bc

Miss Kara

book_age18+
866
FOLLOW
2.8K
READ
goodgirl
drama
comedy
sweet
like
intro-logo
Blurb

Gara-gara gagal menikah, Karania Abraham harus menanggung malu, sebab sering jadi gunjingan teman-temannya di kalangan sesama sosialita. Calon suami pergi begitu saja meninggalkannya di hari pernikahan mereka dengan banyaknya tamu undangan yang sudah hadir.

Kecewa pada laki-laki yang menyebabkan pernikahannya gagal, akhirnya membuat kara pergi ke sebuah pedesaan untuk menenangkan diri, tempat dimana ia bertemu dengan lelaki tampan tapi galak, yang ternyata adalah seorang anak dari pemilik kandang sapi terbesar yang ada di sana.

Pertemuan mereka seringkali dihabiskan dengan berdebat, mengejek dan menyumpahi satu sama lain. Tapi di suatu hari Kara akhirnya tahu siapa sebenarnya Gerald Fernando itu, sang juragan sapi yang tengah berjuang lepas dari trauma masa lalunya.

Apakah kedua orang yang tidak akur itu bisa saling mencintai karena satu kesalahanpahaman yang pada akhirnya harus membuat mereka menikah secara terpaksa?

chap-preview
Free preview
Gagal Manten
Minggu syahdu itu harusnya menjadi hari paling membahagiakan dan mendebarkan bagi seorang perempuan cantik bernama Karania Abraham. Tapi, jangankan untuk bahagia, untuk tersenyum menyambut uluran jabat tangan atas ucapan selamat kepadanya dirinya, ia tidak mampu. Kara, gadis cantik berkulit putih, bibirnya tipis tapi sensual, matanya tajam seperti elang, disertai tubuh indah berlekuk bak jam pasir itu harus menahan malu hari ini. Duduk di atas pelaminan mahal dengan baju pengantin dan sendirian. Sendirian? Ya, hanya sendirian. Tanpa mempelai pria. Nyonya Syifa dan tuan Romi hanya bisa menatap anaknya dari kejauhan. Meski sudah diminta turun dari pelaminan, Kara seolah bergeming. Ia tidak mau bergerak, selain karena baju pengantinnya yang menyulitkan langkah, dia juga sudah terlanjur malu. Jadi karena sudah kepalang malu, dia akan tetap berada di pelaminan itu sampai selesai acara. "Ya ampun Pap, Mama bener-bener kasihan sama Kara. Jahat sekali Rama dan keluarganya! Tega ngebatalin pernikahan hari ini! Kalo bilangnya jauh hari it's oke Mama gak masalah, walaupun masalah juga. Tapi, ini malah mendadak. Dia pikir ini acara main-main! Dasar buaya karat!" Nyonya Syifa ngedumel sambil menghapus airmata dan ingus yang sudah banjir sedari tadi. "Nanti Papa cari dia sampai dapat, Mam. Papa bakal kasih pelajaran sama lelaki gak tahu diri. Anakku cantik begitu, sudah puluhan lelaki ditolak hanya demi menikah sama kutu loncat seperti dia tapi malah disia-siakan begini! Papa gak terima, Mam!" Nyonya Syifa mengangguk, dia segera menuju pelaminan kala semua penata rias memanggil mereka. Pemandangan menyedihkan seketika terlihat kala Kara sedang di bopong oleh beberapa lelaki berbadan kekar, para pengawal tuan Romi. "Kara ...!" Nyonya Syifa meraung melihat putrinya pingsan begitu saja di atas panggung megah dengan pelaminan mahal itu. "Bawa ke dalam. Acaranya bubar!" Tuan Romi memerintahkan semua pengawalnya untuk segera menyudahi acara. Ada yang lebih penting dari sekedar acara pernikahan gagal ini, yaitu mental anak gadisnya yang bisa saja terganggu setelah ini. "Yaaaaaa bubar nih?" Seorang pemuda sampai keselek pentol bakso karena dibubarkan begitu saja oleh para pengawal. Semua tamu jadi kecewa, tapi para teman Kara jadi punya bahan gosip buat ghibah. Sebelum bubar mereka masih sempat-sempatnya menjadi paparazi dadakan yang dengan tega memotret Kara yang sempat pingsan. Di dalam kamarnya yang sudah berhias khas kamar pengantin baru itu, Kara masih pingsan dan terpejam. Putri kesayangan tuan Romi itu belum sadarkan diri. "Ina, ambilkan minyak angin." Pelayan setia keluarga kaya itu segera keluar dari kamar dan kembali dengan minyak urut. "Ina, Ibu minta minyak angin kok dikasih minyak urut nenek-nenek begini toh?" Nyonya Syifa mengerutkan kening menatap pelayannya yang suka salah ambil barang itu. "Maaf Bu, minyak anginnya abis. Ina cuma punya minyak urut." Mau gak mau, itu minyak urut akhirnya mampir juga di indera penciuman putri semata wayangnya yang sudah pingsan tapi masih cantik dalam balutan kebaya modern itu. "Kara, bangun dong Sayang. Mama gak tega lihat kamu begini. Nanti kita cari laki-laki yang lain, yang lebih baik dari Rama." Mama menangis tergugu sambil mencium jemari putrinya yang lentik berhiaskan kutek warna merah. Papa cuma bisa mengusap wajahnya, dia gak tahu mesti ngapain yang jelas saat ini rasanya dia cuma pengen bikin Rama babak belur. Ya hati orangtua mana yang enggak sakit hati coba? Udahlah malunya sampai ke ubun-ubun, juga sakit sampai ke tulang-tulang kalau kejadiannya begini. "Ma ..." Suara serak anaknya terdengar. Nyonya Syifa segera memeluk Kara yang akhirnya menangis kencang itu. Kencang banget nangisnya Kara sampai keselek ingus sendiri. Tersedu-sedu Kara menatap mamanya gak sanggup berucap, dia kecewa berat. Bukan cuma rindu yang berat, kecewa pun berat, kamu takkan kuat biar Kara saja. Masih berpelukan sambil saling menenangkan, Mama membisikkan kalimat-kalimat yang akhirnya membuat Kara meredakan tangisnya. Terus papa mendekat, mengusap lembut kepala anak gadis satu-satunya yang sudah dibuat menangis tersedu-sedu hari ini oleh lelaki bernama Rama. "Nanti Papa cari Rama sampai dapat!" Tuan Romi sudah berdiri di belakang mereka dengan tangan terkepal, pengen rasanya dia memukul dinding untuk melampiaskan kemarahannya, tapi berhubung dia gak siap jarinya patah dan penyok, akhirnya tuan Romi hanya bisa mengepalkan tangan sebagai bentuk kemarahannya. Kara diam sebentar, tapi sejurus kemudian menatap serius papa dan mamanya bergantian. "Gak usah, Pa. Kara gak mau dengar apapun lagi tentang Rama. Kara cuma mau pergi dari sini." "Sayang ... " "Seenggaknya, sampai Kara bisa menenangkan diri, Ma." "Pa?" Nyonya Syifa menoleh pada suaminya, meminta tuan Romi Abraham agar memberi solusi terbaik bagi putri semata wayang mereka yang gagal manten hari ini. "Kara cuma pengen tenang, Kara udah malu. Gak mau lagi ada di Jakarta. Malu ketemu teman-teman. Malu sama semua orang." Blass Perih banget mama dan papa Kara dengar itu. Apa yang mereka bisa selain menuruti kemauan Kara kalau sudah begini? "Mau ke mana?" Tuan Romi menarik nafas panjang. Ia dulu tidak pernah mengizinkan Kara jauh darinya dan istrinya. Tapi kali ini, demi menjaga agar anaknya tetap waras, akhirnya ia memberi izin. "Lembang." Papa memejamkan matanya sesaat, Lembang tidaklah begitu jauh walau akhirnya tetap membuat mereka terpisah dari sang putri semata wayang. "Oke, Papa urus tempat tinggal kamu di sana." putus Papa akhirnya. Kara menghela nafas panjang, dia yakin ini adalah keputusan terbaik demi bisa menenangkan diri sendiri juga demi menghilangkan rasa malu yang sudah terlanjur tercipta. Daripada jadi bahan ghibah yang kemana aja dia bakal mendengar semua orang membicarakannya, lebih baik dia menyendiri. Bersembunyi dari hiruk pikuk ibukota yang selama ini menjadi tempatnya bernaung. Makanya, Kara sudah mantap banget mau pergi dari Jakarta secepatnya. Dan keinginan itu sudah sedemikian mantap disampaikan oleh Kara kepada kedua orangtuanya. Papa dan mama yang walaupun berat melepas Kara pergi, pada akhirnya memilih untuk mengalah agar Kara bisa menenangkan diri di tempat terpencil pilihannya. Mereka paham, Kara saat ini lebih butuh waktu sendiri ketimbang mendengar omongan menyakitkan tentang pernikahannya yang gagal kemarin. Jangankan ke Lembang, ke pelosok bumi pun Kara jabanin agar hilang semua rasa kecewa juga malu yang kini melingkupi dirinya. Siapa tahu entar Kara bisa ketemu tarzan jomblo yang siap jadi mempelai lelaki dia. Segitunya ... ya kali papa sama mama mau besanan sama monyet. Papa keluar, menghubungi salah satu bawahannya untuk langsung ke Lembang dan menyiapkan tempat tinggal bagi anaknya yang akan segera pergi itu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.2K
bc

My Secret Little Wife

read
92.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook