bc

Yearning for Love

book_age16+
1.1K
FOLLOW
4.6K
READ
HE
goodgirl
inspirational
dare to love and hate
drama
sweet
bxg
enimies to lovers
first love
love at the first sight
like
intro-logo
Blurb

Hal tersial yang pernah Mia alami adalah bertemu Rafael. Monster masa lalu, pembawa petaka, dan sayangnya Rafael adalah bos baru di kantor Mia.

Sialan!

***

“Kitty?”

“No!”

“Mia, makan malam?”

“Just let me go!”

chap-preview
Free preview
1
“Pendek! Cupu!” Mia berdiri kaku; diam mematung, sementara ketiga cowok SMP mengitarinya sembari beryel-yel, “Mia si cupu!” Salah seorang dari bocah yang mengolok-olok Mia mengangkat tangan, sebuah kode bahwa kedua temannya harus segera menghentikan candaan mereka. “Kamu nangis?” tanyanya. Mati-matian Mia menahan air mata yang rasanya akan segera membanjiri ruang kelas. Dia ingin membalas ketiga penindasnya, tetapi pita suara seolah mengerut seiring sengatan panas di kedua mata.  Melihat itu, si cowok pun semakin bersemangat mengejek Mia. “Dia nangis. Lihat, dia nangis.” Air mata pun tak lagi terbendung. Mia kalah. Dia berbalik, pergi meninggalkan ruang kelas dengan perasaan sedih. Dia mengutuk sikap ketiga cowok itu. Mia akan mengingat hari ini sepanjang hidupnya, terutama pimpinan geng yang menindasnya: Rafael. *** Mia bangun dengan rasa pening di kepala. Mimpi buruk yang sudah lama dilupakan itu kembali datang. Sudah lebih dari sepuluh tahun Mia berusaha menyingkirkan kenangan masa kecil yang menyedihkan. Entah mengapa, ingatan itu kembali menyerang alam bawah sadar Mia, seolah menjadi sebatas kenangan masa kecil saja tak cukup. Mimpi ini, benar-benar memuakkan. Bingung, Mia memutuskan menyegarkan pikiran. Setelah mandi, segera memilih jins hitam dan blus biru dari dalam lemari pakaian. Mia tidak ingin direpotkan t***k-bengek produk kecantikan, dia hanya perlu mengucir rambutnya menjadi ekor kuda, memakai pelembap dan tabir surya di wajah. Selesai, dia sudah siap memulai kerja.  “Mia!” teriak Ratna dari dapur. “Jangan lupa bekalmu. Sudah Mama siapkan.”  Sebagai jawaban dari panggilan Ratna, Mia segera menyambar ransel kerjanya dan berjalan menuju ruang makan. Tepat di atas meja makan, terdapat sebuah kotak makan bergambar kelinci.  Melihat itu, Mia hanya bisa mengerutkan kening. “Ma, kok tempatnya begini?”  “Yang milih itu Mbok Darsih, bukan Mama.” Mia memasukkan bekal tersebut ke dalam ransel. Tidak ingin berdebat lebih lama. Dia tahu, Ratna selalu bisa melemparkan tanggung jawabnya kepada asisten rumah tangga.  “Papa mana? Kok nggak ada?” Ratna masih sibuk menyiapkan makanan. Baginya, urusan dapur tidak boleh diserahkan kepada orang lain. Dapur adalah wilayah kekuasaan Ratna. Siapa pun yang berani mengusik kedamaian dapur, maka mereka harus bersiap menghadapi amarah Ratna. “Papa sudah berangkat dari tadi. Kalau Rio, adikmu itu ada acara di sekolah.” “Terus, ngapain Mama masak sebanyak ini?” “Untuk kepentingan arisan. Ah, kamu nanya mulu. Buruan berangkat, nanti telat.” Tanpa perlu dikomando, Mia bergegas meninggalkan rumah. Dan untungnya, ojek sudah menunggu tepat di depan rumah. Mia lebih senang naik kendaraan umum, dia merasa bertanggung jawab melindungi lapisan ozon di bumi. Penggunaan kendaraan pribadi hanya akan menambah sumbangsih percepatan penipisan lapisan ozon. Lagi pula, alasan di balik keengganan Mia menggunakan mobil tidak lain dikarenakan ketidakbecusannya dalam mengemudi. Satu-satunya alat transportasi yang bisa ditaklukkan Mia hanyalah sepeda, selebihnya ... hanya Tuhan yang tahu. Tidak sampai dua puluh menit, ojek mengantar Mia dengan selamat di tempat tujuan. Tanpa ragu, Mia membayar ongkos ojek. Jam di tangan menunjukkan pukul 7 lebih 30. Belum terlambat dan Mia memang tidak pernah terlambat. Sesampainya di lobi, Mia mengangguk kepada kedua petugas security yang ada. Lalu, dia berjalan menuju lift dan menekan angka tiga; lantai tempatnya bekerja. Sejak kecil, Mia menyukai hal-hal yang berhubungan dengan dunia tulis. Kumpulan puisi yang ditulisnya masih tersimpan rapi dalam kumpulan teks yang sengaja dibuatnya. Selain itu, Mia pun aktif menuliskan kegiatannya dalam sebuah blog pribadi. Copy writer pun pernah dicobanya, walau harus Mia akui pekerjaan itu membutuhkan kesabaran. Hingga Mia mengetahui lowongan jurnalis di salah satu majalah bernama Intermezo, Mia tak ragu memasukkan CV-nya. Dan, di sinilah dia berada sekarang; bekerja sebagai penulis tetap di majalah khusus wanita dewasa tersebut. Kubikel Mia dipenuhi tempelan foto, kebanyakan foto Rio. Bocah itu bersikeras memaksa Mia menempelkan fotonya dalam berbagai pose yang sebenarnya tidak keren; wajah semringah dengan kedua jari membentuk huruf V. “Selamat pagi.” Miranda tampak bersemangat menyapa Mia, wanita itu kelihatan cantik dalam balutan rok hitam dan kemeja berwarna kuning. Rambut hitamnya terlihat mengembang indah seperti biasanya.  “Pagi,” jawab Mia. Dengan ransel yang masih menempel di pundak, Mia segera menghidupkan monitor dan memeriksa beberapa surel. Jarinya sibuk menggerakkan mouse, mencari-cari surat penting. “Well, nggak ada surat cinta.” Miranda sudah berada tepat di samping Mia, kedua matanya mengamati layar yang kini menampilkan belasan surel yang berjajar. “Kembali ke kubikel-mu.” “Cih, pelit amat.” Meski berkata demikian, Miranda pada akhirnya kembali ke kubikel-nya dan mulai mengerjakan tugas.  Mia menutup jendela email-nya, merasa tidak ada surat yang perlu dibalas. Mia berencana mengambil map yang ada di desk folder ketika suara cempereng menyeruak. “OMG, kalian harus dengar ini!” Nayla, wanita yang bertanggung jawab di bagian pojok masakan itu tampak kalap.  “Santai, kamu kayak baru ketemu setan aja.” “Miranda, asal tahu aja, ya. Direktur Intermezo, direktur kita bakal diganti.” Mia memutar mata. “Oh, itu.” “Jangan hanya oh itu,” cerocos Nayla. “Pengganti Bapak Faizal, kamu tahu nggak, siapa penggantinya?” “Nggak,” jawab Miranda dan Mia. “Nay, please, masih pagi nih. Lihat, yang ada di sini baru aku dan Mia. Jangan bikin suntuk gitu dong.” “Kamu bahkan nggak bisa ngerti nasib kita ini di ujung tanduk. Nda, yang menggantikan Bapak Faizal itu—” “Siapa aja nggak ada bedanya,” potong Mia. “Jelas ada bedanya kalau yang ngegantiin direktur kita itu anaknya owner.” Miranda langsung menghentikan kegiatan ketik-mengetiknya. Dia mulai menjulurkan badannya, memastikan ucapan Nayla. “Emangnya siapa?” “Dia, pokoknya orangnya nggak nyenengin banget. Dosen yang paling killer pun kalah dengannya.” “Kamu tahu dari mana?” “Mia sayang, aku punya jaringan spy di mana-mana. Percayalah, dia bukan tipe manusia yang akan menerima kekhilafan kita. Kerjaan nggak beres, say bye to the world. Begitu, kan, yang biasa diucapkan anak pemilik saham?” “Itu kan khayalanmu doang,” seru Mia dengan suara gemas. “Setiap kemungkinan patut diperhitungkan. Gimana kalau dia lebih galak daripada Toni?” “Tua, ya?” Miranda mulai berasumsi bahwa semua atasan bermental ibu tiri rata-rata berwajah bulat dan berumur di atas 50-an.  Nayla menelan ludah sejenak sebelum berkata, “Masih muda. 26 tahun. Lulusan USA. Handsome and so hot.” “Fiuh, nggak ada masalah,” ucap Miranda santai. “Justru itu, dia itu ... ah bodo deh. Liat aja sendiri nanti.” “Nay,” sela Mia. “Jangan bikin parno gitu deh. Palingan juga sama aja. Bukannya mental pemimpin tuh biasanya kaya gitu? Tegas dan menuntut pekerjanya bersikap profesional. Ah, kamu bikin aku jadi lupa mau nyari apa tadi.” Nayla memasang wajah yang bisa diartikan “terserahmu saja”. Setelah puas mengoarkan kabar yang didapatnya dari menguping di HRD, Nayla pun mengucapkan satu kalimat pamungkas, “Nama direktur kita yang baru adalah Rafael.” Deg!  Dari sekian nama yang ada di dunia, kenapa Nayla malah memilih nama itu? Mia langsung membeku di tempat. Tidak. Dia tidak boleh berprasangka buruk, bisa saja Rafael yang dimaksud Nayla bukanlah Rafael yang itu.   

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.1K
bc

My Secret Little Wife

read
92.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.3K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook