bc

Istri Pengganti [BAHASA INDONESIA/ON GOING]

book_age18+
1.3K
FOLLOW
8.1K
READ
billionaire
possessive
sex
one-night stand
CEO
mistress
drama
bxg
city
affair
like
intro-logo
Blurb

Rumah tangga Matthew Drake Aryadwipura dengan istrinya, Vivian Kalomoira, nyaris hancur berantakan saat Vivian divonis oleh dokter tak akan bisa memiliki keturunan. Vivian yang masih tidak bisa menerima kenyataan lantas meminta Matthew untuk menikah lagi, dengan harapan bisa membesarkan anak tersebut selayaknya darah dagingnya sendiri.

Meskipun Matthew awalnya menolak, namun pada akhirnya dia lebih memilih untuk mengikuti permintaan Vivian. Beragam wanita pun didekati oleh Matthew untuk dijadikan istri keduanya. Mulai dari perempuan malam, kolega kerjanya, bahkan hingga cinta pertamanya. Namun sayangnya semuanya selalu gagal dan berakhir kandas begitu saja.

Matthew yang belum mau menyerah demi menyenangkan hati Vivian, lalu berusaha untuk menjadikan Amanda Roos Marilena, seorang perempuan muda yang tak sengaja dia temui di arena golf, sebagai ‘ibu pengganti’ bagi Vivian. Sikap Amanda yang lembut serta penuh empati seketika meyakinkan Vivian kalau Amanda mau menyerahkan bayinya untuk dijadikannya sebagai calon buah hatinya kelak.

Naas, hanya berselang dua bulan setelah pertemuannya dengan Amanda, Vivian malah mengalami kecelakaan yang membuatnya koma dan tak sadarkan diri. Apakah Matthew akan berpaling pada Amanda dan meninggalkan Vivian begitu saja? Ataukah Amanda akan kembali ke pelukan Caesar Maximilian, kekasihnya yang ringan tangan dan posesif?

chap-preview
Free preview
Chapter 1 - Menikah Lagi?
Sebuah mobil ambulans berhenti tepat di depan rumah sakit. Begitu pintu mobil ambulans itu dibuka, berapa orang petugas dengan sigap membantu seorang wanita yang sedang terbujur tak berdaya di atas brankar. Darah segar mengalir dari liang peranakannya. Wajahnya pucat pasi. Meskipun matanya terpejam erat, namun rintihan kesakitan masih sesekali terdengar dari dalam bibirnya. Usai melihat istrinya, Vivian Kalomoira, yang sedang hamil jatuh terpeleset dan perutnya berbenturan dengan sudut meja, untuk sepersekian detik lamanya jantung Matthew Drake Aryadwipura seolah-olah berhenti berdetak. Pemandangan horor akan bagaimana raut wajah Vivian serta teriakannya itu masih meninggalkan seberkas pilu di hatinya. Padahal tinggal menunggu lima bulan lagi hingga Matthew dan Vivian akhirnya resmi menyandang status sebagai ayah dan ibu. Hampir dua tahun keduanya menikah, dan sudah tak terhitung berapa persen kebahagiaan yang menghinggapi diri Matthew dan Vivian—dimulai sejak dua garis positif itu muncul dalam test pack-nya, hingga bagaimana semangatnya Vivian dalam memilih nama untuk calon buah cintanya kelak. Hanya berselang dua bulan setelah kepergian Rodrigo Kalomoira, ayah kandung Vivian, untuk selama-lamanya akibat kanker prostat, Matthew memutuskan untuk melamar dan menikahi Vivian. Sementara Nella Kalomoira, ibu kandung Vivian, sudah lebih dulu meninggalkannya akibat penyakit diabetes yang terus menggerogoti tubuhnya. Hubungan Matthew dengan keluarga Kalomoira yang awalnya hanya sekadar hubungan bisnis pun semakin lama berubah jadi semakin intim. Rodrigo yang tahu kalau usianya tak akan lagi panjang, lantas memberikan wasiat pada Matthew untuk menjaga sekaligus melindungi putri sematawayangnya. Namun hari ini, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Matthew merasa dirinya telah gagal melindungi Vivian. Dia terlambat mencegah Vivian dan membawanya kabur dari kubangan rasa sakit itu. “Dokter, tolong lakukan yang terbaik untuk Vivian. Please, saya sangat mencintainya,” mohon Matthew sambil memegangi tangan kanan Dokter Diksha, dokter spesialis kandungan yang ditunjuk khusus olehnya untuk mengontrol kehamilan Vivian. Ditatapnya mata lawan bicaranya dengan raut iba. “Sabar dan teruslah berdoa, Matthew. Aku akan berusaha semampuku,” kata Dokter Diksha. Dia lalu pergi ke ruang operasi tempat Vivian dilarikan dan meninggalkan Matthew sendirian. Dokter Diksha kembali menghampiri Matthew hampir dua jam kemudian. “Bagaimana keadaan Vivian, dok? Dia dan bayi kami baik-baik saja, kan?” tanyanya dengan mimik penuh harap. “Vivian baik-baik saja, tapi …” Dokter Diksha menghela nafas sejenak. “Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan bayimu,” jawabnya serius. Sepasang manik milik Matthew terbuka lebar. Seketika seluruh tungkai dalam tubuhnya terasa melemah. “A … apa?” ucapnya kaget. “Keadaan bayimu sangat kritis, Matthew. Kami sudah berusaha semampu kami untuk membiarkannya tetap hidup, tapi apa boleh dikata, Tuhan berkehendak lain,” jelas Dokter Diksha. Pupus sudah harapan Matthew. Walaupun sesungguhnya ada secercah rasa lega dalam dirinya saat dia tahu kalau Vivian baik-baik saja, tapi dia tak begitu yakin Vivian bisa menerima semua kenyataan pahit ini. “Aku boleh menengok istriku?” tanyanya. Dokter Diksha mengangguk. “Suster akan memanggilmu saat Vivian sudah sadar nanti,” jawabnya. Ditepuknya lengan Matthew dengan pelan. “Aku turut berduka atas kehilanganmu,” tutupnya. Saat seorang suster akhirnya memanggil namanya, Matthew hanya bisa memasuki kamar pasien yang suasananya dingin dan sunyi itu dengan pasrah. Dia mendapati Vivian masih terbujur di atas ranjang dengan selang infus yang menancap di tangan kanannya. Matanya terpejam, tapi saat dia mendengar ada suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya, sepasang manik itu perlahan mulai terbuka. Matthew menarik sebuah kursi dan duduk di samping ranjang Vivian. Dipeganginya punggung tangan kiri Vivian lalu dikecupnya dahi mulus Vivian selama dua detik lamanya. Dia tersenyum haru. “Hey, sayang,” sapanya. “Senang bisa melihatmu kembali.” “Aku ada di rumah sakit?” tanya Vivian yang nampak masih agak kebingungan selepas dianestesi. “Iya. Kamu terjatuh tadi dan …” “Bayi kita? Dia baik-baik saja, kan?” potong Vivian. Matthew sama sekali tidak bergumam kali ini. Raut wajahnya terlihat semakin dipenuhi dengan kesedihan. Diturunkannya selimut yang menutupi tubuhnya sampai batas pinggang lalu ditatapnya sejenak perutnya yang sudah rata itu. Vivian lanjut mengusap-usap perutnya dengan tatapan panik. “Ke mana bayi kita, Matthew? Apa dia lahir prematur? Apa dokter sudah membawanya ke ruang inkubasi?” tanyanya bertubi-tubi. Matthew masih terdiam seribu bahasa. “Jawab aku! Jangan diam saja!” bentak Vivian. Matanya mulai berkaca-kaca. Ditatapnya Vivian dengan sorot tak tega. “Bayi kita sudah meninggal, Vivian. Dokter tidak bisa menyelamatkan nyawanya,” lirih Matthew. Vivian tersenyum miring. “Tidak, tidak mungkin. Kamu pasti sedang bercanda, kan?” responnya tak percaya. Tanpa sadar Matthew menundukkan kepalanya. Dia membuang muka, tak kuasa menatap balik wajah istrinya yang nampak begitu terpukul dengan kenyataan yang baru saja diketahuinya. Vivian lanjut bicara. “Mana Dokter Diksha? Bayi kita pasti masih dirawat olehnya dan kamu cuma sedang mempermainkanku. Dokter! Dokter, sini!” ucapnya separo berteriak. Barulah Matthew mau menatap wajah cantik istrinya kembali. “Cukup, Vivian!” tegasnya. “Anak kita benar-benar sudah tidak ada!” imbuhnya. Plak! Tangan kanan Vivian mendarat sempurna di atas pipi mulus Matthew. Tamparan itu sesungguhnya tak seberapa kuat dalam hal meninggalkan rasa perih di pipinya, tapi melihat betapa hancur dan kecewanya Vivian, rasa perih itu malah turun dan berpaling ke hati Matthew. “Kamu jahat, Matthew! Kenapa kamu membiarkan dokter membawa bayi kita?! Kenapa kamu membiarkannya pergi?!” maki Vivian. “Lalu apa yang harus aku lakukan, Vivian?! Aku tak punya kuasa untuk menghidupkan orang yang sudah mati!” bentak Matthew. Tangis Vivian pecah saat itu juga. Sambil memegangi perutnya dia berbaring membelakangi Matthew. “Bayiku …,” lirihnya terisak-isak. “Sayang …,” panggil Matthew seraya mengusap-usap lengan Vivian. Diciumnya lengan dan pucuk kepala Vivian bergantian. “I’m sorry,” bisiknya. Kali ini Vivian yang tidak menyahut. Kepanikan mulai memenuhi batin Matthew saat dirinya tak lagi mendengar suara isak tangis Vivian. Semua berubah jadi hening setelahnya. “Vivian?” panggilnya sembari agak menggoyang-goyangkan tubuh istrinya. Melihat tak kunjung adanya respon, dia beranjak membalik tubuh Vivian dengan pelan, dan kekhawatiran lain langsung menggerayapi kepala Matthew saat dirinya melihat Vivian sudah tak sadarkan diri. “Suster! Tolong!” teriaknya. Vivian pasti merasa begitu shock dan kehilangan. Hal yang begitu diidam-idamkan dan ditunggu-tunggunya selama ini, dalam sekejap mata pergi begitu saja meninggalkan dirinya … ***** Sore menjelang malamnya, ayah dan ibu Matthew, Daritan dan Janneke Aryadwipura, mendatangi putra sematawayangnya ke rumah sakit. “Apa yang terjadi pada istrimu?” tanya Janneke yang merasa cemas sekaligus kesal karena Matthew baru meneleponnya tadi sore. “Vivian keguguran dan anak kami tak selamat dalam insiden ini,” jawab Matthew. Lagi-lagi kepalanya menunduk. Kalau saja dia menahan diri untuk tidak memberitahu Vivian kalau dia sudah kehilangan bayinya … Namun cepat atau lambat, Vivian harus tahu yang sebenarnya, bukan? Janneke-pun nampak begitu terpukul. “Apa dia sudah tahu soal ini?” tanyanya. “Sudah, dan Vivian sangat shock. Dia kembali tak sadarkan diri setelah tahu kalau dokter tak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan nyawa anak kami,” jawab Matthew. “Panggil kami kapanpun kamu membutuhkan bantuan,” timpal Daritan. “Kami akan selalu ada untuk kalian.” Matthew tersenyum tipis, “Thanks, dad.” “Bagaimana Vivian bisa sampai keguguran?” tanya Janneke. “Dia jatuh terpeleset dari tangga saat mau mengambil majalah dari atas rak buku, dan perutnya terbentur sudut meja …” Matthew meremas rambut tebalnya dengan frustrasi. “… harusnya aku yang membantu Vivian mengambil majalah itu, mom. Aku benar-benar bodoh. Ini semua salahku,” sambungnya. “Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, Matt. Semua sudah terjadi,” tenang Janneke sambil merangkul pundak putranya. Dokter Diksha menghampiri ketiganya beberapa menit kemudian. “Vivian sudah sadar, dok?” tanya Matthew. “Sudah, tapi … kami punya kabar buruk,” jawab sang dokter sambil melepas masker yang menutup separuh wajahnya. “Kabar buruk apa?” tanya Matthew seraya mengernyitkan dahi mulusnya. Dokter Diksha terdiam sejenak sebelum kembali bicara. “Kami terpaksa mengangkat rahim Vivian. Rahimnya tak terselamatkan lagi akibat benturan keras pasca insiden itu,” jawabnya. “Jadi itu artinya … Vivian tak akan bisa hamil lagi?” tanya Matthew yang nada bicaranya terdengar sedikit bergetar. Dia nampak begitu putus asa. Kapan penderitaan ini akan berhenti membelenggu dirinya dan juga istrinya? “Maaf, tapi ini satu-satunya hal terbaik yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan nyawa Vivian, Matthew,” tutur Dokter Diksha. **Enam bulan kemudian** Berkat obat-obatan dan terapi canggih yang dilakukan Dokter Diksha, kondisi kesehatan Vivian berangsur-angsur membaik. Sayangnya, hal itu berlaku hanya untuk fisiknya saja, tapi tidak dengan psikisnya. Saat pertama kali mengetahui kalau dirinya sudah tak bisa punya keturunan, Vivian benar-benar mogok makan dan minum. Dia juga sama sekali tak mau minum obat. Berhari-hari lamanya dia mengurung diri di dalam kamar, enggan bertemu dengan orang lain termasuk suaminya. Vivian juga menolak dengan keras saran Matthew untuk mengadopsi anak. Baginya itu tak akan bisa menggantikan mendiang anaknya yang telah pergi. Dan satu hal yang paling membuat hati Matthew teriris adalah kenyataan kalau dirinya seringkali mendapati Vivian tidur di dalam kamar yang seharusnya jadi kamar bayinya—persis di dekat boks bayi serta beberapa buah boneka bayi yang Vivian larang untuk singkirkan apalagi buang. Seperti saat ini, waktu menunjukkan pukul tujuh lewat lima pagi saat Matthew mendapati Vivian sedang tertidur di atas lantai karpet di samping boks bayinya. “Sayang?” panggil Matthew sambil mengusap-usap pipi Vivian, yang membuatnya terbangun selang beberapa detik kemudian. “Jangan bilang kamu ketiduran lagi di sini?” tanya Matthew sebal. Vivian tersenyum. “Cuma ini yang bisa menenangkan hatiku, sayang,” jawabnya lembut. Dia duduk di atas lantai lalu lanjut memakai jubah tidur berbahan satin yang Matthew bawakan untuknya. “Kamu di sini sejak tadi?” tanyanya. Matthew menggeleng dengan serius. “Belum ada lima menit yang lalu,” jawabnya, yang nampak masih agak jengkel dengan kelakuan istrinya. Vivian lanjut bicara sambil memandangi dan memegangi boks bayinya, “Kadang aku merasa kalau bayi kita masih ada di sini, tidur di dalam boks bayinya. Aku bisa membayangkan bagaimana tangannya yang kecil, suara tangisannya …” “Aku membelikanmu hadiah. Mau lihat?” potong Matthew. Bukan karena dia tidak merasa sedih karena sudah kehilangan bayinya. Dia pun merasa sedih, namun dia tahu, meski bagaimana pun juga, hidup harus tetap berjalan. Dan Matthew sengaja membelikan Vivian banyak hadiah dan barang-barang favoritnya, dengan harapan hal itu bisa sedikit menghibur hatinya. “Sungguh? Hadiah apa?” tanya Vivian penasaran. Diambilnya sebuah goodie bag besar warna merah muda bertuliskan ‘Dior’ dari dalam kamar tidurnya, lalu diberikannya untuk Vivian. “Tada,” kata Matthew seraya menyerahkan goodie bag tersebut. “Ini koleksi parfum dan dress musim panas keluaran terbaru dior untukmu. Bagaimana? Kamu suka?” tanyanya. Diperhatikannya isi goodie bag itu untuk sejenak lalu ditatapnya wajah tampan Matthew kembali dengan senyum tipisnya. “Thanks, sayang,” ujar Vivian acuh tak acuh. Tidak ada ketulusan dalam senyumnya. Hanya sebuah senyum yang terlihat dipaksakan, agar Matthew tidak bertanya dan mengkhawatirkan kondisinya. Namun Matthew yang lihai dan peka bisa dengan mudah menangkap maksud senyum palsu itu. “Vivian …,” panggilnya resah. Ditangkupkannya wajah Vivian dengan kedua tangannya. “Tersenyumlah sedikit untukku, sayang. Aku benci melihatmu terus-terusan murung seperti ini. Kamu menyakiti hatiku,” mohonnya. “Sebenarnya aku juga tak suka lama-lama bersedih begini, tapi apa boleh buat? Hatiku tak bisa berdusta, Matthew. Aku masih rindu dengan bayi kita,” aku Vivian. Diciumnya bibir Vivian selama lima detik. “Apa yang harus aku lakukan untuk bisa menghilangkan rasa sedih di hatimu?” tanya Matthew. Vivian belum mau mengutarakan isi hatinya. Dia mencium balik bibir Matthew yang lembut dan kenyal itu. “Aku mencintaimu,” bisiknya. “Aku juga mencintaimu, sayang,” sahut Matthew seraya tersenyum. Selesai mengumpulkan semua keberaniannya, barulah Vivian berani mengucapkan apa yang belakangan hari ini mengganggu isi kepalanya. Sebuah ide, yang menurutnya memang konyol tapi sayang kalau tidak dicoba. Sambil memainkan jari-jari tangan kanannya yang lentik itu di atas garis rahang Matthew yang tajam, Vivian lanjut bicara. “Sayang … Jika aku menyuruhmu untuk menikah lagi, apa kamu akan menuruti permintaanku?” tanyanya. ♥♥TO BE CONTINUED♥♥  Akhirnya novel 'Istri Pengganti' bisa update juga hehe~ Jangan lupa tap love, krisan atau komentarnya ya trims ♥

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.3K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.1K
bc

My Secret Little Wife

read
84.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook