Aku Bukan Boneka

Di sebuah ballroom hotel berbintang, tengah berlangsung pesta pernikahan mewah. Tampak sekali keluarga besar Salim begitu berbahagia bahkan larut dalam suasana pesta. Para tamu undangan yang kebanyakan dari kalangan pengusaha besar, terlihat silih berganti memberikan selamat kepada Erwin Pranata Salim yang malam ini mengakhiri masa lajangnya dengan mempersunting Velove Ariana Wijaya. Sementara itu, di sebuah meja tamu, duduk seorang wanita yang menatap pasangan tersebut dengan perasaan begitu terluka. Dia adalah Vicky Ayudya. Wanita cantik yang sebelumnya memang berstatus sebagai kekasih dari seorang Erwin Pranata Salim. Keduanya sudah dua tahun lebih menjalin hubungan. Bahkan sempat menjalani LDR saat Erwin ditugaskan oleh orang tuanya mengurusi Perusahaan yang ada di Korea Selatan. Harapan serta impian keduanya untuk membina rumah tangga tiba-tiba kandas tatkala Erwin dijodohkan oleh sang ayah dengan wanita pilihan mereka. Hal ini dilakukan dengan sengaja untuk menyelamatkan Salim Group yang selama ini berdiri kokoh dalam sektor pertambangan dari ancaman kebangkrutan atau kerugiaan besar dampak dari krisis yang terjadi. Entah, apakah setelah ini hubungan Vicky dengan Erwin akan benar-benar berakhir begitu saja atau masih bisa berlanjut walau harus dijalani secara diam-diam seperti apa yang pria itu pinta sebelumnya "Aku bersumpah, ini nggak akan berlangsung lama. Setelah berhasil menceraikannya, aku akan langsung menikahimu, Vicky," janji Erwin "Kamu yakin mampu menceraikan wanita pilihan Papamu?" Vicky tampak sangsi. Ia teramat mengenal bagaimana sosok Erwin selama ini. Pria itu tidak pernah sekali pun membantah serta menolak apa yang diperintahkan sang ayah. Bahkan, saat dikirim ke Korea begitu lama hingga menyebabkan keduanya terpisah, Erwin menurut saja tanpa sedikit pun memberikan protesnya. "Aku yakin mampu. Apa pun akan aku lakukan agar pernikahan itu segera berakhir. Aku cuma cinta kamu, Vicky bukan Velove." "Kamu jahat, Win. Kamu udah mempermainkan aku yang selama ini setia tunggu kamu ----" "Vicky, aku mohon." Erwin langsung menyela ucapan sang kekasih. Menarik, lalu mendekap erat tubuh wanita itu kemudian mengecup puncak kepalanya seraya berbisik pelan. "Tolong pahami posisiku saat ini. Kamu juga tau kalau aku nggak mau kehilangan kamu begitu aja. Lagi pula, selama ini aku nggak pernah ingkar janji, kan? Jadi aku mohon, tunggu sebentar saja. Dan untuk sementara, biar kita jalani hubungan ini secara diam-diam," pintanya memelas. Berharap dengan sengat Vicky mau mengabulkan permintaannya. Vicky tentu saja tidak bisa membohongi perasaannya. Mau bagaimana pun juga, ia memang teramat mencintai sosok Erwin. Karena tidak ingin terus larut dalam kesedihan, Vicky memilih bangkit dari duduk lalu bersiap untuk pergi meninggalkan ballroom. Kepalanya terasa sakit memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya. Entah, apakah ia akan sanggup menjalin hubungan diam-diam dengan kekasihnya sendiri? Saat pesta telah selesai digelar, Erwin memilih untuk segera membawa Velove pulang ke kediamannya. Begitu sampai, tanpa basa-basi ia langsung menarik wanita itu untuk segera masuk ke kamar, lalu mendorongnya hingga tersandar di sofa yang ada di sudut ruangan. "Puas, kamu udah hancurin hidup aku?" ketusnya penuh amarah. Tatapan mata Erwin seolah mampu membakar Velove hidup-hidup hingga berubah menjadi abu. "Jangan kamu pikir setelah menjadi istriku, kamu bakal hidup bahagia!" "Memangnya apa salah ku?" tanya Velove dengan suara bergetar. Seumur hidup, mana pernah Velove diperlakukan kasar seperti ini. Dilahirkan sebagai anak tunggal, kedua orang tuanya tentu teramat begitu menyayanginya sepenuh hati. Mana pernah sekali pun bersikap kasar. Baik membentak apalagi melakukan hal-hal yang membuatnya merasa sakit atau sedih. Masih dikuasai emosi, Erwin melangkah maju. Mendekati posisi sang istri yang tengah terduduk, kemudian meraih dagu wanita itu lalu tanpa belas kasih mencengkramnya dengan keras. "Kamu tanya salahmu apa?" Erwin langsung menyipitkan mata. Kekesalan masih terpancar jelas di wajah tampannya. Entah kenapa, bila melihat wajah Velove, ia ingin sekali meremukkan tulang-tulang wanita itu. "Salah kamu udah setuju dengan perjodohan s****n ini. Kalau saja dari awal kamu menolak, pernikahan ini nggak akan pernah terjadi!" Pria itu kemudian melepas cekalan tangannya dengan kasar. Sementara Velove hanya bisa meringis menahan perih. Bukan maunya juga menjalani hidup seperti ini. Tapi ia bisa apa? Tidak ada pilihan selain menuruti apa yang sudah diperintahkan. Lebih-lebih pernikahan ini memang sudah dirancang sejak lama dengan tujuan untuk memperluas bisnis kedua belah pihak dan membantu Salim Group yang mengalami kesulitan hingga terancam bangkrut. Lagi pula, Darius Wijaya dan Purnomo Salim memang menjalin hubungan persahabatan sejak masih muda. Jauh sebelum Salim Group mengalami kesulitan, keduanya sama-sama pernah berspekulasi akan menjodohkan anak-anak mereka agar hubungan baik yang selama ini sudah terjalin bisa terus berlangsung hingga anak cucu. Pun hal ini juga yang akhirnya mendasari kesepakatan untuk menikahkan Erwin dan Velove. "Terus kamu maunya apa? Mau ceraikan aku? Lalu menggadai nasib perusahaan keluarga Salim yang di ujung tanduk? Menggadai nasib ribuan buruh dan karyawan yang mengabidikan seluruh hidupnya dengan kalian? Erwin berdecak. Tidak dipungkiri peran keluarga Wijaya memang sangat dibutuhkan saat ini. Ketika semua orang tidak ada yang bisa membantu, hanya ayah Velove yang mau memberikan uluran tangan. Memastikan Salim Group kembali jaya seperti semula. "Jangan mentang-mentang keluargamu sudah menolong Salim Group lantas kamu bisa seenaknya mengaturku! Cepat atau lambat aku pasti akan menceraikanmu, Ve," tegas Erwin. "Aku bersumpah, setelah masalah di perusahaanku selesai, aku bakal ceraikan kamu secepatnya. Bisa gila kalau aku tinggal dengan wanita yang sama sekali nggak aku cintai." Erwin mengucapkan kalimat itu penuh akan kebencian. Kemudian berjalan keluar sambil membanting pintu kamar keras-keras. Jika para pengantin baru berbahagia melewatkan momen malam pertama mereka bersama pasangan, berbeda jauh dengan Velove. Ia hanya bisa menahan tangis dan rasa perih yang menggerogoti hatinya. Terus saja memikirkan nasib apalagi yang akan menimpanya di hari-hari yang akan datang.