bc

Harta, Tahta, Kesayangan Duda

book_age16+
9.2K
FOLLOW
80.2K
READ
billionaire
age gap
CEO
boss
student
drama
mystery
single daddy
highschool
widow/widower
like
intro-logo
Blurb

Coba bayangin gimana rasanya ditaksir sama duda? Iya duda. Itu yang gue rasain sekarang. Bisa-bisanya cowok kalem kayak dia suka sama cewek aneh kayak gue?

Pingin banget gue lari, tapi ada buntutnya yang bikin nggak jadi. Bukannya gue nggak mau, tapi gue masih unyu. Nggak lucu kalo gue bener jadi sama si duda, bisa-bisa gue ikutan tua.

Untung banyak duitnya, kalo nggak ya babai aja.

"Lamaran saya diterima nggak?"

"Tapi nanti kasih saya bayi yang lucu ya, Pak?"

"Gampang, nanti kita buat."

chap-preview
Free preview
Positif Telat
Di tengah pasar, Era berdecak saat sayur yang dia beli tak kunjung dihitung. Dia melirik jam tangannya untuk memastikan sisa waktu yang ada. Era harus bergerak cepat atau kesialan akan dia dapat. "Ah elah, Bang! Lama bener, saya mau berangkat sekolah ada upacara," ucap Era kesal. "Sabar, Neng. Tangan Abang cuma dua." "Ya iyalah, kalo 8 namanya laba-laba," gumamnya cemberut. "Nih, belanjaannya, Neng. Total 60 ribu." Era mengeluarkan gulungan uang lecek dari sakunya dan memberikannya pada penjual sayur. "Pas ya, Bang. Ini saya ambil kangkung lagi dua iket." "Eh, 5000 itu, Neng." Era berdecak, "Cuma 5000, Bang. Anggap aja sedekah sama anak yatim." Era dengan cepat bergegas untuk keluar pasar. Di sana sudah ada tukang parkir yang duduk di atas motornya. "Eh, Neng Era. Udah selesai belanjanya?" "Udah, Bang. Sana minggir dulu, udah telat sekolah nih." Melihat Era yang tergesa, tukang parkir segera beranjak untuk berdiri. Tanpa membayar, Era segera melajukan motornya untuk kembali ke panti. Dari kejauhan, tukang parkir hanya bisa menggeleng pelan. Jarak antara pasar dan panti sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya 5 menit menggunakan motor, tapi tetap saja dia akan terlambat sekarang. Salahkan tukang sayur keliling yang mendadak tidak lewat. Mungkin takut akan ibu-ibu yang akan kembali berhutang. Mau tidak mau, Era harus ke pasar untuk membeli bahan makanan. Ini sudah kewajibannya untuk mengurus adik-adik kecilnya. "Ibuk! Sayurnya aku taruh di teras. Aku berangkat dulu!" teriak Era meraih tas sekolahnya dan memasang helm. Dia akan berangkat sekolah sekarang. Jika tidak upacara, tentu dia tidak akan sepanik ini. Setiap hari senin, jam masuk sekolah memang dibuat lebih pagi untuk tidak mengubah jadwal pelajaran yang sudah ada. Di lampu merah, Era kembali melirik jam tangannya. Tinggal lima menit lagi pagar sekolah akan ditutup dan dia masih terjebak di kemacetan lampu merah. "Ini kan senin, Ra. Ya pantes rame banget jalanan. Udah kaya mau demo." Setelah banyak mengumpat selama perjalanan, akhirnya Era sampai di sekolah. Namun nasib tidak berpihak padanya kali ini. Pagar sekolah sudah ditutup dan banyak siswa yang juga telat sepertinya berdiri di depan gerbang. "Nyet! Telat juga lo?" Aldo, teman sekelas Era tertawa melihat kedatanyannya. "Diem lo, landak!" Era berdecak sambil menjambak rambut Aldo yang tajam-tajam seperti landak. Era memarkirkan motornya dan ikut berdiri di depan pagar. Meskipun telat, bukan berarti dia tidak bisa mengikuti upacara. Dua satpam telah siap siaga untuk memantau para siswa yang telat agar mengikuti upacara dari balik gerbang. Eravina Arruna, seorang gadis berusia 18 tahun yang menginjak tahun terakhir di bangku SMA. Sikapnya yang ceria dan urakan membuatnya dikenal oleh banyak orang di sekolah. Namun siapa sangka jika di balik keanehan Era, dia adalah salah satu siswa penerima beasiswa di sekolahnya. Era bersyukur jika bakat melukisnya bisa membawanya sekolah di sekolah swasta ternama dengan jalur prestasi. Era bersyukur jika bakatnya bisa sedikit meringankan beban ibu Asih, pengurus yayasan panti asuhan yang dia tinggali sejak kecil. Ya, Era merupakan salah satu dari sekian anak yang kurang beruntung itu. Sejak kecil dia sudah berada di panti asuhan. Menyedihakan memang, tapi Era tidak menyesalinya. Setidaknya masih ada Ibu Asih yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri selama ini. *** Di atas podium, terlihat seorang pria dengan pakaian formalnya tengah memberikan beberapa kalimat motivasi untuk para siswa. Ini pertama kalinya Aksa datang ke sekolah di bawah kepengurusan perusahananya untuk menggantikan ayahnya. Sejak ayahnya meninggal satu minggu yang lalu, mau tidak mau Aksa yang menggantikan semuanya. "Setiap orang memiliki sesuatu yang membanggakan pada dirinya sendiri, tidak selalu akademik. Saya yakin pemilik bakat non akademik juga bisa bersaing di luar sana. Oleh karena itu, sekolah ini memberikan banyak fasilitas, baik akademik maupun non akademik untuk membantu mengembangkan minat dan bakat para siswa. Saya harap fasilitas yang diberikan dapat dimanfaatkan dengan baik. Asah keunggulan kalian dengan serius. Saya yakin usaha dan kerja keras kalian nanti akan akan sangat bermanfaat." Suara tepuk tangan dari para siswa membuat Aksa tersenyum. Dia mengucapkan terima kasih dan kembali ke tempanya. Upacara kembali berlanjut dengan Aksa yang masih berdiri di barisan para guru. Meskipun pemilik sekolah, tapi dia tidak ingin terlihat arogan dengan meninggalkan lapangan sebelum upacara selesai. Jika dia mau, Aksa bisa saja melakukannya mengingat dia juga harus bekerja di kantor. Jadwalnya cukup padat akhir-akhir ini tapi dia harus bisa menjalaninya dengan baik. Dia sudah ditunjuk menjadi penerus ayahnya untuk memimpin kantor pusat. *** Aksa berjalan menuju parkiran setelah selesai berbincang dengan kepala sekolah. Matanya menyipit saat melihat ada beberapa siswa yang tampak berpanas-panasan di lapangan. Dengan penasaran, Aksa berjalan mendekat membuat para siswa itu menatapnya bingung. "Kalian kenapa di sini? Kenapa nggak masuk kelas?" "Lagi dihukum, Pak." Aldo menyahut dengan mata yang menyipit, mencoba menghalau sinar matahari yang menyilaukan matanya. "Kenapa dihukum?" tanya Aksa lagi. Belum sempat menjawab, salah satu guru konseling datang dengan tergesa. Dia tersenyum pada Aksa. "Anak-anak ini telat, Pak. Makanya saya hukum." Aksa mengangguk paham, "Kalau dihukum seperti ini nggak bakal jera, Pak. Sekali-kali suruh mereka buat karya tulis ilmiah." "Loh, Bapak siapa? Kok ngatur?" Kali ini Era yang bertanya khawatir. Bagaimana tidak khawatir jika dia selama ini menjadi langganan telat paling rutin. Pak Herman, guru konseling berdesis mendengar celetukan Era. Tentu mereka belum mengenal Aksa karena tidak sempat melihat pria itu saat upacara tadi. "Yang sopan kamu. Dia itu Pak Aksa, pengganti pak Wijaya." Era menutup mulutnya rapat mendengar itu. Dia melirik pria di hadapannya dengan takut. Jika benar dia pengganti pak Wijaya berarti dia juga yang akan mengurus yayasan panti yang dia tinggali. "Baik, Pak. Mungkin saran Pak Aksa bisa kita masukkan ke pembahasan rapat nanti." "Kapan rapat diadakan?" tanya Aksa. "Kita setiap seminggu sekali ada rapat umum, Pak." Aksa mengangguk dan tersenyum, "Ajak saya setiap rapat. Saya mau lihat berkembangan sekolah setiap minggunya." "Kalian denger? Pak Aksa mau ikut turun langsung, jadi kalian jangan macem-macem," ucap Pak Herman pada para siswa di hadapannya. "Lagian kenapa sih kalian hobi banget telat?" Lanjutnya. "Tahun terakhir, Pak. Sayang kalo nggak dibikin asik." Mendengar ucapan Era, Pak Herman kembali menggeram kesal. Era sudah menjadi langganan konseling selama hampir 3 tahun. Meskipun begitu, banyak guru yang tidak terlalu menganggap serius tingkah Era. Gadis itu pintar di bidang non akademik. Dia juga berhasil menyumbangkan beberapa piala untuk sekolah saat menjuarai kompetisi lukis tingkat remaja. Aksa menatap gadis di depannya dengan lekat. Meskipun terlihat takut padanya, tapi gadis itu tidak takut pada gurunya. Aksa semakin bertanya-tanya, kenapa murid jaman sekarang mulai berani untuk membantah? "Siapa nama kamu?" tanya Aksa mendekat. "Era, Pak." "Oke, Era." Aksa mengangguk dan tersenyum manis, "Saya mau kamu buat karya tulis ilmiah ya, tema bebas. Waktu kamu cuma seminggu. Kamu bisa kumpulin tugas kamu waktu saya datang minggu depan untuk rapat mingguan." Era menatap Aksa tidak percaya. "Saya, Pak? Cuma saya aja?" "Iya cuma kamu. Tadi kamu bilang mau menikmati tahun terkahir di SMA kan? Kalau begitu silahkan menikmati." Aksa menepuk pelan kepala Era dan beralih pada Pak Herman. "Kalau begitu saya permisi, Pak. Mohon bimbing Era untuk menyelesaikan tugasnya." "Siap, Pak!" Pak Herman tertawa mendengar hukuman yang diberikan Aksa. Jika seperti ini, dia yakin tidak akan ada lagi murid yang suka melanggar peraturan. Era berdecak dan menatap kepergian Aksa dengan tangan yang terkepal. Bisa-bisanya Pak Wijaya menjadikan Aksa sebagai penggantinya. Era berani melanggar aturan seperti ini juga bukan tanpa alasan. Dia sudah mengenal Pak Wijaya sejak kecil. Pria itu tahu kenapa Era sering telat saat berangkat sekolah. Hal itu tak lain krena dia harus membantu Bu Asih untuk mengurus adik-adiknya. "Mampus lo! Sok jago sih." Aldo tertawa. "Ketawa terus aja lo! Dasar dajjal," gumam Era dan berlalu pergi. "Heh, mau ke mana lo? Hukuman belum beres!" "Minum, Nyet! Dehidrasi gue!" teriak Era berjalan menuju kantin. Dia membutuhkan air es sekarang. Selain untuk meredakan tenggorokannya, Era juga harus meredakan emosinya. Dia tidak menyangka jika Aksa akan menjadi musuhnya di hari pertama bertatap muka. *** TBC

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.4K
bc

My Secret Little Wife

read
93.2K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook