bc

The Kingdom Scandal

book_age18+
202
FOLLOW
1.6K
READ
love after marriage
independent
confident
prince
princess
comedy
bxg
mystery
royal
lonely
like
intro-logo
Blurb

Pandora berpikir menyentuh istana hanya ketika dirinya sedang bekerja. Menjadi kurator buku lama bukan pekerjaan buruk. Sebelum dirinya menemukan sebuah buku klasik yang menceritakan ramalan kuno tentang abad mendatang.

Semula, Alaric ingin menyangkal semua yang perempuan asing itu katakan. Seakan si kutu buku berpenampilan kuno itu mengucapkan kalimat bualan yang tidak berdasar. Yang paling parah, menduga bahwa Pandora berhalusinasi. Namun, tidak benar-benar mengelak fakta bahwa lambat-laun ramalan itu berbunyi kebenaran.

DIikuti rentetan kejadian misterius yang membuat hidup mereka berdua terguncang sekaligus terlibat satu sama lain. Bagaimana cara Alaric dan Pandora menghadapinya?

chap-preview
Free preview
TKS - 1
Namanya Pandora Connor, gadis manis berusia dua puluh lima yang tampil bagai nenek tua dengan suami tentara yang tewas di perbatasan, begitu kata orang-orang. Pekerjaannya mudah. Ia punya kecenderungan mencium sampul dan kulit buku yang berusia lebih lama dari nenek moyangnya dan kurang lebih muda dari usia bumi. Baunya khas. Sebagai pecinta karya seni berusia ratusan tahun, Pandora tidak menyangkal semua buku layak diberi apresiasi. Ia disegani. Tentu saja. Pembawaannya tenang, tetapi kadang-kadang seperti perempuan usia tanggung yang suka mencakar. Begitulah. Ia hanya diibaratkan sebagai macan hamil yang tidak mau disentuh siapa pun. Hidupnya terbatas. Sebatang kara dan suka menyelam dalam buku-buku sampai isi kepalanya tidak pernah mengenal kata berkencan. Perempuan-perempuan di abad 17 sangat suka berdansa, pikirnya. Setelah membaca keterangan dari salah satu penulis sastra daerah yang menceritakan bagaimana perempuan bangsawan tersiksa karena diet ketat dan aturan kelas yang mencekik. Pesta seks, p********n, perjodohan bukan hal tabu. Para bangsawan menikmati segalanya di atas uang. Napasnya berhamburan. Nyaris terputus-putus dan tersengal karena mendapati ruangan ini sempit dan pengap. Rasanya terasingkan dari bagian istana yang super megah. Parvitz menyimpan sejuta cahaya, berkasnya menyilaukan mata banyak orang. Terkenal sebagai penghasil tambang terbesar, membuat negara ini kaya. Terutama mereka yang berperut buncit asal kelas atas gemar memakan uang rakyat. Dan samar-samar ia mendengar suara alas sepatu bergesekan dengan lantai kayu dalam remangnya ruangan. *** Rautnya kusut. Kepalanya bercabang. Semua kemungkinan-kemungkinan itu mengarah pada fakta, realita yang sebenarnya. Perasaannya tercecer. Kenyataannya, ia sama sekali tidak bisa mengendalikan diri di depan perempuan itu. Pangeran Alaric berjalan di tengah kasarnya lantai kayu. Ruangan tersembunyi yang ada di sayap kanan kastil. Istana Parvitz yang terbaik. Setiap bangunan tersentuh tangan ahli yang mencengangkan. Setiap tahunnya, istana membuka tur secara terbatas bagi mereka yang ingin menonton istana utama ini dari dekat. Napasnya terdengar kasar. Namun ia harus menepati janji untuk bertemu seseorang. Salah seorang asistennya memberikan kabar. Meski undangan ini telah ia tolak beribu kali, perempuan berkepala batu yang menyebut dirinya sebagai pengoleksi buku tua memintanya bertemu secara terbuka. Dan Alaric menolak. Ia menginginkan pertemuan rahasia karena perasaannya mengarah pada firasat buruk. Apa pun yang berbau masa lalu itu tidak akan terdengar bagus, pikirnya murung. Saat Alaric mendorong pintu, aroma citrus dan perapian yang menyala menambah kesan tenang. Tentu saja perpustakaan ini dirawat, hanya saja tidak terlalu sering dikunjungi. Ini bukan perpustakaan umum. Mungkin manusia kutu buku atau kurator karya klasik lebih senang di tempat ini dan mengira perpustakaan ini sebagai surga mereka. Ketika langkahnya berderap, Alaric sama sekali tidak bisa melihat siapa pun di dalam ruangan. Ia lantas menyalakan lampu, membiarkan sisi-sisi dinding terang dengan semestinya. Kemudian pada sepasang sandal tanpa hak yang tergeletak di atas karpet. Siapa pelakunya? "Aku tidak tahu ada Cinderella di abad 20." Sorot tajamnya terpaku pada sosok yang duduk, dengan santai dan sesempatnya menyantap kepingan cokelat dari toples mungil di atas pangkuan. Keningnya mengernyit dalam. Menyadari rok hitam panjang itu menyibak sepasang kaki jenjang yang secara sadar membuat aliran darahnya berdesir. What the f**k? "Cinderella hanya ada di Disney. Kalau kau mau menontonnya, kau harus berlangganan Disney Hotstar terlebih dulu." Rok hitam tua dan usang itu lekas turun dan kembali menyembunyikan harta karun yang sempat menjadi objek mata laparnya. Coret—nakal. Ia seorang pria, lajang, dan kaya. "Well, selamat malam, Pangeran Alaric." Suaranya terdengar seperti aroma krisan yang menusuk di pagi hari. Bagai rayuan iblis yang mengetuk mimpi-mimpi liarnya setiap malam. Fantasi aneh seorang pria berusia kepala tiga yang masih sendiri. Namun tampilan luar gadis itu sama sekali tidak menarik. Alaric harus menelan ludahnya karena fantasi kaki jenjang itu harus rusak. Manusia darimana yang memakai penampilan layaknya pengemis abad 18? Kacamata tebal, rambut merah muda yang tersanggul kaku, dan baju longgar yang sama sekali tidak terkesan bagus. Alaric meringis. Menyadari perempuan di depannya benar-benar kalah dari segi penampilan. "Aku minta maaf karena lancang. Tapi tolong, fokus pada mataku." "Aku sedang menilaimu." "Yah, beginilah." "Reinkarnasi dari abad keberapa dirimu yang sekarang?" Sindiran itu berbentuk sarkasme. Seharusnya Pandora sabar, tidak sama sekali tersinggung. "Aku tidak menyangka bertemu dengan kurator buku yang ikut kuno sama seperti buku bacaan lama." "Aku datang tidak untuk meminta pendapat Anda soal penampilanku. Bagiku, ini sempurna." Sang Pangeran menghela napas. Sorotnya yang gelap, semakin gelap tak terhingga. "Kau membiarkan sandalmu tergeletak sembarangan. Kalau tidak segera memakainya, aku akan membuangnya ke perapian sekarang." "Itu bukan sampah." "Mengotori lantai." Pandora menarik napas. Membungkam semua umpatan dengan desisan lirih. "Aku akan segera memakainya setelah membahas ini pada Anda. Tetapi yang jelas, aku punya berita buruk." "Buruk?" "Ya." Alaric tertarik. "Tentang?" "Ramalan yang berbicara tentang pangeran bungsu akan melakukan kudeta. Aku hanya ingin memastikan kalau ramalan bintang itu sama sekali tidak benar. Anda bersedia?" "Tidak." Senyum Pandora terurai masam. "Aku sudah menduganya. Sia-sia saja berbicara pada pria yang isi kepala hanya dipenuhi s**********n dan perempuan berbadan lidi telanjang di atas ranjang. Kalau begitu, aku permisi. Selamat malam. Aku akan memanjat semisal pagar di depan sudah terkunci." Pandora memungut sandalnya. Terburu-buru memakainya tanpa peduli Sang Pangeran sekarang menatapnya atau tidak. "Tunggu." Ada senyap membentang. "Menurutmu, aku akan menjadi raja? Ramalan itu?" "Rahasia. Karena aku pikir, Anda sama sekali tidak peduli. Lupakan saja. Aku pergi. Selamat malam." Alaric tidak pernah merasa harga dirinya tercabik semenyedihkan ini karena perempuan kurang edukasi penampilan satu itu. Benar-benar membuatnya kesal bukan main. . . . . Istana Parvitz di pagi hari cukup tenang. Tidak ada riuh sama sekali. Walau berasal dari anak-anak sekalipun. Mereka akan duduk diam, membaca buku dan mendapat pelajaran tata krama dari guru terlatih yang memang terlahir untuk istana. Mengabdikan diri sebagai pelayan istana untuk waktu yang lama. Mereka telah disumpah, telah bersumpah untuk tidak pernah membicarakan buruk soal istana ke dunia luar atau pers. Sembari menyugar rambutnya, aroma tanaman yang baru saja disiram menusuk hidung Alaric dalam diam. Ia berkeliling koridor, berulang kali merentangkan tangan. Pasca berolahraga dan merenggangkan sedikit otot tubuhnya, ia kini rileks. Terutama karena semalam merasakan darahnya mendidih dan rasa kesalnya siap membakar dari ubun-ubun kepala. "Aku bisa bermain baseball. Mau kutunjukkan bakat terpendamku?" Atensi Alaric terusik pada sebuah suara mantap yang berasal dari sebelah selatan. Saat dirinya memutar badan, menemukan perempuan berpakaian formal, mencolok dan rambut merah mudanya berkibar tertiup angin. Tunggu. Gambaran gadis itu tidak asing sama sekali. Ketika sepasang matanya memicing, menilai sekali lagi, napasnya berembus kasar. Mau apa dia di sini? Alaric bahkan tidak tahu siapa nama kurator buku sialan yang berani-beraninya telah mencoreng harga dirinya. Berbicara soal ramalan, bagian dalam istana masih memercayai hal mistis atas nama leluhur mereka yang telah mati. Ramalan berarti sesuatu yang bernasib baik dan buruk. Kalau gadis itu datang untuk membahas soal kudeta yang tergantung semalam, maka bencana. Tetua tidak akan tinggal diam. Sialan. Alaric mendapati dirinya mengumpat lirih. Kehadiran gadis itu dan buku ramalan yang dia baca membawa petaka ke kehidupannya. Alaric kembali mengumpat, lidahnya mendesis jengkel. Suara si kembar bersahut senang. Mereka sedang memakai pakaian olahraga yang santai. Saling melompat satu sama lain. Pewaris Kerajaan Parvitz yang tampan. Putra mahkota di masa depan. Dan mereka berdua adalah anak kandung dari Dimitri, calon raja selanjutnya. Istana terjadi kekosongan kekuasaan pasca Raja Ivan mengembuskan napas terakhir. Beliau pergi karena serangan jantung setelah melakukan makan malam bersama para tetua. Meninggal satu jam setelahnya. Kemudian istana dilingkupi duka sampai satu bulan setelahnya. "Kemarikan bolanya." Lagi-lagi suara lembut dan bersemangat gadis itu menghampiri telinganya. Satu-satunya perempuan yang berkeliaran di kepala Alaric hanya dia, dia yang kini bahagia bersama orang lain. Namun si kutu buku itu berhasil merusak imajinasinya. Dan Alaric membayangkan kaki jenjang yang semalam tanpa sengaja terbuka, membuat darahnya berdesir panas. Kemudian suara tawa. Sentakan baru muncul tatkala mendapati penampilan gadis itu yang ramah dan terkesan santun membuatnya mencemooh. Alaric memperlambat langkah, menyeberangi taman untuk melihat dari dekat. Mereka masih fokus pada permainan membosankan di depan sana. Sampai pada Alaric yang bergeming, menemukan dua buku dan satu catatan. Lalu pada satu kacamata tebal yang semalam membungkus mata hijau gadis itu. Tangannya terjulur untuk memeriksa kacamata tua itu dalam diam. Dan menyadari kalau kacamata itu bukan kacamata minus atau plus yang selama ini banyak digunakan orang-orang untuk membantu mereka dalam kegiatan membaca dan aktivitas sehari-hari. Tenggorokannya menggeram. Sesaat Alaric kehilangan napasnya karena merasa tertipu penampilan gadis itu dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam. Berani-beraninya! "Oh, ya Tuhan." Alaric menoleh. Reaksinya yang terlanjur dingin mungkin memecah perhatian Pandora. Karena sekarang gadis itu tercengang, sama terkejutnya. *** Pandora dilanda rentan. Membentan sampai seakan seluruh tubuhnya telanjang. Terbuka sampai ke akar-akarnya. Saat sorot dingin itu menyapu wajahnya, ia hanya berusaha keras untuk menyingkirkan rona merah di pipi. Itu tidak pantas, tegurnya. Merutuk kebodohannya karena terlalu teledor dan menganggap istana ini aman. "Kau berusaha menipu siapa?" "Oh, bukan siapa-siapa." Pandora hanya harus terburu-buru sebelum semuanya ini membuatnya menyesal. "Maafkan kelancanganku, Yang Mulia." "Lancang?" Alaric mendengus. Matanya terus mengekori bagaimana gadis itu tiba-tiba pucat dan tangannya gemetar. Meski begitu, ekspresi keras dan tidak terbantahkan masih terlalu kental melumuri wajahnya yang manis. Bola matanya berwarna hijau. Sejernih pepohonan rindang di perjalanan menuju Cornelia. Salah satu kota terkenal yang kini menduduki kawasan ibukota di Parvitz. Negara makmur penghasil tambang terbesar. Lantas, yang membuatnya bertanya-tanya, mengapa kurator buku ini tampak kuno di saat perempuan dewasa di luar sana mati-matian berusaha tampil sempurna dalam rangka apa pun? "Aku akan menunggu pembahasanmu tentang ramalan buku sialan itu." Pandora menautkan alis. Berdeham setelah memasang kacamatanya dan tidak sempat memperbaiki rambutnya. "Ah, kupikir Anda sama sekali tidak tertarik?" "Aku tertarik. Menyangkut negara dan kedamaian istana ini, aku sangat tertarik." Sang Pangeran sama sekali tidak bisa menyembunyikan sarkasme yang terlanjur meluncur. Matanya menyipit tajam. Sekali lagi menghunjam Pandora yang terlalu rapuh dan kurus. Bagai harimau mengincar kelinci cacat yang tidak bisa melarikan diri sebelum ajal. "Kau harus menjelaskannya," ujar Alaric dingin. Penuh penekanan. Suaranya sama sekali tidak terkesan ramah. Pandora menghela napas. Memandang taman yang terlampau luas dengan bibir terkulum. Kemudian mencoba melirik, menguatkan diri. "Lusa?" "Kenapa tidak nanti sore?" "Oh, aku punya urusan. Lusa, dan aku bisa membahas itu bersama Anda." Alaric mengangkat alis. Sepasang alis tebalnya menukik, menilai Pandora sekali lagi dan mendesah. Tidak mau berdebat atau mengingkari prinsip karena baru saja mendapati perempuan cantik dari balik penampilan super kuno abad tujuh belas. "Aku permisi, Yang Mulia." Pandora membungkuk. Memberi kesan sopan sebelum meluncur pergi. Mencoba mengatasi semua kekacauan dengan melarikan diri. Ia hanya butuh ruang. Mengoreksi dirinya sendiri agar tidak ceroboh pada saat apa pun. Termasuk jam penting dimana keluarga bangsawan bisa saja melihatnya ada. Ya Tuhan. Pandora meremas dadanya sendiri. Memejamkan mata setelah menutup pintu. Menarik napas dalam, menyandarkan punggung dan belakang kepalanya pada pintu yang tertutup. "Aku tidak boleh lengah lagi," ucapnya pada diri sendiri. Menuding kesalahan ini berasal dari kelengahannya karena terlalu takjub, terpukau, terlalu percaya. Bahwasanya dirinya datang untuk bekerja, bukan untuk merayu bangsawan kelas atas di tempat ini. "Pandora?" "Sebentar." Terburu-buru menyanggul rambutnya dengan pensil yang tergeletak di atas meja. Pandora memutar gagang pintu, menyadari suara lembut siapa yang menegurnya dari depan. "Madam Ellie?" "Aku hanya mengingatkan tentang kau yang belum sarapan, Sayang. Ayo, pergilah. Sebelum para rakus mengambil semua bagianmu." Pandora meringis. Merapikan rok panjang dan kemeja tuanya. "Oh, astaga. Baik sekali. Terima kasih banyak karena mau kurepotkan." "Repot?" Madam Ellie menarik lengannya agar tidak tersandung. Pandora berjengit, menegang karena terlalu kacau. Mengingat kedoknya terbongkar oleh Sang Pangeran. Dan melihat bagaimana tatapan itu tadi, Pandora tidak yakin dirinya akan baik-baik saja di masa depan. Karena dia sangat mengenal arti tatapan itu dengan baik. *** "Jadi, Duchess mana yang akan beruntung bersanding dengan bangsawan tampan ini?" Alaric mendengus, menaruh garpu dan pisaunya saat matanya dengan sengaja melirik sang kakak ipar. Yang duduk di sebelah suaminya, menyantap makan siang penuh perhatian. "Belum ada." "Ah, Alaric. Masih senang bermain-main?" Mata cokelat nan teduh itu menghampirinya. Bagai oasis di tengah padang gurun. Gagasan untuk menyingkirkan meja demi menarik perempuan itu ke dalam kamar, mengunci untuk dirinya sendiri terlampau besar. Alaric mendesah, merutuk pikiran bodohnya dengan sentakan asal. "Lupakan, Sayang. Akan ada saatnya dia menikah. Lagi pula, Duke selalu punya cara untuk mengatasi rasa kesepiannya." Calon ratu—Laura tertawa. Satu-satunya yang berhasil membuat perempuan itu tertawa bebas hanya suaminya. Dimitri. Seantero negeri tahu kalau pasangan yang diberkati ini saling mencintai. Alih-alih mengabaikan perasaan Alaric yang terombang-ambing. Semua rakyat mencintai calon ratu di masa depan penuh kasih. Ketulusan Laura dalam berbagai kegiatan amal dan acara kerajaan selalu membuat orang-orang terpukau. Laura berpenampilan rapi, sopan dan terdidik. Memang menegaskan bahwa dirinya terlahir dari sendok emas dan pendidikan mumpuni yang dia tempuh selama kurang lebih tiga tahun. Laura berasal dari Cornelia. Keluarganya masih bergelut dalam dunia politik dan memiliki silsilah dari darah biru istana. Kakeknya adalah seorang Viscount di masa lalu. Dan sekarang, keluarganya berfokus pada bisnis dan politik mereka yang menjurus ke banyak kepentingan. "Kau melamun." Alaric menarik napas. Tidak sadar terlampau erat mencengkeram pisau dan garpunya sendiri. Kedua bola matanya memicing, menatap pasangan suami istri itu dengan senyum bosan. "Yah, hanya berpikir kalau tidak ada perempuan mana pun bisa mengimbangiku." Dimitri tertawa. Walau wajahnya terkesan seperti menegur sang adik. "Kalau bicara, kau harus hati-hati. Suatu hari nanti, kau akan takluk pada perempuan yang bisa membuat duniamu terjungkir. Kau harus percaya pada takdir, Alaric." Takdir? Meski harus melakukan kudeta? Alaric mendesis dalam hati. Membuang muka untuk tidak melihat wajah sang kakak sekarang. Dirinya hanya tidak mau kedok dalam apa pun terbongkar. Ia cukup menjadi penyokong sang kakak. Tidak perlu menambahkan bumbu apa pun yang membuat istana terguncang. Dia harus menemui Pandora secepatnya. "Aku sudah selesai." Laura dan Dimitri serempak mendongak. Mengamati Alaric yang menatap tidak selera pada makan siangnya. "Kau tidak apa?" "Aku punya janji untuk datang ke pacuan kuda sekarang." Dimitri memberi senyum. "Hobi yang belum berubah. Selain boxing dan menembak. Yah, baiklah. Tidak ada yang bisa melarang The Duke of Cornelia." "Kakak," tegur Alaric muram. "Kau baru saja mencelaku?" "Mencela?" Suara tawa Dimitri yang tergelak terdengar bergema di seluruh ruang makan. "Tidak sama sekali. Aku hanya menyukai bagaimana caramu menjalani hidup. Kau luar biasa." "Terima kasih untuk pujiannya." Alaric menunduk, menatap kakaknya dan berpindah pada kakak iparnya. Senyumnya memudar. Begitu pula arti matanya. "Aku permisi." "Ya." Laura mendesah. Memainkan garpunya dengan bosan. Memindahkan perhatiannya pada sang suami yang terlihat tenang. "Apa kita perlu melakukan perjodohan dengan keluarga bangsawan lain?" Alis calon raja itu tertaut. "Apa itu tindakan tepat?" "Kau tidak berpikir soal rakyat yang menuding Alaric sebagai pangeran pembuat ulah? Aku kasihan dengan reputasinya." Selintas, tidak ada masalah. Sementara sepasang mata Dimitri terlalu lekat memindai wajah sang istri yang berlumur gelisah. *** Suara tembakan meletus nyaring. Para kerabat bangsawan yang hadir untuk bermain sekaligus memamerkan seberapa jantan mereka terlihat sibuk satu sama lain. Alaric menyesap cerutu di ujung bibir. Mengamati lawannya dengan seksama sebelum mengangkat senjata untuk memamerkan kebolehan. "Tidak pergi ke pacuan kuda?" "Terlalu ramai." "Ada perlombaan?" Kepala itu menggeleng. "Tidak. Hanya para perempuan yang suka bergosip." Sang Duke mengukur moncong senjata api di tangan, kemudian memberi senyum. "Keluaran terbaru?" "Buatan lokal. Kau tidak perlu khawatir, Yang Mulia. Ini legal. Izinnya akan resmi turun selasa bulan depan." "Bulan depan?" Sudut bibirnya terangkat naik. "Kita masih bisa memasukkan senjata ini dalam kategori ilegal. Berapa jarak tembakannya?" "Sepuluh meter." "Great." Alaric melebarkan seringai miring. "Aku bisa menyimpan ini untuk koleksi." "Dasar," celetuk salah satunya. "Aku mendengar gosip dari para pelayan. Mereka bilang, beberapa perempuan akan dinobatkan menjadi kandidat istri Sang Duke di masa mendatang." Lamunan Alaric pecah akan keelokan senjata api baru di tangan. Matanya menyipit, alisnya tertekuk, keningnya berkerut. "Kau bicara tentangku?" "Tentu saja, Yang Mulia." Salah satunya tanpa sesal membalas. "Pesta musim akan berlangsung lusa. Para bangsawan akan mempersiapkan anak gadis mereka untuk debut dan mencari pelamar." "Beberapa orang mencoba menolak sistem patriarki dengan tentangan keras," yang tertua bicara agak serak. "Padahal mereka hidup dari napas laki-laki. Nafkah dan segala urusan rumau menjadi tanggung jawab para pria. Kegaduhan yang mereka buat, kita yang harus membenahi." Pekerja senior dari lapangan tembak merapat. Melirik Alaric dengan tampang datar. "Tidak usah kau risaukan tentang mereka. Pangeran, jodoh bersifat kebetulan. Ada saatnya kau akan menikah. Menyusul putra mahkota yang sudah memiliki garis keturunan." Alaric mendesah. Memperbaiki topinya dengan cibiran pelan. "Sebenarnya, aku tidak terlalu peduli soal pernikahan. Tanpa ada Duchess, semua masih baik-baik saja." "Para perempuan butuh gelar, Yang Mulia." Alaric ingin mengesampingkan pikiran itu. Karena satu-satunya perempuan yang sangat ingin dia nikahi, telah melahirkan sepasang putra kembar dalam ikatan pernikahan yang sah. Menjadi calon ratu di masa depan dan kehidupannya sudah terjamin. Keluarganya tidak perlu bersusah-payah mencari pengalihan untuk terus hidup dalam lingkaran bangsawan. Darah biru akan terus mengalir sampai mati. "Aku tetap tidak ingin menikah." Semua orang seolah tidak terkejut. Pangeran Alaric terkenal condong ke arah yang berkebandingan. Tidak seperti Pangeran Dimitri. Meski keduanya sama-sama berprestasi dalam bidang yang seharusnya menjadi pondasi dalam urusan suatu negara. Dua-duanya terlahir sebagai penerus takhta. "Seakan aku peduli pada takhta saja," ketusnya. Menembakkan satu peluru ke arah burung yang terbang, berlarian mencari perlindungan. "Dua putra kakakku menanti takhta dengan segenap kemampuan mereka." "Cornelia sudah memikat siapa pun. Anda benar, tidak perlu mengurus soal kedudukan. Semua sudah diatur." "Paman!" Sebuah suara lembut mengejutkan mereka. Tidak biasanya lapangan tembak diisi perempuan kecuali berasal dari kasta rendah atau golongan pelayan yang mengabdikan diri pada salah satu anggota bangsawan. Namun ketika Alaric menoleh, dia mendapati gadis berpenampilan norak di perpustakaan mendekat. Tidak tampak kesulitan dengan celana jins dan sepatu boot yang melekat indah. Ini abad milenial. Akan tetapi para bangsawan lama lebih condong memakai kebiasaan adat beratus tahun silam sebagai pelestarian budaya. Kecuali Pandora, benar. Karena dia bukan bangsawan. "Kau mengenalnya?" Si pekerja senior itu berdeham. Memandang Alaric geli. "Tentu. Dia putri baptis kakak kandungku. Kami sangat menyayanginya. Dia seperti putriku sendiri." Bahkan saat eksistensi gadis itu mendekat, Alaric tidak perlu merasa berbesar hati karena Pandora akan melihatnya. Karena perempuan itu tidak melakukannya. *** "Kau terlihat muram." Pandora melirik dalam diam. Remangnya lampu dapur menjadi alasan mengapa dia sering datang untuk duduk. Atau sekadar merenung di tempat sepi. Ini bukan dapur utama, melainkan dapur belakang khusus para pelayan istana. "Kapan pangeran itu pergi?" "Siapa?" "Duke dari Cornelia." Kedua bahunya terangkat. "Siapa lagi?" "Kalian punya masalah?" Pandora membungkam mulutnya. Memandang Ellie dengan tatapan sesal. "Sebenarnya, tidak. Hanya saja aku tidak terlalu senang melihatnya. Kadang-kadang manusia sering bertingkah konyol begini." Ellie tertawa hambar. "Semua orang menyukai keberadaan Sang Pangeran muda. Kau sendiri?" "Yah, kecuali aku." Pandora tidak perlu mencari tahu daftar para perempuan yang senang akan keberadaan pria berwajah suram itu. Ekspresi Pangeran Dimitri lebih menarik perhatian daripada adiknya yang dingin. Pandora tidak paham alasan mengapa si bungsu dari penerus Parvitz terlihat seolah ingin membunuh orang setiap saat. Auranya yang seram menembus pikiran sekitar. "Yang aku dengar, dia akan kembali setelah penobatan selesai." "Oh, masih lama." "Bisa dipercepat," tukas Ellie. "Seandainya dia sudah menikah." "Berapa usianya sekarang?" "Kau perlu bertanya?" Ellie mendengus muram. Mendorong Pandora untuk meminum segelas susunya. "Usianya tiga puluh tahun." "Aku bertemu dengannya di lapangan tembak." Ellie menautkan alis. "Pangeran?" "Ya. Aku tidak tahu kalau dia cukup akrab dengan pamanku." Pandora mendesah, mencium aroma s**u cokelat yang panas. "Yah, kau tahu setiap hobi bangsawan adalah hobi mahal. Pamanmu bekerja di sana nyaris dua puluh tahun. Tentu saja dia mengenalnya." "Aku hanya tahu kalau paman pernah duduk minum kopi bersama mendiang raja," kata Pandora pahit. "Aku tidak tahu kalau dia dekat dengan putra raja juga." "Sayang sekali, Pangeran Dimitri tidak terlalu suka berlama-lama di lapangan tembak." "Aku menghargai pola hidup hematnya," aku Pandora penuh bangga. "Itu yang biasa kita lakukan sebagai golongan derajat bawah." "Aku sudah terbiasa bernapas di sini." Pandora memandang Ellie penuh perhatian. Senyumnya tersungging. Menyesap sedikit demi sedikit s**u cokelat panas buatan tangan janda tanpa anak itu. "Tidak berniat mencari pasangan lagi?" "Oh, Pandora. Ayolah." Ellie mencibir pelan, menegur Pandora penuh canda. "Aku tidak tertarik untuk membangun cemistri bersama siapa pun lagi." "Aku juga." Pandora melipat tangan di atas meja. Berpikir tentang kehidupan asmaranya yang gagal karena dirinya tidak pernah cukup untuk seseorang. "Kehidupan asmaraku berantakan. Yang terakhir, mantan kekasihku menikahi perempuan lain. Dia berasal dari kelas kedokteran. Sedangkan aku sejarah. Kami sama sekali tidak cocok selain membahas obrolan tentang National Geographic." Ellie tertawa. "Ya Tuhan. Aku sama sekali tidak pernah menyesal mengenalmu. Kau menyenangkan." "Aku anggap itu pujian," senyumnya melebar. Memindahkan gelas kosong ke wastafel dan mencucinya. "Aku sudah melupakannya. Bertahun-tahun. Beruntung sekali, karena dia tidak mencoba mengusik kehidupanku." Ellie kembali tertawa. *** "Kau mendengarku? Aku tidak bisa bersamamu. Pikirkan semua ide konyol tentang melarikan diri. Aku tidak bisa mencoreng nama baik keluargaku." "Kau tidak mencintaiku?" Pandora menarik langkah. Mengamati lorong yang temaram dan menyisakan lampu tidur. Seisi kastil sedang istirahat karena larut. Setelah berpamitan pada Ellie dan meminta perempuan itu untuk tidur, Pandora harus bergegas ke kamarnya sendiri. Mengistirahatkan diri sebelum memulai hari. "Aku punya dua anak. Lupakan saja soal masa lalu," sentak wanita itu kasar. "Kau tidak bisa mendesak masa depan apa pun padaku." "Karena kau menikahi calon raja sementara aku bukan apa-apa?" "Kau tidak mengerti." "Apa yang harus aku pahami?" Suara Sang Pangeran terlampau jelas. Pandora mengangkat alis. Menyusuri dinding demi dinding yang dingin, melihat ada seberkas cahaya mengintip dari tepi pintu yang terbuka. Celah itu muncul, mengetuk rasa penasaran asing yang menggugah. "Aku mencintainya. Jangan paksa aku untuk berbuat apa pun. Kau pantas bahagia." "Tidak. Aku mau bersamamu." "Berhenti bersikap sinting!" Pandora berlari merapat. Mendengar suara bentakan itu hampir membuat jantungnya lepas dari tempat. Matanya memicing, menyesuaikan dengan pencahayaan dari dalam ruangan yang sempit. Itu gudang. Bukan gudang kotor yang penuh debu dan sarang laba-laba. Hanya gudang biasa yang berisikan tempat penyimpanan alat tulis bersama lampu. "Kau tega membiarkanku tersiksa?" "Kau lupa hubungan kita sudah selesai?" Pandora tidak bisa menegang lebih dari ini. Kedua kakinya seakan membeku, bergeming memdengarkan perdebatan yang terjadi di antara Alaric dan Laura, calon ratu di masa depan. Apa yang sebenarnya terjadi? "Lepas!" Sontak, kedua matanya melebar cemas. Takjub dengan keberanian pangeran sinting itu karena mencium perempuan beristri. Yang bukan lain adalah Laura, istri dari kakaknya sendiri. Calon ratu di Parvitz. Yang seharusnya dia hormati, bukan lecehkan layaknya p*****r jalanan. Pandora tidak tahu harus memasang ekspresi apa sekarang mendapati kegiatan tidak senonoh secara sembunyi-sembunyi di belakang. Napasnya berhamburan, tidak beraturan dan dadanya berdetak lebih keras. "Lepaskan aku!" Laura mulai terisak. Sedangkan tangannya yang lemah mencoba menggapai udara. Nihil. Semua suara teredam dari lapisan dinding-dinding tebal yang seolah bisa menahan suara keras bom atom sekalipun. "Kalau aku hancur, kau harus ikut hancur bersamaku." Pandora tidak mengerti, mengapa pangeran sinting itu benar-benar egois dalam menyikapi hubungan masa lalu mereka. Sementara benaknya berkelana untuk mundur dan melarikan diri, kakinya terseret kaki lain dan terantuk pintu. Membuatnya terjatuh dengan bunyi benturan yang cukup keras. Dahinya terantuk tepi pintu. Pandora meringis keras. "Aw!" "Siapa di sana?" Alaric terdengar marah. Suara pria itu terkesan dalam dan serak. Belum sempat dirinya melarikan diri, rambutnya tertarik kasar oleh tangan kuat dari belakang. "Kau?" "Yang Mulia." Pandora merasakan pucat melumuri wajahnya tanpa ampun. Melihat Laura yang hancur, tidak berdaya dan tampak rapuh. Seketika dirinya membungkuk, memandang Laura iba. "Aku bersumpah tidak akan bicara pada siapa pun. Aku bersumpah." Alaric melepas cengkeraman pada rambutnya. Pandora menarik napas, gemetar di tempatnya saat Laura begitu sinis menatapnya. "Bagaimana bisa perempuan dari kasta terbawah menepati ucapannya?" "Aku sudah bersumpah," ucapnya lantang. Tegas karena berusaha meyakinkan mereka. Pandora perlu hidup untuk membalas kebaikan Paman Laito sebagai adik dari ayah baptisnya. "Aku tidak akan bicara pada siapa pun. Silakan penggal kepalaku kalau aku sampai berani membocorkannya." Laura masih gemetar. Rautnya terlihat tidak percaya kalau skandal tersembunyi mereka terendus pihak asing. "Siapa namamu?" "Pandora, Yang Mulia." "Kau bekerja sebagai apa?" "Aku kepala perpustakaan. Bagian sejarah dan kebudayaan. Tapi beberapa minggu ini, aku menekuni bidang sejarah dan sastra lama." "Aku harus—," Laura mengangkat tangan, tidak membiarkan Alaric bicara. "Aku melepasmu. Sesuai janjimu, tentu saja. Perempuan mungkin kurang dipercaya dalam hal memegang janji. Tapi ini demi kebaikanmu dan keluargamu." Calon ratu tidak sebaik itu dalam membebaskannya. Pandora paham bahwa dalam kalimatnya mengandung ancaman. Seandainya dia membuka mulut, keluarganya akan tamat. Paman Laito tidak akan bisa hidup layak karena sengsara. Berkat tangan sang penguasa yang tanpa belas kasihan. Laura terburu-buru pergi. Membiarkan mereka merenung dalam diam. Sementara Pandora mencoba mengatur napas, melirik Alaric tanpa suara. "Aku permisi, Yang Mulia." "Urusanmu denganku belum selesai." Pandora pikir, memang sebaiknya mengiakan sebelum pria itu kehabisan kesabaran. "Aku mengerti. Maafkan kelancanganku." Dan benar-benar melesat pergi menjauhi tempat terlaknat itu secepatnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Time Travel Wedding

read
5.2K
bc

Romantic Ghost

read
162.3K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
8.8K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.2K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.1K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
3.0K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook