bc

Wanita yang Kunodai

book_age18+
34.1K
FOLLOW
366.5K
READ
love-triangle
possessive
pregnant
goodgirl
boss
drama
sweet
bxg
small town
secrets
like
intro-logo
Blurb

Karena mabuk, Mandala tanpa sengaja telah menodai Nailis. Putri kesayangan dari sopir keluarganya. Gadis, yang bahkan tak ia ketahui seperti apa wajahnya.

Dua tahun, ia menjadi pecundang dan tak berani mengakui perbuatan bejatnya. Dua tahun, ia dibayangi perasaan bersalah. Hingga tawaran berkunjung ke kampung Nailis itu datang?

Bagaimana pertemuan kedua sejoli itu? Ikuti ceritanya ...

Cover by Liska Oktaviani

chap-preview
Free preview
Pov Mandala ( Rasa Bersalah )
"Mas Mandala nanti mau ikut ke kampung bapak?" Pertanyaan Pak Wato, sopir keluargaku, sekaligus sahabat masa kecil ayah itu membuatku berkeringat dingin. Kejadian dua tahun lalu kembali mengusik ingatan. Sebenarnya aku tidak terlalu mengingat dengan jelas. Hanya saja noda merah di sprei kamarku sudah bisa membuatku menyimpulkan, kegilaan macam apa yang kulakukan saat aku mabuk malam itu. Ingatanku melayang, membawaku kembali ke masa itu. Aku tengah menuruni tangga kala Pak Wato berpamitan hendak mengantarkan putri kesayangannya itu pulang kampung. Namanya Nailis, Pak Wato seringkali menceritakan tentang putrinya tanpa bosan. Niatnya datang ke ibukota adalah untuk liburan. Melepas rindu dengan bapaknya yang paling hanya sesekali saja dalam setahun pulang ke desa. Sekaligus, ingin berkenalan dengan keluargaku, terutama ayahku. Karena Pak Wato dan ayahku memang sangatlah dekat. Mereka bersahabat sejak masih kecil sampai ayahku lulus SMP. Sebelum kemudian, kakek membawa ayah hijrah ke kota dan menetap di sini hingga saat ini. Nahas, Nailis tidak bisa menikmati liburannya yang hanya beberapa hari. Sehari tiba di kediaman keluargaku, gadis itu terkena cacar air. Itu yang kudengar dari Mbak Isah, pembantu di rumah kami. Karena aku memang tidak pulang ke rumah selama beberapa hari. Karena ada sedikit masalah dengan kekasihku waktu itu. Pagi itu, kulihat dia memakai baju lengan panjang, kaos kaki, masker, topi. Mungkin untuk menutupi bekas cacarnya yang kulihat beberapa menghitam di wajahnya yang tak tertutupi masker. Gadis itu menunduk saat bersalaman denganku, berkenalan sekaligus berpamitan. Tangannya dingin dan sedikit bergetar. Tak jauh berbeda denganku yang dipenuhi perasaan bersalah. Namun bibir ini tak bisa mengucap apapun, atau sekedar mengucap permintaan maaf yang aku sendiri tak yakin bisa menyelesaikan semuanya. Aku terlalu pecundang untuk sekedar mengakui perbuatan bejatku. Tanganku mengepal dalam saku, menggenggam erat kalung berbandul nama Nailis yang tertinggal di atas kasurku. Betapa brengseknya aku ini. Hari-hari berlalu. Aku tak memiliki keberanian mencari tahu ataupun sekedar menanyakan kabarnya pada Pak Wato yang kembali beberapa hari kemudian. Hanya terkadang aku mencoba melukis bayangnya dengan melihat wajah sopir keluargaku itu, Pak Wato, ayah kandungnya. Jika sudah melihat wajah pria tua itu. Aku semakin tak memiliki keberanian untuk mengakui perbuatan bejatku pada putrinya. Aku memang pecundang sejati. Aku sudah memiliki kekasih kala itu. Amaya namanya. Wanita cantik yang kudapatkan dengan penuh kebanggaan. Wanita yang akhirnya memilihku dibandingkan pria sialan yang merundungku kala masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Randy Pratama. Perundungan yang berakhir dengan sebuah kebencian yang masih kusimpan hingga dewasa kini. Ketika aku mendengar ia menaruh hati pada Amaya, yang kebetulan adalah wanita yang kuketahui mempunyai perasaan padaku. Wanita yang awalnya kuabaikan. Tapi karena Randy menyukainya setengah mati, akhirnya kuterima cinta wanita itu. Toh, Amaya memang sangat cantik, aku yakin lambat laun akan mudah untuk jatuh cinta padanya seiring berjalannya waktu. Jika melihat keterpurukan Randy, rasanya ada kepuasan tersendiri. Aku benar-benar bahagia di atas penderitaan musuh bebuyutanku itu. Karena rupanya ia memang cinta mati dengan sosok Amaya Ramadhani. Wanita yang tiga tahun ini menjadi kekasihku. Kembali ke Pak Wato. Sopirku ini memiliki kulit yang gelap, rambutnya keriting memanjang dan di atas bibirnya terdapat tahi lalat yang cukup besar. Kadang aku membayangkan Pak Wato dalam versi wanita. Bagaimana bentukannya? Apa Nailis mirip dengan bapaknya? Meski kalau dari kulit sepertinya tidak. Karena kulihat waktu itu kulit Nailis bisa dikatakan putih berbeda dengan Pak Wato yang berkulit gelap. Pak Wato doyan sekali bercanda, lebih menjurus ke ghibah sebenarnya. Kalau sudah menceritakan tentang putrinya, rasanya seperti mendengarkan siaran radio rusak. Diulang-ulang terus menerus sampai rasa-rasanya ingin kubanting handphoneku saking kesalnya mendengar ceritanya yang itu-itu saja. Tapi itu dulu. Dulu. Sebelum kejadian malam itu. Setelahnya, aku sangat antusias ketika mendengarkan cerita Pak Wato tentang Nailis. Tentu saja ini karena perasaan bersalah yang terus mengikutiku, bukan karena aku tertarik dengannya. Aku ingin tahu bagaimana kabarnya di sana setelah malam itu. Dari ceritanya aku bisa menarik nafas lega. Kudengar tak lama setelah ia pulang kampung ia menikah dengan kekasihnya. Kudengar juga bahwa ia sudah melahirkan seorang putra yang sangat tampan dan sepertinya dari cerita Pak Wato, Nailis baik-baik saja, hidup bahagia, tidak ada yang perlu kukhawatirkan. Meski tetap saja ada yang mengganjal di hati ini. Perasaan bersalah yang membuat langkahku selalu merasa tak tenang menjalani hari-hari. Lalu mendengar pertanyaan dari Pak Wato barusan, juga ajakan dari kedua orang tuaku untuk menengok kampung halaman, semalam. Muncul dorongan kuat untuk melihat secara langsung bagaimana keadaan Nailis saat ini. Setidaknya untuk mengurangi beban menyiksa dalam diri ini. Jika memang kehidupan Nailis benar baik-baik saja. Aku bisa lega dan tenang. Sekaligus aku ingin mengucap maaf padanya, meski mungkin sudah terlambat. "Aku ikut, Pak," jawabku yakin. Pak Wato menoleh padaku, seolah meminta kepastian dari jawaban yang kuberikan. Aku mengangguk pelan sembari menelisik tatapannya yang terasa berbeda dan jujur saja membuatku salah tingkah. Senyum pria itu kemudian melebar, tapi sekali lagi, ada yang berbeda dengan lengkungan yang terbentuk di bibir hitam itu. "Bapak seneng," ucapnya diikuti desahan samar diakhir kalimat. Perlahan senyumnya surut. Kubuang pandangan ke arah lain dengan perasaan entah. Aku melihat ada kesedihan di mata tuanya yang seketika membuat dadaku seolah tertimpa beban yang berat. Apa Pak Wato tahu sesuatu? Harusnya memang tahu bukan? Tapi selama ini kenapa sikapnya sama sekali tidak berubah? Bahkan sama sekali tidak ada pembahasan tentang kejadian itu. Sama sekali. Sementara aku, terlalu pengecut untuk mengakui. Nailis ... apakah ia sama sekali tak menceritakan kejadian itu pada keluarganya? Mengingat dua tahun ini semua seolah baik-baik saja. Tapi benarkah baik-baik saja? Kuusap wajah kasar. Seringkali aku menyesali sikap pengecutku ini. Andaikan dulu aku langsung mengakui kesalahan fatal ini. Tidak! Seandainya malam itu aku tidak mabuk dan bertingkah gila. Tapi sebesar apapun penyesalan yang mendera, semua sudah terlanjur terjadi. Nasi sudah menjadi bubur. Sekarang yang harus kupikirkan adalah bagaimana menghadapi Nailis nanti. Terutama reaksinya melihat kehadiranku di rumahnya. Aku tersenyum getir, merasa konyol dengan pemikiran bodohku sendiri. Harusnya aku sadar seberapa besar kesalahan yang kuperbuat. Nailis sudah pasti muak dan membenciku setengah mati. Mungkin, Nailis juga tidak ingin melihatku lagi seumur hidupnya. Kembali bimbang ini menyapa. Haruskah aku menemuinya? Bagaimana kalau kedatanganku justru membuatnya terganggu? Luka hatinya akan kenangan buruk yang kuberikan malam itu kembali menganga.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
11.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.9K
bc

Single Man vs Single Mom

read
101.5K
bc

My Secret Little Wife

read
94.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook