bc

BLACK LILY

book_age16+
250
FOLLOW
1K
READ
adventure
revenge
drama
bxg
icy
crime
weak to strong
brutal
vampire's pet
sacrifice
like
intro-logo
Blurb

(Buku kedua seri elixer)

Sin dan Ringga harus memutuskan berpihak kepada manusia atau kaum pemburu darah, sementara mereka pun menginginkan hal serupa: Aria, si manusia fana.

Inilah saatnya memutuskan keadilan.

chap-preview
Free preview
1
Lucinda tidak bisa menahan diri ketika mendengar Enzo, sang suami, tak kunjung menampakkan diri. Tidak biasanya pria itu melanggar janji. Hari ini, mereka berencana menghabiskan malam bersama putri mereka yang baru berusia setahun. Wanita itu mulai merasa waswas akan sebuah prasangka; mungkinkah ada hal buruk yang terjadi hingga sang suami melanggar janji yang mereka sepakati? Melirik ke ranjang, bayi Lucinda tertidur lelap. Setidaknya Lucinda bisa melihat wajah putrinya yang selalu mampu mengusir rasa jenuh yang Lucinda rasakan. Tidak pernah menyangka bahwa di pernikahan mereka yang terbilang baru seumur jagung, Enzo harus bergelut dengan dewan istana perihal elixer yang kian gencar menyerang kota-kota kecil yang terpisah dari kerajaan utama. Menghela napas. Lucinda bangkit dan mulai merapikan kerutan di gaunnya. Bayi Lucinda pun mulai menggerakkan tangan, tanda si kecil akan terbangun.  Sigap. Lucinda segera menghampiri putrinya dan menggendong sembari menyanyikan lagu pengantar tidur. Biasanya, cara ini selalu berhasil membawa si kecil ke alam mimpi, namun kali ini lagu yang biasa Lucinda nyanyikan sama sekali tidak berpengaruh. Bayi itu mulai menangis.  Memeriksa kening, Lucinda tidak menangkap tanda-tanda bahwa si bayi terkena demam. Bayi itu pun sudah menyusu hingga tidak mungkin jika rasa laparlah penyebab putrinya mulai menangis.  “Sayang,” kata Lucinda menenangkan. “Ada apa denganmu?” Suara tangis semakin menjadi. Lucinda pun merasa takut. Dia mulai berlari ke kamar mertuanya, mengetuk pintu kamar dan baru berhenti ketika Amilia, sang mertua, keluar dari ruangan. “Ada apa?” tanyanya. “Putriku....” Tanpa perlu dijelaskan, Amilia sudah bisa menangkap maksud ucapan sang menantu. “Di mana Enzo?” Amilia mulai meraih sang cucu, memeriksa apakah ada sesuatu yang ganjil hingga bayi itu terus menangis. “Dia masih belum pulang.” Lucinda gemetar. Dia terus menggosok telapak tangannya. “Aku cemas.” “Astaga,” keluh Amilia. “Putraku itu. Tak bisakah dia keluar dari dewan dan segala macam urusan kerajaan?” Wanita paruh baya itu mencoba menenangkan si bayi dengan cara menggendongnya. “Elixer itu juga. Apa salah kita hingga mereka begitu gelap mata ingin melenyapkan manusia?” Mengabaikan komentar Amilia mengenai elixer, Lucinda berkata, “Hari sudah malam. Aku tidak mungkin berani meninggalkan rumah di saat seperti ini. Aku butuh tabib.” “Lucinda, putrimu baik-baik saja. Dia hanya sedikit rewel. Itu sudah biasa.” “Tetap saja,” ucap Lucinda. “Aku khawatir.” Lucinda tidak pernah merasa seresah ini. Seolah akan mendapat kabar buruk. Lucinda bisa merasakannya; malam sunyi tanpa suara serangga ataupun binatang malam yang biasa hadir ketika surya telah lenyap, angin yang tak lagi berembus, dan tangis putrinya yang tidak kunjung reda. Ya dewa, ada apa ini? Lalu Enzo, suami tercinta itu juga belum pulang. Di saat seperti ini, dia seharusnya .... Terdengar suara gemuruh. Saat itu juga, Lucinda melirik sang mertua. “Lucinda, sayang,” kata Amilia. “Itu hanya guntur. Sudah biasa.” Merasa menantunya tidak menunjukkan gelagat menerima penjelasan sang mertua, akhirnya Amilia memutuskan untuk keluar. “Ini,” kata Amilia sembari menyerahkan si bayi yang masih menangis ke gendongan Lucinda. “Aku akan memeriksanya.” Wanita itu pun pergi meninggalkan Lucinda dan bayinya di dalam ruangan.  Beberapa menit telah berlalu, namun sang ibu mertua tak kunjung menampakkan diri. Lucinda pun memutuskan untuk menyusul Amilia. Melewati lorong-lorong yang diterangi lilin, Lucinda bisa melihat bermacam lukisan yang terpajang di samping kanan dan kirinya; potret keluarga besar Enzo dan para sesepuh.  Beruntung, si bayi sudah tidak menangis lagi. Hanya saja, rasa cemas masih melekat di benak Lucinda. Hingga kedua mata Lucinda menangkap siluet seorang pria yang dia kenal bernama Angs, sang pelayan.  Pria itu mengahampiri Lucinda dengan peluh yang menempel di kening dan pelipisnya. Dengan suara gemetar Angs berkata, “Nona, sebaiknya Anda jangan keluar.” Mengerutkan kening. Lucinda bertanya, “Kenapa?” Sang pelayan hanya menggelengkan kepala. Nampak jelas kedua mata pria itu berwarna merah seolah menahan tangis. Lalu detik berikutnya Lucinda mendengar teriakan sang mertua. “Ibu.” “Jangan,” larang Angs. “Tapi....” “Ada elixer.” Hening. Lucinda serasa akan segera ditelan oleh rasa panik jika dia tidak sadar tengah menggendong sang putri.  “Nona,” ungkap Angs, “lebih baik Anda segera pergi. Ada jalan rahasia di kediaman ini. Aku bisa mengantarkan Anda ke sana. Jadi....” “Tidak,” potong Lucinda. Angs mengatupkan bibir. Kecewa. “Tidak,” jelas Lucinda. “Tanpa Ibu dan suamiku.” “Tapi Nyonya ... dan Tuan kini. Mereka....” Angs meremas kedua bahu Lucinda. Memohon. “Nona, ingatlah pada putri Anda. Mereka tidak akan membiarkan bayi yang tidak berdosa itu melanjutkan hidup. Saya mohon, ikutlah bersama saya meninggalkan kediaman ini. Sebelum semuanya terlambat.” Sejak awal Lucinda sudah bisa merasakan semuanya. Akan tiba hari di mana dia juga akan bernasib sama dengan para wanita yang terlahir di garis hidupnya. Kini giliran Lucinda yang akan merasakan hal serupa. Menggigit bibir, Lucinda melihat sekilas wajah sang bayi yang tertidur pulas dalam gendongannya. Sama sekali tidak merasakan hawa dingin yang mulai menyelimuti kediaman mereka.  Dengan segala keberanian yang dimiliki Lucinda, dia menyerahkan putri kesayangannya pada Angs. Pelayan itu menatap pasi wajah sang majikan. Menolak. “Nona, jangan ... kumohon, jangan lakukan itu.” “Angs,” kata Lucinda. “Aku percayakan dia padamu.” Lalu, Lucinda bergegas menuju ruang utama, meninggalkan sang pelayan gemetar di belakang. Lucinda tahu, apa yang akan dilakukannya pada hari ini paling tidak akan menyelamatkan sang putri. Tidak apa, biarlah dia yang menanggung segala pedih dan lara leluhurnya. Biarlah dia yang mengakhiri apa yang telah dimulai oleh leluhurnya. Lucinda tidak takut. Sampai di ujung tangga. Dia bisa melihat mayat Amilia yang tergeletak tepat di samping sesosok elixer berambut merah. Dan di antara para elixer itu, Lucinda bisa melihat Enzo yang diapit oleh dua elixer. Sang suami tersungkur dan tampak luka-luka menghiasi wajah yang biasa menyapa Lucinda.  Para elixer itu menatap Lucinda. Beberapa di antara mereka tersenyum licik seraya membayangkan hal menarik yang bisa dilakukan nantinya. Dengan langkah tegap, Lucinda menguatkan diri untuk tidak menangis. Dia harus menghadapi segala rupa angkara yang bertandang di rumahnya. “Bodoh atau berani,” kata elixer berambut merah. Pria itu menatap sekilas kepada Enzo dan berakhir dengan sebuah senyum simpul pada Lucinda yang kini berdiri di muka tangga paling bawah. “Kau tahu bahwa kami tidak pernah berbelas kasih pada siapa pun. Namun engkau....” “Lepaskanlah suamiku. Izinkan dia melanjutkan hidup.” Terdengar suara tawa menghina. Para elixer yang berada di ruangan tersebut jelas menyepelekan keberanian Lucinda.  “Dia adalah satu dari sekian fana yang diincar Ibu Suri,” ungkap elixer berambut merah. “Maka jelas sudahlah, dia tidak akan dibiarkan begitu saja.” Salah satu elixer menendang Enzo. Dia pun mengerang tertahan.  Menyaksikan itu membuat Lucinda terenyuh. Ingin sekali dia berlari dan memeluk erat sang suami. Namun.... “Aku akan melakukannya tanpa rasa sakit.” Elixer berambut merah tiba-tiba muncul di samping Lucinda. Dia memeluk erat tubuh Lucinda yang meronta. Tidak peduli pada tangis yang dikeluarkan sang fana. Lalu, tanpa sedikit pun rasa kasih, elixer itu menghunjamkan taringnya ke dalam leher Lucinda. Di sisi lain, Angs menggendong bayi Lucinda. Pelayan itu melewati jalur rahasia yang terletak di bawah kediaman sang majikan. Dengan segala duka yang ditahan Angs, pria itu berusaha menyelamatkan diri sembari membawa bayi yang pada detik ini telah kehilangan ayah dan ibunya. Tidak hanya itu, bayi itu pun telah kehilangan segala kekayaan dan nama besar yang disandang oleh sang ayah. Mulai saat ini, bayi itu akan hidup dengan nama berbeda, ingatan berbeda, dan takdir yang berbeda. Bahkan di bawah sini pun Angs masih bisa mendengar suara teriakan manusia yang meminta tolong untuk dibebaskan. Elixer-elixer itu tampak sama dengkinya dengan para pembuas yang dibawanya. Menahan tangis, Angs berusaha menyelamatkan sisa kebahagiaan terakhir yang dimiliki oleh sang majikan. Pria itu tidak akan pernah melupakan apa yang menimpa Enzo dan Lucinda. Tidak akan. Segala macam pedih dan asa. Itulah kali terakhir Angs mendengar tangis memilukan yang teredam suara teriakan fana lainnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Romantic Ghost

read
162.2K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
8.8K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.0K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.1K
bc

Time Travel Wedding

read
5.2K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
2.8K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook