bc

Not A Cinderella

book_age18+
42.4K
FOLLOW
316.3K
READ
billionaire
independent
drama
sweet
bxg
ambitious
highschool
office/work place
school
gorgeous
like
intro-logo
Blurb

Elsa Evelisse, anak panti yang diadopsi oleh Keluarga Zachary. Sayangnya, ia diadopsi bukan sebagai anak, melainkan sebagai seorang pelayan.

Selain cantik, Elsa merupakan gadis yang cerdas, ia selalu mendapat rangking satu di sekolah lamanya. Berniat menjadikan Elsa penyemangat untuk putranya, Tuan Zachary memindahkan Elsa ke sekolah yang sama dengan Liam. Di sana, Elsa tak sengaja bertemu dengan Adam saat sedang makan siang.

Dialah Adam Ekberg Tantama, pemuda bucin yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Sejak pertama bertemu, ia selalu mengikuti Elsa ke mana-mana, memberikan semua yang ia bisa pada Elsa; menjadi sosok yang selalu ada untuk Elsa.

***

Cover by STARY

chap-preview
Free preview
1. Tuan Muda
Selesai mengisi ulang kopi Tuan Zackary, Elsa kembali ke posisinya. Berdiri anteng agak ke belakang. Ruang makan itu hening, hanya sesekali terdengar suara Tuan Zackary membalik koran. Suara pintu dibuka. “Selamat pagi, Sayang,” sapa Tuan Zackary tanpa melihat siapa yang datang. Masih fokus membaca koran. “Pagi juga, Sayang. Lelah sekali aku gara-gara pesta semalam,” balas wanita yang kini berjalan menuju meja makan. Dengan senyum sopan, Elsa maju mendekat pada kursi di sebelah kiri Tuan Zackary, mendorong kursi tersebut ke belakang. Tersenyum mempersilakan. “Oh, Elsa. Selamat pagi,” ucap si wanita ramah. “Selamat pagi, Nyonya,” balas Elsa dengan senyuman. “Terima kasih,” ucap wanita tersebut sembari duduk. “Terima kasih kembali,” jawab Elsa sopan. Lemah lembut, gadis cantik itu lanjut menuang kopi di cangkir depan majikannya. “Sayang, apa semalam berhasil bertemu dengan keluarga Tantama?” tanya Nyonya Zackary pada suaminya. Tuan Zackary mengembuskan napas lelah. Menutup koran yang ia baca. “Beliau tidak hadir rupanya. Andai dulu aku mengiyakan tawarannya.” “Sudahlah, tidak papa. Lain kali pasti ada kesempatan lagi.” Tanpa suara, Elsa membereskan bekas koran Tuan Zackary. Melipatnya rapi di samping meja. Gadis itu kembali ke posisinya. Mendengar namun pura-pura tak mendengar obrolan penting majikannya. Tepat pukul setengah tujuh, pintu ruangan kembali terbuka. Beberapa pelayan datang mendorong troli makanan. “Sudah setengah tujuh?” Nyonya Zackary melihat jam dinding. “Apa Liam belum bangun?” tanya wanita itu lagi. “Semalam Tuan Muda sampai di rumah pukul empat, Nyonya,” jawab seorang pelayan. “Pulang jam empat pagi? Apa saja yang dilakukan anak itu?” gumam Tuan Zackary. Nyonya Zackary melihat sekilas pada suaminya sebelum berkata pada Elsa, “Bangunkan Liam. Bilang papanya akan berangkat ke Inggris pukul sembilan.” “Baik, Nyonya.” Membungkukkan badan, Elsa berjalan keluar. Begitu sampai di luar, Elsa segera melebarkan langkah. Rumah Keluarga Zachary sangat luas. Elsa harus menyeberang mencari entah di mana tuan mudanya saat ini tidur. Ia sedikit berlari menuju kamar di dekat taman samping yang sering digunakan oleh tuan mudanya. “Jangan berlari,” tegur salah seorang pelayan senior. Elsa membungkuk, meminta maaf. Begitu pelayan senior itu sudah hilang di belokan koridor, Elsa kembali memacu langkah. Sampai di depan pintu besar, Elsa berhenti. Menata napas. Begitu tenang, ia baru mengetuk pintu. Keras tapi tak tak tergesa. “Tuan?” panggil Elsa. Hanya ada balasan geraman dari dalam. Elsa mengetuk pintu lagi. “Masuk!” teriak penghuni kamar. Menata ekspresinya, Elsa membuka pintu. “Selamat pagi,” sapanya. Liam Zachary, putra tunggal di Keluarga Zachary, melihat sebentar siapa yang datang. Kembali membenamkan kepala di atas bantal begitu melihat Elsa. Elsa tenang melangkah menuju jendela. Gadis itu menyingkap gorden, membiarkan cahaya terang memenuhi ruangan. Liam menggeram marah. “Bukankah hari ini hari Minggu?” tanyanya kesal. “Hari ini Tuan Zackary akan berangkat ke Inggris pukul sembilan. Beliau ingin bertemu sebentar dengan Tuan Muda.” Liam mengacak rambutnya kesal. “Ambilkan aku aspirin.” “Baik, Tuan.” Dengan high heel-nya, Elsa pergi ke kamar mandi. Mengambilkan sebutir aspirin dan segelas air dari keran. Di atas kasur, Liam, si tuan muda itu kini sudah duduk. Bertelanjang d**a dengan rambut yang acak-acakan. Menggemaskan sih menurut Elsa. “Ini, Tuan. Silakan,” kata Elsa menahan senyum. “Hm.” Liam mengambil pil berwarna putih dari telapak Elsa, melemparnya asal ke dalam mulut. Elsa, si gadis pelayan, tenang memberikan segelas air putih kepada tuan mudanya. “Siapkan baju.” “Baik.” Sambil menunggu tuan mudanya bersih-bersih diri, Elsa memilihkan baju ganti. Setelah itu lanjut membereskan kasur. Liam keluar kamar mandi dengan handuk yang terlilit di pinggang. Elsa mendekat, memberikan boxer dan celana untuk tuan mudanya kemudian berbalik memunggungi. Aktivitas pagi seperti ini sudah sangat biasa untuk mereka. “Sudah,” panggil Liam. Elsa berbalik lagi. Tersenyum ramah. Liam kini sudah memakai celana. Elsa kemudian membantu tuan mudanya memakai baju. Liam masih berdiri. Menunggu Elsa mengambil sisir. Ingin sedikit meringankan beban pelayannya, Liam membungkukkan badan. Menyejajarkan kepalanya dengan tinggi Elsa. Selesai menyisir rambut Liam, Elsa lanjut memakaikan lotion di wajah tuan mudanya. “Kamu pakai lotion apa, El? Aku tidak pernah melihatmu jerawatan,” komentar Liam, melihat wajah Elsa lekat-lekat. “Saya pakai pelembab yang diberi Nyonya waktu itu, Tuan,” jawab Elsa. Jarinya telaten mengoleskan lotion di wajah Liam. “Oh. Yang Mama nggak cocok itu ya?” “Iya, Tuan.” “Kau tahu? Kau sangat cantik,” kata Liam tiba-tiba. Wajah Elsa tersipu, malu tak menjawab. Liam tersenyum senang, melihat wajah ayu di depannya. Matanya insting memperhatikan bibir plum Elsa, memperhatikan bibir manis itu bergerak-gerak. “Aku tebak kamu pasti nggak ada cowok,” kata Liam lagi. Wajah Elsa semerah tomat. Malu melirik tuan mudanya. “M-Maaf,” katanya terbata. “Hahaha. Sudah kuduga.” “Maaf?” tanya Elsa polos. Liam puas menggelengkan kepala. Bersiul senang. “Tidak ada, lanjutkan pekerjaanmu. Lagipula, berhentilah minta maaf.” “Baik,” jawab Elsa, patuh melanjutkan tugas paginya. Merenggangkan tubuh, Liam akhirnya siap mengawali hari. Pemuda itu keluar kamar, diikuti oleh pelayannya. Elsa terus membuntut. Berjalan di belakang namun dengan sigap membukakan pintu saat mereka tiba di ruang makan. Wajah bosan Liam berubah ceria saat melihat kedua orang tuanya di ruang makan. “Pagi!” sapa Liam. Elsa tanpa kata membantu menyiapkan kursi tuannya. “Jangan terlalu sering pulang pagi,” tegur Nyonya Zackary. “Kan malam Minggu, Ma.” Sementara Elsa menuangkan kopi untuk Liam, seorang pelayan dapur yang stand by di ruangan mulai menyiapkan sarapan untuk tuan muda mereka. “Papa akan Inggris setelah ini,” Tuan Zackary berkata. “Ya. Elsa sudah memberitahuku.” “Yang sopan sama papamu,” tegur Nyonya Zackary. “Aduh, Ma. Harus sopan bagaimana lagi” Tuan Zackary menyela, “Mungkin kita terlalu sering di luar sampai lupa untuk mendidik putra kita.” Liam buru-buru mencegah. “Gak kok, Ma, Pa. Liam sudah cukup kok kasih sayang dan pendidikan dari Mama-Papa.” Tentu saja Liam tidak ingin orang tuanya di rumah. Dia tidak akan bebas main kalau begitu. “Hm,” tanggap Tuan Zackary pendek. Tuan Zackary yang sudah selesai sarapan masih duduk di kursinya. Melihati anak semata wayangnya menghabiskan makan pagi. “Jangan pilih-pilih makanan. Habiskan brokolimu juga.” “Ya ampun, Pa. Aku bukan anak kecil.. Sudah SMA sekarang.” “Meski kamu sudah lulus S2 pun kamu tetap anak Papa.” “Iya iya. Oh ya, Elsa,” Liam memanggil, menoleh ke belakang mencari pembantunya, Elsa maju beberapa langkah. “Iya, Tuan?” “PR matematikaku sudah kamu kerjakan kan?” “Sudah, Tuan. Akan segera saya kembalikan ke kamar Tuan nanti.” “Good.” Nyonya Zackary memandang interaksi anak muda di depannya. Mengembuskan napas lelah. “Sampai kapan kamu akan meminta Elsa mengerjakan tugasmu?” “Kan ini PR, Ma.” Liam lanjut makan sandwich keduanya. “Papa jadi ingat. Elsa kemarin dapat juara satu lagi ya?” Tuan Zackary bertanya pada Elsa. Elsa yang akan kembali ke posisinya berhenti di tempat. Membalas jawaban tuannya dengan senyuman. “Benar, Tuan. Terima kasih sudah menyekolahkan saya,” balas anak itu sopan. “Dari SD sampai SMA tak pernah sekalipun keluar dari peringkat tiga. Ckck, tidak seperti seseorang.” “Apa Papa sekarang membanding-bandingkan kita?” Liam membalas kesal. “Ha.. Bukan.” “Sudahlah, Pa. Lagipula rangking bukan segalanya.” Nyonya Zackary menyahut. “Sekolah Elsa levelnya jauh dari sekolah aku, Pa. Aku rangking tiga puluh sudah bagus ini.” Liam membela diri. “Papa tidak masalah kamu rangking berapa. Hanya saja, berhentilah bermain-main. Sudah berapa kali kamu berganti pacar? Papa sampai lelah membaca laporan tentangmu.” Liam menelan sandwich terakhirnya sebelum berkata, “Papa, orang sepertiku, kami tidak akan serius sampai kami menemukan cinta sejati kami.” Nyonya dan Tuan Zackary mendengus bersamaan. Tak percaya pada bualan putra mereka. Merasa sudah tidak dibutuhkan lagi, Elsa lanjut ke belakang. Ke posisi awal. Pergerakan Elsa mencuri perhatian Tuan Zackary. “Papa jadi berpikir. Mungkin saja, kamu tidak serius sekolah karena kamu tidak memiliki seseorang untuk menjadi saingan.” Mengerti maksud papanya, Liam menoleh ke belakang, melihat pada Elsa. “Papa pikir aku takut?” Ia saling berpandangan dengan papanya. Wajahnya yang sebelumnya jenaka kini berganti serius. Hilang sudah hang over-nya. Nyonya Zackary mengembuskan napas lelah, menyerah. Anak dan ayah itu memang sama. Sangat kompetitif. “Elsa,” panggil Tuan Zackary. “Iya, Tuan?” Elsa melangkah maju. Masih dengan melihat pada putranya, Tuan Zackary berkata, “Semester depan kamu pindah ke Leuven.”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
186.5K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
84.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook