bc

The Time We Meet Again

book_age16+
5.5K
FOLLOW
48.9K
READ
possessive
second chance
friends to lovers
goodgirl
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

Empat tahun lalu, Kiara begitu mengagumi Panji Akbar Pratama karena nama dan wajah laki-laki itu seperti visual nyata dari novel favoritnya. Mengenal Akbar lebih dekat, Kiara tak lagi hanya terpesona pada fisik, namun juga cara laki-laki memperlakukannya. Kiara remaja, jatuh cinta untuk pertama kalinya kepada Akbar, teman kuliah kakak tirinya.

Sayangnya di suatu hari, gadis itu harus menelan kekecewaan karena Akbar hanya menyukai kakaknya. Cinta Kiara yang belum tersampaikan, harus pupus sebelum kuncupnya berkembang. Bertepatan dengan itu, ia harus ikut sang bibi pindah ke luar kota. Pada akhirnya ia pergi, meninggalkan rumah keluarga baru ibunya, tanpa salam perpisahan kepada Akbar.

Empat tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan oleh semesta, dengan cara tak terduga. Anehnya, Akbar mengejar dan menuntutnya karena Kiara menghilang seperti buih di lautan. Dari situ, sebuah kebenaran di masa lalu terungkap.

Tentang Kiara, Akbar, dan rangkaian kisah mereka.

chap-preview
Free preview
Meet After Four Years
Happy reading :* :* Kiara memandang ke luar jendela kamar yang langsung menghadap ke arah jalan depan rumah yang cukup ramai. Ini sudah pukul tujuh malam, dan Kiara juga Tante Rahma baru selesai beres-beres kamar mereka berdua. Ya, untuk sementara ini mereka membereskan kamar masing-masing dulu agar bisa ditempati untuk tidur. Setidaknya ada kasur bersih yang bisa mereka gunakan untuk tidur malam ini. Sementara ruangan lain, akan mereka bereskan besok mumpung hari Sabtu dan Tante Rahma libur kerja. Pindahan ini memang mendadak, makanya tidak ada persiapan matang. Ini dikarenakan pemilik kontrakan lama yang tiba-tiba mengabari Tante Rahma bahwa penyewa kontrakan yang baru, akan datang besok pagi. Akibatnya, Tante Rahma dan Kiara harus secepatnya pindah. Dan karena ketidaknyamanan ini, pemilik kontrakan menyewakan mobil pick up untuk mengangkut semua barang-barangnya mereka berdua secara cuma-cuma alias tidak perlu mengganti uang sewa mobil itu. Dering ponsel membuat gadis yang saat ini memakai celana training berwarna abu-abu dipadukan sweater bergaris-garis hitam putih itu, menoleh ke arah ranjang dan segera mengambil benda itu. Nama 'Dio' terpampang jelas di layar ponsel, membuat Kiara tersenyum tipis. "Halo, Yo?" sapa Kiara. "Ki, si Agnes ngajak jalan nih. Berhubung lo nggak kerja, jadi nggak masalah kan kalo kita jalan ke luar bertiga? " seperti biasa, Dio berkata dengan nada membujuk yang selalu berhasil membuat Kiara tidak bisa menolak. "Yah tapi malem ini nggak bisa, Yo ..." jawab Kiara penuh penyesalan. "Loh, kenapa? Lo sakit?" nada bicara Dio berubah menjadi khawatir. "Kia sehat, Yo. Cuman Kia lagi capek aja habis beres-beres di rumah baru. Tadi sore kita baru pindahan." "Bukannya pindahannya minggu depan, ya? Kok jadi sekarang?" "Iya, ada masalah dikit sih." "Ya udah biar gue sama Agnes ke situ aja, bantuin kalian beres-beres. Kirimin alamatnya gih." Kiara tersenyum tipis, menyadari bahwa ia mempunyai sahabat yang sangat peduli padanya. Kiara juga tidak sabar membayangkan bagaimana terkejutnya Dio jika mengetahui mereka sekarang menjadi tetangga. "Emang Dio sekarang lagi di mana?" tanya Kiara, berjalan mendekati jendela kamar. Dari sini, sangat terlihat jelas rumah Dio yang lampu-lampunya mulai menyala. "Ya di rumah, sih. Kenapa, emang?" "Maksudnya di rumah itu di mananya? Kamar, ruang tamu atau di mana?" "Detil amat nanyanya. Aneh deh, lo!" "Tinggal jawab aja susah." "Ck! Gue di kamar, napa sih?" "Oh, di kamar. Bukannya kamar Dio itu ada di lantai dua, ya?" "Iya. Kenapa sih, Ki? Lo tuh aneh nanyanya. Jangan bilang lo kerasukan arwah yang tinggal di rumah baru lo?!" "Apaan sih, Yo! Jangan ngawur, deh." Kiara memutar bola matanya, "Ehm, coba deh Dio ke balkon kamar." "Kenapa? Jangan bilang lo sekarang ada di depan rumah gue?" Dio tertawa geli, "Gue nggak bakal percaya." "Ya udah sih keluar aja." Kiara dapat mendengar Dio berdecak keras, tapi gadis itu hanya tersenyum geli. Gadis itu mendongakkan kepalanya ke arah dua balkon kamar yang saling bersebelahan, lalu perlahan melihat sosok tubuh yang dikenalnya muncul. Seutas senyum langsung terbit di bibir tipis Kiara, melihat Dio memandang ke langit sambil menempelkan ponsel ke telinga. "Jangan cuma liat langit, Yo. Liat bawah, coba." "Lo tuh aneh bang--" ucapan Dio terputus begitu laki-laki itu menunduk ke arah jalan, dan tatapannya jatuh pada Kiara yang melambai-lambaikan tangan padanya. Dio tampak mengucek matanya, lalu menatap ke arah Kiara kembali. "Ki, gue kayaknya liat hantu deh." Kiara menahan untuk tidak tertawa mendengar suara Dio yang aneh, antara takut dan terkejut. Gadis itu lantas bertanya, "Hantu? Maksudnya?" "Iya, ha--hantu." suara Dio makin memelan. Kiara mendongakkan kepalanya, menatap Dio yang berdiri gelisah di pinggir pagar pembatas balkon. "Masak sih? Salah lihat kali, Dio? Lagian bukannya Dio nggak percaya sama kayak gituan, ya?" tanya Kiara, berusaha menyembunyikan tawa gelinya. "Iya, tapi sekarang gue kayaknya percaya deh." "Dio nggak lagi ketakutan kan?" "Sial, ya enggak lah! Gue cuma... gue cuma... kaget. Iya, kaget." Kiara mengulum senyum, kemudian melambai-lambaikan tangan kembali pada Dio yang masih sesekali menatap ke arahnya. "Emang hantunya di mana?" "Itu di jendela kamar rumah kosong seberang rumah gue. Tuh, barusan dia ngelambai ke gue Ki!" seru Dio, membuat perut Kiara sakit karena sedari tadi menahan tawa. "Emang kayak gimana sih hantunya? Cewek atau cowok?" "Cewek, Ki." "Cantik nggak?" "Ki, kalo gue ceritain, gue nggak janji kalo lo nanti bakal kepo kayak sekarang." "Lah kenapa?" "Soalnya... soalnya hantu itu mirip lo banget!" Kiara menyemburkan tawa, kali ini ia benar-benar tidak kuat lagi untuk menahannya. "Kok lo malah ketawa sih, Ki? Gue beneran. Nggak bohong, sumpah! Hantu itu persis banget sama lo. Rambutnya yang sedikit di bawah pundak, bentuk badannya yang kecil, terus tinggi badan... semua persis elo, Ki!" Kiara masih terus saja tertawa mendengar ucapan Dio yang berusaha membuatnya percaya. "Woy, jangan ketawa terus. Gue nggak bohong. Suer, deh! Itu hantu beneran persis elo. Heran deh, selama bertahun-tahun itu rumah dibiarin kosong gitu, nggak pernah sekalipun gue liat hantu. Eh, kenapa sekarang tiba-tiba nongol gitu ya?" Kiara mengusap-usap perutnya, karena otot perutnya yang menegang karena terlalu lama tertawa. "Udah ah Yo capek Kia ketawa terus." "Yee siapa suruh lo ketawa! Gue ngomong serius juga, malah lo bales pake ketawa aneh lo. Lo kira gue lagi ngelawak apa?!" Kiara terkekeh, "Tapi sebenernya yang Dio lihat itu bukan hantu. Itu emang Kia." Terdengar tawa hambar Dio di seberang sana, "Lo kira gue bakal percaya, gitu?" "Beneran, Yo." "Lo tuh ya, jangan bercanda deh. Gimana bisa lo ada di rumah kosong itu? Nggak mungkin banget, Kia!" "Ih dibilangin juga. Ini beneran Kia, Dio." "Gue nggak bakal percaya, Kia." "Ck, perlu bukti?" Kiara melambai-lambaikan tangan kembali, "Tuh kamu liat kan kalo Kia barusan ngelambai ke Dio?" Dio mencondongkan tubuhnya, menatap lebih lekat ke arah tempat berdiri Kiara sekarang. "Iya, sih. Persis lo banget. Tapi kok lo bisa di situ?" Kiara tertawa, "Kia pindah ke sini, Yo. Ini rumah baruku. Makanya turun terus ke sini deh biar kamu bisa buktiin sendiri kalo ini beneran Kia." Tampak Dio menggeleng cepat di atas sana, "Jangan-jangan lo mau ngerjain gue, ya? Nanti pas gue ke situ, ternyata itu bukan lo dan gue ditangkap itu hantu gimana?" "Jangan bilang Dio takut?" "Bukannya gue takut, Ki. Gue cuma nggak mau itu hantu naksir gue setelah liat gue dari dekat." Kiara mencebikkan bibirnya, lupa kalau seorang Dio itu memiliki kepercayadirian yang sangat tinggi. "Oke deh Kia ke luar bentar. Dio juga ke luar, nanti pasti tahu kalo ini hantu atau emang beneran Kia." "Oke." Kiara mendengar Dio menyahut, setelah itu ia keluar dari kamar. Berjalan melewati ruang tamu yang masih dipenuhi berbagai perabot rumah tangga yang memang belum dibereskan. Tante Rahma sedang ke luar, membeli makan malam untuk mereka berdua di ujung gang kompleks. Kiara sudah ke luar dari rumah, lalu berdiri di beranda sambil menatap rumah seberang jalan. Melihat Dio juga tengah menatap ke arahnya, gadis itu melambai-lambaikan tangannya. "Dio!" Kiara memanggil sahabatnya itu, setengah berteriak. Dio tampak memperhatikannya sejenak, lalu melangkah ragu dan keluar dari pintu gerbang yang tidak terlalu tinggi itu. Dio berhenti di pinggir jalan, lalu memandang Kiara lekat-lekat. "Lo beneran Kiara, kan?" teriak Dio, membuat Kiara memutar bola matanya. "Sini," Kiara mengisyaratkan dengan tangan agar Dio mendekat. Dio menyeberang jalan yang memang tidak terlalu ramai itu. Laki-laki itu langsung mendekat, meski cara jalannya tetap hati-hati juga waspada. Kiara tertawa geli dibuatnya. "Dio, ini beneran Kia. Nggak percayaan amat sih!" ucap Kiara gemas. Dio yang kini sudah berdiri beberapa langkah dari Kiara, malah menunjuk wajah gadis itu dengan telunjuknya. "Elo! Buktiin kalo lo emang Kia!" perintah Dio. Kiara menggeleng-gelengkan kepalanya, antara mau tertawa lagi namun juga mulai kesal karena tingkah konyol Dio. Kiara yang pada awalnya hanya ingin mengerjai Dio, sekarang malah mulai gemas sendiri. Gadis itu lantas menyilangkan kedua tangan di depan d**a sambil menatap sahabatnya yang kini memicingkan mata padanya. "Dwidha Dio Permana, cowok jahil yang suka bikin kesel Kiara sama Agnes. Dia juga playboy, suka bolos pelajaran, terus hobinya maen game sampai nggak inget waktu. Pas kelas satu SMA, ganti pacar sepuluh kali udah kayak ganti pulpen aja. Cewek pertamanya bernama Sinta, yang pacaran sama Dio selama tiga minggu. Putus sama Sinta karena alasan yang nggak masuk akal, yaitu cuma karena Sinta pelihara kucing di rumah. Dio benci kucing soalnya. Terus Dio cuma punya dua sahabat yaitu Kia sama Agnes. Punya mama yang sangat cantik, dan juga punya papa yang keren banget. Punya abang juga, tapi Kia belum tau gimana muka abangnya Dio karena belum pernah ketemu." Kiara menghentikan penjelasan panjang lebarnya dan menatap Dio yang melongo di depannya. "Perlu Kia terusin?" tanya Kiara. Dio tidak mengucapkan apa-apa, namun justru malah mendekat dan tanpa aba-aba langsung menarik kedua pipi Kiara dengan keras. "Dio jelek, lepasin pipi Kia!" pekik Kiara sambil memukul tangan Dio yang masih bertengger di kedua pipinya. Dio terkekeh, lalu mengacak-acak rambut Kiara yang tergerai bebas. "Oke, gue percaya. Soalnya siapa lagi cewek umur dua puluh yang masih suka ngomong dengan panggil nama kayak anak SD, kalo bukan Kiara Ramadhani?" Kiara mendengus. Memang benar apa yang dikatakan Dio. Sejak dulu, Kiara memang terbiasa bicara dengan memanggil namanya sendiri maupun nama lawan bicaranya. Terdengar kekanak-kanakan memang, tapi Kiara sulit sekali untuk bicara 'aku-kamu' apalagi 'gue-elo' dengan lawan bicaranya. Mungkin kedengarannya memang kekanak-kanakan, tapi Kia tidak peduli. Ia ingin menjadi dirinya sendiri dan tak mau berubah hanya agar tidak diolok-olok orang lain, padahal ia sama sekali tidak nyaman. Ia tidak ingin seperti itu, lagipula Kiara selalu ingat apa kata ayahnya dulu. Ayah bilang bahwa Kia harus tetap jadi diri sendiri, walaupun beberapa orang tidak akan menerima Kiara dengan mudah. "Kok lo bisa tinggal di sini?" tanya Dio. Kali ini mereka berdua sudah duduk di bangku panjang depan rumah. "Iya, Kia juga kaget banget pas tadi diajak Tante ke sini. Jadi langsung kepikiran buat ngerjain Dio, deh." Kiara menyengir sambil menoleh pada Dio yang kini menatapnya kesal. "Sumpah tadi gue kira lo beneran hantu!" Kiara menyipitkan matanya, "Dio takut, ya?" "Enak aja, ya enggaklah! Cuma kaget, Ki. Kaget." Kiara mengulum senyum sambil mengangguk-angguk, "Iya deh iya. Cuma kaget. Kia percaya kok kalo Dio cuma kaget." Dio mendengus kesal menatap Kiara yang menggodanya. "Tapi beneran cuma kaget, nih? Bukannya takut, ya?" "Kiara!" Kiara tertawa, namun tawanya itu tak berlangsung lama karena Dio langsung mengacak-acak rambutnya dengan kesal. "Kiara, kok kamu di luar?" Keduanya lantas menoleh ke arah Tante Rahma yang barusan berbicara dan kini berjalan ke arah mereka. Di tangannya ada sekantong plastik yang Kiara tebak berisi makanan. "Loh, ini Dio kan?" Tante Rahma kembali bertanya begitu sudah sampai di depan Kiara dan Dio. Dio berdiri dan tersenyum pada wanita itu, "Hai, Tante." Tidak perlu dipertanyakan kenapa Dio memilih menyapa dengan berkata 'hai' daripada menyalami dan mencium punggung tangan tantenya Kiara itu. Itu karena Tante Rahma lebih cocok disebut 'Kakak' daripada 'Tante' dikarenakan usianya yang baru menginjak 32. Iya, usia Kiara dan Tante Rahma memang hanya terpaut dua belas tahun sehingga Kiara menganggap Tante Rahma itu sebagai seorang kakak perempuan sekaligus sahabat. "Kok kamu udah tau kalo kita pindah ke sini?" tanya Tante Rahma bingung. Wanita itu memilih duduk di samping Kiara. "Baru aja tau, Tan. Soalnya nggak sengaja liat Kia di jendela. Oh iya, rumahku di sana." Dio menunjuk rumahnya yang berlantai dua itu. "Wah, kita berarti tetanggaan dong." Tante Rahma berseru senang. "Iya, Tan. Jadi aku sekarang bisa tiap hari minta dibikinin bronis sama Tante," sahut Dio yang membuat Tante Rahma mencibir. "Kamu mah yang diingat cuma bronis mulu!" ucap Tante Rahma, pura-pura menggerutu. Dio dan Kiara tertawa kecil. Sebuah mobil berhenti di depan rumah Dio, membuat ketiganya memperhatikannya. "Itu bokap sama nyokap gue baru pulang. Ikut gue yuk Ki, ketemu nyokap." ajak Dio. Kiara menoleh pada Tante Tari kemudian menatap Dio kembali, "Jangan sekarang deh, Yo." "Kenapa? Sekarang aja. Nyokap gue pasti seneng banget ketemu lo. Tiap hari nyokap nanyain lo terus," Dio menarik tangan Kiara. "Tapi aku nggak bawa apa-apa, Yo. Kan nggak enak," ucap Kiara. "Alah, lo pake nggak enak segala. Udah yuk sekarang aja nggak perlu bawa apa-apa," Dio beralih menatap Tante Rahma, "Tante Rahma juga yuk. Aku kenalin sama keluargaku." Tante Rahma mengangguk antusias, lalu menarik tangan Kiara agar ikut berdiri juga. "Udah yuk Ki, kita ketemu mereka dulu aja. Besok kalo dapur kita udah beres, kita bikinin kue buat keluarga Dio." Akhirnya Kiara menuruti ucapan Tante Rahma. Kiara dan Tante Rahma berjalan di belakang Dio, dan ketiganya menyeberang jalan. Di parkiran depan rumah Dio, tampak sepasang suami istri sedang turun dari mobil. "Mama, coba tebak aku bawa siapa?" Dio bertanya, yang sebenarnya lebih tepat disebut berteriak. Wanita paruh baya memakai dress panjang yang baru saja menutup pintu mobil itu langsung berbalik dan menyilangkan tangan di depan d**a, menatap Dio yang sudah beberapa langkah di depannya. "Dio udah berapa kali Mama bilang kalo ngomong tuh jangan teriak-teriak? Kamu itu ya!" tegur wanita itu, yang langsung menghampiri Dio dan menjewer telinganya. "Auw, sakit Ma. Ampun lepasin, Ma..." Dio memekik sambil berusaha melepaskan jeweran ibunya. "Udah sayang. Kasihan tuh si Dio udah kesakitan," ucap pria paruh baya yang baru keluar dari mobil. Mama Dio mendengus kesal, lalu melepaskan jewerannya pada putra bungsunya itu. Dio menyengir, lalu bertos dengan papanya setelah mengucapkan terima kasih. Mama Dio berbalik menatap tajam kedua pria beda usia itu, "Kalian itu ya sama aja, bikin Mama kesel! Kamu Dio!" Mama Dio menunjuk wajah Dio, "Ngapain teriak-ter --" ucapan Mama Dio terhenti begitu melihat dua orang perempuan beda usia yang sedari tadi hanya diam memperhatikan interaksi keluarga itu. "Loh Rahma?!" "Mbak Bintang?!" Ucapan penuh keterkejutan itu keluar bersamaan dari mulut Tante Rahma dan Mama Dio. "Kamu kenapa bisa ada di sini, Rah?" tanya Mama Dio, yang bernama 'Bintang' itu. "Loh, aku di sini diajak Dio buat kenalan sama orang tuanya, Mbak." Tante Rahma menjawab, masih agak kaget dan bingung. "Mama sama Tante Rahma udah saling kenal?" tanya Dio bingung. "Iya, Dio. Tante Rahma ini asisten baru Mama di butik Oma," jawab Mama Dio, "Tapi kok kamu bisa kenal sama Tante Rahma?" "Iya, Tante Rahma ini tantenya Kia. Ini Kia, Ma." Mama Dio langsung menoleh ke arah yang ditunjuk Dio, dan ekspresinya berubah kaget melihat Kiara. Wanita itu langsung menghampiri Kiara dan memegang bahu gadis itu. "Ini Kiara? Kiara sahabatnya Dio pas SMA itu kan? Kiara yang ngomongnya imut itu, kan? Yang suka panggil nama kalo ngomong itu kan? Yang pindah ke Jogjakarta pas kelas dua SMA?" Kiara meringis, merasa agak tidak nyaman karena orang-orang selalu menyinggung tentang cara bicaranya yang aneh. "Iya, Tan. Ini Kia yang itu," jawab Kiara yang langsung dihadiahi pelukan hangat oleh Mama Dio. "Tante Bintang gimana kabarnya?" tanya Kiara begitu pelukan mereka terlepas. "Alhamdulillah kabar Tante baik, sayang. Wah, empat tahun nggak ketemu, Kiara makin cantik aja ya. Nggak nyangka bisa ketemu lagi. Tante kangen banget tau sama kamu," ucap Tante Bintang senang. "Kia juga kangen sama Tante Bintang. Maaf baru bisa ketemu sekarang," ucap Kiara penuh penyesalan. "Iya, nggak apa-apa. Dio juga sering cerita kalau kamu udah dua tahun ini di Jakarta, tapi sibuk kerja sambil kuliah. Tante juga belum ada waktu buat ikut Dio sama Agnes ke rumah kamu, soalnya belakangan ini butik rame terus." Tante Bintang menyahut sambil terus menggenggam erat tangan Kiara. "Jadi Mbak Bintang ini mamanya Dio?" tanya Tante Rahma. "Iya, Rah. Dan kamu ternyata tantenya Kiara? Wah dunia emang sempit banget ya," sahut Tante Bintang, membuat ketiga perempuan itu tertawa. Ya, dunia memang sempit. Kiara benar-benar tidak menyangka bahwa Tante Bintang ternyata adalah atasan baru Tante Rahma. Dan lebih tidak menyangka lagi kalau mereka sekarang adalah tetangga. "Ehm ... harga obat nyamuk berapa sih sekarang, Pa?" ucap Dio pada papanya, berniat menyindir ketiga perempuan yang dari tadi mengabaikan keberadaan mereka. "Kayaknya mahal deh, Yo. Mana ada obat nyamuk yang keren kayak kita ini dijual murah?" sahut papa Dio, yang disambut tawa ketiga perempuan itu. Kiara menoleh pada Dio, lalu langsung menghampiri papa Dio yang berdiri di sebelah Dio. "Apa kabar, Om Angkasa?" tanya Kiara setelah mencium punggung tangan papa Dio yang bernama 'Angkasa' itu. Om Angkasa mengusap kepala Kiara, "Alhamdulillah Om juga baik. Tapi ya gitu deh, suka dimarahin Tante karena suka ikut Dio hang out." "Ya iya lah, udah tua tapi kelakuan masih kayak abg," sahut Tante Bintang. "Belum tua, sayang. Umurku belum lima puluh loh." "Tapi tahun depan udah lima puluh, sayang." Tante Bintang menjawab sambil memutar bola matanya. Kiara dan Tante Agnes tertawa, sementara Dio sih biasa-biasa saja melihat kedua orang tuanya berdebat sambil saling panggil sayang seperti itu. Sudah terlalu biasa. Sebuah mobil datang dan berhenti di sebelah mobil Om Angkasa, membuat perhatian kelima orang itu teralihkan. "Nah itu abangnya Dio baru pulang. Kiara belum pernah ketemu sama abangnya Dio, kan?" tanya Tante Bintang. "Iya, Tan. Dulu pernah mau dikenalin tapi Kia keburu pindah ke Jogjakarta jadi batal deh," jawab Kiara. "Beneran kamu belum pernah ketemu abangnya Dio, Ki? Padahal kamu sahabatan sama Dio udah empat tahun loh. Tante aja yang baru dua bulan kenal mamanya Dio, udah beberapa kali ketemu abangnya Dio." Tante Rahma menyahut. "Soalnya Bang Panji dulu pas masih kuliah lebih sering di apartemen dari pada pulang ke rumah, Tan." sahut Dio. Tante Rahma ber'oh' ria. "Bang sini bentar deh," ucap Tante Bintang, memanggil pria yang baru keluar dari mobil. Kiara memperhatikan dengan lekat pria yang memunggunginya itu.  Laki-laki itu saat ini memakai jas berwarna putih dengan bawahan celana bahan hitam, mungkin tinggi badannya sekitar 175 sentimeter, sedikit di atas Dio. Kiara mungkin hanya sepundaknya saja. Punggungnya tegap, tipe-tipe laki-laki yang suka berolahraga. Rambutnya dipotong cepak, dengan warna rambut yang hitam legam, dan sama sekali tidak diberi gel rambut. Kiara tidak tahu wajahnya seperti apa, karena posisi laki-laki itu memunggunginya. Tapi sepertinya tetap tampan seperti Dio dan Om Angkasa. "Bang, sini deh. Ini ada temennya Dio sekaligus keponakannya Tante Rahma. Abang kenalan dulu sini," ucap Tante Bintang sambil menarik tangan laki-laki itu mendekat ke arah Kiara. "Gitu amat ngeliatinnya, Ki. Awas jangan sampai naksir, Ki." Dio berbisik sambil merangkul bahu Kiara. Kiara melotot pada Dio, "Jangan aneh deh, Dio!" Dio terkekeh pelan, lalu mengacak-acak rambut Kiara dengan tangannya yang tidak merangkul bahu gadis itu. Kiara masih berusaha melepaskan rangkulan Dio, namun Dio tetap tidak mau melepaskannya. Kedua bersahabat itu masih sibuk sendiri hingga lupa pada kehadiran Panji. "Abang, kenalkan ini Kiara temennya Dio. Kiara, kenalkan ini Panji, abangnya Dio." ucapan Tante Bintang akhirnya membuat Kiara menoleh. Dan bumi langsung terasa berhenti berputar begitu Kiara menatap wajah Panji. Kiara mematung, dengan mata yang tidak berkedip sama sekali. Degup jantungnya seperti dipacu, hingga berdetak sangat kencang. Laki-laki di depannya juga tampaknya dalam keadaan yang tidak jauh berbeda dengan Kiara saat ini, sehingga Kiara semakin yakin bahwa ia tak salah dengan apa yang dilihatnya. Semesta, Kia tau kalo dunia itu emang sempit. Tapi nggak harus sesempit ini juga, kan? ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Long Road

read
118.3K
bc

The Prince Meet The Princess

read
181.7K
bc

Sweetest Diandra

read
70.5K
bc

A Piece of Pain || Indonesia

read
87.3K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.1K
bc

Marriage Agreement

read
590.5K
bc

Undesirable Baby 2 : With You

read
161.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook