bc

BENANG CINTA SANG DUDA

book_age18+
8.4K
FOLLOW
91.1K
READ
drama
sweet
like
intro-logo
Blurb

.“Seriously?”

“Dari semua cowok se-Indonesia Raya, lo pilih Bima Cakrawala ?” tanya Anggita Cahyani tak percaya.

Bukankah awalnya Clarisa begitu antipati?

Clarisa hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Dia duda lho.” Anggita mengingatkan

“Gue tahu,” ucap Clarisa tegas dan jelas.

“Anaknya dua kalau lo lupa.” Mata Angita menyipit.

“Duakan? Belum tiga.”

Clarisa Amalia Putri tampaknya harus menyerah akan pesona Bima Cakrawala.

Tapi ketika ia mengetahui siapa Bima sebenarnya.

Tampaknya Clarisa harus berpikir ulang tentang niatnya.

Clarisa tidak bisa menerima masa lalunya yang bersinggungan dengan Bima.

Clarisa - Sanggupkah aku mengatakan jika kehilanganmu bukanlah akhir dari segalanya.

Bima – Aku akan menyerah jika aku melihat janur kuning ada di depan rumah kedua orang tuamu.

chap-preview
Free preview
PART 1 - MIMPI BURUK LAGI.
PART 1  - MIMPI BURUK LAGI Malam masih merambat diperaduannya ketika seorang gadis terlihat gelisah dalam tidurnya. Kamar terlihat temaram karena hanya memakai lampu redup yang di letakkan di sebuah meja yang ada di pinggir ranjang sebagai pencahayaan.  Entah apa yang ada dalam impian sang gadis, nyatanya dahinya penuh dengan peluh, seolah pendingin ruanganpun tak mampu membuatnya nyaman dalam tidur. Kepalanya bergerak gelisah, seolah yang ia dapati mimpi yang paling buruk dalam hidupnya. Hingga. “Jangaaaan!” Dengan napas terengah-engah seperti telah berlari puluhan kilometer gadis yang tak lain bernama Clarisa Amalia Putri duduk karena terbangun dari tidurnya. Tubuhnya bahkan masih gemetar. “Ya Tuhan mimpi itu lagi,” keluhnya sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia memeluk tubuhnya dengan kedua lengannya. Seingatnya ia sudah membaca doa sebelum tidur tadi. “Mengapa mimpi itu kembali hadir?” bisiknya sambil menengadahkan kepalanya ke atas. Seolah dengan menatap langit-langit kamar ia bisa menemukan jawabannya. Tapi yang ia dapat justru kesunyian. Karena memang kamar itu hanya ia tempati sendiri. Selama ini ia berpikir sudah terbebas dari mimpi buruk itu lagi. Nyatanya malam ini ia kembali mengalami. Apa memang ia tak bisa lepas dari mimpi buruk itu? Kemudian Clarisa memilih  berbaring kembali. Kali ini dengan tubuh mencengkram selimut. Ia selimuti seluruh tubuhnya hingga hanya kepala saja yang nampak. Matanya menyalang melirik ke sekeliling kamar. Ia yakin sudah mengunci semua pintu dan jendela. Clarisa melirik jam di dindingnya. Pukul tiga pagi. Jika begini, ia pasti tak akan bisa tidur kembali. Napasnya sudah kembali beraturan. Tapi sesaat bola mata bening itu mulai berkaca. Tidak, aku harus bisa melupakan kejadian itu. Kejadian itu bahkan sudah Lima tahun berlalu.  Tapi mengapa harus kembali hadir malam ini di dalam mimpi? Apa karena permintaan Martin kemarin? Ia teringat bagaimana sang kekasih kembali memohon. “Aku pacaran bukan dengan batu kan? Yang tak bisa aku sentuh sedikitpun juga? Kita sudah setahun pacaran Clarisa.” Saat itu Clarisa hanya terdiam dan menunduk. “Kamu gak akan hamil hanya karena aku genggam telapak tanganmu.” “Kamu gak akan kehilangan kesucianmu hanya karena aku cium keningmu.” Clarisa menatap wajah tampan di depannya. “Please Martin, tunggu sampai kita menikah,” pintanya. Martin terkekeh. “Ya ampun Risa. Terus kalau kita pergi berdua gitu, apakah normal kalau jalan aja kamu gak mau aku tuntun?” “Aku bukan anak kecil yang harus kamu tuntun,” cicitnya membela diri. “Kamu gak percaya sama aku?” Martin bahkan sudah mendekat. “Jangan mendekat Martin!” bentak Clarisa dengan tangan sudah siap siaga. Martin kembali menarik wajahnya yang semula sudah sedemikian dekat dengan wajah Clarisa. “Kamu gak usah takut, aku masih sayang pipi aku.” Martin justru mengelus pipi kirinya. Seolah Clarisa baru saja mendaratkan tamparan, padahal itu sudah sebulan berlalu. Tapi ia masih bisa merasakan sakitnya saat tangan yang mulus nan mungil itu mendarat setelah ia lancang mengecup pipi Clarisa, karena rindu. Hanya karena rindu, Martin refleks mengecup pipi Clarisa, dan berakhir dengan merah di pipinya. Balasan yang timpang. Martin memuja kehalusan wajah Clarisa, dan Clarisa justru membalasnya dengan tamparan yang tak pernah Martin duga. “A-aku sudah bilang gak suka ada sentuhan.” Bahkan saat itu ia sudah menahan diri untuk tidak menangis. Clarisa menggeleng ketika mengingat kejadian itu. Ia menghapus sudut matanya. Kemudian mencoba memejamkan matanya, walau ia tahu sulit memaksakan matanya tertutup. ** Bunyi alarm di ponselnya membuat Clarisa membuka matanya. Ternyata sudah jam lima.  Akhirnya ia bisa juga tertidur satu jam sejak mimpinya hadir tadi malam. Dengan wajah mengantuk, Clarisa menyingkap selimut dan beranjak ke kamar mandi. ** Setelah yakin penampilannya rapi, Clarisa segera meraih tasnya dan beranjak keluar. Di meja makan tampak pasangan sejati sedang bercengkrama.  Mereka adalah orang tua yang telah membuat Clarisa hadir di dunia ini. Clarisa tersenyum. Andai ia bisa seperti kedua orang tuanya. Menemukan cinta sejatinya hingga menua bersama. Hubungannya dengan Martin pun jalan di tempat. Keraguan kerap menerpanya jika Martin memaksa ingin bertemu kedua orang tuanya untuk meminangnya. Entahlah, Clarisa juga bingung. Hubungan mereka sudah berjalan satu tahun. Ia nyaman berada disamping Martin, karena Martin tampan, baik dan memujanya. Tapi apakah itu saja cukup untuk syarat menjadi teman hidup. “Clarisa, sini sarapan. Kok malah bengong.” Wanita yang memiliki wajah  Clarisa versi tua menyadarkan lamunannya. “Ibu masak nasi goreng kesukaan kamu.” Clarisa duduk sambil menatap nasi goreng yang sudah disiapkan sang Bunda. Nisa dan Firman menatap sang putri yang tak pernah mereka kira sudah sebesar ini. Sepertinya baru kemarin Nisa mengajari Clarisa melangkah pertamanya. Ternyata waktu berjalan  terasa cepat sekali. Firman berdehem, membuat Clarisa menatap sang Ayah di sela sarapannya. “Berapa usiamu sekarang Clarisa?” Ditanya seperti itu Clarisa terdiam. Tak mungkin ayahnya lupa usia sang putri. Memangnya anak Ayah banyak? Anak hanya satu, jangan kata tanggal lahir, nomer ktp putrinya juga Ayahnya hapal. Ini pasti ada sesuatu. Genggaman Clarisa mengerat ke sendok yang ia pegang. “Me-memang kenapa yah?” Helaan napas terdengar dari suara sang Bunda. “Dulu Ibumu sudah melahirkan kamu saat usianya dua puluh lima tahun.” Tuhkan masalah itu lagi. “Ayah memiliki teman ….” “Gak usah Yah.” Clarisa memotong kata-kata sang ayah. Lalu ia memberikan senyuman manisnya pada kedua orang tuanya. “Aku sudah punya calon sendiri,” bisiknya. Tatapan kedua orang tuanya menajam. “Benarkah?” tanya Firman tak percaya. Karena selama ini Clarisa tak pernah membawa satu orangpun kehadapannya. Clarisa mengangguk lemah. “Bawa dia menghadap Ayah, secepatnya.” Titah sang Ayah membuat Clarisa menunduk. “Iya Ayah,” lirihnya. Nisa tersenyum mendengar sang putri akhirnya memiliki kekasih. “Kenapa gak dari kemarin-kemarin kamu kenalkan sama Ayah dan Ibu. Jadikan kami gak perlu bingung memikirkanmu.” Seulas senyum dipaksakan oleh Clarisa pada kedua orang tuanya. Ia paham jika usianya sudah cukup umur untuk berumah tangga. Sementara Clarisa sendiri tidak yakin ia bisa membina rumah tangga yang normal seperti layaknya wanita lain. “Maaf bu, Clarisa kemarin belum siap. Tapi secepatnya pasti akan aku bawa kemari.” Kedua orang tuanya mengangguk dengan wajah sumringah bahagia. Sementara sesuatu meremas jantung Clarisa. Apakah memang sudah saatnya ia harus mengakhiri masa lajangnya? Tapi apakah ia mampu? Sudahlah yang penting Ayah tidak lagi memaksakan kehendaknya. ** PT RAJAWALI sebuah gedung  yang memiliki lima belas lantai, sebuah perusahaan expedisi ternama yang terletak di daerah jakarta pusat, tempat Clarisa bekerja sebagai staff Accounting. Setelah yakin tidak terlambat, Clarisa berjalan perlahan menuju lift. Pagi itu sudah banyak beberapa karyawan dan karyawati yang sama menanti lift terbuka. Clarisa menekan angka enam, ketika sudah ada di dalam lift. Lantai tempatnya bekerja. Ia satu ruangan dengan ketiga gadis lainnya, yang bernama Anggita, Sisi dan Rita. Ternyata temannya sudah kumpul di dalam ruangan. “Lo kenapa? Lemes amat kaya belom makan setahun? Gaji lo abis buat ke salon? Apa buat beli make up yang harganya selangit?” Anggita Cahyani, teman sejak masa taman kanak-kanak hingga dewasa, bertanya sambil memakan cemilan diatas meja. “Gue bingung,” keluh Clarisa. Anggita mendekati sahabatnya. “Sini curhat sama daku, ada apakah gerangan hingga sang putri tanpa mahkota terlihat begitu sedih di hari yang  cerah ini?” “Kemarin gue ribut sama Martin.” Anggita mengerjap. “Kenapa lagi?” Perasaan sering banget sih ribut ama pacar.  Nih anak pacaran apa cari musuh sih? Gak bisa gitu pacaran gak pernah ribut. “Dia minta kiss,” bisik Clarisa sambil memilin jarinya. “Yah kasih donk, kalian pacaran’kan sudah lama. Pelit amat sih kiss aja gak mau kasih.” Dengan gemas Clarisa menoyor kepala sahabatnya. “Aishh.” Anggita memberi pelototan tajam. “Masalahnya gue gak tega kalau harus tampar muka Martin lagi!” ketus Clarisa. Mendengar itu Anggita mengerjap. Benar juga. “Terus bokap minta gue bawa calon, kalau gak gue mau dijodohin.” Anggita menghela napas panjang. “Martin ada. Kalian pacaran lama. Apa susahnya.” “Dan semalam gue mimpi buruk lagi,” keluhnya. Anggita membola. “Again?” Anggukan lemah ia terima dari sahabatnya. “Maafkan gue ya,” nada menyesal keluar dari mulut Anggita. “Kalau saja ....” “Lo gak salah, gue yang salah.” Clarisa tidak suka Anggita merasa bersalah, karena jelas dulu adalah kesalahannya sendiri.  “Tapi gue gak keberatan  menemani lo konsultasi, gimana? Mau ya?” “Gue gak gila!” tolak Clarisa. “Yang bilang konsultasi  hanya untuk orang gila siapa?” “Memang mau sampai kapan lo kaya gini?” Clarisa menggeleng. “Gue gak mau.” Lalu ia menatap ke arah sahabatnya. “Gue akan coba sama Martin.” Mata Anggita membola. “Serius?” “Gue’kan harus mencoba,  supaya trauma itu hilang misal gue  jadi nikah sama dia nantinya.” Anggita memeluk sahabatnya. “Lo pasti bisa, kalau Martin mau kiss, lo bayangkan saja bang Abdi.” Dahi Clarisa melipat. Abdi adalah seorang lelaki yang bernasib apes karena memiliki adik seperti Anggita. “Apa hubungannya dengan bang Abdi?” “Yah barangkali lo nyaman kalau bayangin abang gue.” Astaga Anggita. “Lagian lo kenapa sih gak jadian ama abang gue. Gue yakin lo pasti bahagia jadi  kakak ipar gue.” Clarisa memutar bola matanya dengan jengah. “Gue bosen ya, kita dari TK deketan mulu.” Deheman di depan pintu ruangan membuat Anggita menoleh. Tampak kepala bagian  mereka berdiri  dengan tatapan tajam. Tiara “Lampir,” bisik Anggita sambil kembali ke mejanya. Tiara menatap dua karyawannya dengan tajam. “Tolong kalau bekerja, jangan kebanyakan gosip.” Lalu setelahnya Tiara beranjak dari tempatnya. Anggita memutar bola matanya jengah, sementara Clarisa hanya tersenyum sambil berucap melalui gerakan mulut. Syukurin. Dalam kesibukannya Clarisa kembali mengingat pertengkarannya dengan sang kekasih, Martin. Sore itu Clarisa mengikuti ajakan Martin ke kostnya. Martin sudah berulang kali membawa Clarisa ke rumah orang tuanya. Hanya karena jarak kantor Martin jauh dengan rumah keluarganya, jadilah Martin menyewa kost-kostan. Dan Clarisa kerap di ajak ke kost-kostannya walau hanya untuk makan malam. Malam itu Martin memaksanya minta kiss sebagai bukti cinta kasihnya. Namun Clarisa tegas menolak. “Gimana kalau kita nikah nanti, sekarang aja kamu selalu ketakutan kalau aku dekati.” Wajah Martin bahkan sudah menujukkan kekesalan tingkat tinggi. Ia mencintai gadis didepannya, teramat sangat. Bahkan sudah memastikan ia akan melamar gadis ini. Tapi yang membuatnya heran, Clarisa selalu menolak ia dekati. Jangankan bermesraan seperti pasangan lainnya, hanya sebatas telapak tangan sajapun Clarisa tak ingin berlama-lama Martin pegang. Sejak  kejadian tamparan itu, Martin tak berani lagi mencuri ciuman pada kekasihnya. Jika memang hanya pernikahan yang di inginkan Clarisa, Martin sudah lama memaksanya untuk melamar. Tapi kekasihnya selalu saja tak siap. Untung Cinta. Kalau gak, sudah lama Martin berpaling. Clarisa menghela napas. Mungkin Anggita benar, aku keterlaluan. “Coba perlahan-lahan, kalau lo gak mau Martin nyerobot kaya dulu lagi. Paling gak, kalau  lo gak pengen dia minta kiss, jangan menolak kalau dia mau belai pipi lo, anggap gue yang belai lo,” goda Anggita. “Ya kali lo berdua nanti nikah, masa ya lo larang dia nyentuh lo. Gak mungkin kan?” “Inget, jangan lo tempeleng lagi tuh muka si Martin, kasihan anak orang itu.” "Udah untung dia sabar banget pacaran sama lo lama, cuma dapat pegang tangan doang. Itupun hanya sesaat. Kurang sabar apa lagi coba cowok lo itu?" Ceramahan Anggita terngiang di telinga Clarisa.    Judul : Benang Cinta Sang Duda. Romance 18+ Pen Name : Herni Rafael. https://m.dreame.com/novel/tOaXZ4PBN2yegw4OowaHVA==.html Hayyy ketemu lagi sama aku. Semoga gak bosen yaaaa. Ini naskah aku ke-empat. Tentu akan aku lanjutkan jika naskah ke-tiga sudah aku rilis. Sabar menunggu yaaaa. Karena harus melewati prosesnya juga. Semoga suka. Love Herni. Jakarta 4 April 2021

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.7K
bc

My Secret Little Wife

read
94.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook