bc

The Truth About Forever

book_age18+
20
FOLLOW
1K
READ
murder
dark
self-improved
tragedy
bxg
campus
city
weak to strong
multiple personality
like
intro-logo
Blurb

"Salju itu menjadi saksi bisu ketika darah menggenangi putih yang suci. Mengantarkan kebenaran untuk merusak topeng yang terlanjur melekat erat."

Jika kematian itu bukan menjadi gerbang, mungkin pernikahan mereka selama lima belas tahun akan berjalan biasa-biasa saja. Namun, ini tentang Anya yang tersandung kasus pembunuhan. Ibu dari ketiga anaknya dan Julian menghadapi dilema besar untuk berdiri antara istri dan ibu kandungnya.

Kebenaran tentang selamanya akan terungkap. Topeng seorang Anya yang ketat dan dingin perlahan terbongkar. Julian merasa dirinya siap mati dan terbakar.

chap-preview
Free preview
satu
Salju itu menjadi saksi bisu ketika darah menggenangi putih yang suci. Mengantarkan kebenaran untuk merusak topeng yang terlanjur melekat erat. Stop this mess inside my head. I will meet you, my limit face in the ground. True lies, fake cry. You will be surprised. Once, you step inside this. . . . . . "Oh, kau sudah bangun?" Sosok manis itu memutar mata bosan, merangkul tas punggungnya dengan dengusan. "Selamat pagi, Mama." "Selamat pagi." Sang ibu meneleng, memerhatikan seragam kebanggaan putrinya dengan senang. Kemudian merambat naik ke rambutnya. Melihat rambut legam itu terkuncir rapi. Putrinya siap berangkat. "Pagi yang berat. Kau mengikat rambutmu sendiri?" "Terima kasih untuk internet dan spray yang Mama belikan," suaranya terkesan ramah. "Aku beruntung berhasil melaluinya tanpa merasa jengkel." Sang anak berlalu turun melalui tangga putar dan bergabung di ruang makan. Dentingan sendok beradu dengan sumpit. Suara ketel yang mendidih dan obrolan singkat para lelaki di pagi hari. "Cuaca tidak bersahabat siang ini. Bawa mantel kalian pergi." Si kembar saling menatap satu sama lain, lalu melihat si bungsu yang datang mengisi ruang untuk bergabung sarapan. "Kau tidur larut semalam? Aku masih mendengar suara musik di kamarmu jam satu pagi." Atensi sang adik terusik gemas manakala mendengar dua lelaki itu terkekeh. Kakak kembarnya yang tidak akan pernah berhenti menyudutkan, menggoda dan membuatnya marah sampai berhari-hari. Kelakuan yang tidak pernah berubah. "Benarkah itu?" "Mama harus percaya pada Ken," kata si kembar dengan senyum. "Sasha tidak tidur sampai jam tiga pagi. Aku berulang kali mengetuk pintu kamarnya dan dia marah." "Kau mau berbohong? Kamarku kedap suara." Sasha menusuk roti isinya dengan garpu. "Kalian yang berisik karena bermain kartu sampai larut sementara aku belajar untuk ujian tengah semester." "Kartu?" suara berat yang dalam memecah perhatian seisi meja. "Kalian bermain kartu di tengah malam?" "Kami bermain setelah selesai belajar," jawab Ren datar. "Aku dan Ken butuh waktu sebentar sebelum tidur. Setelah bosan aku kembali ke kamar dan beristirahat." Sang ibu menghela napas, menggeleng setelah menuangkan air panas ke cangkir teh dan menambahkan air dingin sebagai penetral. "Kalian seharusnya belajar, bukan bermain-main. Berapa lama lagi waktunya untuk masuk universitas?" Kedua putra kembarnya menunduk. Mengurai makanan di piring dengan cemberut. Sementara si bungsu mendengus, menatap kelakuan remaja itu dengan gelengan kepala. "Dasar." "Kita tidak akan merusak pagi dengan bertengkar," si kepala keluarga memecah suasana dengan dingin. "Sepuluh menit lagi kalian berangkat. Habiskan sarapannya." Sasha mengulum senyum puas. Melihat salah satu dari kakak kembarnya melirik, gadis itu menjulurkan lidah dan memasang raut mengejek. "Awas kau," bisiknya dan si adik kembali tertawa. Suasana berubah senyap tatkala kesibukan menanti di depan mata. Anak-anak selesai menghabiskan sarapan, membiarkan asisten rumah tangga mengurus sisanya bersama sang ibu yang bangun, bergegas memindahkan alat makan untuk dicuci. "Yang menjemputku Mama atau supir?" "Supir," kata sang ibu setelah mencuci tangan. "Mama punya urusan siang ini dan tidak bisa menjemputmu pulang. Hm, bukannya kau ada pelajaran tambahan? Ini hari Selasa." "Oh, astaga. Aku beruntung." Putrinya berlari kembali naik ke atas terburu-buru. Meninggalkan kebingungan pada sang kepala keluarga dan kedua kakak kembarnya. Kemudian kembali dengan napas tersengal sembari memegang dua buah buku. "Aku nyaris melupakan ini." "Kau sekarang pelupa," ujar Ken datar. "Diam." "Terlalu banyak belajar juga tidak baik. Benar, kan?" Ren menyenggol bahu kembarannya dan berjalan pergi setelah melambai pada sang ibu. "Aku pergi." Si bungsu memeluk ibunya dengan erat, mencium pipi ayahnya sebelum melesat pergi menyusul kedua kakak kembarnya pergi ke mobil. "Bereskan ini." Kemudian berpaling untuk membantu sang suami memasang dasi. "Aku tahu kau punya jadwal makan siang hari ini." "Aku tidak akan pergi." "Mengapa?" "Sibuk." Dan percakapan selesai setelah suaminya meninggalkan ruang makan untuk pergi ke garasi mobil, siap bekerja. *** Universitas Tokyo menjadi salah satu universitas terbaik yang hampir selama seratus tujuh belas tahun berdiri. Diakui beragam kampus ternama lainnya dan mendapat gelar universitas dengan lulusan sangat mumpuni. Banyak dari penduduk Jepang mengincar kampus tersebut dengan berlomba-lomba menjadi murid berprestasi di jenjang sebelumnya. Fakultas sains dan kedokteran yang terbaik, Universitas Tokyo banyak menelurkan generasi-generasi hebat peraih nobel. Universitas bergengsi yang diidamkan banyak orang dengan lulusan berkualitas tinggi dan skill yang hebat. Siapa pun yang termasuk dalam bagian kampus tersebut, akan disegani. Begitulah ceritanya. Termasuk Anya, mendapat dua gelar berbeda dari universitas yang sama. Awal kesuksesannya sebagai penerus sekaligus wanita karier bertangan dingin dimulai. "Selamat pagi." "Halo, selamat pagi." Gadis berambut cokelat sebahu menyapa Anya dengan ramah di depan pintu. "Aku akan langsung masuk. Semua sudah siap?" "Kami hanya menunggu petinggi universitas yang sedang dalam perjalanan." "Okay." Anya memeriksa berkas dan berjalan masuk melalui pintu kaca gedung. Bangunan besar yang berfungsi untuk menampung para tamu eksklusif untuk kepentingan kampus. Tempat ini tidak lagi asing di matanya. Anya memilih tempat untuk duduk dan melihat beberapa orang sudah duduk dengan santai, mengobrol atau saling bertukar sapa dengan yang lain. "Nyonya Anya, selamat pagi." Salah satu dari pihak tamu menyapa. "Senang melihat Anda di sini." "Aku tidak bisa melewatkan yang satu ini," kata Anya dengan senyum tipis. Para petinggi universitas mulai memasuki ruangan dengan elegan. Mereka menyapa satu-persatu tamu yang hadir secara formal dan sopan. Kemudian terakhir pada Anya, tamu terhormat terakhir yang layak diberi apresiasi lebih. "Aku rasa suamimu berhalangan hadir karena sangat sibuk." Anya menjabat tangan pria itu dengan seuntai senyum tipis. "Karena dia tidak bisa bersantai, pekerjaan yang paling utama." Para petinggi menempati tempat untuk duduk. Mimbar telah disiapkan dan pemimpin universitas segera mengucapkan salam pembuka untuk langsung ke acara inti. Anya mendengarkan dalam diam. Pemandangan membosankan yang nyaris ada setiap enam bulan sekali. Dalam satu tahun, pertemuan ini akan selalu ada. Prinsip yang masih sama seperti ratusan tahun lalu; pendidikan untuk semua kalangan. "Rasanya luar biasa karena universitas ini selalu menempati tempat terbaik di hati para masyarakat. Kami sangat berterima kasih karena telah menaruh kepercayaan yang besar terhadap kemajuan pendidikan dan kualitas para lulusan untuk kehidupan yang lebih baik." "Yah, mereka semua tanpa donatur bukanlah apa-apa." Alis Anya terangkat tatkala mendengar suara bisikan datang dari dua perempuan paruh baya yang duduk di belakang Anya. Dengan penuh percaya diri, mereka bercerita tentang bayaran universitas yang super mahal dengan fasilitas terbaik. Berani membayar, akan mendapat segalanya. Yang sayangnya tidak berlaku untuk semua orang. Ketidaksamarataan itu mencekik beberapa pihak, terutama mereka yang masuk dengan mendapatkan beasiswa secara penuh. "Keluarga super kaya sekelas Anya dan suaminya juga lama-lama akan bosan memberi donasi terus-menerus sebagai bentuk dukungan pada kampus. Itu menyebalkan. Kebanyakan dari mereka tidak menyalurkan dana dengan benar dan masuk ke kantong pribadi." Anya hanya mendengarkan, memilih untuk diam. *** "Target lima mitra dalam kurun waktu kurang dari satu tahun?" Julian melirik pada sang asisten yang sibuk berbincang dengan klien sementara dirinya perlu kembali ke ruangan untuk melanjutkan pekerjaan. Sebelum jam makan siang dimulai dan pekerjaan harus tertunda selama satu jam. "Wah, target yang luar biasa. High risk dengan return menjanjikan. Kau yakin?" "Kau tidak setuju?" "Aku belum memberi pendapat, bukan?" Sorot kelamnya menyapu datar pada kakak ipar yang hadir di rapat sebagai perwakilan dari petinggi rumah sakit umum Tokyo. Menjabat sebagai kepala rumah sakit selepas sang suami, Hana, kakak iparnya banyak membantu dan berkontribusi untuk menggantikan sang suami yang telah berpulang. Masih meneruskan usaha keluarga yang secara turun-temurun diwariskan pada penerus. Hana mengekorinya sampai ke ruangan. Setelah Julian duduk, mendapat banyak tugas baru dan perempuan itu masih setia menempel layaknya benalu. "Aku tahu kau mencoba pasar baru dengan menangkap banyak mitra sebagai distributor. Tapi aku curiga keterlibatan istrimu dalam hal ini. Apa ini idenya?" "Apa ini menjadi urusanmu?" Wanita itu mendengus keras. "Kau lupa bagaimana prinsip keluarga berjalan selama puluhan tahun? Bisnis tidak bisa dicampuri orang lain. Meski Anya istrimu dan sepenuhnya berhak atas dirimu, itu tidak menyangkut bisnis sama sekali. Terutama bisnis keluarga, keuntungan sepenuhnya milik kita." "Kau banyak menaruh curiga," ujar Julian dingin. "Tuduhanmu tidak berdasar sama sekali." "Oh, ya? Setelah bertahun-tahun, aku pantas curiga. Aku tidak tahu mengapa ibu mengizinkan kalian menikah setelah tahu siapa Anya." Hana mencibir keras. "Nyaris semua konglomerat besar tahu bagaimana dirinya. Dia tidak kenal ampun." "Keluarlah, Hana. Kau sibuk sekarang. Rumah sakit membutuhkanmu." Sang kakar ipar hanya mendengus, meneleng tidak percaya dengan sikap adik suaminya yang keras kepala dari hari ke hari. "Ah, sifatmu yang mulai kasar menular dari Anya. Perempuan satu itu tidak kenal santun sama sekali." "Aku perlu bekerja," tambah Julian dingin. "Kalau kau berkenan pergi, aku akan sangat berterima kasih." "Bagaimana dengan makan siang bersama?" "Tidak." "Kau membatalkan janji makan siang?" "Ya." "Mengapa?" "Aku sibuk." Julian menatap Hana datar. Bibir Hana lantas terkatup. Mengusap wajahnya dengan kasar sebelum berbalik dan terperangah, melihat siapa sosok yang berdiri congkak di ambang pintu. "Selamat siang, kakak ipar. Harimu berjalan buruk?" "Anya," balas Hana dingin. "Suamimu sedang sibuk. Kau tidak akan bisa menyita banyak waktunya." "Aku memang tidak berniat demikian." Anya memberi senyum, berjalan masuk dan melirik Hana yang menggerutu. Kemudian membiarkan wanita itu pergi dengan sebal. "Dia datang untuk rapat?" "Ya." "Apa keputusannya?" "Belum. Dia belum membuat keputusan," balas Julian acuh. "Urusanmu sudah selesai?" "Universitas kembali membuka donasi untuk setidaknya lima puluh mahasiswa baru tahun ini." Anya memindahkan tasnya untuk duduk, menyilangkan kaki. "Karena inflasi yang naik sebanyak satu persen selama kuartal kedua, biaya juga akan membengkak." Julian mendongak menatap sang istri. "Dan kau memberikannya?" "Sebagian. Hanya lima puluh persen dari total donasi yang biasa kuberikan." Anya mengangkat bahu, mengulum senyum. "Banyak yayasan amal dari perusahaan besar menaruh uang mereka untuk diputar di universitas. Aku tidak tahu bagaimana tim keuangan mengelola uang tersebut hingga membutuhkan dana lagi alih-alih menambah fasilitas baru." Julian hanya mengangguk, tidak lagi bersuara. "Selamat siang." Kaia, asisten sang suami masuk dengan menenteng sebungkus makanan. Anya lekas bangun, tersenyum cerah. "Terima kasih, Kaia." "Sama-sama, Nyonya Anya." "Apa?" Anya berbalik untuk membawa bungkusan makan siang ke meja suaminya. "Time to lunch. Aku akan bergabung denganmu makan siang di sini." *** "Hei, aku mencarimu!" Sasha menoleh untuk melihat teman sekelasnya mendekat. Senyum gadis berambut cokelat panjang itu melebar. Merangkul bahu Sasha erat. "Ada apa?" "Tidak ada." Senyumnya kembali merekah lebar. "Kau sedang melihat kakak kembarmu bermain basket?" Sasha mendesah, gadis berusia dua belas tahun itu tampak bosan. "Mereka tidak keren sama sekali. Anak perempuan tidak seharusnya menyoraki mereka seperti itu. Berisik." Olga—sahabatnya tertawa pelan. "Mereka itu idola. Si kembar dari keluarga ternama menjadi idola. Kau seharusnya bangga." Bibir Sasha terkatup, mencebik pelan. "Aku tidak ingat Mama atau Papa mengajari mereka bergaya sok keren seperti itu." Olga mengangkat bahu, memandang kedua tim yang sedang beradu basket di jam kosong dengan senyum tipis. "Bagaimana rasanya punya kakak?" "Tidak menyenangkan." Sasha melirik temannya muram. "Kau punya adik. Bagaimana rasanya?" "Yah, begitulah," balas Olga lirih. "Aku lebih senang jika memiliki seorang kakak. Hm, mungkin karena aku ingin dimanja?" "Memiliki si kembar sebagai kakak seperti neraka," Sasha berjalan menuju kantin untuk makan siang. "Mereka sama sekali tidak memanjakanku. Kau harus tahu, Olga. Keduanya sangat menyebalkan." Sasha berjalan lebih dulu dan gadis itu tersenyum lebar. "Kau menceritakan mereka dengan tatapan lain, Sasha. Aku tahu kau memuja keluargamu," ucap Olga setelah berlari menyusul langkah Sasha untuk pergi makan siang. Makan siang prasmanan telah disiapkan. Seluruh murid memasuki ruangan sesuai tempat dan kelas mereka masing-masing. Ketika Olga mengekori Sasha masuk, seseorang mencegahnya untuk berjalan lebih jauh. "Kau harus tahu diri," ujarnya ketus, menahan d**a Olga dengan tongkat terbuat dari rotan. "Anak beasiswa tidak mendapat jatah makan siang secara penuh. Hanya satu minggu sekali. Kau paham?" "Sejak kapan?" tanya Olga bingung. "Seingatku satu minggu tiga kali?" "Kau sedang menawar kesepakatan padaku?" si pria berperut buncit dengan kacamata bundar melotot pada Olga. "Ini aturan dari pimpinan. Anak-anak beasiswa terlalu banyak berleha-leha dan menikmati fasilitas sesuai murid yang membayar penuh. Itu tidak adil." Kali ini, Olga mengalah. Gadis itu bergerak mundur, menyeret sepatu lusuhnya untuk bersiap pergi. "Apa ada keharusan membayar?" Si pria buncit menoleh pada Sasha dengan senyum manis. "Tentu saja ada. Tapi itu bukan menjadi urusanku, Sasha. Kau bisa bicara pada kepala kantin." "Okay, aku akan membayar makan siang Olga nanti," balas Sasha datar, menatap sahabatnya yang bergeming. "Ayo, kita harus duduk untuk makan. Aku sudah lapar." "Sasha, kau tidak perlu—," "Kau mau duduk di sebelah mana?" Sasha berpura-pura tidak mendengar. "Bagaimana dengan dekat jendela?" Olga terlihat bingung. Gadis itu salah tingkah karena pria berperut buncit tadi masih mendelik, memelotot tajam ke arahnya. Olga yang sekiranya berhasil masuk ke Moorim School karena beasiswa penuh setelah mengikuti serangkaian tes panjang nan melelahkan. Berasal dari sebuah kota kecil di Kyoto, menimba ilmu di Tokyo dan menjadi satu dari sepuluh ribu orang yang beruntung. "Kau melamun." Gadis itu tersenyum lirih. Melihat Sasha mengambilkan sepotong daging untuknya, Olga merasa terharu. *** Perumahan yang letaknya dekat dengan jantung kota, Tokyo. Rose Castle menjadi satu-satunya perumahan elit yang banyak dihuni oleh para konglomerat berpenghasilan besar pertahun. Dengan pajak bangunan serta properti yang terus naik setiap tahun, fasilitas Rose Castle menjadi buah bibir karena keamanan serta privasi yang dijunjung tinggi. Tidak banyak teman media bahkan wartawan berhasil meliput ke dalam perumahan elit tersebut untuk dibagikan kepada publik. Hanya ada lima puluh rumah. Sejak Rose Castle resmi dibangun sekitar lima puluh tahun lalu, banyak keluarga kaya lama memutuskan untuk menginvestasikan sebagian besar uangnya demi keuntungan properti di masa depan. Harga tanah yang dinamis dan pergerakan mata uang yang tak pernah statis. Rose Castle sempurna menjadi hunian idaman sekaligus meningkatkan harga diri para pemiliknya. Salah satunya adalah keluarga Fritz, konglomerat yang berasal dari garis orang kaya lama memutuskan untuk menetap di Rose Castle sebagai panutan. Hadirnya perempuan sosialita sekelas Anya dan Sarah berhasil membuat para wanita yang tinggal di Rose Castle cenderung iri dan kurang percaya diri. Prestasi yang mentereng, kekayaan abadi, reputasi yang melekat pada tubuh mereka sering menjadi buah bibir. Pernikahan Anya dengan keluarga raksasa farmasi serta rumah sakit berhasil menambah daftar panjang kesuksesan mereka sebagai pemimpin nomor satu industri bisnis di Jepang bahkan Asia. Bisnis gurita yang mengakar hingga raksasa ekspor terbesar selama puluhan tahun. Bukan rahasia umum bahwa kekayaan mereka akan berputar dalam lingkup keluarga. Termasuk Anya yang memutuskan untuk menikahi Julian dari keluarga kaya lama farmasi. Dunia medis melekat pada keluarga hebat tersebut. Mendiang buyut dan kakek Julian adalah peraih nobel sekaligus penghargaan ilmu sains dari organisasi kesehatan dunia. Menambah daftar prestasi dan kebanggaan bagi marga yang terlanjur besar. Rasa-rasanya tidak akan ada satu pun yang mampu menggeser posisi Anya sebagai perempuan terbaik sekaligus panutan para ibu di Rose Castle. Reputasi, kepintaran, cara bicara serta pola asuhnya terhadap ketiga anaknya yang menginjak remaja. "Si kembar akan meneruskan jejak orang tuanya bersekolah di Universitas Tokyo?" Anya mendengar dua perempuan tampak antusias bertanya dengan ibunya. Sarah hanya mengulum senyum sopan, melirik sang anak sekilas. "Tentu saja. Mereka akan meneruskan karier seperti ibu atau ayahnya." Sarah dengan santai membalas, berhasil menerjunkan harapan para ibu yang ingin anaknya bersaing untuk masuk universitas bergengsi. "Kudengar dari putraku, Sasha ingin berkuliah di Harvard. Apa itu benar?" Tatapan Sarah jatuh pada Anya yang memilih untuk menutup alkitabnya, siap kembali. "Aku tidak pernah mempersalahkannya," kata Sarah datar. "Hanya saja lebih bagus jika cucuku bersekolah di tempat yang sama dengan ibu dan ayahnya. Akan lebih mudah mengawasi, benar?" "Benar. Karena orang tua cenderung mencemaskan anaknya melebihi apa pun." Keduanya kemudian tertawa, bersenda-gurau tanpa menyadari bahwa raut Sarah berubah keras. Anya menarik napas, melirik ibunya sekali lagi dan sang ibu memberi isyarat untuknya tetap diam. "Bagaimana para perempuan di Rose Castle tidak iri dengan Anya? Dia sama hebatnya dengan sang ibu yang membesarkan tiga anak berprestasi. Semua orang tahu bagaimana genetik mempengaruhi kecerdasan anak." Sarah mengulum senyum bangga. Sementara Anya hanya menunduk, menatap tas Hermes miliknya dengan datar. Terlalu malas untuk sekadar bersuara. *** Sasha berpaling, menoleh ke arah pintu saat melihat sang ibu membuka pintu dengan segelas s**u cokelat panas bersama kudapan kesukaannya. "Mama tidak pernah melihatmu bersantai sekadar membaca buku romantis atau menonton tayangan drama," ucap Anya setelah menaruh nampan dan duduk di tepi ranjang. "Kau tidak lelah?" "Aku harus belajar." Sasha memutar kursi belajarnya. "Ini pekan ulangan harian. Aku tidak bisa kehilangan nilai untuk gagal." Anya tersenyum tipis, menatap telapak tangannya dan mengangkat bahu. "Mama terkenang masa lalu. Sayang sekali, aku tidak seambisius itu untuk berhasil." "Mama?" putrinya terkejut karena fakta baru. "Bagaimana bisa? Tapi Mama termasuk lulusan terbaik Universitas Tokyo. Itu tidak mudah, kan?" "Benar. Tidak mudah." Kali ini, Sasha benar-benar bingung. Bagi orang pemalas, sekadar lulus akan sangat membunuh. Mereka bisa saja depresi karena kelulusan memerlukan banyak tenaga dan pikiran. Belum lagi dunia kerja yang mencekik. "Bukan hanya Mama yang menjadi lulusan terbaik," sambung Anya datar. "Ada Papa saat itu. Kami berada di usia yang sama, ambisi yang sama dan meneruskan karier yang sama." "Atas nama keluarga?" Anya menoleh, menatap paras manis putrinya. "Kau ingin menjadi dokter?" "Tidak." "Lantas?" Remaja berusia dua belas tahun itu melepas pensilnya, memandang sang ibu masam. "Jika aku bicara, aku tidak yakin Mama akan mendukungku." "Apa terlihat begitu?" Anya mendengus kecil, menatap putrinya dengan senyum samar. "Aku ingin belajar lebih dalam tentang hukum." "Bagaimana dengan menjadi tentara?" "Mama," tegur putrinya muram. "Okay, Mama minta maaf." Anya bangun, menatap meja belajar yang berserakan dengan buku, kertas dan alat tulis. Anya memilih untuk mundur, menutup pintu kamar putrinya dan samar-samar mendengar suara musik dari celah bawah pintu kamar putranya. Ia belum sempat menegur, seseorang membuka pintu dan memerhatikan siapa yang tengah sibuk melukis dengan suara musik sekeras mungkin. Anya menarik napas, memejamkan mata menatap tingkah salah satu putra kembarnya. "Kau tidak melihat jam?" "Maaf." Ken terburu-buru mematikan musik dan merapikan cat warna serta kuas yang berantakan. "Aku lupa waktu." Suaminya kembali menutup pintu. Kemudian melihat sang istri melamun memandangnya. Anya berjalan untuk masuk ke dalam kamar, berhenti karena mendengar kalimat sang suami yang terkesan menusuk. "Mau sampai kapan kau merahasiakan kelakuan mereka pada ibumu?" "Kalau kau ingin bicara, bicaralah. Aku tidak pernah menghalangimu." Kepala Julian menggeleng. "Tidak. Aku tidak akan bicara," mendorong pintu untuk masuk. "Mau bagaimana pun juga mereka anakku." "Kau akan melindungi mereka?" Alis Julian terangkat naik, bibirnya terkatup rapat. Sebelum mengambil napas berat, membuangnya perlahan. "Yang kita lakukan selama ini adalah melindungi mereka, bukan? Kau dan aku. Dengan cara masing-masing." "Aku bicara bukan tentang anak-anak yang bertingkah nakal di usia delapan tahun." Anya meneleng, memandang suaminya lekat. "Aku bicara tentang mereka yang beranjak besar dan tingkah yang tidak bisa terkontrol lagi. Kau sanggup melindunginya? Melindungi mereka?" Dugaannya benar, Julian hanya diam. Suaminya tidak berbicara lagi selain memutuskan untuk masuk ke dalam kamar, memeriksa ponsel dan bersiap tidur. Lagi-lagi membiarkan pertanyaan Anya tergantung tanpa jawaban. Anya melirik datar pada sang suami yang berbaring memunggungi. Julian terlalu lelah untuk bertengkar atau sekadar mendebat istrinya. Jadi, memutuskan untuk tidur lebih awal adalah jawaban. Sementara Anya menghabiskan waktu untuk sekadar melamun. Bayangan masa lalu dan masa depan yang merasuki kepalanya bagai piringan hitam mengusik jiwanya. Kedua matanya memburam pekat, panas yang menusuk kental. Tokyo dilanda hujan malam ini. Bukan hujan biasa yang membawa badai angin dan petir, melainkan kepingan salju. Kolam buatan dan jalan-jalan di sekitar Rose Castle akan membeku besok. Dan pemerintah setempat akan menyalakan peringatan agar masyarakat kembali ke rumah lebih awal dan lebih berhati-hati untuk beraktivitas di hari selanjutnya. Barang sepuluh menit matanya baru terpejam, Anya tersentak bangun mendengar suara tembakan keras terdengar menembus dinding. Getarannya mengguncang jiwa, membuat tangannya berkeringat dingin. Kembali terdengar suara tembakan sekali lagi. Kedua, sebelum malam memutus bising menjadi sunyi yang mencekam.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.6K
bc

My Devil Billionaire

read
94.7K
bc

My Secret Little Wife

read
93.7K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook