bc

(Indonesia) FANTASY

book_age0+
2.3K
FOLLOW
31.7K
READ
arranged marriage
goodgirl
drama
twisted
like
intro-logo
Blurb

Trevor Simons sebatang kara sejak berusia 15 tahun. Orangtuanya terjangkit sebuah wabah mematikan di desa mereka di Tilba. Hanya Trevor dan kakaknya, Kristella, dan anak-anak lainnya yang di evakuasi ke tempat aman oleh pemerintah setempat. Ketika wabah berhasil diatasi, Kedua orang tua Trevor telah meninggal.

Kristella, kakak perempuan Trevor memutuskan untuk mencari pekerjaan di Sydney demi sang adik dan mempercayakan satu-satunya bibi di Tilba untuk mengasuh Trevor. Meski perlakuan keluarga sang bibi tak pernah baik, Trevor tetap bertahan dan percaya bahwa suatu hari kakaknya akan menjemputnya.

Sebuah kabar tentang kakaknya yang menghilang di Sydney dan dinyatakan meninggal membuat Trevor kehilangan segalanya bahkan bibinya ingin menempatkannya ke penampungan anak-anak.

Tak ingin berada di tempat demikian, Trevor kabur dari rumah sang bibi, tepat di usia 15 tahun. Dia berlari semampunya, menaiki kereta yang akhirnya membawa dirinya ke Melbourne. Dia kelaparan, compang camping dan tak memiliki tenaga. Hingga pada suatu hari dia pingsan tepat di depan kediaman duta Perancis.

Seorang koki membawa Trevor ke dalam rumah dan memberi pemuda tanggung itu makan. Kasihan mendengar pengakuan Trevor yang sebatang kara serta kelaparan, sang koki memohon majikannya untuk memberikan pemuda itu pekerjaan sebagai pengangkut s**u untuk membantunya.

Trevor memiliki tempat tinggal dan makanan serta pekerjaan buruh yang amat disyukurinya. Dia berterima kasih pada Bernard, sang koki yang menganggapnya anak.

Di usia 20 tahun, Trevor bertemu nona majikan yang cantik, Sybille Dubois. Trevor jatuh cinta untuk pertama kalinya. Namun merasa tak sebanding untuk bersama Sybille. Baginya Sybille merupakan fantasi yang selalu hadir di tiap mimpinya. Dekat namun tak terjangkau.

chap-preview
Free preview
PROLOG
London, Musim Gugur. Kastil Randall. Daun-daun kering musim gugur di tahun itu tampak berguguran dan berjatuhan ke permukaan hijau rumput yang terbentang luas di halaman sebuah kastil megah yang terdapat di salah satu kawasan penting di London. Kastil yang fenomenal dan selalu menjadi kekaguman banyak kalangan karena para penghuninya yang menjadi salah satu keluarga favorit di London. Kastil yang banyak menyimpan kenangan penuh cinta, suka cita, keriuhan anak dan cucu, dan cerita manis dan pahit yang menggema di tiap sudutnya. Hingga kini kastil itu masih berdiri kokoh dengan segala kenangan yang tak terlupakan, menyaksikan perkembangan cinta tiap penghuninya, saksi sepanjang masa atas seluruh cinta yang terdapat di dalamnya. Pria itu duduk bersandar di salah satu kursi tunggal yang ada di salah satu kamar di kastil tersebut. Sepasang matanya meredup menatap daun-daun yang berguguran melalui jendela kamarnya yang terbuka, di salah satu ruang di kastil tersebut, di lantai tertinggi kastil dan gemeratak suara kayu bakar di perapian menjadi suara latar yang merdu. Sore itu terasa dingin dan pria itu hanya merapatkan sedikit selimut tebal yang berada di kedua bahunya. Mata hijau pekatnya tampak mengikuti gerak daun-daun yang berguguran dan bibirnya yang terkatup tampak membentuk senyum tipis, bergerak lambat mengucapkan sepotong nama penuh rasa cinta. "Sybille..." Pintu kamar itu berderit pelan dan sang pria menoleh. Dia melihat dua orang pria kembar memasuki kamarnya yang hangat, menutup pintunya dan salah satunya yang berambut gelap dengan sedikit ikal, tersenyum padanya. Pria satunya lagi, yang dibalut kemeja pas badan dengan kedua lengan digulung hingga siku, melangkah mendahului pria pertama yang tersenyum pada sang pria. Di wajahnya yang tampan dan serupa dengan kembarannya menatap pria yang kini menatapnya dengan pandangan sayang, tampak cemas. "Kakek Treve, bagaimana kondisimu? Bukankah angin musim gugur tidak baik bagi kesehatanmu?" Pria muda itu berlutut di dekat kursi sang pria tua yang kini tersenyum padanya. Pria muda itu menoleh adiknya yang dengan pelan menghampiri kursi. "Theo! Kau bisa memeriksanya bukan?" serunya cemas. Sang adik dengan senyum kecilnya, menatap pria tua yang tengah menatapnya dengan sepasang mata hijaunya yang berkilat, memberi isyarat bahwa dia baik-baik saja. Pria muda itu meletakkan tas dokternya dan merogoh saku jas putihnya yang tak sempat dilepasnya saat keluar dari ruang prakteknya. "Kau memanggil kami bukan untuk diperiksa olehku. Aku benar kan, Kakek Trevor?" dia melirik kakaknya yang mengerutkan dahinya dan tertawa. "Jangan pasang wajah cemas seperti itu, Bastian." Dia menepuk bahu yang dibalut kemeja ekslusif itu dengan tenang. "Bibi Maribell mengatakan bahwa Kakek Trevor tak pernah beranjak dari kamar ini!" pada pria tua itu dia menatap dengan pancaran mata menegur. "Kau bahkan tak menghabiskan makanan yang dimasak Bibi Maribell." Trevor Simons tertawa pelan mendengar gerutuan pria muda yang berlutut di dekat kursinya, menggerakkan tangan keriputnya pada rambut cokelat terang itu. "Oh, Lucas. Kau sama sekali tidak berubah. Sejak kecil kau selalu tidak sabaran persis ayahmu. Warna matamu saja yang mirip dengan ibumu namun tidak dengan sikap tenangnya." Dia menunjuk kursi lainnya di ruang itu. "Ambillah kursi itu, duduklah di dekatku." Dia mengalihkan matanya pada sosok jangkung lainnya yang berdiri diam di sampingnya. "Kau juga Abraham. Ambillah kursi di sana." Lucas Randall dan Abraham Randall menuruti perintah Trevor, mengambil kursi masing-masing dan duduk menghadap Trevor, membelakangi jendela terbuka di kamar itu, membiarkan punggung lebar mereka di sentuh semilir angin yang memasuki kamar tanpa mengenai secara lansung pada pria tua yang kini terlihat amat penuh vitalitas seperti di masa lalu. Trevor menegakkan punggungnya, menekan kedua tangannya di lututnya dan menatap kedua pria muda itu dengan senyum di matanya. "Bagaimana kabar ayah dan ibu kalian?" dia membuka percakapan dengan santai. Lucas memilih untuk menjawab. "Mereka baik-baik saja. Seperti biasa menikmati hari-hari mereka di rumah. Dad masih merancang beberapa bangunan bersama paman-paman." "Dan ibu kalian?" kali ini tatapan Trevor jatuh pada Abraham yang selalu tidak banyak bicara dan menyimak tiap percakapan dengan seksama. "Apakah dia masih suka melukis?" Abraham menjawab dengan tersenyum. "Dia berencana akan membuka pameran lagi di salah satu taman terbuka bulan depan bersama Bibi Romi dan lainnya untuk penggalangan dana bencana alam." Dia menampilkan tatapan sayangnya saat mengingat sang ibu. "Mom sangat mencintai melukis." Trevor terkekeh. "Delilah mencintai melukis sebelum dia mengenal ayahmu dan memiliki kalian. Apa kalian tahu bahwa akulah yang membawanya ke altar saat akan menikah dengan ayah kalian?" melihat tatapan ingin tahu kedua pria di depannya, Trevor menatap jendela kamar yang terbuka di belakang punggung keduanya. "Ibu kalian sangat cantik dan ayah kalian begitu tampan. Aku sangat bangga membawa Ibu kalian menuju altar menggantikan kakek kalian, Buck Hawkins." Trevor terdiam dan memejamkan matanya sejenak seakan tenggelam dalam kenangan masa itu. Lucas dan Abraham tak ingin mengganggu detik di saat Trevor membawa kembali dirinya ke masa lalu. Mereka saling bertatapan dan kali ini Abraham menampilkan sorot cemas seperti yang diberikan Lucas pada sepasang matanya. Abraham menyentuh pelan lutut Trevor. "Apa aku boleh memeriksa nadimu?" Masih dengan mata terpejam, Trevor berkata tenang. "Bagaimana adik kalian, Faith?" Lucas menghembuskan napas lega dan menjawab dengan cepat. "Oh, dia berada di Amerika. Entah apa yang dilakukannya dengan gelar baristanya itu." Abraham menyenggol lutut Lucas dengan keras. "Dia memiliki kafe sendiri dan sangat laris!" dia menghujamkan mata hijaunya yang sama seperti milik Lucas. "bahkan Dad mengakuinya!" Lucas mengangkat bahunya dan berkata, "Yeah, seharusnya dia mengurus perusahaan Mom di Ottawa. Menggantikan dirimu yang menolak mentah-mentah menjadi CEO dan memilih menjadi psikiater!" Abraham tertawa dan menjawab anteng. "Tapi aku berada di Ottawa. Jadi kau tak perlu mengomel seperti itu." dia menatap Trevor yang menyeringai mendengar perdebatan yang selalu terjadi antara dirinya dan Lucas jika membahas warisan nyata kedua orang tuanya. "Apapun itu adalah pilihan kalian. Bahkan orangtua kalian tak memaksakan kehendak. Dan kulihat kau menikmati hidup dan posisi CEOmu di Perusahaan Web Randall di Canberra, Luc." Trevor meneliti penampilan Lucas yang sempurna. "Kau mirip kakekmu yang perlente. Tapi sayang, kakekmu bersih dari semua tato itu." dia menunjuk sepanjang lengan Lucas yang dipenuhi tato. "Kuharap saat berada di kantor kau tak menunjukkan semua gambar itu." Lucas tertawa pelan dan memajukan tubuhnya. "Apa yang membuatmu memanggil kami kemari hari ini, kek?" dia mengajukan pertanyaan penasarannya. Trevor tertawa dan meraih bungkus rokok di atas meja di samping kursinya. Lucas ingin menghentikan kebiasaan merokok Trevor mengingat usia tua pria itu namun dengan halus Abraham menggelengkan kepalanya. Atas larangan adik kembarnya, Lucas menutup mulutnya dan menanti apa yang akan dikatakan pria tua di depan mereka. Trevor menghembuskan asap rokoknya ke udara, menyandarkan punggungnya di sandaran kursinya yang empuk. "Aku ingin berbincang bersama kalian." Dia menatap Lucas dan Abraham yang kini menyadarkan punggung mereka dengan santai. "Banyak hal yang ingin kuceritakan pada kalian. Tentang hidupku sebelum bersama keluarga Randall yang tak diketahui kakek dan ayah kalian." Abraham tersenyum. "Mengapa pada kami? Apakah Kakek Adam dan Dad tidak pernah tahu seperti apa kau sebelum bersama kami? Apa Bibi Maribellpun tak tahu? Katrina?" "Apakah kisah hidupmu luar biasa seperti sepak terjangmu selama ini yang dikatakan Kakek? Kau adalah mantan polisi, pencari informasi jitu dan penembak ulung pada masa itu? seorang pria dingin yang mempesona, begitu kata kakek." Trevor tertawa menggetarkan dadanya. "Jauh sebelum itu aku bukanlah siapa-siapa, Luc. Aku hanyalah anak laki-laki yang tak beruntung." Dia kembali mengisap rokoknya dan menghembuskan asapnya di ruangan itu yang kini menjadi sunyi. Trevor menunduk menatap rokoknya, pada baranya yang kemerahan. Kembali dia menatap kedua pria muda di hadapannya yang membalas menatapnya dengan tak sabar. "Tapi aku jatuh cinta." Lucas dan Abraham tetap diam namun jantung keduanya berdebar tegang dan penuh rasa penasaran. "Pada nenek Sybille? Atau pada wanita sebelum Nenek Sybille?" Lucas bertanya ragu. Trevor menjentikkan abu rokoknya. "Hanya ada satu wanita dalam hidupku. Sybille Dubois." Kilat di mata hijau Trevor tampak bersinar penuh cinta. "Hanya dialah yang menulis kisah indah di dalam hidupku yang suram. Tapi kisah kami bukanlah kisah cinta pangeran dan puteri dalam kisah Disney." Tanpa sepengetahuan Trevor, Abraham mengeluarkan ponselnya, mencari aplikasi perekam dan mulai melakukan rekaman pada apa yang akan diceritakan Trevor Simons. Sementara Lucas menunjukkan rasa tertariknya yang hebat. "Ceritakanlah pada kami. Masa kecilmu, hidupmu, dan kisah cintamu bersama Nenek Sybille." Dia berkata dengan menggebu-gebu. "Dan jika kelak kau mengijinkan, aku dan Theo akan menceritakannya pada Katrina." Trevor membayangkan wajah cucunya yang cantik, Katrina Potter yang halus dan lembut seperti ayahnya. Dia mengangguk dan tersenyum. "Ya, kalian boleh menceritakan pada Katrina apa yang kalian dengar dan kalian rekam tiap kalimatku." Dia menatap wajah Abraham yang memerah. "Kau tahu." Abraham mengeluarkan ponselnya secara terang-terangan dan meletakkan benda itu di atas meja. "Ternyata kau masih hebat dalam hal menebak." Trevor terkekeh puas. "Aku masih tetap Trevor Simons yang dianggap setan oleh Kakek kalian meski sudah begini tua." Dia menunjuk pelipisnya. "Tapi di dalam sini tak pernah menua." Lucas dan Abraham bertatapan dan Lucas menertawakan adiknya yang salah tingkah. Dia berkata dengan nada menggoda Abraham. "Kau butuh seratus tahun untuk mengecoh Kakek Trevor!" dia tertawa dan membuat Abraham mengembangkan kedua tangannya, menyerah. Trevor melumat ujung rokoknya di asbak dan melipat tangannya dalam bentuk sebuah kepalan erat. "Aku kehilangan kedua orang tuaku di usia 10 tahun dan disusul menghilangnya kakakku di Sydney. Di usia 15 tahun aku sudah menjadi yatim piatu dan itu terjadi jauh sebelum aku bertemu Sybille."

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Om Bule Suamiku

read
8.8M
bc

Playboy Tanggung Dan Cewek Gesrek

read
462.1K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
52.3K
bc

The Perfect You (Indonesia)

read
289.5K
bc

Om Tampan Mencari Cinta

read
399.7K
bc

I Love You, Sir! (Indonesia)

read
260.3K
bc

PEMBANTU RASA BOS

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook