bc

KETIKA AKU HAMIL

book_age18+
10.3K
FOLLOW
97.9K
READ
sex
pregnant
bisexual
office/work place
like
intro-logo
Blurb

Warning 21++

(Bacaan dewasa!)

Bijak lah dalam memilih bacaan!

Aku memilih Romi.

Dia lelaki pilihan Ayahku.

Sebenarnya aku masih sangat mencintai Edward saat ia dikenalkan Ayah, tetapi Edward yang tidak bisa menerima keadaanku, dan menghilang saat aku menghadapi keterpurukan, membuatku tidak bisa melanjutkan hubunganku ke jenjang yang serius dengannya.

Ini adalah cerita dalam pernikahanku dan Romi.

Hari-hari kami lewati dengan bahagia, bahkan tidak lama setekah menikah aku sudah dinyatakan hamil

Tapi, saat berbagai cobaan menerpa rumah tangga kami, Edward kembali datang dan memberi perhatian padaku, bahkan pada kandunganku. Ia terus meyakinkanku, bahwa ia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, kesalahan yang dapat membuatku pergi meninggalkannya lagi.

chap-preview
Free preview
Bab 1 | Malam Pertama
Aku menunduk ketika Romi, lelaki yang baru saja sah menjadi suamiku mencium keningku lembut. Aku pasrah karena malam ini adalah man miliknya, Romi sudah berhak melakukannya. Aku menatapnya dalam, belum pernah aku berani menatapnya selekat ini dari sejak pertama kali kami bertemu. Hidungnya yang mancung, dengan rahang yang lekang, alis mata yang rapih sedikit tebal, kulit wajah sawo matang membuatku nyaman berlama-lama menatapnya. Banyak harapan yang ku panjatkan kepada lelaki berdada bidang di hadapanku ini, salah satunya Romi bisa menjadi suami yang dapat mencintaiku apa adanya. Dan, dapet setia menemani ku hingga tua nanti. Aku berdiri memeluk lengan kanannya, di pelaminan. Di samping kiri kanan kami ada kedua orang tua aku dan Romi yang juga terlihat begitu bahagia dengan pernikahan kami. Mungkin, kedua orang tua kami adalah orang yang paling bahagia atas pernikahan kami. Romi dikenalkan ayahku, beberapa bulan lalu. Awal perkenalanku dengan Romi, biasa saja, aku tidak menyangka ia kini beridiri bersamaku di pelaminan. Mataku menelusuri ruangan besar di salah satu hotel bintang lima di Jakarta, sebuah pesta mewah menjadikanku merasa begitu istimewa dan sangat di perhatikan. Wajar saja, Romi terlahir dari keluarga pengusaha sukses, banyak rekan bisnisnya yang datang. Romi tidak henti-hentinya tertawa, sesekali memeluk riang tamu undangan yang datang. Mereka kebanyakan rekan kerja Romi, atau teman saat Romi kuliah dan sekolah. Temanku tidak banyak, karena aku juga tidak memiliki banyak teman, apalagi teman dekat. Hanya orang tertentu saja yang ku undang. Sebagian dari mereka, tidak menyangka aku akan bersanding dengan Romi. Tatapanku terhenti pada sebuah sudut, dimana aku dapati seorang berkemeja coklat yang sangat ku kenal. Ia menatapku, terus nyaris tak berkedip. Ditangannya ada gelas dengan minuman yang tidak lagi penuh. Dadaku sesak melihatnya. Wajahnya kusam, rambutnya kering tersisir ke belakang. Dia Edwad, atasanku di kantor. Selain pimpinan di perusahaan tempatku bekerja, ia juga mantan kekasihku. Yang sudah lima tahun menemaniku. Aku memalingkan wajahku dari tatapannya, aku tidak berani menatapnya lama. Sudah terlambat, ia hadir, berarti ia menginginkan ini. Aku tidak merasa bersalah, karena Edward yang membuatku memilih jalan ini, jalan menikahi Romi dan memilih meninggalkan dirinya. Aku berusaha tersenyum, menahan tangisku. Aku mempererat pelukanku ke Romi, berusaha meneguhkan hati. Aku mencintai suamiku, aku harus mencintainya. Tegasku dalam hati berulang kali. Romi adalah lelaki yang tepat yang sudah ku pilih. Romi menatap ke arahku yang memeluk lengannya erat. Romi melepaskan rengkuhan tanganku, lalu memeluk pundakku erat.. Romi menatapku, menggenggam telapak tanganku erat, "Kamu terlihat semakin cantik hari ini, aku mencintaimu." bisik Romi ditelingaku, hiruk pikuk pesta membuatnya harus berbisik tepat di telingaku. Aku tersenyum tidak menjawab, "kalau saja aku tidak takut riasanmu luntur mungkin aku sudah menciummu sekarang.." goda Romi. "Sabar, ada waktunya.." jawabku singkat, Romi membalas senyumku, dan mencium pipiku kilat. Aku mengusap pipinya. *** Romi begitu manis. Dari awal perkenalan, ia sudah menjadi lelaki yang begitu sabar menungguku. Saat itu, Romi datang menemuiku bersama Papanya, Pak Mahakarsa. Mama Romi sudah meninggal satu tahun sebelumnya, mereka datang menemui aku yang datang berama Ayah dan Bunda di salah satu restaurant. Ayah dan Bunda sudah jauh-jauh datang dari Kalimantan hanya untuk bertemu dengan Romi, dan Papanya. Malam itu Romi mengenakan jas hitam dengan dasi biru gelap. Ayahku terlihat begitu akrab dengan Romi, mungkin karena Papa Romi sahabat dekat Ayah saat SMA. Romi adalah pengusaha properti sukses, selain itu ia juga memiliki perusahaan interior yang besar dan tersebar di seluruh Indonesia dan beberapa sudah ada di luar negeri, tidak ku tau pasti tapi yang aku tau Romi melanjutkan usaha Pak Mahakarsa, Romi mendapat dua perusahaan karena Romi anak bungsu lelaki yang Mahakarsa percaya. Romi datang begitu sopan, begitu hangat. Caranya menghadapi Ayahku yang cenderung keras, benar. Ayah seakan jatuh cinta dengan sikap sopan Romi. Berulang kali ia tertawa lepas saat menceritakan memori kenangannya dengan Papa Romi, Pak Mahakarsa, saat SMA dulu. "Nak, Romi. Inilah anak gadis Om, yang Om ceritakan ke Ayahmu. Namanya Ara, Mutiara." Ayah memperkenalkan ku kepada Romi. Ternyata Ayah sudah menceritakan aku kepada Romi. Aku tersenyum dan menunduk, Romi menjulurkan tangannya ke arahku. Aku menyambutnya, senyum Romi begitu manis, tapi aku belum luluh pada saat itu. Di hatiku masih dipenuhi nama Edward. Aku bukan tipikal wanita yang mudah jatuh cinta. Apalagi menurutku Edward adalah yang paling sempurna. Lama ayah dan bunda berbicara ke Romi, hingga akhirnya ayah dan bunda memilih pulang terlebih dahulu dan meninggalkanku beruda saja dengan Romi di restaurant. Aku sudah menduga, pasti karena mereka ingin aku dan Romi saling mengenal, mereka meninggalkan kami berdua. Aku diam saat kami hanya berdua di antara meja makan ini. Aku tidak terlalu banyak bicara ke Romi, tidak ada yang perlu dibicarakan. Tapi, Romi ternyata pintar mencairkan suasana, ia seperti sudah mengenalku lama. "Ini perjodohan, lucu sekali orang tua kita ini." tawa Romi, aku tersenyum dan mengangguk menanggapi pembicaraan nya namun diam tetap tidak menjawab, "untungnya, wanita yang dijodohkan mereka cantik." sambung Romi menatapku. Aku masih tetap diam, hanya sedikit menyunggingkan senyum. "Kamu sudah punya pacar?" tanya Romi langsung, aku terkejut mendengar pertanyaan blak-blakan nya itu "Pacar?" tanyaku lagi, Romi mengangguk. " Hm.. Ya, aku punya pacar. Sudah lima tahun," aku menegaskan, Romi mengangguk-angguk mengerti. Tidak tampak wajah kecewa di wajahnya, tentu saja untuk apa kecewa, kami baru saja kenal. "Yah, kalau begitu sama saja, aku juga masih memiliki pacar. Dia sangat khawatir aku jatuh cinta dengan wanita pilihan Papaku. Makanya dari tadi, ponselku tidak berhenti berdering. Aku rasa, dia sedang tidak karuan saat ini, haha.." Romi bercerita lugas dan santai. Aku tersenyum mendengarnya, aku lega ternyata Romi juga memiliki kekasih, sama sepertiku. Jadi aku tidak perlu drama menolak dinikahkan dengan lelaki yang baru saja ku kenal. Suasana kikuk juga bisa mencair. "Ayah dan Bunda sudah pulang, kamu boleh mengangkat telepon darinya." ucapku mengizinkan Romi menerima telepon dari pacaranya. Romi merogoh kantung jasnya, mengambil posel dan mengusap layar sentuh, membuka kunci pada ponselnya "Sepertinya ia sudah ngambek," ucap Romi sambil mengangkat bahunya, lantas meletakkan kembali poselnya ke dalam kantung. "Lalu?" tanyaku, "Lalu..? Lalu apa?" Romi terlihat tidak mengerti, "Lalu, kamu akan diam saja melihat pacarmu marah?" tanyaku, "Haha," tawa Romi pecah mendengar pancinganku, " wanita kalau marah, itu berarti ingin diperhatikan lebih. Nanti saja, aku akan memberikan banyak waktu untuknya," sambungnya seperti seorang yang sangat berpengalaman meluluhkan hati wanita, "sekarang, aku akan mengantarmu dan mengantarkan ke rumahmu, kalau dilihatnya anak gadis tersayangnya tidak diantar pulang olehku, Om Herawan akan marah dan melapor ke Pak Mahakarsa," sahut Romi menyebutkan nama ayahku dan papanya. Aku mengangguk. Romi terlihat begitu santai menghadapi ini semua, berbeda sepertiku, aku justru kebalikannya. Edward tidak ku beri tahu, aku hanya memberi tahunya bahwa aku ada makan malam dengan kedua orang tuaku yang datang dari Kalimantan. Edward pasti tidak menyangka kalau ayahku datang karena ia akan mengenalkan lelaki pilihannya. Sesampai di rumah, aku langsung merebahkan kepala ke sofa, melihat lurus ke langit-langit, sekilas ada bayangan Romi yang masih terekam. Menurutku Edward masih jauh lebih tampan dibandingkan Romi, tapi Edward memiliki sifat yang lebih serius, dan agak kaku. Entah apa yang akan ia lakukan bila tau aku sudah berkenalan, makan malam bersama, bahkan pulang berdua. "Bagaimana?" Tanya ayah sambil duduk memegang segelas kopi hangat dan meletakkannya di atas meja. "Jadi, Ayah jauh-jauh ke Jakarta, hanya untuk menjodohkanku?" tanyaku tanpa mengangkat kepalaku dan memalingkan wajahku, tatapanku tetap lurus ke langit-langit. Ayah meneguk kopinya perlahan, tidak menjawab. "Ayah, kan sudah Ara bilang, Ara sudah ada pilihan sendiri." ucapku memelas, aku merubah posisiku dari rebah ke duduk menatap ayah. "Sudahlah, Ayah tidak yakin dengan pilihanmu." Ucap Ayah ketus. Aku mendengus kesal mendengar tanggapannya. Padahal ayah belum terlalu mengenal Edward, seandainya ayah mau sedikit lebih jauh mengenal Edward. Pasti ayah akan menyukainya. Waktu terus berjalan, seiring berjalannya waktu, ucapan ayah terbukti. Aku mengaku pada Edward kalau aku di jodohkan dengan ayah. Edward mendengarnya sedikit kecewa, kami lebih sering beradu mulut, Edward terlihat seperti seseorang yang kalah sebelum bertanding. Edward terlihat rendah diri, dan sensitif dengan segala sesuatu. Terlebih saat perut bagian kiriku sakit. Sakit yang ku rasakan sudah ku rasakan sejak lama, namun tidak terlalu aku rasa selama ini, namun setelah aku jatuh pingsan dan di rawat di rumah sakit, akhirnya aku tau penyebab sakit perutku. Aku di diagnosa tumor ovarium, atau tumor indung telur. Indung telurku harus dioprasi dan dilakukan pengangkatan. Saat itu aku benar-benar terpuruk, kedua orang tuaku kembali datang ke Jakarta menemuiku. Aku memilih untuk menolak dilakukan operasi, aku sungguh takut, terlebih saat diberi tahu bahwa kemungkinan untukku memiliki keturunan tidak besar. Aku melakukan pengobatan, berbagai obat ku minum. Edward tidak seperti dahulu. Alasan kesibukan kantor ia jadikan alasan untuk tidak menemaniku melakukan terapi. Sebaliknya, Romi justru menemaniku kemanapun aku pergi, selain karena ayah yang menitipkan, ia juga mengatakan dan berjanji akan menemaniku dan merawatku. Selaiitu, Romi masih menyempatkan waktu mengantar jemput aku dan kedua orang tuaku. Alasan Romi bukan lagi karena pencitraan ke orang tua, Romi mengatakan bahwa ia mulai jatuh cinta kepadaku. Hubungannya dengan kekasihnya sudah kandas. Bisa saja karena Romi memilihku, tapi entahlah, Romi tidak mengatakan kalau ia putus karena aku. Romi hanya mengatakan kalau pacarnya memutuskannya karena Romi tidak seperti dulu. Perutku kian hari semakin sakit. Dokter mengatakan, bahwa indung telurku harus diangkat dan harus dilakukan pemeriksaan pada tumornya, apakah ganas atau jinak. Kalaupun tidak diangkat, indung telur bagian kananku sudah rusak, tidak mungkin untuk dipertahankan. Hatiku hancur mendengarnya. Satu bulan aku berjuang melakukan terapi, konsul ke beberapa dokter dan beberapa rumah sakit, tapi seperti tikus yang takut dimangsa kucing, Edward bersembunyi, seperti hilang ditelan bumi. Ia tidak menampakkan diri sekalipun selama aku sakit dan berjuang dengan penyakitmu. Ia tidak membalas pesan dan tidak mengangkat teleponku, telepon rumahpun tidak bisa dihubungi, tapi saat aku tanya dengan rekan kerjaku di kantor, Edward masuk dan bekerja sepeybiasa. Aku tidak mengerti apa kesalahanku, sampai ia seperti itu. Edward seperti mengusirku pelan-pelan. Aku bisa menahan tangisku ketika ayah dan bunda ada di sisiku, namun aku tidak bisa menahannya saat sendiri di ruangan perawatan. Aku seperti sangat gagal, hatiku terasa seperti di sayat. Cinta Edward ternyata hanya sebatas itu kepadaku. Lima tahun yang sia-sia. "Apa kamu gak capek menangis terus? Nanti Ayah dan Bunda tau." tanya Romi mengusap rambutku. "Tidak akan tau, kecuali kamu memberi tau." Jawabku sambil membuang remasan tissue ke tempat sampah di bawah tempat tidurku. "Lihat, kantung matamu membengkak, hidungmu merah seperti buah jambu. Apa seperti itu yang bisa disembunyikan?" Romi menarik kursi kecil dan mendekatkannya ke tempat tidurku. Ia menatapku lekat. "Kamu tau, kekasihku pergi. Aku juga akan sulit punya anak. Aku benar-benar hancur sekarang!" tangisku pecah tidak bisa ku sembunyikan. Romi menarik telapak tanganku yang terpasang infus. "Aku juga baru kehilangan kekasih. Aku meninggalkannya." Aku diam, masih terisak, "karena aku jatuh cinta denganmu." ungkap Romi, di sini aku baru tau kalau putusnya hubungan Romi dan kekasihnya karena aku. Aku mengusap air mataku. "Kamu tidak boleh seperti itu!" Aku membentak Romi. Romi tersenyum, "kamu tidak bisa seenaknya mengatur hatiku." Jawab Romi tenang. Tatapannya menenangkan ku, "Aku mencintaimu, Ra. Dan, aku juga tidak tau kenapa. Lalu, aku harus apa? Marah dengan siapa?" Aku masih terdiam, aku memalingkan wajah dari Romi. Romi memegang dagu ku, agar aku kembali menerima tatapan matanya, kedua telapak tangan Romi di letakkan di kedua rahangku. "Aku akan menunggumu mencintaiku. Tapi, izinkan aku menikahimu.." Aku tercekat mendengar jawaban Romi. Baru saja Romi mengajakku menikah, berarti dia melamarku. "Aku.. aku tidak mau." Aku menjawab tegas. Tentu saja aku tidak mau, aku masih menunggu Edward. Aku ingin Edward yang mengatakan itu. "Aku memahami keresahanmu, Ra. Aku akan menunggu.." "Romi, kamu tau, aku akan sulit memiliki anak. Sebelah indung telurku diangkat, sedangkan yang satu lagi? Ada kista di sana. Kemungkinan akan semakin sulit, aku.." "Sulit bukan berarti tidak bisa, Ra." Romi tetap berusaha meyakinkanku. "Aku banyak membaca artikel dan jurnal kesehatan, banyak yang mengatakan bahwa kista yang ukurannya masih sangat kecil, akan menghilang bila terjadi kehamilan." Aku juga mendengar itu dari dokter, aku tidak menyangka Romi juga mengetahui itu. Aku masih diam, entah harus berkata dan menjawab apa. "Aku akan menunggumu, Ra. Sampai kau setuju, sampai kau juga mencintaiku." *** Aku belum bisa menutup mata, rasa badanku masih sangat lelah, tapi mataku belum bisa terpejam. Dadaku berdetak kencang, kali ini ada Romi di sampingku. Aku tidak sendiri lagi, malam ini aku harusnya sudah pasrah dengan suamiku. "Kamu belum mengantuk?" Tanya Romi. Romi ternyata tau kalau aku belum tidur. Aku membalikkan badan. Romi setengah duduk, menutup buku yang sedari tadi ia baca, dan mematikan lampu baca di samping tempat tidur miliknya. Aku baru tau, ternyata Romi punya kebiasaan membaca sebelum tidur. "Kamu suka membaca?" Tanyaku, "Hanya pancingan agar mengantuk," jawabnya "Jadi, sudah mengantuk?" Tanyaku lagi, Romi menggeleng. Tangannya merengkuh leherku. "Aku tau istriku ini sedang berdebar-debar. Romi tersenyum. Baru kali ini aku melihatnya dari dekat. Ternyata Romi sangat tampan. Wajahku memanas, entah lampu tidur bisa menampakkan wajah merahku saat ini atau tidak. "Aku.. lelah.." jawabku pelan, "Aku tau, kita tidur sekarang ya." Romi mencium keningku. "Apa akan sakit?" Tanyaku memberanikan diri. "Katanya seperti itu.." jawab Romi, "tapi sepertinya aku akan membuatmu menyukainya," Romi menangkap pancinganku "Kamu sudah berlatih sepertinya," "Aku masih perjaka, Nyonya." Romi mengacak-acak rambutku, Aku tersenyum memeluknya. Tanganku turun, Romi yang mengenakan celana tidur tipis mulai gelisah. Di bawah sana sudah ada yang mengeras dan menggeliat. "Kamu sudah siap?" Tanya Romi. "Harusnya aku selalu siap." Jawabku, "lakukan dengan pelan.." Romi mencium bibirku pelan, rasanya menghanyutkan. Begitu lembut, tanganku meraba senjatanya mengimbangi tangan Romi yang sudah sedari tadi menemukan gundukanku, nafas kami beradu seperti orang kelelahan. Rasanya indah sekali, Serangan Romi turun ke leher, menjilatinya seperti makan es krim, sambil sesekali mengecupnya. Aku melenguh. Tangan kekar Romi membuka dasterku. Aku menurut. Seperti seorang yang sudah lihai ia membuka kaitan di dadaku dengan tangan satu. Kali ini aku hanya mengenakan celana dalam. Romi menyantap tubuhku rakus. Aku hanya pasrah menikmati keindahan. Tidak lama, pertahanan terakhirku runtuh, celana dalamku kini sudah berhasil Romi tanggalkan. Aku semakin menggeliat. Romi memainkanku, milikku. Banjir, tebal. "Kamu indah," ucap Romi. Wajah Romi kali ini sejajar dengan wajahku. Aku mencium Romi. "Aku mohon, lakukan." Romi mengangguk, mengusap keningku, lalu mencium kening, kedua mataku, dan bibirku. Aku melenguh, ketika sebuah benda tumpul memaksa masuk. Aku memejamkan mata, mencengkram bantal, Romi menghapus air mataku, rasanya sakit tetapi aku penasaran dengan sensasinya. Aku berusaha bertahan Romi begitu lembut memperlakukanku. Senjata Romi berhasil masuk, ia berhenti sejenak. "Terimakasih, Ra.." ucap Romi. "Aku milikmu, Rom. Aku mencintaimu.." jawabku merengkuh tubuhnya. Romi mengangguk dan menciumiku. Senjatanya mulai ia gerakan. Rasa pedih dan nyeri perlahan berubah. Begitu indah Romi memainkan ritme gerakannya. Membuatku semakin penasaran. "Hm,ah," aku melenguh berulang kali. Semakin lama Romi semakin cepat bergerak. Aku merasakan ada yang akan terjadi, badanku melengkung, tegang. Romi menghentakkan senjatanya dalam, aku dan Romi melenguh bersamaan. Romi merebahkan kepalanya di tengah dadaku. Aku tersenyum bahagia menikmati malam pertamaku yang tidak dihiasi drama seperti kebanyakan cerita yang pernah ku dengar. Rasanya aku menginginkan nya lagi, tapi aku tidak mau memaksa, aku tidak ingin membuat Romi geer. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Aksara untuk Elea (21+)

read
835.7K
bc

BRAVE HEART (Indonesia)

read
90.8K
bc

LAUT DALAM 21+

read
288.5K
bc

My Soulmate Sweet Duda (18+)

read
1.0M
bc

Because Alana ( 21+)

read
360.0K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
75.9K
bc

RAHIM KONTRAK

read
417.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook