bc

In the Black Alley

book_age16+
20
FOLLOW
1K
READ
billionaire
possessive
journalists
bxg
heavy
mystery
hackers
city
office/work place
crime
like
intro-logo
Blurb

"Benar, mengenai itu. Kasus yang akan aku berikan padamu. Apa aku dapat mempercayaimu dengan itu?" Satu alis Angkasa terangkat. William bergerak membetulkan posisi duduknya menghadap Jurnalis di sebelahnya sebelum menatap Angkasa lamat. Tatapan yang membuat Angkasa harus menegak ludah diam diam.

Anggukan patah patah berhasil di berikan Angkasa. Tidak ada menarik kembali keputusannya. Dia sudah sampai di ruangan misterius ini. Dia juga sudah mengetahui identitas orang orang asing di hadapannya. Apapun yang William lakukan, dengan keamanan seperti lorong lorong aneh nan panjang yang baru saja dia lewati, William benar benar serius dengan apapun itu.

"Baiklah. Kami mempercayaimu, Angkasa. Jangan mengecewakan kami. Kau boleh menanyakan apapun setelah ini, kau boleh memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tetapi ingat, informasi yang kau ketahui setelah ini adalah sebuah informasi super rahasia yang harus kita, semua orang yang terkait rencana ini buktikan. Eden, Richie, kalian dapat menjelaskan masalah itu. Lungo Viaggio, Perjanjian terlarang."

chap-preview
Free preview
Chapter 1: Tom and Jerry
Angkasa Abisatya, seorang jurnalis yang telah mengabdi pada perusahaan berita besar di ibu kota. Umurnya yang baru menginjak 28 tahun dan prestasinya yang gemilang membuat Angkasa dikenal sebagai seorang jurnalis senior yang sangat di hormati oleh jurnalis jurnalis muda. Namanya penanya, sky, sering tertulis pada berita berita paling hangat di seluruh Indonesia. Namanya juga sering disebut sebut oleh pembawa acara politik sebagai salah satu orang yang berkontribusi besar dalam dunia informatika media. Seluruh pujian dan seluruh pencapaian yang Angkasa raih berhasil membuat pemuda berambut hitam legam dan berkulit pucat pasih itu terus mendorong dirinya, terus berjalan melewati batas. Muncullah sebuah ide untuk memuat berita kontroversial yang akan mengubah sudut pandang banyak orang, yang akan memutar balikan nasib masyarakat setiap dua hingga tiga bulan sekali. Bukan waktu yang panjang memang, tetapi Angkasa selalu menyukai tantangan. Pria itu selalu menyukai sebuah batasan yang akan dia hancurkan dengan kerja kerasnya. Dengan prinsip dan tekat yang kuat, akhirnya Angkasa menetapkan deadline yang benar benar urgent. Setiap dua hingga tiga bulan sekali, dia akan merilis berita yang akan memukau dunia. Itu sebabnya disinilah Angkasa. Duduk di dalam mobil Honda Brio berwarna merah yang terparkir di depan gedung salah satu fakultas kampus besar yang ramai akan mahasiswa mahasiswi. Pemandangan di hadapannya ini membuatnya kembali mengenang masa sekolah. Tangannya menggenggam ponselnya erat. Foto seorang pemuda berumur 21 tahun dengan rambut biru tua dan senyum miring yang entah mengapa tampak menyebalkan dimata Angkasa terpampang dengan jelas. Sekarang Angkasa sedang dalam proses membuntutui mangasanya. William Oliver Jac, seorang pemuda berumur 21 tahun yang kuliah di jurusan seni. Anak tunggal dari Oliver, seorang arsitek terkemuka dunia kelahiran Jerman dan seorang pelukis kontroversial, Jaclyne. Entah apa yang membuat pemuda itu tinggal di Indonesia saat kedua orang tuanya dengan senang hati membawanya keliling dunia. Perawakannya yang tampak cukup 'acak acakan' dan kesaksian banyak orang yang mengatakan bahwa mereka melihat William keluar masuk sebuah gang kecil tempat berkumpulnya preman preman memunculkan sebuah rumor yang jikalau benar, akan membuat nama Angkasa semakin meroket. Sudah 30 menit berlalu semenjak Angkasa menunggu di dalam mobilnya ini. Berkali kali pria pendek itu mengipas wajahnya yang berkeringat dengan menggunakan koran keluaran perusahaannya yang dia dapat secara gratis, dan hingga saat ini William tetap tidak nampak. Hampir saja Angkasa memutuskan untuk minggat, tidak kuat melihat fashion mahasiswa mahasiswi di hadapannya yang mungkin bernilai lebih mahal dari pada gajinya selama setengah tahun saat ekor matanya berhasil menangkap siluet familiar. Dilain sisi, William baru saja menyelesaikan kelasnya pagi ini. Seharusnya dia masih memiliki sekitar satu mata kuliah yang harus dia hadiri, tetapi dosennya memutuskan untuk memberikan project singkat dan meminta mereka untuk menyelesaikannya selama pelajaran. Asisten sang dosen, Joseph atau yang kerap disapa Asep adalah salah satu manusia yang kehidupan kuliner kampusnya lebih banyak membebani William. Pemuda dengan beberapa tato di lengannya itu berjanji akan mengisi absensi William walau dia tidak menghadiri kelas hari ini. Jadi lah William sekarang berjalan (meluncur) dengan skateboard miliknya sambil bersiul. Menghiraukan beberapa delikan tajam dari katingnya (kakak tingkat) yang entah mengapa sejak pertama OPSEK, tidak pernah menyukai batang hidung William yang tampak lebih mancung. Gerbang kampus terasa ramai. William meluncur menuju parkiran motor kampus. Beberapa kali siulannya harus terhenti saat teman temannya menyapa. Motor vespa yang dia kendarai telah tampak di ujung parkiran. Karena kampusnya yang dikenal sebagai salah satu kampus mahal, tempat parkir setiap fakultas tampak lebih rapi dari pada tempat parkir mall sekalipun. Hal itu adalah salah satu alasan mengapa William sangat betah berada di kampus ini. Dia memiliki memori yang kurang baik, sehingga terkadang dia dapat kehilangan banyak barang. Bayangkan jika kau harus kehilangan motor hanya karena terlalu banyak motor yang terparkir di sekitar motor milikmu. Pemuda itu meraih helm hitam miliknya, dengan cepat mengenakannya dan langsung melaju keluar dari area gedung parkir yang terletak tepat di sebelah gedung kampusnya. Kembali ke Angkasa. Pria itu menatap lamat lamat William yang bersiul diatas skateboard miliknya. Dahinya mengernyit. Apakah mahasiswa disini diperbolehkan untuk membawa barang barang seperti itu? Beberapa detik berlalu sebelum Angkasa menggeleng. Dia buru buru memotret William yang sekarang sedang melambaikan tangan pada seorang gadis cantik keturunan cina-Indonesia. Sang jurnalis mendengus. Dasar genit. Angkasa kembali menunggu selama beberapa menit. Dia tadi melihat William yang memauski area gedung parkir sekolah. Mobilnya sudah menyala sejak 5 menit yang lalu. Siap untuk membuntuti William yang sepengetahuannya mengendarai sebuah motor Vespa mahal. Beberapa detik, mata Angkasa masih menatap lekat lekat pintu keluar gedung parkir tersebut hingga sebuah motor Vespa berwarna hitam melaju bebas membelah gang lebar. Bergerak menuju gerbang utama yang menandakan berakhirnya wilayah kampus raksasa tersebut. Tak butuh waktu lama bagi Angkasa untuk buru buru tancap gas. Sebenarnya dia sedikit menyesal menggunakan mobil dalam misi 'pembuntutannya' kali ini saat dia melihat seberapa lincahnya William yang menyalip mobil mobil besar dengan berani. Untungnya jalanan terasa cukup senggang, memudahkan Angkasa untuk ikut menyalip dengan mobilnya yang minimalis (super mini). Sekitar 25 menit terus membelah jalan ibu kota, Angkasa akhrinya dapat melihat motor William yang berbelok menuju sebuah gang. Tepat seperti apa yang dikatakan banyak saksi mata. Angkasa memutuskan untuk memarkirkan mobilnya di sebuah mini market dekat sana dan mulai mepersiapkan tas ransel miliknya. Pria itu juga tidak lupa mengirim lokasi livenya pada salah satu rekannya, jaga jaga jika dia tertangkap dan harus dibantu keluar. Persiapannya cepat. Hanya beberapa menit sebelum Angkasa berjalan keluar dari moiblnya. Tas ransel yang dia tenteng pada satu bahunya tampak dia genggam erat. Gang tersebut sangat sempit. Hanya dapat dilalui oleh dua sepeda motor. Itu pun salah satu harus mengalah. Kepalanya menatap kesana kemari. Memastikan bahwa dia masih mendapati jejak William yang sudah hilang. Kedua matanya menatap plang besar yang tertempel pada dinding, sekitar 15 meter dari posisinya sekarang. Plang sebuah restaurant berwarna hitam dengan tulisan kuning neon. 'Yellow Alley' tertulis dengan huruf kapital yang memanjakan mata. "Yellow Alley?" Kalimat pertama yang diutarakan Angkasa seharian ini. Sang Jurnalis mengernyit. Kakinya terus berjalan mendekati bangunan besar berbentuk persegi itu. Dinding bangunan terbuat dari semen yang dicat dengan warna kuning gelap. Angkasa dapat melihat suasana di dalam restaurant melalui jendela jendela raksasa yang terpajang di seluruh dinding restaurant. "Selamat datang! Untuk berapa orang?" Tanpa sadar kedua kakinya telah berjalan memasuki gedung restaurant. Tidak masalah. Toh dia belum makan sejak pagi tadi. "Satu orang saja." "Baik. Silahkan duduk. Kami akan melayani sebentar lagi." Angkasa mengangguk. Restaurant itu tampak lebih besar dari yang dia pikirkan. Suasana disekitarnya mengingatkan Angkasa pada genre musik HipHop ceria. Terang, Neon, kasar, tetapi menyenangkan. Seharusnya jika restaurant ini berada di tempat yang lebih startegis, mungkin akan sangat terkenal. Beberapa detik menunggu, seorang pria tinggi dengan rambut hitam legam berjalan mendekat. Dengan telaten menyapa Angkasa sembari menyodorkan buku menu pada sang jurnalis. "Pesan satu ayam saos Inggris sama es teh manis satu." Pelayan di hadapannya mangut mangut. Tangannya bergerak cepat mencatat pesanan Angkasa sebelum kembali mengulanginya lagi. "Satu Ayam saos Inggris dengan satu es teh manis. Apa mau pakai nasi?" Angkasa mengangguk. Masa iya dia makan ayam saos Inggris tanpa nasi. Pelayan tinggi di hadapannya ikut mengangguk sebelum meraih buku menu di hadapan Angkasa dan pamit undur diri. Kedua mata Angkasa sekali lagi menatap sekitar. Restarant ini sebenarnya tidak sepi sekali. Ada beberapa meja yang terisi oleh tamu dari berbagai macam usia. Sepertinya selain tempatnya yang unik, restaurant ini juga menyediakan makanan yang lezat, menilai dari dua pasang kakek nenek di ujung sana yang makan dengan lahap. Di ujung matanya, Angkasa menatap siluet rambut biru tua yang tampak sangat familiar. Entah itu keberuntungan atau memang takdir, Angkasa tidak tahu. Tetapi untuk sekali, dia senang akan keputusan absurdnya untuk memasuki restaurant ini. William tampak berbicara dengan pelayan yang sama yang mengambil pesanan Angkasa. Keduanya tampak cukup akrab, tetapi berbicara dengan serius. Dilihat dari mana pun, William tampak mencurigakan. Wajahnya yang mengeras, sangat berbeda dari saat dia berada di kampus fakultas seni tadi. Pemuda itu berbisik pelan pada sang pelayan sebelum seseorang menekan bel kecil yang terdapat di dekat dapur. Salah satu pesanan telah sampai. Angkasa buru buru menatap ponselnya. Itu adalah pesanannya. Bagus juga restaurant ini. Pelayanannya cepat, tidak membuat orang menunggu lama sembari melihat lihat suasana bangunan unik itu. Saat Angkasa mendongak, berniat akan bertanya mengenai William pada pelayan tampan nan tinggi itu, kedua matanya malah mendapati William itu sendiri. Pemuda berambut biru itu tersenyum ramah pada Angkasa. Tangannya membawa nampan berisi makanan dan minumannya. "Jadi, untuk apa kau mengikutiku?"

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
53.2K
bc

Married With My Childhood Friend

read
43.7K
bc

Mengikat Mutiara

read
142.2K
bc

AHSAN (Terpaksa Menikah)

read
304.2K
bc

Rujuk

read
909.1K
bc

Bukan Ibu Pengganti

read
526.0K
bc

Tuan Bara (Hasrat Terpendam Sang Majikan)

read
111.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook