bc

Trouble with CEO

book_age18+
1.6K
FOLLOW
8.1K
READ
confident
dare to love and hate
drama
bxg
like
intro-logo
Blurb

Alyanshah Pradipta sudah terlalu sibuk mengurus perusahaan yang dimandatkan kepadanya oleh sang ayah. Ditambah beban perkataan sang ibu yang memintanya untuk segera menikah. Hidupnya terasa lebih rumit bahkan lebih berat dari keluar dari keterpurukan masa lalunya. Sampai, ia bertemu dengan Alyandra Salsabila, gadis yang bekerja di perusahaannya dan memiliki nama panggilan yang sama dengannya. Namun, sayangnya gadis itu malah menganggapnya sebagai masalah dalam hidupnya.

chap-preview
Free preview
01. Welcome new life, Aly
Aly sibuk dengan dokumen-dokumen dihadapannya. Padahal, kepalanya sudah sangat berat karena tidak henti-hentinya membaca. Harusnya, dulu ia lebih menghargai segala kerja keras sang ayah sebagai orang yang mengelola perusahaannya sendiri. Di sini, Aly menjabat sebagai direktur utama. Tentu saja, dengan bujuk rayu sang ayah yang selalu mengatakan kalau dirinya sudah terlalu tua untuk terus bekerja. Sebelumnya, Aly mengajukan jabatan yang biasa saja. Atau mungkin manager masih bisa ia atasi. Namun, dua tahun ini ia terjebak dalam jabatan yang cukup melelahkan ini. Ternyata, jarang pulang ke rumah memang bukan sebuah keinginan. Tetapi, tuntutan pekerjaan. Aly juga sering kali menginap di kantor jika pekerjaannya benar-benar banyak. “Nu, tolong tambah kopi lagi. Gue mumet banget!” perintah Aly pada sang sekretaris. “Ini udah mau keempat kali, Pak Bos. Makan siang aja belum. Kasian lambungnya,” balas Ranu sang sekretaris. Ya, Aly memang sengaja merekrut laki-laki sebagai sekretarisnya. Ia ingin lebih leluasa jika harus ada pekerjaan yang memerlukan waktu sampai larut. Ia juga kenal betul bagaimana Ranu yang dulu adalah juniornya di kampus. “Ya udah, sekalian makan siang gue, deh. Di sini aja. Gue gak ada waktu banyak.” Aly memijat dahinya berkali-kali. “Siap!” Ini hari keempat di minggu ini Aly tidak pulang ke rumah orang tuanya. Ya, sebenarnya sebagai seorang pria yang sudah cukup dewasa, Aly juga sudah punya rumah sendiri. Namun, sang ibu selalu saja berdrama dan itu membuat Aly semakin pusing. Tak jarang juga Sheila mengiriminya pesan untuk menanyakan kapan pulang atau sekedar mengingatkan untuk tidak telat makan. “Ranu, jadwal gue hari ini penuh banget gak sih? Kayaknya, gue mau balik deh. Udah suntuk banget nginep mulu di kantor.” “Ini dokumen terakhir bulan ini, Pak. Mungkin, dua minggu ke depan akan kembali normal.” Jawaban Ranu membuatnya membuang napas lega. Sebaiknya, ia tak mengabari ibunya terlebih dahulu. Biar saja ibunya itu terkejut atas kepulangannya. Pasalnya, ia tak ingin ibunya malah kerepotan mempersiapkan segala sesuatu. Padahal, ia hanya pulang dari kantor. “Oke, Nu. Makasih, ya. Lo jangan lupa istirahat juga. Akhir-akhir ini lo harus ngadepin gue yang banyak maunya. Padahal, harusnya lo lagi seneng-senengnya sama baby lo.” “Gapapa, Pak. Bapak juga jangan terlalu banyak ngopi. Jangan lupa juga calonnya,” canda Ranu. Sejauh ini, Aly memang selalu tak acuh mengenai calon pendamping. Pekerjaan saja sudah membuatnya sepusing ini, pikirnya. “Lo kayak nyokap gue deh lama-lama. Duh, jadi keingetan lagi gue mau balik ini. Balik temenin gue ngopi dulu ya, Nu. Mau nyiapin energi buat dengerin ocehan nyokap gue.” Ranu hanya terkekeh mendengar ucapan Aly. Memang, Sheila juga tak jarang bertanya pada Ranu apakah Aly suka diam-diam menemui seseorang atau barangkali punya hubungan dengan seseorang. Namun, jawaban Ranu yang selalu nihil membuat Sheila bahkan pernah menyuruh Ranu mencarikan calon untuk Aly yang tentu saja tak Ranu lakukan karena ia sendiri lebih takut pada Aly. “Tawa mulu, lo!” “Pak, nikah gak seribet itu, kok. Malah, ada orang yang bakal bikin kita ngerasa kalau capek selama ini menguap gitu aja. Apalagi, kalo udah punya baby. Pas nyampe rumah, bukannya istirahat malah asyik main.” “Kamu ini promosi terus! Saya no clue sih, soal beginian. Yang deket aja gak ada.” “Kalo cowok ya harusnya yang nyari, Pak.” “Kamu kayak gak paham aja seberapa sibuk saya!” “Saya cariin, Bapak gak mau.” “Lo nyariin apaan? Aneh-aneh aja, Nu.” Setelah ini, yang Ranu lakukan memang hanya pasrah saja. Karena, tak ada yang bisa ia lakukan jika Aly sudah bicara. **** Aly merapalkan doa-doa sebelum mengetuk pintu rumahnya. Semoga, kali ini ibunya lupa tentang perkataan yang selalu diucapkannya setiap kali ia pulang. Apa lagi kalau bukan tentang menikah? “Al pulang,” ucapnya lesu. Ya, tentu saja selain benar-benar lelah, kalau ia memasang wajah lelah, ibunya mungkin akan lebih mengerti untuk tidak membahas hal-hal menyebalkan itu. “Duh, anak Mama. Kok gak bilang dulu mau pulang? Kan, Mama bisa persiapan buat—“ “Buat ngajakin orang-orang gak jelas buat makan malam padahal anaknya capek banget kerja mulu dan harus ngobrol sampai larut malam dan gak istirahat!” sambar Aly. “Ma, Al capek banget sumpah. Al pulang karena benar-benar mau istirahat.” “Belum juga Mama kelar ngomong, udah dipotong aja. Dosa, kamu.” “Maaf, Ma. Soalnya, Al udah hapal dialog Mama,” kekeh Aly. “Mama mau masakin makanan kesukaan kamu. Mau, gak?” “Mau, Ma. Tapi, sekarang Al mau langsung tidur, ya.” Sheila mengangguk. Mungkin, kali ini ia memang harus memberikan kelonggaran pada putranya. Ia juga tak boleh egois hanya karena melihat teman-temannya sudah menimang cucu. Aly memang sesibuk itu. Ia harus paham kelelahannya. “Gimana kantor, Al?” tanya Ardan, sang ayah di sela-sela makannya. Sebenarnya, Sheila tidak suka jika keluarganya membicarakan masalah pekerjaan di meja makan. Namun, bagi Aly lebih menyebalkan jika ibunya sudah membahas masalah jodoh. Itu membuat makanan yang baru saja masuk ke perutnya seperti akan keluar lagi. “Aman, Pa. Cuma, Al capek banget ini. Kalo Al tau dulu kerjaan Papa gini, Al gak bakal nakal deh kayaknya.” Ardan terkekeh mendengar ucapan Aly. “Ya, namanya juga remaja, Al. Gak aneh juga. Kitanya juga kurang ngasih pengertian ke kamu.” Aly beruntung kali ini. Ibunya benar-benar tak menambah beban pikirannya. “Udah bahas kerjaannya. Sekarang, makan banyak-banyak. Al juga jarang kan makan masakan Mama sekarang ini. Jangan-jangan, makannya sembarangan?” “Nggak, Ma. Al makan makanan yang daftarnya Mama kasih ke Ranu. Kalo gak percaya, tanya aja Ranu.” “Kasian ya, Ranu selain jadi sekretaris, tapi harus nyiapin makan kamu juga,” gurau Ardan. “Papa. Mau ngikut Mama nih nyindir-nyindir, Al?” “Kok Mama? Padahal, Mama diem aja lho, ini!” protes Sheila tak terima. Aly dan Ardan hanya tertawa melihat Sheila yang merajuk. Ternyata, jika pulangnya dihabiskan untuk bergurai seperti ini, Aly merasa kalau pulang benar-benar cara untuk membuang penatnya. Ia merasa benar-benar beristirahat. Lelah yang ia rasakan menguap begitu saja. Andai saja, ibunya tidak menanyakan hal-hal lain, pulang mungkin hal yang paling ia rindukan di tengah kesibukan pekerjaannya yang menumpuk. “Kalian berani ya gini sama Mama? Gak Mama masakin aja tau rasa!” Ancaman Sheila membuat Aly maupun ayahnya langsung meminta maaf. “Ampun, Ma.” “Papa cuma ikut Al, Ma. Kalau mau hukum, Al aja. Papa jangan dibawa-bawa.” “Papa yang nyenggol Al duluan, Ma.” “Kebiasaan aja salah-salahan, ya!” “Ampun, Ma,” kekeh Aly. “Al balik kamar dulu, ya. Besok ada rapat juga.” “Lho, iya besok ya, Al?” tanya Ardan. “Papa lupa? Kan, Papa yang kasih jadwal.” Ardan hanya tertawa karena ia memang lupa dengan jadwal rapat tersebut. Padahal, dirinya sendiri yang sudah menentukan jadwal tersebut. Sebenarnya, ayah Aly ini hanya ingin meninjau perkembangan perusahaan yang sebentar lagi akan benar-benar resmi dipegang oleh putranya. Ya, saat ini Aly memang belum sepenuhnya memegang kekuasaan secara hukum. Jadi, ini sama dengan fase percobaannya untuk memimpin perusahaan sebelum benar-benar resmi. “Kenapa kamu malah gak nyiapin buat presentasi, Al?” “Udah beres, Pa. Kan, Al emang udah prepare.” Ardan menepuk bahu sang anak dengan lembut dan memberikan tatapan bangganya. “Semoga, kamu bisa membawa perusahaan menjadi lebih baik ya, Al.” “Al akan berusaha sekeras mungkin, Pa. Al gak mau kecewain Papa. Ini kan hasil kerja keras Papa. Pasti, Papa lebih capek dari ini.” “Terima kasih, Al.” “Al yang harusnya terima kasih sama Papa, Mama atas semua kerja kerasnya yang dulu Al sepelekan.” “Kalian jangan kayak gini, dong. Mama suka sedih jadinya.” Sheila lagi-lagi membuat dua pria di keluarganya tertawa. “Al, jangan lupa juga calonnya. Mama sama Papa udah tua. Mau juga jadi opa-oma dan nimang cucu.” Ardan menambahkan. Aly membuang napasnya kasar. Pembahasan panjang berujung kepada pembahasan ini kembali. “Ma, Pa. Bukannya Al gak mau nikah. Tapi, ya emang gak segampang itu. Jadi, Al juga gak mau memberi harapan sama kalian. Al gak mau Mama sama Papa malah berekspektasi terlalu tinggi dan ujung-ujungnya kecewa.” “Ya, Al. Mama kali ini cuma bisa doain kamu aja. Maaf, ya kalo Mama terlalu menekan ini.” “Al paham kok gimana perasaan orang tua yang punya anak sedewasa Al. Maafin Al ya, Ma, Pa. Al belum bisa jadi anak yang baik buat kalian.” “Al.” Sheila meneteskan air matanya. “Mama jangan nangis. Al terima doa Mama. Semoga, memang terkabul, ya. Tapi, Mama masih sabar, kan kalo jodoh Al masih jauh?” Sheila mengangguk lemah. “Udah, udah. Al, istirahat gih. Jangan mikirin beginian lagi.” Ardan menginterupsi percakapan yang cukup sensitif ini. Aly merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur lamanya. Tempat yang dulu selalu menjadi tempat ternyamannya selama di rumah. Merasakan segala kesepiannya. Mencoba mengubur segala luka-lukanya. Sampai terkadang, ketika ia masuk ke tempat ini, ia merasakan atmosfer yang dulu. Tak jarang juga ia memimpikan Vanila yang tersenyum manis dan memberinya semangat untuk tetap melangkah dan meninggalkan keterpurukannya. Ia mengambil buku harian Vanila yang memang sengaja ia tinggalkan di laci kamarnya ini dan tidak membawanya pindah. Aly merasa kalau segala kenangan memang harus tersimoan di tempatnya. Aly mengambil bolpoin dan mulai menulis di sana. ‘Vani, impianku dulu memang menikah sama kamu. Mungkin, kalau kamu masih di sini, kita sudah bahagia. Mungkin, aku gak dikejar permintaan mama. Tapi, aku tau, takdir ini memisahkan kita, Van. Aku cuma mau bilang, kalau mungkin nanti aku menikah dengan perempuan lain, aku akan menyayanginya sepenuh hati, seperti saat kita bersama. Aku akan berusaha membahagiakannya sebisa mungkin. Aku sudah berjanji sejak dulu kalau aku gak akan pernah membuat perempuan menangis dan sakit hati. Semoga, aku dipertemukan dengan perempuan yang baik ya, Van.’

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

(Bukan) Istri Pengganti

read
49.0K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.2K
bc

Sacred Lotus [Indonesia]

read
50.0K
bc

Me and My Broken Heart

read
34.5K
bc

Mrs. Rivera

read
45.3K
bc

My Husband My Step Brother

read
54.8K
bc

Accidentally Married

read
102.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook