bc

Venus

book_age16+
217
FOLLOW
1K
READ
HE
friends to lovers
goodgirl
self-improved
confident
dare to love and hate
sweet
bxg
childhood crush
first love
like
intro-logo
Blurb

Adrian, cowok yang bertanggung jawab atas sikap dingin seorang Venus kini datang kembali ke dalam kehidupan wanita yang menyatakan diri untuk tetap single selamanya.

Lalu Romeo, orang dari masa lalu Venus.

Kehidupan Venus berubah 180 derajat. Dia mulai ragu akan pilihannya. Sang iblis yang memikat hati atau malaikat rupaawan? Manakah yang akan dipilih Venus?

chap-preview
Free preview
1
Sudah lebih dari lima kali, Miranti menelepon Venus. Hal ini dia lakukan hanya sekedar untuk memastikan kesukarelaan putrinya mengikuti perjodohan. ″Tidak,″ tolak Venus untuk sekian kalinya. ″Mau sampai kapan?″ tanya Miranti tak sabaran dari seberang telepon. Venus hanya bisa mendesah berat. Dia merasa terlalu muda untuk menikah. Lagi pula, dia memang berencana untuk tidak menikah.  ″Ya,″ jawab Venus, ″sampai aku sudah bosan melajang.″ ″Mama ndak mau tahu,″ tegasnya. ″Pokoknya, kamu harus segera bawa calon. Kalau ndak, silakan pilih sendiri calon yang dari Mama.″ Argh, mengapa Miranti ngotot ingin menikahkan Venus?  Tidakkah dia bisa melihat ketidakinginan sang putri untuk menikah sejelas tulisan dilarang parkir?  ″Ma,″ ucap Venus merajuk. ″Aku masih kecil untuk menikah.″ Venus sengaja memberi penekanan pada kata kecil. Berharap, Miranti paham dan bersedia mengalah—menyudahi debat kusir. ″Ya ampun, Venus!″ cerocos Miranti, ″temanmu, si Mirna saja menikah di umur dua puluh tiga. Apa kamu ingin jadi perawan tua? Ndak malu ama adekmu, apa? Anggita, kamu tahu sendiri, sudah berapa banyak cowok yang dia kenalkan ke Mama sebagai ′pacar′? Yang benar saja, kamu kalah dengan bocah SMA? Mama malu. Bu Parmi kemarin sore cerita ke Mama, anaknya bulan depan akan menikah di Bali. Kamu kapan? Mama minta kepastian. Titik!″   Perawan tua sebenarnya terlalu berlebihan. Di luar negeri, kaum wanita bebas menentukan dirinya ingin menikah atau melajang. Bebas. Tidak ada tekanan. Tidak ada interferensi. Merdeka! Sayang, Venus hidup di negara yang kebetulan dipenuhi dengan ibu-ibu yang selalu mengkhawatirkan status yang melekat di anak gadis mereka. Semakin cepat si gadis menikah, semakin banyak hal yang bisa dipamerkan pada tetangga. Dan, Venus tahu maksud tersembunyi ibunya. Venus menduga, Miranti akan memamerkan calon menantunya layaknya pamer tas bermerek sembari tertawa riang bernada, ohohohoho. Lalu, adegan akan berlanjut dengan kalimat semacam, ″Lihat, menantuku. Ganteng, kan?″, ″Eh, Bu Parmi. Anakku akan menikah, loh.″ Venus menggelengkan kepala. Berusaha mengusir bayangan buruk dari kepalanya.  ″Ma, bagaimana kalau nanti aku bawakan soto yang Mama suka?″ Terdengar suara dengusan. ″Jangan mengalihkan pembicaraan.″ Venus memijat pelipisnya yang berdenyut. Siasatnya tidak berhasil. ″Pokoknya, Mama pengin lihat kamu segera menggandeng calon suami.″ Setelah itu pembicaraan terhenti.  Miranti sudah memutus jalur telepon dan meninggalkan sakit kepala tak tertahankan. Venus mulai meletakkan dahi di atas meja kerjanya, menekan keras hingga mungkin bisa meretakkan kaca meja yang dipakainya. ″Ven, are you okay?″ tanya Winda yang sedari tadi mendengarkan percakapan Venus dari balik kubikel. Venus hanya mengangkat tangan kanan sambil menggoyangkan jempolnya sebagai tanda bahwa dia tidak baik-baik saja. Winda mulai meninggalkan meja kerjanya yang berada tepat di samping kanan kubikel Venus. Dihampirinya Venus, memastikan bahwa sahabatnya itu belum berubah menjadi sesuatu.  ″Memangnya, kamu nggak ada calon?″ Venus mengangkat wajahnya yang lesu. ″Nda, kamu tahu sendiri motoku.″ Winda mengangguk. ″Jadi Kartini.″ ″Bagus.″ ″Ven, jadi Kartini bukan berarti melajang seumur hidup.″ Venus mulai menegakkan tubuh. Kedua tangannya terlipat. ″Kata seseorang yang tidak paham mengenai idealisme. Tahu tidak, kenapa kita—kaum wanita—harus selalu dibayangi dengan label pernikahan? Jika perempuan umur dua puluh tujuh belum menikah dikatakan tidak laku, namun sebaliknya, jika seorang pria berumur tiga puluh tahun belum nikah dibilang berhati-hati. Itu nggak adil namanya. Di mana letak demokrasi gender yang menyamakan status perempuan dan laki-laki di sini? Terus yang terpenting: tolok ukur kebahagiaan itu tidak berdasarkan seseorang berhasil menikah di usia muda. Bagaimana caranya mengatakan pada ibuku bahwa aku tidak ingin menikah? Dan, tahukah kamu apa yang akan diucapkan kanjeng mamiku? Mitos, mitos, dan mitos. Hanya itu, kalau nggak mitos, ya guncingan para tetangga.″ Dan akhirnya, semua kepenatan yang disimpan Venus meluncur begitu saja bagai keran bocor. Sementara Winda hanya bisa terbengong-bengong melihat reaksi Venus tak ubahnya seperti orator ′45 yang berapi-rapi menyuarakan kemerdekaan. ″Kamu bicara apa, sih?″ ucap Winda tak paham. ″Ven, lihat dirimu. Punya pekerjaan luar biasa. Ada banyak manusia yang melamar di firma hukum ini. Dan, kamu tahu sendiri berapa banyak pesaing yang harus kamu kalahkan untuk bekerja di sini. And now, apa susahnya mendapatkan seorang pria?″ Setelah Miranti memaksanya memilih calon suami yang menurutnya tidak jelas asal usulnya, kini Venus mendapatkan ceramah tambahan dari sahabatnya. Apa harinya bisa bertambah lebih buruk lagi?  ″Setidaknya, kamu bisa tunangan atau pacaran dengan seseorang. Yah, jika kamu takut dengan pilihan ibumu, bagaimana dengan salah satu pria yang ada di sini? Lihatlah para Adam yang bertebaran di kantor ini.″ Untung saja ini masih jam makan siang. Jadi yang ada di ruangan ini hanya Venus dan Winda. Jika tidak, Venus pasti akan malu setengah mati mendengar ide buruk kawannya itu. ″Kalau yang kamu maksud itu Johan dan kawan-kawan, tidak dan terima kasih.″ ″Lagi pula,″ lanjut Winda mengabaikan cibiran Venus. ″Ada seseorang yang sangat perhatian denganmu.″ Kali ini Winda mencondongkan tubuhnya ke arah Venus dan mulai berbisik. ″Romeo sepertinya naksir kamu.″ Romeo, salah satu pengacara yang bekerja di kantor yang Venus tempati. Dia merupakan pemuda ramping di awal usia dua puluh tujuh tahun. Wajahnya tampan. Ibunya keturunan Jepang-Indonesia, sementara ayahnya berdarah campuran Jerman dan Indonesia. Dengan postur tubuh tinggi dan rambut yang terpotong rapi. Hanya ada satu kata untuk menggambarkan Romeo: Sempurna. ″Itu halusinasimu.″ Venus mulai mengabaikan Winda dan memilih pergi meninggalkan ruang kerja sebelum sahabatnya mulai hiperbola dengan imajinasi liarnya. ″Ven!″ teriak Winda dari seberang. ″Kalau kamu tidak kembali dalam lima menit. Aku bakalan telepon 911!″ ″Telepon aja!″ balas Venus sewot. Sepertinya, ini adalah hari di mana semua-orang-boleh-meminta-Venus-menikah. Huh, menyebalkan. *** Venus berlari menyusuri koridor kelas bahasa. Ketika dia memasuki ruang kelas XII-3, dia tidak menjumpai sosok yang dicarinya. Setelah bertanya pada salah seorang siswa, Venus langsung mengarahkan kakinya menuju tempat yang pasti didatangi oleh sosok yang ingin dijumpainya.  Hanya ada satu tempat.  Tidak salah lagi. Satu tempat yang sangat mungkin didatangi olehnya, yakni perpustakaan. Pasti, dia ada di sana. Venus segera mengisi buku tamu dengan tulisan ala kadarnya, setelah itu, dia langsung melenggang ke setiap celah perpustakaan. Dia yakin akan menemukan apa yang dicarinya di sini. Di depan rak bagian sastra dan literatur, akhirnya dia mendapatkan apa yang dicarinya.  Seorang pemuda tengah sibuk dengan novel. Kedua matanya terpaku pada tulisan yang ada di hadapannya. Dengan semangat, Venus menghampiri pemuda tersebut. ″Senior,″ panggil Venus. ″Lihat, aku dapat nilai delapan puluh dalam ulangan fisika.″ Venus sibuk memamerkan selembar kertas ulangan yang tertera angka delapan puluh. Disodorkannya kertas tersebut di atas novel yang tengah dinikmati oleh si cowok. Cowok itu menatap Venus melalui bingkai kacamatanya. Seulas senyum samar terpatri di wajahnya. ″Terus?″ ″Kok terus?″ Venus mulai menengadahkan kedua tangannya. Matanya berbinar bahagia. ″Sesuai perjanjian, jika nilai fisikaku di atas tujuh puluh, gelang yang ada di gantungan tasmu jadi milikku.″ Cowok itu menghela napas. ″Yang lain saja.″ ″Tidak bisa.″ Venus menggerakkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri. ″Janji adalah janji.″ Akhirnya, cowok itu menuruti kehendak Venus. Dari awal, dia memang bermaksud memberikan gelang tersebut kepada Venus.  Mulai saat ini, gelang itu akan selalu melingkar di tangan Venus. *** Venus menghela napas, mengingat masa lalu ternyata memiliki dampak yang sebaliknya; dia merasa dua kali lebih sendu.  Sekarang, Venus menghadap cermin di kamar mandi yang tengah memantulkan bayangannya di masa kini.  Dia bukan lagi Venus yang ceria. Tidak ada gelak tawa, tidak ada senyuman, semuanya berubah. Terutama hatinya. Tidak ada kelembutan seorang gadis yang melekat pada seorang Venus. Semua terasa hambar; rutinitas hidup yang harusnya menggairahkan, percakapan sederhana dengan seorang kawan, ataupun menikmati pemandangan hiruk-pikuk manusia yang ada di sekitar. Ada kalanya dia ingin kembali di masa matematika merupakan masalah tersulit. Betapa dia merindukan hal-hal kecil semacam itu. Ada apa dengannya?  Apakah, jika Venus memejamkan kedua mata dan berdoa agar bisa berjumpa dengan sosok yang bisa membahagiakannya, maka doa itu akan langsung terkabul? Venus benar-benar menyesali hari di mana dia memilih seseorang yang tidak benar-benar mencintainya.   Ah, jika saja hari itu bisa kembali. Andai saja Venus bisa memutar waktu. Sayangnya, dia tidak bisa. Waktu berjalan dan dia masih tertinggal di belakang; mengejar masa lalu yang usang.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.3K
bc

Pesona Mantan Istri Presdir

read
14.1K
bc

Ay Lub Yu, BOS! (Spin Off MY EX BOSS)

read
263.6K
bc

Love Match (Indonesia)

read
173.0K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.4K
bc

KUBELI KESOMBONGAN IPARKU

read
45.8K
bc

Pengganti

read
301.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook