bc

Pelakor Cilik

book_age18+
2.2K
FOLLOW
16.4K
READ
billionaire
tomboy
drama
sweet
humorous
lies
chubby
affair
assistant
like
intro-logo
Blurb

Iwa memilih pergi dari rumah karena tidak tahan dengan tingkah Hendrawan yang selalu pulang dalam keadaan mabuk. Bermodalkan doa dan tekat yang kuat, akhirnya Iwa bisa terbebas dari kekangan ayahnya itu. Ternyata, keluar dari rumah tidak lantas membuat hidup Iwa bahagia. Iwa harus tetap melawan kerasnya kehidupan. Tapi, Iwa tidak gentar. Itu yang membuat Oma Aning, wanita beruban yang tidak sengaja ia temui. Oma Aning memutuskan meminta Iwa menjadi asisten rumah tangga di rumah cucu yang juga menjadi tempat tinggalnya.

Mahesa lelaki dewasa yang lembut, memiliki istri seorang wanita karir yang sangat sibuk. Kehidupan rumah tangga Mahesa dan Syifa ternyata memiliki rahasia yang tidak boleh Oma Aning tau, dan semua itu tidak sengaja Iwa ketahui. Untuk membuat Iwa tidak memberitahu apapun kepada Oma Aning, Mahesa mulai menawarkan beberapa penawaran untuk Iwa. Hingga akhirnya, Iwa menilai berbeda perlakuan yang Mahesa suguhkan. Iwa mulai merasakan sesuatu yang berbeda pada dirinya. Iwa jatuh cinta dengan majikannya.

chap-preview
Free preview
Chapter 1 - Keputusan Iwa
"Iwa! Kemana kamu! Keluar sekarang!” bentak seorang lelaki membawa sebuah batang rotan yang biasa digunakan untuk menepuk kasur kapuk saat di jemur. Iwa menundukkan kepala, memeluk lututnya dan menggulung badannya sekecil mungkin agar cukup masuk di bawah sebuah meja di depan warung yang sudah tutup. Iwa tidak takut, hanya saja kali ini tubuhnya sudah tidak mampu lagi menahan nyeri yang timbul akibat pukulan rotan yang dihadiahi Hendrawan. Lelaki pemabuk itu tidak segan-segan mengumpulkan kekuatannya untuk memukul Iwa, gadis semata wayangnya yang kini sudah beranjak dewasa. Di mata Hendrawan, Iwa tetaplah anak kecil yang harus di pukul agar membuat efek jera. Tapi pada kenyataannya Iwa sudah tiga tahun lulus dari SMA, saat kelulusan, hingga sekarang, Iwa belum pernah menunjukkan kepada Hendrawan bahwa anak semata wayang nya itu menerima predikat lulusan terbaik, bukan hanya satu sekolah, tapi satu ibu kota, nilai Iwa paling tinggi. Hendrawan tidak memperdulikannya, jangankan bertanya hasil, menyapa Iwa dengan sapaan wajar saja nyaris tidak pernah Iwa terima. Bahkan ia marah karena kopi yang Iwa buatkan terlalu manis dan air nya tidak panas. Kejadian itu terus berulang, setiap kali Iwa membuatkannya kopi. Iwa mengusap pipinya perlahan. Ia menatap air di telapak tangannya. Iwa tersadar, bahwa malam ini Iwa menangis. Setelah sekian banyak siksaan, baru malam ini Iwa merasa begitu sakit. Iwa semakin menekuk badannya, menyembunyikan wajahnya di sela dengkul yang erat ia peluk. Iwa menangis membayangkan, sampai kapan ia harus menanggung kerasnya watak Hendrawan. Kalau bisa ia memilih, ia ingin mati saja, seperti ibunya yang kini sudah tenang. Tapi Iwa menyadari, bunuh diri bukanlah hal yang baik. Sudah berpuluh kali Iwa memohon kepada Tuhan, ia ingin dicabut nyawanya. Kalau kebanyakan orang berdoa agar diberikan umur panjang, Iwa justru ingin usianya pendek. Ia tidak tahan hidup lama dalam keadaan mencekam seperti ini. Sebuah kertas yang sudah lusuh masih ia , masih ia simpan selama tiga tahun terakhir, sebuah amplop putih berisikan kabar gembira. Di dalam amplop itu juga terdapat kabar bahwa Iwa memperoleh lulusan dengan nilai tertinggi di sekolah. Iwa tidak menyangka, karena selama ujian berlangsung Iwa harus bersembunyi di dalam toko kelontong milik Koh Akiong untuk belajar. Koh Akiong adalah pemilik salah satu kios di pasar. Rumah Iwa berdekatan dengan pasar tradisional, Iwa sering menjadikan pasar sebagai tempatnya mencari uang. Koh Akiong memiliki seorang anak, bernama Anita, dia gadis berkulit putih yang sangat cantik. Iwa dan Anita bersahabat sejak kecil, Anita sangat mengerti keadaan Iwa. Untuk itu Anita selalu menyiapkan tempat persembunyian paling aman untuk Iwa menghindari Hendrawan yang kerap pulang dalam keadaan mabuk, atau keadaan kalah judi. Malam ini toko Akiong tutup. Wajar saja, ini sudah jam sebelas malam, hujan rintik pula. Hanya Hendrawan saja yang masih terjaga, ia gusar, uang dikantong tidak ada tapi temannya sibuk menantang kemampuannya bermain kartu. Iwa pasrah, kemarin televisi tabung sudah dijual. Entah apa lagi mala mini yang akan Hendrawan gadaikan untuk mendapatkan uang. Tubuh Iwa bergetar saat kaki Hendrawan tepat di samping meja tempatnya bersembunyi, banyak doa yang Iwa panjatkan, salah satunya ia berdoa agar Hendrawan tidak menemukannya. Iwa teringat perkataan Koh Akiong, ayah Anita yang mengatakan kalau Hendrawan bisa saja menjual dirinya untuk mendapatkan uang. Iwa sudah saatnya memberontak. Mungkin mulai malam ini, Iwa akan kembali ke rumah saat Hendrawan pergi berjudi, mengambil beberapakali helai baju dan kepentingannya yang lain, setelah itu Iwa akan pergi. Ia sudah bertekad untuk pergi meninggalkan Hendrawan dan kehidupan kelamnya. Iwa menghapus air mata di kedua sisi pipinya. Iwa sudah terbiasa dengan terpaan badai, tubuhnya tidak akan goyah. Setelah keadaan aman, Iwa keluar dari persembunyiannya. Dan berjalan mengendap, mengawasi sekeliling. Ia melihat Hendrawan sudah duduk di lapak judi tidak jauh dari rumahnya, ia sudah mendapatkan uang sepertinya. Dalam hitungan menit saja, terserah, apapun yang Hendrawan jual, Iwa sudah tidak perduli. Yang Iwa pikirkan sekarang adalah ia harus segera mengemasi pakaian dan beberapa keperluan agar ia bisa keluar rumah segera. Iwa mendorong pintu kayu lapuk di rumah kontrakan itu, tidak terkunci. Mata Iwa menelusuri ruang tengah, tidak ada yang hilang. Meja, dan kursi rotan masih ada. Meja untuk tempat televisi yang terjual kemarin juga masih ada, lengkap dengan taplak hijau muda usang. Iwa berjalan ke dapur. Iwa juga tidak menemukan ada perabot yang berkurang. Lalu, dari mana Hendrawan mendapatkan uang malam ini untuk kembali bermain judi? Iwa berlari ke kamarnya. Benar saja, lemari baju Iwa sudah berantakan. Kaki Iwa lemas, ia lupa memakai kalung pemberian Ibunya. Iwa terduduk lemas memegangi dadanya yang terasa seperti dihimpit benda berat, sesak dan nyeri. Air mata Iwa kembali mengalir keluar, keuda tangan Iwa kepalkan dan bergetar menahan emosi yang tidak tau ia akan luapkan ke siapa. Ke Hendrawan tidak mungkin, sama saja Iwa mengantarkan nyawa bila ia melabrak ayahnya itu. Iwa menghapus air matanya, tangannya memegang bibir dipan kayu berbalut kelambu abu, Iwa harus mengumpulkan kekuatan, sebelum Hendrawan kembali menemukannya. Iwa berdiri, meraih sebuah tas ransel hitam, Iwa memasukkan pakaian dan beberapa barang yang masih bisa Ia gunakan. Tangan Iwa bergetar ketika sebuah foto di dasar kotak perhiasan milik ibunya terselip. Seorang wanita berambut sebahu, dengan senyum lepas, sangat cantik, menggendong gadis kecil berambut tipis, gigi depannya baru tumbuh empat. Wanita itu memeluk gadis kecil itu begitu erat, terlihat wanita di foto sangat mencintai gadis bergigi empat itu. Iwa meletakkan foo itu di d**a, “Ibu, Iwa berjanji, ini terakhir kalinya Iwa menangis. Ibu tidak perlu khawatir, Iwa anak Ibu yang kuat.” Iwa menghapus cepat air matanya, ia kembali meletakkan foto itu kedalam kotak yang sudah tidak ada lagi isinya, habis dijual oleh Hendrawan. Iwa sudah mengikhlaskannya, tidak ada pilihan lain. Iwa berdiri menggendong ransel hitam itu keluar mengendap, dan menjauh hilang dimakan malam dan rintik hujan. Iwa berjanji, ceritanya ke depan tidak ada air mata kesedihan. Iwa akan berbahagia dan menemukan dunia yang sesungguhnya. Dunia yang selama ini hanya bisa Iwa tatap saat melihat orang lain begitu menikmatinya. Iwa berulang kali berjanji kepada dirinya sendiri. “Sabarlah, Iwa. Kita akan berbahagia.” Begitu Iwa bergumam memantapkan hati. Berkata kepada diri sendiri, melawan takut yang menyergap nyaris mengendurkan niatnya pergi meninggalkan lelaki paruh baya yang masih terlena dengan dunia kelamnya, Hendrawan akan sadar ketika ia pulih dari mabuk, dan pulang ke rumah. Tidak ada lagi Iwa yang biaa membuatkan kopi, dan bisa dengan bebas ia tindas bila keinginannya tidak sesuai. Iwa, gadis semata wayang yang istrinya titipkan di pesan terakhir sebelum pergi untuk selamanya itu telah pergi, menyerah dan memilih mencari kebahagiaan yang nyaris tidak pernah ia dapatkan. *** “Mahesa, tidak ada wanita lain yang bisa kamu pilih?” Tanya seorang wanita berambut putih menggenggam pegangan tongkat rotan di tangannya. Lelaki di hadapannya itu berdiri menatap jendela, ia tidak berani menatap mata oma yang menentang keputusannya. “Mahesa ingin menikahi Syafa, Syafa wanita yang baik, Ma.” Mahesa meyakinkan masih dengan tatapan yang ia buang ke arah berlawanan. “Tapi kamu itu perjaka, tampan, mapan, baik, sedangkan Syafa, dia..” “Janda? Ya, memang Syafa janda, tapi Syafa wanita yang baik. Dia juga cukup cantik walaupun usianya beberapa tahun di atas Mahes,” Mahesa memotong pembicaraan omanya yang terlihat sedang gusar karena cucu satu-satunya itu memutuskan memilih Syafa untuk menjadi istrinya. Mahesa duduk bertopang dengkul di hadapan oma dan menggenggam tangan berbalut kulit keriput itu, Mahesa menatap mata oma dalam, ia sangat mengerti alasan omanya menentang, tapi alasan Mahesa masih jauh lebih kuat dibandingkan alasan penolakan oma untuk wanita yang akan ia nikahi. Usia Mahesa nyaris berkepala empat, sudah tiga puluh enam tahun. Usia itu menjadi boomerang untuk oma. Bila ia tidak merestui cucu tunggalnya itu akan kembali sendiri, sebaliknya, bila Syafa menjadi istri Mahesa, oma khawatir pernikahan itu tidak dilandakan ketulusan, melainkan hanya untuk menggabungkan dua perusahaan besar yang masing-masing mereka miliki. “Apa kamu mencintai Syafa?” pertanyaan terakhir oma membuat Mahesa terdiam, jauh di dalam lubuk hatinya Mahesa tidak bisa menjawab dengan jujur, ia akan berdusta dengan oma dan dirinya sendiri bila menjawab ia mencintai Syafa. Tapi Mahesa berusaha tenang, ia tidak ingin oma curiga, “Mahesa akan mencintainya, Ma.” Jawaban yang tidak terlalu diharapkan oma. Oma menatap Mahesa sayu, dalam tatapan itu wanita delapan puluh lima tahun itu hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk cucu tunggalnya itu. Cepat atau lambat, Mahesa harus memiliki keturunan. Perusahaan yang kini dikelola Mahesa adalah hasil perjuangan Opa, suaminya. Opa dari Mahesa membangun perusahaan itu dari tidak memiliki apa-apa. Dalam hati Oma tidak ingin egois, walaupun sebenarnya masih ada yang mengganjal di hatinya. Ia khawatir, Mahesa tidak bahagia dalam pernikahan nya. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
188.3K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
92.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook