bc

Privacy or Secrecy?

book_age18+
13.5K
FOLLOW
139.4K
READ
possessive
family
manipulative
drama
comedy
sweet
bxg
humorous
ambitious
coming of age
like
intro-logo
Blurb

"Cinta itu nggak buta, tapi memang bisa membutakan. Makanya kamu butuh orang yang waras, tidak sedang dibutakan, biar nggak bego-bego banget lah kasarnya. Paham?"

Tidak.

"Ah, iya ... satu lagi, menikah bukan jalan keluarnya. Inget! Menikah BUKAN jalan keluarnya. Kecuali ... kalau dengan saya."

Hal yang membuat Ranasya Zhagat Raya dilema di sepanjang usia 22 tahunnya. Apalagi saat Alam Semesta menambahkan, "Saya izinkan kamu untuk mempertimbangkan."

Harta, takhta, Alam Semesta.

***

#Cerita ini tidak ada kaitan dengan cerita sebelumnya.

chap-preview
Free preview
Part 1
Awan Putra Semesta sering bertanya, "Apa kabar, Pi? Masih jomblo?" Guntur Dwi Semesta juga selalu bertanya, "Kira-kira kapan di rumah kita ada betina?" Hingga Langit Tri Semesta pun mengatakan, "Jangan lupa, pulangnya bawakan pesanan Langit." Dan kalian tahu apa itu? Ya, tentu saja. "Langit mau Mami yang berbudi pekerti, lahir di tanah ibu pertiwi, dengan high quality, dan kasihnya sehangat matahari menyinari bumi." Singkatnya, mereka kompak membuat satu permintaan kepada Alam Semesta yang berbunyi: "CARIKAN KAMI MAMI YANG BERKUALITAS TINGGI!" Oh, lantas ... ke mana Alam harus mencari Matahari untuk Semestanya? *** "Rana, kenalin ... ini Pak Alam Semesta, pemilik lamborghini yang kamu senggol bemper mobilnya." Meringis. Hardian menatap pegawainya dengan ringisan tak tega. Tapi, mau bagaimana lagi? Itu kesalahan Ranasya Zhagat Raya yang mencelakai diri, oh bukan! Namun, sebuah kecelakaan yang tidak diinginkan hingga membuat Rana jatuh dari sepeda motornya, menyerempet, oleng, dan gubrak di tempat setelah menggores, menubruk, membuat luka serta penyok bemper lamborghini orang. Yang mana mobil itu adalah milik Pak Alam, teman dari atasannya Rana. Gadis itu menunduk dalam. "Maaf, Pak." Yang sejak tadi ditatap jeli oleh sosoknya. Rana risi, tatapan Pak Alam nampak menilai, menelanjangi. Kok ya ditatap sebegitunya? "Saya maafkan." Alhamdulillah-- "Asal ganti ruginya terpenuhi." Eh, baru juga Rana mau membuang napas lega. Tapi, benar saja. Tidak semudah itu. Yang Rana buat penyok adalah bemper mobil lamborghini! CATAT! "S-saya akan ganti rugi." Tentu saja, itu harga mati! Harus. Kan sudah dibuat penyok bemper lamborghini-nya! INGAT! Pemilik mobil mana sudi melepaskan harga dari sepeser ganti rugi. Ah, itu bukan sepeser ... setidaknya untuk Rana yang merupakan pegawai magang di sana. Tetapi pasti menjadi harga sepeser jika itu untuk Pak Alam, teman dari atasannya. Leluhur! Dalam artian dari sudut pandang Rana adalah: Leluhur sama dengan orang kaya dari orang kaya lainnya. "Baik. Nanti saya serahkan nota bengkelnya." "Kira-kira berapa ya, Pak?" Takut-takut Rana pandangi wajah Pak Alam. Tampan. Astagfirullah. Dia salah fokus. Di mana tatapan lelaki itu ... Rana merasa ditatap kian dalam. Membuat Rana tanpa sadar terus memandangnya, mata Rana jatuh di gerakan bibir Pak Alam saat bibir merah tanpa tanda-tanda nikotin itu dibasahi sebelum kemudian berucap, "Nggak mahal, sekitar seratus juta. Ya, pegang saja uang segitu." Nah, kan! Mati. Rana mati. Mendengar nominalnya, jantung Rana minta berhenti sejenak, lalu berdentum lagi dengan ritme yang nampak mau innalillahi. Rana menelan ludahnya ngeri. "Se-seratus juta?" Barangkali Rana salah dengar, semakin bertambah usia kan daya panca indra bisa kian menurun. Sayangnya, Pak Alam mengangguk. membuat Rana melotot, reaksi wajar bagi manusia kalangan bawah seperti dia. Uang dari mana coba? "Mau nambah?" Hardian mendadak jadi obat nyamuk di sana, tetapi batal saat mendapatkan kode-kode pengusiran halus dari sang kawan. Yakni sesaat Alam melirik tanda mata nyuruh pergi tinggalkan mereka berdua. Sebagai teman baik, Hardian paham. Dia pun meninggalkan dua manusia beda jenis dan usia itu ribut di ruangannya. Ah, nggak deh. Hanya Rana yang ribut. Pak Alam tetap tenang setenang mimik wajahnya. "CUMA KEGORES DAN PENYOK DIKIT, BAPAK MINTA SERATUS JUTA?!" Heboh banget. Nggak bisa kalau gak heboh. Ini soal uang dengan deretan angka nol yang terlalu banyak di belakang angka satu soalnya. Pak Alam menampilkan raut tanpa ekspresi, tetapi sorotan matanya masih menyiratkan makna yang sama: dalam, menenggelamkan. Rana tahu, sebab dia merasa dihanyutkan pada telaga bening berlereng hitam di dasarnya yang tak lepas sedikit pun dari wajah Rana ... tatapan itu. Risi. "Maaf." Rana meringis. "Tapi saya nggak ada uang sebanyak itu, Pak." Sekali lagi Pak Alam membasahi bibir. Membuat mata Rana mampir di sana. Duh, sengaja banget nggak, sih?! Jilat-jilat bibir gitu buat apa coba?! Mau goda Rana yang jomblo sejak lahir, kah? Astagfirullah, Rana! Fokus. Meski fakta dalam otak Rana adalah: Lelaki tampan laksana setan, berbakat dalam menggoda iman, khususnya bagi Rana yang lemah soal pandangan. Padahal lelaki itu hanya diam. "Lalu, bagaimana cara kamu mau ganti rugi?" Rena terseret kenyataan. Dia meminta solusi dalam diskusi. "Selain uang, ada?" "Penjara?" "PAK!" "Memangnya kamu ada pandangan lain selain lapas atau ganti rugi?" Kali ini Rana melihat Pak Alam melongoskan wajahnya, nampak berpikir. Rana juga bingung. Apa harga kerusakan dari sebuah lamborghini semahal itu? "Ah!" Itu suara Rana yang menemukan pencerahan. Pak Alam praktis kembali menatapnya. "Boleh nyicil?" Meski di ujung lidah kalimat itu mengecil. Malu. Seratus juta, gimana mau dicicil sementara gaji Rana tidak seberapa? Alam memandang sangsi. "Berapa tahun?" Meski demikian dia mencoba berikan toleransi. Namun, Rana sendiri tidak tahu pasti. "Seumur hidup?" Sarkas. Ucapan Alam muncul saat Rana tak tahu jawaban. Dan Rana semakin sadar diri, dia miskin. Uh, kenapa harus nabrak mobil teman main dari Bos-nya, sih?! Yang sama-sama sugih harta, tapi juga tidak mungkin rela seratus jutanya melayang begitu saja. Realita yang Rana terima. "Boleh?" tanya Rana. Karena nggak ada jalan lain, kan? Senggaknya, begitu saja dulu. Solusi darurat. Pak Alam membuang napas berat, seolah beban yang ditanggung Rana lebih kecil ketimbang bebannya. Lelaki itu melirik jam tangan. "Tapi saya butuh jaminan." Tanpa basa-basi, Rana keluarkan dompet usang. Lalu mengambil isinya, menyodorkan kepada Pak Alam yang menatapnya heran. "Ini KTP saya." Kartu Tanda Penduduk itu masih di tangan Rana, Pak Alam masih menaikkan satu alis mata selebat bulu ulatnya. Rana berdeham. "Jaminannya, Pak." Yang Alam terima. Namun, dia bertanya, "Apa kartu ini seharga seratus juta?" Hah? "Atau setengahnya?" Gimana? "Seperempat dari setengahnya?" "Maksud Bapak?" Rana nggak paham. Alam menatap Rana. "Berapa harga jaminan yang kamu berikan? Apakah sebanding dengan harga kerusakan mobil saya? Ralat, itu mobil kesukaan punya Kesayangan saya." Yeah ... Pak Alam yang tampan maksimal itu sudah punya kesayangan ternyata. Eh, astagfirullah! Rana gagal fokus sama isi kalimat teman dari bos besarnya. Kembali berdeham. Kikuk. "Maksud saya, Bapak bisa simpan ini dulu, KTP itu. Saya nggak akan kabur, di sana pun ada alamat rumah, Bapak bisa datangi saya nantinya." Alam tatap kembali KTP Rana, membaca dalam hati, tetapi kemudian dia sebutkan, "Kamu tinggal di Bandung?" "Iya ... itu alamat asal saya. Sekarang ngekost sih, masih daerah sini juga." Menjeda. Mereka saling menatap, yang selanjutnya Rana imbuhi, "Oh, atau Bapak perlu alamat kost saya? Sumpah, saya nggak bakal kabur. Alamat di KTP pun itu alamat orang tua, barangkali--" "Ya sudah, ini saja dulu. Saya pegang jaminannya, dan ini sementara. Nanti saya pikirkan jaminan lain yang lebih mumpuni dari Kartu Tanda Penduduk." Ya, seperti itu. Hari pertama Rana dipertemukan dengan musibah seratus jutanya. Uring-uringan, mendadak hidup Rana tidak tenang. Sebab ketika gajian pun, uangnya tidak bisa dia pakai untuk menambal kekurangan kebutuhan, malah dia simpan sebelum nanti diserahkan untuk bayar utang. Argh! Belum lagi, tiap bulan, selayaknya rentenir, Pak Alam selalu datang ke kantor sekadar berkunjung di ruang yang Rana hirup oksigennya. Tidak menagih utang, sih. Tapi Rana merasa diteror oleh debet collector. Meski Pak Alam hanya berdiri dari jarak jauh dan memastikan Rana ada di kubikelnya. Itu saja. Menurut sudut pandang Rana. Risi. Tiap kali melihat Pak Alam, selalu saja Rana merasa sedang dikuliti. Apa seberdosa itu melukai bemper mobil lamborghini milik teman bos besarnya? Pak Hardian juga tidak mau ikut campur, apalagi membantu, malah minta maaf karena Pak Alam memang begitu orangnya, dan katanya ... itu tanggung jawab Rana, terlebih saat melukai mobil mahal itu Rana sedang di luar jam kerja. Ya, kayaknya Rana berdosa banget! Terlepas dari luka-luka di tubuhnya, Rana mendapat perawatan yang layak. Cuma ... tetap saja! Nampaknya luka di tubuh Rana tidak seberapa ketimbang bemper lamborghini Pak Alam. Meski kenyataan, luka tubuh Rana terbilang ringan. Hal yang membuat Rana bersyukur di tengah utang yang bercucur. Hingga tiba di hari ini, hari yang Rana berikan hasil jerih payahnya, dengan jumlah sedikit, tapi banyak menguras energi, Rana sodorkan uang itu kepada Pak Alam dengan berat hati. "Segini dulu ya, Pak. Saya cicil." Yang Alam tatap uang itu sekilas sebelum kemudian tatapannya jatuh di wajah Rana. "Benar-benar mau dicicil seumur hidup?" "Semampu saya." "Harus mampu. Mobil saya rusak sudah kamu tabrak." Padahal saat itu mobilnya sedang diam, parkir dengan tenang, lalu ditabrak Rana. Bagi Alam, penyok dan goresan adalah bagian dari rusak. "Itu kecelakaan, Pak. Saya--" "Permisi." Rana telan bulat-bulat akhir katanya. Pak Alam pamit sambil angkat telepon dan bergegas pergi tanpa membawa uang Rana. Belum lagi, sekilas yang Rana dengar dari bibir Pak Alam adalah .. "Iya, Sayang." Oh, dari si Sayang! Pemilik asli mobil yang Rana tabrak sampai penyok itu nampaknya. Sungguh, dari kejadian itu Rana nggak bisa hidup sejahtera. Jangankan sejahtera, tenang saja tidak, sebab dililit utang seratus juta ... kira-kira. Mau menangis saja rasanya. Tentu, sudah Rana lakukan di malam ketika nomor asing bertandang di ponselnya, menerangkan: Saya Alam. Kapan mau dibayar utangnya? Rana yakin Pak Alam dapat nomornya dari Pak Hardian. Lemas. Rana balas dengan: Bulan lalu aku kasih cicilan, Bapak nolak. Ya, waktu berjalan cepat. Terhitung satu bulan terlewat dan cicilan Rana tidak diindahkan. Hal yang sempat membuat Rana kebingungan. Ah, tapi bisa jadi Pak Alam maunya cicilan yang lebih besar dari uang yang Rana serahkan saat itu. Sementara hari ini ... Pak Alam: Besok bertemu, bisa? Betulan nangis. "Mana uangnya udah aku pakai bayar listrik, makan, terus transfer Ibu lagi!" Rana: Bisa, Pak. Di mana? Terakhir, Rana dapat balasan: Kafe seberang kantornya Hardian, tahu? Di sana saja. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.2K
bc

My Secret Little Wife

read
92.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook