panggil Zee aja. Ngomong-ngomong … kok lo bisa tau, Elle? Nomor kamar gue,” jawab Zee sekaligus menanyakan pertanyaan semula. Elle tersenyum menggoda. “Gimana ya? Susah jelasinnya. Nanti jangan berebutan kasur sama temen kita yang lain ya!” dan entah mengapa Elle malah mengatakan hal itu. Zee mengernyitkan keningnya. ‘Dih? Gak jelas ni anak!’ Zee merutuk dalam hati. “Apaan…” namun hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut Zee. Elle tertawa garing, lalu menunjuk sebuah pintu dengan dagu lancipnya. “Itu kamar 212. Ayo ke sana bareng!” ajak Elle. Mau tidak mau, akhirnya Zee pun mengikuti langkah Elle menuju kamar yang ditunjuknya tersebut.  *** “Ini beneran kamar kita?” Zee membelalakkan matanya saking takjubnya. Matanya menerawang ke sana-kemari. Elle hanya mengangguk sembari tersenyum. Ia segera mengemasi barang-barang bawaannya di salah satu lemari yang ada di kamar asrama yang cukup besar nan mewah tersebut. Ada empat ranjang tidur yang saling berdampingan, empat buah meja kecil di samping ranjang, empat buah lemari kayu yang berukuran sedang, dua buah meja rias, sebuah kulkas berukuran sedang, dua buah pendingin ruangan, sebuah penghangat ruangan, sebuah kamar mandi, sebuah sofa empuk berbahan beludru berwarna merah hati, empat buah meja belajar berukuran sedang, ditambah keempat jendelanya yang juga bisa berfungsi sebagai pintu, bisa digeser dan menghubungkan langsung kamar dengan balkon kamar mereka. Dari sana kita bisa melihat pemandangan kota dan sebagian kecil pedesaan dengan leluasa. Di lantainya terpasang karpet beludru garis-garis berwarna pink dan putih. Dindingnya dipasang wallpaper berwarna pink lembut dengan ukiran bunga-bunga tulip yang indah. Sungguh feminin dan keperempuanan. Zee melirik seorang gadis yang sedang memainkan ponselnya sembari berebahan di sofa. Semenjak ia dan Elle datang, gadis itu nampak tidak peduli. Ia malah mengacuhkan kedatangan mereka berdua. Zee juga memperhatikan Elle yang sedang sibuk menata pakaian-pakaiannya di lemari kayu. Sungguh rapi dan teratur. Sementara Zee? Ia masih terdiam di depan pintu masuk. Tiba-tiba, dari arah kamar mandi muncul sesosok gadis yang sudah tidak asing lagi bagi Zee. “Zee?!” teriak gadis itu dengan histeris. Joy. Zee kembali terbelalak. Tanpa sadar, ia tersenyum lebar kepada Joy yang sudah duluan berlari menghampiri dan memeluknya. Zee sedikit terdorong ke belakang akibat Joy yang tiba-tiba berlari dan memeluknya dengan erat. “Nggak kusangka, ternyata kita sekamar!” lanjutnya lagi. Zee hanya mengangguk semangat sembari tersenyum. Ia mengusap-usap punggung Joy yang masih memeluknya. Elle yang sudah selesai mengemasi pakaian dan barang-barangnya menatap Zee dan Joy dengan heran, lalu menghampiri mereka berdua. “Kalian udah saling kenal?” tanya Elle. Joy melepaskan pelukannya dan mengangguk semangat. “Iya! Kita sekelas dan udah jadi bestie juga, iya kan?” Joy merangkul Zee, meminta pendapatnya. Zee gelagapan. Ia hanya bisa mengangguk patah-patah sembari cengengesan mendengar kata-kata Joy. Elle mengangguk mengerti. “Oh … sekelas rupanya, bestie-an pula! Oh iya, by the way … nama lo siapa?” tanya Elle sembari menatap Joy. Joy mengulurkan tangannya. “Joy Olivia Natures, panggilannya Joy. Salam kenal! Kalo kamu?” Elle menerima uluran tangan Joy dan menjabatnya. “Elleanor Amanda Ceres, panggil Elle aja ya. Salam kenal juga, Joy!” balas Elle, tak kalah semangatnya. Zee tersenyum melihat keakraban kedua teman barunya. Ia segera berjalan ke arah sebuah tempat tidur yang paling ujung dekat dengan jendela dan meletakkan koper di bawahnya serta tas ransel di atasnya. Zee kembali bergabung dengan Joy dan Elle yang sedang bercengkerama di atas ranjang yang menjadi pilihan Joy. Ranjang Joy berada di paling ujung juga, dekat dengan pintu. “Elle kelas 10 apa?” tanya Joy. “Gue 10-F. Lo sama Zee enak ya, sekelas. Coba aja gue sekelas sama kalian berdua,” Elle sedikit merutuk. Joy dan Zee hanya tersenyum prihatin. “Iya juga. Pasti lebih asik kalo sekamar, tapi juga sekelas,” Zee menimpali. Joy mengangguk menyetujui. Sesaat setelah mereka bertiga saling mengobrol dan bercanda-ria, entah mengapa pandangan mereka kompak tertuju ke arah gadis yang sedang sibuk mengutak-atik ponselnya sembari berebahan di sofa tadi. “Dia sama sekali nggak bicara sejak aku masuk ke kamar ini. Padahal aku udah ngajak dia kenalan, tapi dia cuma diem aja, terus mainin hp-nya sampe sekarang. Ngomong-ngomong Zee, dia sekelas tau sama kita, cuma aku belum tau namanya,” Joy berbisik pelan sekali. Entah anak itu mendengar bisikan Joy atau tidak, tiba-tiba mata tajamnya menatap Joy, Zee, dan Elle. Ia bangkit dari sofa dan berjalan menuju salah satu ranjang yang dekat dengan jendela, ranjang yang menjadi pilihan Zee. Anak itu sedikit menggeser letak koper milik Zee dan memindahkan tas ransel Zee ke tempat tidur sebelahnya. Zee yang melihat itu lagi-lagi terbelalak. Ia bangkit dari posisinya dan menatap tajam ke arah anak itu yang sedang sibuk menata boneka-bonekanya. “Ini fix kasur gue. Kalian terserah mau di mana,” ucapnya tiba-tiba. Zee, Joy, dan Elle saling menatap. Zee memandang gadis itu dengan kesal. Ia menghampiri gadis itu dengan langkah lebar-lebar. “Ehm, sorry,” Zee berdehem sebentar. Gadis itu menoleh. Zee melanjutkan kalimatnya dengan suara yang ia buat setenang dan seramah mungkin. “Bukannya mau ngusir, tapi kan gue duluan yang nempatin kasur ini. Lo nggak bisa seenaknya mindahin barang-barang gue kayak gini dong.” Gadis itu mengedikkan bahunya. “Sorry, ya. Gue udah duluan nge-tag ni kasur, jauh sebelum lo dateng. Nih, buktinya,” gadis itu menunjuk sebuah kertas putih yang dilem menggunakan pita perekat berwarna cokelat di dinding di atas ranjang tersebut. Di kertas itu terdapat tulisan ‘Vallen Cathrine Zwarts’s Bed’. Ternyata namanya adalah Vallen. Zee mengepalkan kedua tangannya. Entah karena ia malu atau kesal, atau mungkin keduanya. “Tapi kenapa lo nggak naro barang-barang lo di kasur ini? Kalo nggak gitu kan mana tau orang lain ni kasur udah ada yang punya atau belom. Yang nempatin barang duluan, dia yang menang. Dan itu gue!” hardik Zee. Vallen bangkit dan menyeringai ke arah Zee. “Sejak kapan ada peraturan kayak begitu?” tanyanya penuh penekanan. Sebelum Zee sempat menjawab, Vallen sudah memutar tubuhnya dan kembali berebahan di atas ranjang yang sedang diperebutkan. Ia sedikit terkekeh meremehkan, merasa menang. Sementara itu, Joy dan Elle saling berpandangan. “War,” bisik Elle. Joy mengerutkan dahinya sambil menatap Elle tidak mengerti. Elle hanya mengibaskan tangannya, seakan memberikan isyarat, ‘sudah, lupakan saja’. Dengan kesal, Zee akhirnya memutuskan untuk mengalah. Ia tidak ingin membuat keributan di hari pertamanya masuk sekolah ini. Ia meraih koper dan tas ranselnya sambil menghentakkan kaki pertanda kesal. Ia segera melempar tas ranselnya itu ke atas ranjang tepat di sebelah Joy dan meletakkan kopernya di bawahnya. “Elle, nggak keberatan kan kalo gue nempatin kasur ini?” tanya Zee. Elle hanya mengangguk sambil mengangkat bahunya. “Of course.” ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

SEXY LITTLE SISTER (Bahasa Indonesia)

read
307.8K
bc

I LOVE YOU HOT DADDY

read
1.1M
bc

I Love You Dad

read
282.7K
bc

Will You Marry Me 21+ (Indonesia)

read
612.5K
bc

Sweet Sinner 21+

read
879.7K
bc

Naughty December 21+

read
509.0K
bc

Sexy game with the boss

read
1.1M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook