bc

Mas Dokterku 2

book_age18+
8.0K
FOLLOW
63.8K
READ
love after marriage
sensitive
doctor
drama
comedy
sweet
icy
female lead
realistic earth
love at the first sight
like
intro-logo
Blurb

Udah baca Mas DokterKu yang pertama? Kalau belum, silahkan baca dulu baru mampir ke cerita ini.

Slow update, sangat. Jadi jangan minta update cepat-cepat.

chap-preview
Free preview
Part 1
Benar kata orang, hal yang lebih sulit itu adalah mempertahankan. Tapi, apa yang harus dipertahankan jika sejak awal kita tidak memiliki apa-apa? ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Bulan madu? Hal itu tidak pernah terjadi. Ucapan Falisha saat pesta pernikahannya kepada Galih hanya menjadi omong kosong belaka karena setelahnya rumah sakit menghubungi Gibran dan memberitahukan bahwa ada seorang anak yang memerlukan tindakan operasi darurat namun tidak ada dokter yang bisa melakukannya. Demi kewajibannya, Gibran pada akhirnya membawa Falisha kembali ke aparteman, dan bahkan tanpa mengantarkan Falisha ke atas, mobil Gibran seketika melaju meninggalkannya. Marah? Tentu saja Falisha ingin marah. Lebih dari itu dia merasa kecewa. Bagaimana tidak, ini malam pertamanya tapi suaminya malah menghabiskan waktunya untuk mengurusi pasiennya. Namun Falisha bisa apa? Gibran bukan wiraswasta seperti ayahnya yang bisa menghabiskan watu sesuai dengan keinginannya. Suaminya itu memiliki sumpah yang harus mengedepankan pasien di atas segalanya. Yang salah disini adalah dokter lain yang malah tidak ada saat rumah sakit memerlukannya. Ya, yang salah itu rumah sakit. Bukan Gibran. Ucap Falisha pada dirinya sendiri dalam upayanya untuk meredakan amarahnya atas kegagalan bulan madunya. Falisha berjalan terus menuju lift dan membawanya ke lantai apartemen mereka. Di koridor, ia kembali berpikir harus kemana dia masuk? Pintu yang satu adalah apartemen milik suaminya—yang seharunya Falisha dan Gibran tempati. Sementara pintu yang satunya lagi adalah pintu apartemen pamannya yang selama ini dia dan sepupu-sepupunya tempati. Disana masih ada beberapa barang milik Falisha yang masih tertinggal. Sementara di tempat Gibran, tidak ada satu pun barang miliknya karena sampai sejauh ini, Falisha memang tidak pernah masuk dan menjelajahi tempat itu lebih jauh. Yang ia tahu dari unit pria yang kini menjadi suaminya itu hanyalah dapur, kamar mandi dan juga ruang tengahnya. Bukan karena Falisha tidak ingin. Tapi ia tidak punya waktu. Hubungannya dengan Gibran bahkan tidak mengalami romansa pada umumnya. Mereka tidak pernah berkencan seperti menghabiskan makan malam berdua dengan mesra atau jalan-jalan di tempat umum seraya berangkulan seperti para pasangan di mabuk cinta umumnya. Semua waktunya dihabiskan dengan masa pengobatan dan pemulihan. Yang ada, Gibran menemuinya seperti dokter yang mengunjungi pasiennya. Bahkan saat prosesi lamaran dan penentuan pernikahan pun, mereka tidak berkecimpung langsung seperti pasangan lainnya. Semuanya mereka serahkan pada orangtua dengan alasan tak ingin membuat Falisha kelelahan. Apa dirinya memang selemah itu? Sekarang, saat ia berada di persimpangan pintu, ia pada akhirnya merasa malu sendiri. istri macam apa yang bahkan tidak pernah tahu warna seprai apa yang biasanya suaminya gunakan. Disaat orang lain bahkan tahu ukuran celana dalam yang pasangan mereka pakai. Menarik napas panjang. Falisha akhirnya berjalan masuk menuju unit milik kakak sepupunya sekaligus pamannya. Tapi saat ia hendak membuka pintu, Falisha kembali dilanda bingung. Apa yang harus dilakukannya di sana? Tanyanya pada diri sendiri dengan dahi yang tanpa sadar tengah berkerut. Ia sudah mandi. Ia juga sudah wangi. Berganti pakaian? Falisha menunduk dan melihat gaun di bawah lutut berlengan panjang yang ia kenakan. Dia sudah mengenakan pakaian yang rapi. Pakaian yang seharusnya kini ia gunakan untuk melakukan perjalanan jauh bersama suaminya, tapi berakhir sia-sia. Pikiran batal berbulan madu kembali membuat Falisha sedih. Falisha kembali menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kesal. Ia bergerak, berjalan menuju unit suaminya. Haruskah ia menunggu suaminya? Ia menggelengkan kepalanya pelan. Menunggu Gibran selesai melakukan operasi sama saja dengan menunggu telur menetas. Akan memakan waktu lama dan hanya akan membuatnya kesal. Falisha akhirnya berjalan masuk dan menyalakan lampu ruangan yang ada di dinding. Ia cukup terkejut ketika melihat ruangan itu berubah dari saat terakhir ia masuk ke dalamnya. Berapa lama itu? bukankah terakhir kali Falisha masuk ke sana adalah saat Gibran bertengkar dengan mantan suaminya Davina? Tapi dulu, disana hanya ada sofa kulit berwarna hitam yang terkesan monoton dan televisi layar datar besar tanpa ada hiasan apapun. Sementara sekarang? Sofa kulit itu sudah berganti menjadi sofa berbungkus beludru berwarna abu tua yang dihiasi dengan beberapa bantal berbungkus sarung bantal rajut berbahan wol. Di dinding di bagian atas televisi juga sekarang sudah dipasangi figura-figura berisi foto saat mereka berdua menghabiskan waktu yang tidak banyak itu. Terharu? Tentu saja Falisha terharu. Hanya melihat sedikit perubahan itu saja sudah membuatnya semakin jatuh cinta pada suaminya. Matanya berkaca-kaca karena airmata bahagia. Ah, seandainya saja Gibran ada disana. Falisha akan dengan senang hati memeluk suaminya itu tanpa berniat melepaskannya. Dia akan memaafkan insiden gagalnya bulan madu mereka kali ini. Dengan senandung riang, Falisha berjalan masuk menuju salah satu pintu yang ia tahu merupakan kamar Gibran. Kamar luas itu, entahlah, masih sama atau sudah berubah karena Falisha tidak tahu. Yang jelas ruangan itu didominasi dengan warna silver dan abu tua. Benar-benar tampak maskulin di mata Falisha. Kasur berukuran king size nya juga ditutupi dengan bed cover berwarna biru kehitaman polos. Di kedua sisi tempat tidur ada nakas yang masing-masingnya diletakkan lampu tidur. di kamar itu, tidak ada satu pun foto. Yang ada hanya sebuah rak buku tinggi yang berisi berbagai macam buku kedokteran dan juga meja kerja lengkap dengan satu set PC all in one berwarna putih dengan layar besar. Falisha berjalan menuju salah satu dinding yang sepenuhnya merupakan kaca. Membuka gordennya lebar-lebar sehingga ia bisa melihat pemandangan kota. Ia membuka salah satu jendela yang cukup tinggi dan membiarkan udara masuk ke dalam kamar. Kenapa rasanya berbeda. Padahal pemandangan yang dilihatnya dari kamar Gibran dan juga dari kamar yang selama ini ia tempati di apartemen Gilang sama saja. Tentu saja berbeda. Karena dulu, ia masih lajang. Sementara sekarang, dia sudah menjadi istri seseorang. Ya. Jika dulu orang-orang memanggilnya Fali, Falisha atau Nona Levent. Kini namanya sudah berubah menjadi Nyonya Gibran. Falisha terkekeh sendiri. mendengar dirinya dipanggil dengan sebutan Nyonya Gibran membuat perasaannya senang seketika. Ya Allah, inikah namanya cinta? Hanya karena hal sesederhana ini saja dia bisa merasa berbunga-bunga. Falisha meraih ponsel dari dalam tas selempangnya. Membuka layarnya yang menunjukkan fotonya saat berdua dengan Gibran. Ibu jarinya mengusap layar dengan lembut seraya memandangnya dengan wajah penuh harap. "Mas Gibran, cepat pulang. Ayo kita honeymoon trus bikin banyak anak yang mirip kayak Fali dan Mas. Ya ya ya." Ucapnya antusias dan kemudian mengecup benda pipih itu berkali-kali. Masih dengan senyum yang tak lepas di wajahnya, Falisha melepaskan tas selempangnya. Meletakannya sembarangan di atas meja kerja Gibran dan berjalan menuju lemari pakaian suaminya. Dia akan mencoba mengenakan sesuatu yang seksi. Pikirnya dalam hati. Bukankah di drama-drama yang biasanya dia tonton para pria suka melihat wanita mengenakan pakaian mereka? Falisha kembali terkekeh sendiri. ia membuka pintu lemari Gibran lebar-lebar dan kemudian terbelalak. Ya Tuhan, serapi ini kah suaminya? Tanyanya pada diri sendiri. lemari Gibran benar-benar tertata rapi. Kemeja, celana, kaus dan bahkan jas nya disimpan sesuai dengan jenis mereka masing-masing. Semua isi lemari itu Falisha buka. Termasuk tempat penyimpanan dasi, kaus kaki dan juga celana dalam. Seketika ia merasa malu sendiri karena dirinya tak pernah serapi itu. bisakah ia mengimbangi Gibran? Tanyanya ragu. Falisha melangkah mundur. Masih memandangi isi lemari dengan tatapan takjub. Lalu kemudian dia mengangguk dengan antusias. "Semua orang pernah gagal dalam percobaan pertama, bukan begitu?" ucapnya untuk menyemangati dirinya sendiri. senyum kembali terbit di wajahnya. Jemarinya yang lentik menyentuh satu-persatu pakaian Gibran. "Jadi, apa yang bisa membuat Mas Dokter nya Fali tergoda?" tanyanya lagi pada diri sendiri. Lantas gerakan tangannya terhenti pada satu kemeja putih yang tergantung. "Tentu saja, kemeja lengan panjang yang hanya sampai sebatas paha selalu dipakai para wanita di drama Korea, bukan begitu?" ucapnya seraya mengeluarkan kemeja itu dari dalam lemari. Falisha kembali menutup semua pintu lemari, berharap Gibran tidak menyadari apa yang sudah dia lakukan. Jika nanti Gibran bertanya alasan dia mengenakan pakaian pria itu, Falisha bisa menjawab. 'Karena semua pakaianku ada di rumah, dan juga koper yang ada di mobil Mas'. Dengan pemikiran itu, Falisha segera mengganti dresnya. ____________________________________________ Yang rindu Fali-Gibran mana suaranya???? Jangan lupa untuk klik ♥️ dan komen ya ..

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Switch Love

read
112.5K
bc

You're Still the One

read
117.3K
bc

Mas DokterKu

read
238.6K
bc

Cici BenCi Uncle (Benar-benar Cinta)

read
199.8K
bc

Bukan Ibu Pengganti

read
526.0K
bc

Unpredictable Marriage

read
280.6K
bc

I Love You, Sir! (Indonesia)

read
260.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook