bc

Terpaksa Memilihmu

book_age18+
28.7K
FOLLOW
188.1K
READ
revenge
contract marriage
fated
drama
sweet
humorous
icy
betrayal
coming of age
like
intro-logo
Blurb

Rizki Wijaya, pria tampan yang sedang patah hati karena baru saja ditinggal oleh kekasihnya yang menikah tanpa sepengetahuannya, harus menerima perjodohan dari ibunya untuk menikahi Kaifa, asisten rumah tangga kesayangan ibunya yang akan pergi ke luar negeri.

Dengan sangat terpaksa ia menerima perjodohan tersebut demi sang ibu, tapi di balik itu semua, Rizki sudah menyimpan rencana untuk membuat Kaifa selalu menderita agar Kaifa meminta cerai padanya.

Penderitaan seperti apa yang Rizki berikan? Dan mampukah Kaifa tetep memperthankan rumah tangganya?

“Sudah kubilang, rumah tangga kita tidak seperti rumah tangga pada umumnya. Jadi, jangan bertingkah seperti istri-istri pada umumnya." Rizki Wijaya.

"Pernikahan kita memang tidak seperti rumah tangga pada umumnya, tapi hatiku sama seperti istri-istri pada umumnya." Kaifa Aisyah.

Cover by: Canva

Font: bukhari scrept

https://canva.me/zHKAyangojb

chap-preview
Free preview
Perpisahan
Rizki pov Aku terus menggenggam erat tangan gadis manis yang duduk di sampingku dengan kepala bersandar ke bahuku, seolah dia tidak akan kembali lagi jika aku mengendurkan sedikit saja genggamanku. Padahal, dia memang akan pergi sebentar lagi dan kami akan berpisah selama tiga bulan karena dia ingin memperdalam bakatnya dengan sekolah memasak di negara asalnya Paris-Prancis. Sebenarnya aku hatiku sangat berat dan tidak mengizinkan dia pergi, tapi dia memaksa dengan alasan, “Supaya masakanku semakin enak setelah kita menikah nanti.” Sehingga mau tidak mau aku mengizinkannya. Toh, dia pergi untuk menyenangkan aku juga. Lagi pula memasak memang hobinya, jadi aku tidak mau mengekang apa yang menjadi kesukaannya Bella, gadis manis yang sudah aku pacari satu tahun terakhir ini. Dia gadis blasteran Indonesia-Prancis. Sejak lahir dia tinggal di Indonesia, tetapi ketika menginjak usia lima belas tahun, dia pindah ke Paris dan menetap di sana, karena pekerjaan sang Ayah yang mengharuskan keluarganya menetap di negara yang terkenal dengan keindahan menara Eiffel-nya. Kemudian satu setengah tahun yang lalu dia datang kembali ke Indonesia untuk merawat neneknya yang hidup sendirian dan memiliki penyakit. Namun sayangnya tepat dua bulan lalu neneknya itu meninggal yang membuat Bella hanya tinggal sendiri di kota ini. “Setelah tiga bulan perpisahan ini aku akan melamarmu, lalu dua bulan setelahnya kita akan menikah. Aku sudah benar-benar tidak sabar menanti lima bulan ke depan, Bell,” ucapku sambil mengecup punggung tangannya. Bella pun tersenyum lalu mengangkat kepalanya dari bahuku untuk menatapku “Jangan terlalu ditunggu-tunggu, nanti kamu akan resah sendiri karena waktu pasti akan terasa lama, bahkan sangat lama,” ucapnya dibarengi dengan belaian lembut tangannya di pipiku. Sungguh, dengan belaian sekecil ini pun aku sudah terbuai dan membuat hatiku semakin tidak rela berpisah dengannya. Bella benar-benar wanita sempurna yang aku miliki, itu sebabnya aku sangat menyayangi dan amat sangat takut kehilangan semua yang ada pada dirinya. Selain sikapnya yang lembut, aku juga sangat menyukai senyum yang selalu menenangkan setiap kali aku tatap juga sifat dewasanya, karena memang dia lebih tua dua tahun dariku. Di saat kami sedang menikmati detik-detik perpisahan sambil saling menggenggam tangan, pengumuman keberangkatan Bella pun terdengar, sehingga mau tak mau aku harus berdiri untuk melepas kepergiannya. Aku memeluknya erat sambil terus mencium puncak kepalanya berkali-kali. Kadang juga mengecupnya dengan penuh tekanan untuk menunjukkan rasa ketidakrelaanku melepas kepergiannya. “Jangan lupa beritahu aku setelah kamu sampai. Aku akan selalu menunggu kabar darimu." "Iya, aku pasti akan memberitahumu di detik pertama aku tiba di rumah." "Ingat! Jaga selalu ini untukku." Ibu jariku aku arahkan ke dadanya tepat di mana hati berada agar dia paham apa yang harus dijaga. “Pasti!” jawabnya meyakinkan, tapi wajahnya malah menunjukkan senyum keraguan entah keraguan untuk apa. Namun, aku tidak ingin mempedulikan senyum keraguan itu dengan lebih memilih mengeratkan pelukanku dan mencium puncak kepalanya lagi guna meyakinkan kesetiaanku padanya. “Sudah, kalau kau seperti ini terus aku mungkin tidak jadi berangkat,” ucapnya sambil melepas pelukanku. Aku dengan berat hati melepas pelukan dan ciumanku di puncak kepalanya. "Aku pergi, ya," pamit Bella. "Hatiku masih sangat berat melepasmu." "Sudah kubilang, jangan mengantarku ke bandara, karena aku tahu kamu pasti akan seperti ini." "Tadinya aku tidak ingin seperti ini, tapi ternyata tidak bisa." Bella berjinjit untuk mencium pipi kananku lalu kembali menatapku. " Selama kita bersama, baru kali ini kita akan perpisahan lama. Jika kamu tidak melatih hati dan pikiranmu dari sekarang, nanti kamu akan tersiksa sendiri selama menungguku." Aku menghela nafas berat agar bisa sedikit menenangkan hatiku. "Aku pasti bisa mengatur hati ini dan akan sabar menunggumu pulang." "Aku pergi hanya tiga bulan, bukan untuk tiga tahun, jadi jangan manjakan hatimu dengan tidak pernah merasakan kerinduan." Aku langsung tersenyum mendengar Bella mengatakan aku terlalu memanjakan hatiku, karena memang selama bersama kami sangat jarang tidak bertemu lebih dari sehari semalam dan itu pun lebih banyak aku yang mendatangi dia. "Aku pasti akan kembali, sayang, jadi jangan lepas kepergianku dengan ketidakrelaaan seperti ini." "Iya, aku percaya," ucapku sambil tersenyum guna mencoba menghilangkan ketidakrelaanku. "Aku pergi sekarang," pamit Bella kedua kalinya. "Hmm," anggukku. Bella mulai melangkah membawa koper menuju pintu pemeriksaan bandara. Aku hanya bisa menatap kepergian Bella diiringi perasaan yakin dia akan cepat kembali lalu menikah denganku. Sebelum bayangannya benar-benar hilang, Bella sempat membalikkan tubuhnya untuk melambaikan tangan dan tersenyum dengan senyuman yang sendu seolah menunjukkan ini adalah perpisahan terakhir kami. Tatapannya pun mendadak terlihat sedih, tidak seperti saat meyakinkan aku beberapa menit lalu. Aku tidak mau terbawa prasangka buruk pada senyum dan tatapan sedih yang Bella tunjukkan karena tidak mau membuat hatiku tidak tenang selama kami berpisah, jadi aku lebih memilih membalas lambaian tangannya sambil berkata, "I love you." Tanpa suara, lalu mengarahkan jari telunjukku ke d**a untuk menunjukkan kata "Jaga hatimu" sampai akhirnya bayangan Bella benar-benar hilang dan aku pun pergi meninggalkan bandara. ***** Kaifa pov Tok ... tok ... tok ... "Bang, berenti di depan, ya!“ teriakku pada abang kenek metromini yang ada di pintu depan, sambil memukul pelan kaca mobil dengan koin yang kupegang, sedangkan aku berada di pintu belakang. “Ok, siap, Neng!” sahut si kenek metromini. Setelah mobil benar-benar berhenti, aku segera turun lalu menghela nafas untuk meluapkan rasa lelah karena melihat jalan dari tempat aku turun masih lumayan jauh untuk sampai ke rumahanku. Aku terus melangkahkan kakiku sambil menikmati pemandangan yang hampir setiap hari aku lewati. “Sudah dua tahun aku bekerja dengan Omah, tapi makin hari Omah malah semakin tidak bisa melepasku. Aku khawatir jika aku sudah mendapat pekerjaan baru, Omah malah berat melepasku yang bisa membuat kondisi kesehatannya menurun,” gumamku sambil berjalan dan menendang batu-batu yang ada di dekat kakiku Memang, di setiap aku izin untuk melamar pekerjaan, Omah selalu mengizinkan aku untuk libur bekerja, tapi anehnya sampai saat ini aku belum juga dapat pekerjaan. Padahal aku sudah melamar diberbagai tempat seperti rumah sakit, perkantoran, pabrik, dan ke mana pun aku sudah mencobanya. Tak peduli kerja apa pun, walaupun aku jadi Office Girl tak masalah buatku, karena aku sadari diri pada Ijazahku yang hanya lulusan SMA, yang penting aku mendapat pekerjaan dan bisa berhenti bekerja pada Omah. Namun, setiap aku melamar pekerjaan, aku hanya sampai pada tahap interview saja dan tidak pernah lebih dari proses itu. Sebenarnya, bekerja pada Omah tidak terlalu repot dan susah, malah terbilang gampang dan santai, karena aku hanya perlu menemani Omah jalan-jalan, mengurus semua keperluannya, dan menyiapkan makanannya. Terkadang juga Omah minta disuapi olehku, jika dia sedang merindukan anak perempuannya Yang menetap di Paris mengikuti suaminya. Namun, lama-kelamaan aku jenuh dengan rutinitas pekerjaan seperti itu, karena aku merasa tidak ada tantangan apa lagi pengalaman penting. Teman pun tidak banyak dan itu tidak ada yang seumuran denganku. Hanya satu yang membuat aku semangat bekerja dengan Omah, yaitu anak tampannya, yang selalu ingin aku lihat, bahkan jika boleh aku ingin menatapnya selama mungkin. Karena ketampanannya itu aku sampai menyimpan foto yang aku ambil diam-diam dari koleksi album foto Omah dan aku simpan di meja rias yang ada di kamarku, karena begitu besarnya kekagumanku pada pria baik hati dan sangat menyayangi orang tuanya. Ditambah lagi keramahan pada siapa pun yang membuat hatiku tidak punya alasan untuk tidak kagum padanya. Walau Omah sudah cukup tua dan baru memiliki satu cucu, Omah mempunyai anak yang masih muda dan tampan berusia dua puluh tujuh tahun. Dulu, kata Omah setelah lima belas tahun pernikahan dia baru hamil anak kedua, padahal Omah menikah di usia yang terbilang cukup muda yakni dua puluh lima tahun. Jadi di usia anaknya yang terbilang masih muda, Omah sudah terlihat sangat tua. Namun, satu tahun lalu setelah aku mengetahui pria yang aku kagumi sudah punya kekasih, aku sedikit kecewa bahkan patah hati. Memang bukan hakku untuk melarangnya menjalin hubungan dengan siapa pun. Namun, aku tidak rela saja idolaku dimiliki wanita lain, makannya aku ingin segera berhenti bekerja agar bisa mengurangi kekagumanku pria yang tidak mungkin aku miliki. "Ah, bodohnya aku, bagaimana aku bisa mengurangi kekagumanku padanya, fotonya saja masih aku simpan," ujar sambil memukul kepalaku. Saking serunya aku berceloteh dengan batinku sendiri, tanpa terasa aku sudah sampai di depan rumahku. “Cepat juga ternyata,” gumamku ***** Senyum indah dari bibir seorang lelaki terus saja terukir sejak tadi, saat memandang foto seorang gadis yang ia antar beberapa jam yang lalu. “Andai aku tahu kamu akan pergi, aku pasti akan memperbanyak foto tentangmu. Mengabadikan setiap momen ketika bersamamu, agar saat kita berpisah seperti ini, aku bisa memandang fotomu dalam momen apa pun. Seharusnya juga kemarin-kemarin tidak usah peduli setiap kali kamu menolak saat aku ingin foto bersamamu, jadi aku tidak kekurangan fotomu sekarang,” ocehan Rizki penuh sesal pada foto itu, seolah-olah foto itu dapat mendengar keluh kesahnya. “Tapi tidak apa, saat kita menikah nanti aku akan memperbanyak foto tentang kita dan aku tidak akan mendengarkan penolakanmu lagi jika aku ingin mengabadikan setiap momen kita” ujar Rizki lagi menyemangati diri sendiri. Saat sedang serius menatap foto Bella, tiba-tiba sebuah suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya dan memudarkan senyum yang sejak tadi terukir di wajahnya. Tok ... tok ... tok ... “Masuk!” Lina, sekretaris Rizky langsung masuk setelah mendapat izin dari bosnya dan membacakan jadwal kegiatan Rizki siang ini, karena Rizki tiba di kantor sudah menjelang jam makan siang. “Baik, Pak. Terima kasih," ucap Lina sambil mengangguk sopan ketika sudah berdiri di depan meja Rizki lalu menatap tablet di genggamannya. "Jadwal Bapak hari ini, satu jam lagi ada pertemuan dengan client di restoran Best Foods. Dilanjutkan pukul 14:30, Bapak ada rapat membahas pembangunan kantor cabang yang akan segera dibangun di Sumedang yangdi perkirakan akan sampai sore hari, lalu malamnya Bapak akan makan dengan investor dari Bandung,” paparnya tanpa mau membuang waktu dan diakhiri dengan membungkukkan badan tanda sudah menyampaikan apa yang harus disampaikan. “Baik. Siapkan materi untuk rapat dan dokumen yang aku butuhkan untuk pertemuan nanti,” “Baik, Pak. Aku permisi.” Lina langsung keluar dari ruangan Rizki. Tanpa Lina sadari, Rizki menatapnya iba. Karena Rizki tahu, jika sekretarisnya itu baru saja putus dari kekasih yang tiba-tiba menikah di luar negeri tanpa sepengetahuannya. “Pantas saja ditinggal menikah, dia seserius itu!" celetuk Rizki setelah memastikan Lina benar-benar sudah keluar. ****** “Bu, Kaifa pulang!” teriak Kaifa memanggil Tami—ibunya. “Ibu!” teriaknya lagi sambil membuka pintu kamar Tami. “Ibu pergi ke mana? Kenapa tidak ada di kamar?” gumam Kaifa, bingung. “Apa mungkin ibu ada di dapur?” tebak Kaifa lalu menuju ke dapur. “Ibu!” teriaknya lagi, tapi masih juga tak menemukan Tami. Kaifa kemudian menuju halaman belakang rumah, berharap menemukan apa ia cari. Namun sayang hasilnya tetap nihil. “Ibu ke mana, ya?” ucapnya heran saat tidak menemukan siapa pun di belakang rumah. Kemudian Kaifa memutuskan kembali ke depan untuk mencari lebih teliti. Saat melewati dapur, langkah Kaifa terhenti tepat di samping meja makan lalu mencicipi makanan yang tersedia. “Masih hangat, itu berarti ibu belum lama perginya!" gumanya, lalu melanjutkan langkahnya menuju halaman depan. Ketika sampai di halaman depan, Kaifa masih tidak menemukan Tami, hingga ia memilih duduk di teras rumahnya untuk berpikir ke mana perginya sang Ibu. Setelah beberapa menit berpikir, Kaifa memutuskan untuk mencari Tami di bagian samping rumahnya. "Jika masih tidak ditemukan juga, mungkin ibu pergi ke rumah tetangga dan aku akan berhenti mencari," ujarnya. Namun, ketika Kaifa melihat bagian samping, betapa terkejutnya ia begitu melihat Tami tergeletak di tanah dengan sapu yang masih ada di genggaman tangan. “Ibuuuu!” teriak Kaifa, panik lalu berlari menghampiri tubuh ibunya. “IBU!” panggil Kaifa sambil menepuk pipi Tami, tapi sang ibu tak kunjung bangun. "Bu, bangun, Bu!" Rasa takut terjadi jadi hal buruk dan tidak bisa ditangani sendiri, Kaifa memilih berlari ke rumah saudaranya untuk meminta bantuan. “Amaaang ... !” teriak Kaifa sambil berlari ke rumah Edi. “Ada apa, Fa. teriak-teriak gitu?” tanya Edi tak kalah panik meskipun ia belum tahu apa yang terjadi. “Ibu pingsan, Mang, di samping rumah!” “Ya ampun, Eceu!” Edi langsung berlari cepat disusul Kaifa di belakangnya “Eceu!” ujar Edi panik lalu menggendong Tami menuju ke dalam rumah. Tubuh Tami yang kurus, sudah bisa digendong oleh satu orang saja tanpa perlu meminta bantuan pada tetangga lain. Sedangkan Kaifa terus mengikuti di belakang Edi. “Eceu ... Eceu ...!” panggil Edi berusaha membangunkan Tami. “Mang, Kaifa takut ibu kenapa-napa." ucap Kaifa lirih dan sudah tidak dapat membendung buliran air yang menumpuk di matanya. “Tenang, Fa, semoga ibumu baik-baik saja.“ hibur Edi untuk menenangkan Kaifa. Kaifa hanya bisa membalas dengan anggukan kepala, sambil berusaha tersenyum disela tangisannya, tanpa bisa menghilangkan pikiran buruknya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
93.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.5K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook