bc

Suami pilihan kakak

book_age16+
3.7K
FOLLOW
51.4K
READ
love after marriage
arranged marriage
arrogant
goodgirl
CEO
boss
drama
sweet
like
intro-logo
Blurb

Cinta datang karena sebuah intensitas pertemuan yang sering di Lakukan. Rasa benci bisa berubah menjadi cinta, sedangkan rasa cinta bisa berubah menjadi benci. Hal Klise, namun memang itulah kehidupan yang di alami gadis cantik itu. Zahra putri Atmaja gadis cantik,manja,dan ceria. dia terpaksa menikah diusianya yang masih 17 tahun karena permintaan kakaknya. dia menikah dengan Adrian Chandra Hadinata seorang CEO muda dan tampan tapi sayang sifatnya sangat dingin kepada Zahra. pada awal pernikahannya bukan kebahagiaan yang di dapat Zahra melainkan perlakuan kasar dan kesedihan. Ikuti kisah mereka, maka Kalian akan tahu, kebencian itu tidak selama akan menambah benci, namun kebencian akan berubah menjadi rasa cinta yang begitu besar.

chap-preview
Free preview
Bagian 1
Keadaan begitu menyakitkan, tangisan meraung dari seorang gadis cantik yang berada di tengah suatu ruangan. Kedua tubuh yang sudah pucat dan dingin membuat semua mata menatap malang gadis yang tengah meraung seolah tidak ada lagi harapan untuk melanjutkan hidup. Hatinya seakan teriris sembilu, melihat kenyataan yang memang benar-benar nyata tak terbantahkan. Mau bagaimanapun dia menyangkal, meminta dan memohon, Tuhan tidak akan pernah mengabulkan do'anya kali ini.  Tangisan kepiluan menyayat hati semua yang menyaksikan. Gadis ceria itu sekarang seperti kehilangan dirinya sendiri, hanya tersisa gadis yang begitu rapuh kehilangan ambisi. "Pa,ma bangun," mohonnya sendu, netranya yang hitam, memerah akibat air mata yang tidak berhenti memproduksi, menatap nanar kedua orang yang teramat dia sayang dan cinta telah terbujur kaku di depan mata kepalanya sendiri.  "Sayang kamu jangan kayak gini, kasian Mama dan Papa mu, Nak. Mereka tidak akan tenang di sana," ujar wanita paruh baya yang 2 tahun lebih muda dari mamanya. Tante Ani--dia adalah adik kandung dari mamanya. Tante ani tak henti-hentinya menenangkan Zahra--gadis cantik yang tengah kehilangan kendalinya. Hasilnya nihil, Zahra tidak merespon sama sekali ucapannya. "Papa, Mama bangun...., Kalian udah janji mau ngerayain ulang tahun Zahra, tapi kenapa kalian tidur terus. Zahra mohon bangun," mohonnya penuh kepiluan. "Ma, Pa, bangun.... Jangan tinggalin Zahra. Zahra sama siapa kalau kalian pergi. Zahra mohon bangun." Semua orang yang berada di bawah atap yang sama, tak urung ikut menangis. Mereka tidak pernah melihat Zahra serapuh ini. "Zahra?" Panggilan seseorang membuat Zahra menengok pada orang yang memanggilnya dengan air mata yang masih mengalir deras dibingkai wajahnya yang cantik. Orang itu melangkah mendekati Zahra. Saat sampai didekat gadis itu, dia memeluk gadisnya dengan erat. "Kakak," ucap Zahra lirih. Orang yang dipanggil kakak tersebut adalah Raka putra Atmaja--anak pertama dari Surya Atmaja dan Arumi Atmaja--kakak dari Zahra. Raka menahan air matanya agar tidak keluar. Dalam pikirannya jika dirinya ikut menangis, siapa yang akan menenangkan adiknya. Raka memeluk adiknya dengan sangat, seakan jika dia melepas pelukannya, adiknya akan tumbang. Dia tahu adiknya saat ini sangatlah rapuh. Lebih rapuh dari dirinya "Sayang tenanglah," ucapnya dengan mengelus punggung adiknya, mencoba memberi kekuatan dengan cara ini. Zahra menangis di d**a bidang sang Kakak. Gadis itu melepas pelukannya dia menatap sang kakak dengan sendu. "Kak bilang sama Zahra, kalau ini hanya mimpi. Mama sama Papa cuma tidurkan? Mereka enggak meninggal. Cepet bilang kak." Zahra mengguncang bahu kakaknya.  "Cepat bilang Kak!" Raka menatap gadis itu dengan nanar, pancaran matanya sendu, mengisyaratkan kesedihan yang mendalam. hatinya seakan teriris saat menatap adiknya yang sangat kacau. Dia tidak pernah melihat adiknya serapuh ini, dia selalu melihat adiknya yang ceria dan cerewet. "Sayang, ini tidak mimpi, ini nyata. Kamu harus bisa menerima semua ini. Kamu enggak boleh kayak gini, tenanglah. kasian Mama sama Papa mereka enggak akan tenang." Raka mencoba kuat di hadapan adiknya. Zahra menangis histeris saat mendengar jawaban kakaknya. Kenapa semua orang yang dia sayangi pergi meninggalkan dirinya. Sebenarnya apa salahnya sampai-sampai semua orang tega meninggalkannya. Zahra menatap kakaknya dengan pandangan yang memohon. "Kak, Zahra enggak pernah minta sesuatu dari kakak kan? Zahra mohon sekali ini saja kakak turuti keinginan Zahra bangunin Mama sama Papa. Aku mohon, Kak." Permohonan dengan nada putus asa itu menggema dalam Indra pendengaran. Sayatan itu seperti nyata, perih tak tertahan, dia ingin kebahagiaannya kembali, sungguh.    Laki-laki tampan itu memejamkan mata, sungguh dia ingin menghentikan tusukan yang begitu menyakitkan itu, dia tidak tahan, adiknya adalah sumber kebahagiaannya. Raka memeluk Zahra. Dia sudah tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia juga sedih atas kepergian kedua orangtuanya, jika dia bisa, dia akan membangunkan kedua orangtuanya agar bisa kembali menerbitkan senyum adik tercintanya. Tapi sayang, dia tidak bisa, dia hanyalah manusia biasa. "Maafin Kakak, Sayang. Kakak tidak bisa menuruti keinginan kamu." Zahra memukul d**a bidang kakaknya dengan lemah. Air matanya tidak berhenti meleleh. "Kakak jahat, Kakak enggak sayang sama Zahra. Zahra benci sama Kakak, ZAHRA BENCI!" teriak Zahra. Zahra melepas pelukan kakaknya. Zahra melihat kearah Om dan Tantenya, dia berlari menuju ke arah mereka. memegang tangan Omnya dengan tatapan sayu yang menyakitkan. "Om Tama, Zahra mohon bangunin Mama sama Papa, Zahra mohon...," lirihnya. Om Tama memeluk keponakannya dengan erat, mengelus kepala yang tertutup jilbab yang sudah acak-acakan. "Ini semua takdir, Nak. Tenanglah dan ikhlaskan kepergian mereka." Zahra melepas pelukan omnya dan beralih ke-tantenya. "Tante Ani tolong bangunin mereka, aku mohon Tante...," Lirihnya. Kedua tangannya menangkup, berharap sesuatu, yang memang tidak bisa diwujudkan. "Tante enggak bisa, Sayang. Mereka sudah pergi, sudah tenang di sana. Zahra harus sabar, mereka akan sedih melihat bidadari kecilnya seperti ini." Zahra menggeleng, dia tidak ikhlas, dia tidak rela. Dia sayang dengan mereka, dia ingin mereka selalu ada untuknya, menemaninya hingga nanti dia bisa membahagiakan mereka dengan jerih payahnya sendiri. Matanya mengedarkan ke seluruh orang yang ada di ruangan yang menjadi saksi dirinya kehilangan orang yang teramat dia cinta. "Kalian semua jahat! Kalian enggak ada yang sayiang sama Zahra. Zahra benci kalian, BENCI!" setelah mengatakan itu tubuh Zahra ambruk ke lantai yang begitu dingin. Raka langsung berlari menuju ke adiknya dengan perasaan tak beraturan. "ZAHRA!"Teriak raka "Dek, bangun Sayang." Raka menepuk pipi adiknya berharap mata indah itu terbuka akibat tepukan yang Ia timbulkan. "Sayang bangun...., Kakak mohon." Tidak terasa, air mata Raka luruh kembali. Hatinya benar-benar tercabik-cabik, setelah orang tuanya pergi secara tragis dan sekarang keadaan adiknya yang tidak bisa dibilang baik. Tante Ani mendekati Raka, menepuk bahu pemuda itu dengan pelan. "Kamu bawa adik kamu ke kamar, biar Tante yang mengurus pemakaman orang tua kalian," ujar Tante Ani, dengan mengelus punggung Raka, mencoba memberikan ketenangan. Raka mengangguk dan menggendong adiknya menuju lantai atas. Raka berjalan menuju ke kamar adiknya, namun saat sampai ditangga pertama, laki-laki itu menoleh ke arah tantenya. "Tante, tolong panggilkan dokter." Tante Ani hanya mengangguk dan tersenyum. Dia tau keponakannya saat ini sangat rapuh, dan dia mencoba menenangkan dengan senyuman walaupun hatinya juga sakit saat mendengar kakak yang selama ini merawatnya meninggalkannya terlebih dahulu. ----------------------------------------------------------------- Pemakaman telah selesai, tetapi gadis dengan netra bulat nan indah itu, masih setia menutup keindahannya. Kata dokter, Zahra hanya syok dan kelelahan ditambah lagi Zahra belum makan dari tadi pagi. Zahra berada ditaman yang sangat luas dia menggedarkan pandangannya,dia melihat dua orang yang sangat dia sayangi tengah duduk di bangku taman. Zahra menghampiri kedua orang itu dengan senyum indah merekah, seperti matahari kala musim kemarau tiba. "Mama, Papa?" Panggilnya dengan semangat. Mama dan papanya menoleh, kemudian tersenyum hangat menatap Putri kecil yang teramat mereka cinta. "Sini sayang,"panggil mamanya, dilihat anak gadisnya mendekat, wanita paruh Baya itu mengeset duduknya, agar gadis kecilnya bisa berada di tengah-tengah mereka. Zahra tersenyum dan duduk diantara orangtuanya. "Mama sama Papa enggak akan tinggalin Zahra kan?" Tanyanya dengan netra menatap kedua orangtuanya secara bergantian. Senyuman sendu membuat gadis yang tadi menatap berbinar menjadi kian meredup. Matanya sudah berkaca, melihat ekspresi kedua orang tuanya. "Sayang, Papa sama Mama harus pergi. Tugas kita sudah selesai. kami sudah merawat Zahra dan kakak, kalian udah dewasa. Kalian harus hidup sendiri tanpa kami. Sekarang waktunya kami untuk beristirahat. Kami akan selalu ada disisi kamu, kami tidak akan pergi jauh dari kamu kok," ujar laki-laki tampan duplikat Kakaknya itu dengan mengelus kepala Zahra yang tertutup jilbab.  Air mata Zahra luruh saat mendengar ucapan papanya. "Apa kalian enggak sayang sama Zahra? Zahra enggak bisa hidup tanpa kalian. Zahra ingin ikut kalian," nada sarat akan permintaan itu membuat hati siapapun yang mendengar terenyuh. Mamanya memeluk Zahra dengan erat, pelukan seorang ibu yang akan dirindukan. "Kamu bisa Sayang. Ini yang terbaik untuk kamu dan kakak kamu. Ini juga sudah takdir dari yang di atas. Perpisahan sangat menyakitkan, tetapi akan ada banyak hikmah dan kebaikan yang akan kamu dapat. Kamu sayangkan kami, kan?" Zahra mengangguk. "Kalau kamu sayang, kamu jangan pernah nangis lagi, ikhlaskan kami, kamu bisa turuti kemauan kami?"  Sejenak gadis itu tidak bisa berkata apa-apa. Namun, anggukan kecil dengan tetesan embun yang tidak berhenti membuat kedua orang tuanya tersenyum dengan manis. Mama dan papanya memeluk Zahra dengan begitu erat. Setelahnya, kedua orang itu melepas pelukannya dan pergi meninggalkan Zahra di taman yang luas itu. "Ma pa jangan pergi. Jangan tinggalin Zahra. Zahra mohon...." Lirih Zahra pilu. Semakin lama, kedua orang tuanya semakin tidak terlihat. Zahra berlari, mencoba meraih lengan kedua orangtuanya. Orang tuanya tersenyum dan melambaikan tangan. Zahra terjatuh saat dia sudah dekat dengan kedua orangtuanya. Dia menatap nanar kedua malaikatnya. Malaikatnya tersenyum dan terus bejalan menuju cahaya yang terang. Dan detik berikutnya malam dan papanya sudah tidak ada dihadapannya. "MAMA, PAPA!" Zahra terbangun dari mimpinya dengan Nafas memburu serta keringat dingin yang mengalir di dahinya. Raka yang sedang berkumpul dengan keluarga besarnya terperanjat saat mendengar teriakan adiknya. Raka pamit kepada keluarganya dan dianggukki seluruh keluarganya. Laki-laki itu berlari menuju dimana adiknya berada. Hal pertama yang dia lihat adalah Zahra yang menatap kosong kearah depan. Raka menatap sendu sosok mungil yang sedang berduka itu. "Zahra?" Zahra hanya diam dengan pandangan lurus ke depan. "Zahra, Kakak mohon jangan buat Kakak semakin sakit melihat keadaan kamu yang seperti ini." Raka memegang bahu adiknya, mencoba mengarahkan tatapan itu agar tertuju padanya. "Kamu tahukan? Kamu Adalah kelemahan Kakak, jadi kakak mohon jangan seperti ini. Hati kakak sakit saat melihat kamu terpuruk seperti ini. Kakak mohon tersenyumlah." Raka menatap adiknya sendu. Zahra yang melihat kakaknya seperti itu langsung memeluk kakaknya dengan erat, Raka membalas pelukan adiknya tak kalah erat. "Maafin Zahra kak. Apa semua orang tidak menyayangi Zahra? Sehingga satu persatu dari mereka pergi meninggalkan Zahra. Apa kakak juga akan meninggalkan Zahra? Apa segitu bencinya tuhan kepada Zahra?" Zahra meluapkan segala uneg-unegnya, meracau agar sesak di dadanya bisa berkurang. Baru kemarin dia ditinggalkan oleh orang yang telah merebut hatinya tanpa ada sepatah katapun dan sekarang orang tuanya juga meninggalkannya. Sebenci itu kah Tuhan padannya? Raka tau apa yang dimaksud adiknya. Raka menangkup wajah adiknya dengan tangan kekarnya. "Ssssst jangan pernah kamu ingat lagi dia. dia bukan orang yang tepat untuk kamu. Lupakan dia sayang. Kalau soal Mama sama Papa mungkin ini yang terbaik bagi kita. Mereka udah tenang di sana, jadi jangan halangi jalan terang mereka dengan tangisanmu yang dapat meredupkan cahaya itu. Ubahlah tangisanmu dengan do'a untuk mereka, kamu bisa kan?" Zahra menganggukan kepalanya, Raka menghapus sisa air mata yang ada di wajah cantik adiknya dengan begitu lembut. Zahra sadar tak seharusnya dia menangis seperti ini. Seharusnya dia berdoa untuk kedua orang tuanya. Dia tersenyum menatap sang kakak. "Nah gitu dong senyum, kan Adik Kakak cantik kalau lagi tersenyum seperti ini." "Sekarang kamu mandi, setelah itu turun kebawah. Semua khawatir dengan keadaan kamu. Apalagi si David dia sampai nangis saat kamu belum sadar-sadar." David adalah anak dari Tante Ani. David sangat sayang kepada Zahra, karena dia tidak memiliki adik perempuan. Dari dulu dia sangat ingin memiliki adik perempuan, tetapi sayang mamanya keguguran saat mengandung adiknya dan dokter memvonis bahwa mamanya tidak bisa hamil lagi.  Zahra terkekeh kecil membayangkan wajah David yang konyol menangis karenanya. "Sana kamu mandi, teman-teman kamu juga masih ada di luar!" Prrintah raka halus. Zahra tersenyum dan mengangguk. Kemudian dia berjalan menuju kamar mandi. Raka tersenyum menatap punggung adiknya yang menghilang di balik pintu kamar mandi. "Semoga kamu bisa melupakannya sayang. Dia tidak baik untuk kamu. Kakak akan berusaha membuat kamu tersenyum terus. Kakak janji akan selalu ada buat kamu," gumam laki-laki itu dengan senyuman tipis yang terukir.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

I Love You, Sir! (Indonesia)

read
259.8K
bc

RAHIM KONTRAK

read
417.8K
bc

Turun Ranjang

read
578.5K
bc

The Unwanted Bride

read
110.9K
bc

Rujuk

read
904.3K
bc

The Ensnared by Love

read
103.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook