bc

Suamiku Kemayu

book_age18+
3.0K
FOLLOW
49.7K
READ
family
love after marriage
drama
comedy
sweet
bxg
genius
ambitious
office/work place
wife
like
intro-logo
Blurb

Aku dijodohkan dengan anak dari teman lama ayahku, yang ternyata adalah bos baruku di kantor. Mau tidak mau, aku terpaksa menerima perjodohan ini atas kesepakatan antara aku dan ayah.

Setelah menikah, aku mengetahui kenyataan yang mengejutkan. Ternyata suamiku kemayu.

Sikapnya yang kemayu, membuatnya takut untuk menyentuhku. Apalagi, usianya dua tahun di bawahku.

Mampukah aku menaklukan hati seorang CEO galak itu?

Bisakah aku merubah suamiku yang kemayu menjadi seorang lelaki yang perkasa?

chap-preview
Free preview
Dilangkahi
Namaku Larasati Rahayu Pramadi, seorang wanita pekerja keras. Cukup pintar di semua bidang, mata pelajaran, dan keahlian lainnya. Aku bekerja di sebuah perusahaan besar, PT.Marthadinata. Memiliki predikat karyawan terbaik. Kerja kerasku tidak sia-sia dan selalu mendapatkan hasil yang memuaskan, dihargai dengan baik oleh bosku. Pak Baskoro Marthadinata, seorang CEO sekaligus direktur utama pemilik perusahaan. Menjadi karyawan terbaik selama tiga tahun berturut-turut. Prestasi demi prestasi, gelar demi gelar telah kudapatkan meski dengan susah payah. Aku terlalu sibuk bekerja sampai tidak memiliki waktu untuk menjalin sebuah kisah asmara, mengejar karier yang cemerlang, dan menjadi seorang wanita yang sukses. Bagiku jika seorang wanita menjadi sukses, maka cinta akan datang dengan sendirinya. Adikku--Ayusita Rahayu Pramadi, telah lebih dahulu menikah. Melangkahi aku. *** "Kalian mau bulan madu ke mana?" tanya ibu. "Kita mau ke Bali," "Wah, hati-hati ya, di jalannya." "Bunda mau dibawain oleh-oleh apa?" "Enggak, gak usah." Mendengar percakapan antara ibu dan adik, membuatku menghela napas berat. Aku memang mengizinkan adikku menikah lebih dahulu, karena dia sudah menjalin hubungan yang cukup lama dengan pasangannya. Sebenarnya, ayah ingin kami menikah sesuai usia. Ayah ingin aku yang menikah lebih dahulu, tetapi sayangnya aku belum memiliki pasangan. Tidak mungkin jika adikku harus menunda pernikahannya hanya untuk menungguku menikah lebih dahulu. Entah kapan aku menikah, aku pun tidak tahu. *** Waktu berlalu, adikku akan segera menjadi seorang ibu. Hari ini, adalah hari pelaksanaan prosesi tujuh bulanannya. Ayusita sudah menunda kehamilannya selama satu tahun, karena sebuah perjanjian kontrak dengan perusahaan tempatnya bekerja belum tuntas. Dia dinobatkan sebagai karyawan tetap terbaik yang berhasil di promosikan sebagai sales marketing. Kini di usia pernikahannya yang hendak memasukki dua tahun, Ayusita sudah siap menjadi seorang ibu dengan karier yang cukup bagus. Seperti itulah kelak jika aku telah menikah, memiliki pekerjaan yang bagus, dan karier yang baik. "Laras!" panggil seseorang, menyeru namaku. Seorang wanita paruh baya bergaya modis, dengan kalung mutiara besar yang menggantung di lehernya. Tante Asih, sepupu ibuku. Aku menghampirinya, "Iya?" "Kapan kamu nikah?" tanyanya. Aku menundukkan kepala, memutar bola mata. Lalu kembali mengangkat kepala dan tersenyum tipis kepadanya. "Kapan? Mana pasanganmu?" "Laras belum punya pasangan, Tan." Tante Asih mengerutkan kening, bibirnya seketika maju beberapa centi. "Kamu jangan terlalu santai, usiamu kan sekarang udah 25 tahun. Teman sebayamu semuanya udah pada nikah, udah pada punya anak juga. Di keluarga kita, semua perempuan nikahnya gak ada yang lebih dari umur 20 tahun. "Bundamu nikah 20 tahun, Uwak Siti nikah 17 tahun, Uwak Aneu 18 tahun, dan Tante nikah 19 tahun. Adikmu, si Ayu juga menikah di usia 20 tahun sama kaya Bundamu. Kamu mau nikah kapan? Usiamu, loh, udah 25 tahun. Kamu mau jadi perawan tua, hah?" Aku menggaruk pelipisku yang tidak gatal, tersenyum dengan lebar. "Iya, Tante." "Jangan iya-iya aja kamu, tuh, jadi perempuan jangan sok jual mahal. Jangan sok kecantikan." Tante Asih memonyongkan bibirnya, dengan kepala yang bergoyang. Kemudian dia meninggalkanku sendiri, berlalu pergi menghampiri saudara kami yang lainnya. Setelah itu, mereka akan bergunjing tentangku. Inilah alasan mengapa aku lebih suka diam di rumah daripada harus menghadiri acara yang melibatkan keluarga besar, mereka pasti akan memojokkanku. Pada saat dahulu, sebelum Ayusita menikah. Mereka membandingkan karier-ku dengan Ayu yang lebih dahulu mencapai predikat karyawan terbaik di perusahaan tempatnya bekerja. Sama seperti ketika kami masih sekolah menengah atas. Sekali pun aku mendapatkan predikat juara umum terbaik di sekolah, tetap adikkulah yang di sanjung oleh keluarga besar. Aku selalu merasa terasingkan di keluargaku sendiri. Meskipun menggapai langit, mereka tetap tidak akan menyanjungku. Tante Asih, orang yang sering menghardikku, mengejekku, mencela, dan menceramahiku seperti sekarang ini. Kata-katanya selalu menampar harga diriku, dari kata-katanya itulah aku bangkit. Berusaha mencapai segala hal yang tidak mampu diraih oleh adikku. Di bandingkan dengan anggota keluarga yang lain, ya, hanya Tante Asihlah yang sangat telaten memperhatikanku. Memperhatikan apa yang aku lakukan, lalu menjadikanku sebagai bahan gunjingan di setiap pertemuan keluarga. Tante Asih belum dikaruniai seorang anak, meskipun usia pernikahannya sudah seusia dengan Ayusita. Jika aku berani, akan aku putar balikkan pertanyaan untuk membalasnya. *** Oooeekkk Oeeekkk .... Kami mengucap syukur atas kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, telah menghadirkan anggota baru di keluarga kami. Seorang bayi perempuan yang cantik, cucu pertama untuk kedua orang tuaku. Hari ini, aku telah resmi menjadi seorang Tante. "Selamat jadi ibu, Adikku sayang." Aku mengecup kening adikku. "Makasih," ucapnya lirih. "Anak Bunda, sekarang kamu jadi seorang ibu, Nak." "Ayah bangga sama kamu, Yu." Raut wajah ayah dan ibuku terlihat begitu penuh haru dan bahagia, mata mereka berkaca-kaca. Aku turut bahagia untuk adikku, atmosfir kebahagiaan mengelilingi keluarga kami. Mereka menamai bayi itu dengan nama Anastasyha Putri Deswanto. Sebulan setelah kelahirannya, keluarga besar kami mengadakan Aqiqah dan tasyakuran. Aku berusaha menghindari Tante Asih, sebisa mungkin untuk tidak bertemu dengannya agar tidak kembali mengungkit hal tentang pernikahan. Namun, usahaku gagal. Tante Asih dengan mudahnya menemukanku. Dia kembali mempertanyakan--kapan aku akan menikah di hadapan semua tamu undangan dan keluarga besar. "Hey, tuh, lihat! Adikmu udah punya anak, kapan kamu nikah?" tanyanya. "Gak apa-apa, Tante. Tante aja yang udah lama nikah, belum punya anak." Aku melengos pergi, meninggalkan mereka. "Kamu! Gak punya sopan santun sama orang yang lebih tua," teriaknya menggema di ruangan. Salah sendiri terus mempertanyakan kapan aku menikah, di hadapan semua orang pula. BLAAMM~ Aku menutup pintu kamarku dengan keras, rasanya sesak sekali berada dalam lingkungan orang-orang toxic yang terus memojokkanku. Memang, hanya Tante Asih saja yang berbicara. Namun, mata semua orang di sana memandangku dengan tatapan mengejek. Memangnya salah jika belum menikah? Aku masih ingin menikmati kesendirianku, masih ingin mengejar karier yang cemerlang. Jika sudah waktunya, aku juga akan menikah. *** "Laras, kamu ... gak mau kenalin seseorang gitu ke Bunda?" tanya ibu. Aku menghentikkan kegiatan sarapanku, "Kenalin siapa? Laras lagi gak deket sama siapapun." "Laras, apa kamu masih belum kepikiran buat ... menikah?" tanyanya ragu. "Belum," jawabku singkat. "Aku berangkat dulu, Bund." Aku menyalami tangan bunda, berpamitan. "Tapi ini belum habis makannya!" teriaknya dari dalam rumah. Aku segera menstarter motor matic-ku dan berlalu dengan cepat, rasanya menyebalkan sekali terus menerus di tanya hal yang sensitif seperti itu. Lima tahun sudah aku dilangkahi, lima tahun pula tersiksa dengan pertanyaan--kapan menikah itu. Untung saja aku berlapang d**a mau dilangkahi adikku, coba saja jika aku egois tak mau dilangkahi, entah bagaimana keadaannya. Setidaknya, kewajibanku sebagai seorang kakak telah selesai. Aku senang karena adikku telah menikah lebih dahulu, lebih baik daripada harus menungguku. Usiaku kini 28 tahun, bagiku bukan usia yang harus khawatir tentang pernikahan. Banyak wanita di luar sana yang sampai berusia kepala tiga, belum juga menikah. Artis-artis cantik saja masih banyak yang belum menikah di usianya yang sudah menginjak hampir kepala empat, mereka santai saja. Aku tidak khawatir, karena bukan aku saja yang belum menikah di usia 28 tahun. Ya, meskipun hampir seluruh teman sebayaku sudah menikah dan mempunyai anak. Intinya, aku masih ingin bebas. Belum siap untuk terkekang. Lihat saja Ayu, setelah menikah, dia tidak bebas ke sana ke mari. Apalagi, setelah memiliki buah hati, Ayu menjadi lebih sering di rumah. Bahkan dia meninggalkan karirnya yang sedang bagus, alasannya karena ingin fokus mengurus keluarga. Aku belum siap untuk jatuh cinta dengan sembarang lelaki, tidak ingin membuang waktu yang berharga hanya untuk mencintai orang yang salah. Aku harap, orang tuaku akan tetap sabar menunggu. Suatu hari nanti, aku pasti akan menikah. Setelah kurasa semuanya siap, terlebih ketika hatiku benar-benar menginginkannya. *** "Presentasi yang sangat bagus sekali, saya suka dengan kinerja kamu,” ujar Bosku. "Terimakasih, Pak." "Baik, Saya akan lihat kinerja kamu lagi di meeting berikutnya." Aku tersenyum puas, kerja kerasku tidak sia-sia. Atasanku, Pak Baskoro Marthadinata. CEO sekaligus Direktur utama, pemilik perusahaan Marthadinata tempatku bekerja, sangat puas atas kinerjaku. Minggu lalu, aku resmi menjadi karyawan terbaik di perusahaan. Omset perusahaan seketika melonjak naik, pihak perusahaan mempatenkan hasil kerja kerasku. Sebuah proyek hasil kerja sama dengan perusahaan terbaik lainnya, aku berhasil mendapatkan kontraknya. Predikat karyawan terbaik, ah, senangnya bisa mendapatkan penghargaan ini. *** "Mulai hari ini, tugas saya akan di gatikan oleh anak saya. Perkenalkanlah CEO baru kalian, anak saya Aditya Marthadinata." Pak Baskoro mengenalkan CEO baru, pengganti dirinya. Kami semua bertepuk tangan menyambutnya dengan hangat, semua orang menyalami CEO muda tersebut pun tak terkecuali denganku. "Baiklah, mari bekerja sama dengan Saya, mewujudkan visi misi perusahaan yang lebih baik," ucap CEO muda itu. "Suaranya gagah bener, ya," bisik Mentari, temanku. "Baiklah, selamat bekerja kembali. Mohon dukungannya." Kami semua kembali ke meja kerja masing-masing, Mentari mendekatkan kepalanya ke sket pembatas meja yang transparan. Kebetulan, meja kami berdekatan. "Heh! Lihat tuh, bos baru kita keren bener ya, bodynya atletis, tegap, gagah, wajahnya juga beuhhh tampan amat." Mentari menggeleng-gelengkan kepalanya, matanya terangkat ke atas. Entah membayangkan apa. "Inget laki di rumah, wey!" cibirku. "Lah, cuci mata mah boleh kali." "Dih, pake air sonoh." "Eh, Ras. Berarti elu bakalan sering ketemu tuh sama bos kece, secara 'kan tugas-tugas Pak Baskoro semuanya bakal diambil alih sama die. Ya, otomatis dong, bakalan elu yang bantuin tuh tugasnye 'kan," Aku terdiam, berpikir sejenak. Ah, benar juga kata Mentari, hampir semua berkas yang berada di meja Pak Baskoro adalah hasil proyek baruku dengan beberapa klien. "Iya, ya. Semoga aja deh lebih cepet beresnya 'kan." "Iya, jug ...."

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
186.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
85.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook