bc

The Guy and Little Girl (INDONESIA)

book_age18+
3.4K
FOLLOW
24.3K
READ
revenge
family
fated
second chance
tragedy
twisted
sweet
humorous
city
prostitute
like
intro-logo
Blurb

“Apa maksudmu? Kau kira aku masih anak SD?”

Sekali lagi Alan tersenyum berusaha menenangkan. Dia seperti menghadapi anjing kecil yang terluka. Kalau dirinya bertindak kasar dan gegabah, bisa-bisa anjing itu malah kabur atau bahkan menyerangnya.

“Kalaupun kau sudah SMP, tetap saja belum boleh datang ke tempat seperti ini.”

“Dasar menyebalkan! Kau sok kenal sekali.” Bentak gadis itu galak lalu berbalik berusaha menjauhi Alan.

Lagi-lagi Alan menangkap lengan gadis itu. “Aku akan mengantarmu pulang. Siapa yang menemanimu datang ke sini?”

“Hei, Tuan pemilik tempat ini. Dengarkan baik-baik! Aku sudah dua puluh enam tahun. Aku sudah cukup dewasa untuk datang ke tempat manapun yang aku mau tanpa pengawasan. Kau mengerti?” gadis bernama Destia itu berusaha melepaskan cengkeraman Alan namun gagal.

“Berbohong itu tidak baik, gadis kecil. Aku tetap akan mengantarmu pulang. Katakan saja alamat rumahmu.” Tanpa mau memperpanjang perdebatan lagi, Alan setengah menyeret Destia menuju pintu depan Fly Club.

Bagian dari Trilogy of Night Club

1. Kekasih Akhir Pekan

2. Polisi Penggoda

3. The Guy and Little Girl

------------------

Post Dreame : Rabu (13.07), 12 Mei 2021

Status : On Going

Copyright © 2021 by Aya Emily

chap-preview
Free preview
Satu
Rabu (13.09), 12 Mei 2021 ------------------- Semua mata tertuju pada wanita yang sedang meliukkan tubuhnya mengikuti alunan musik di lantai dansa Fly Club. Bukan hanya karena lekuk tubuhnya yang dibalut gaun seksi selutut mampu menarik perhatian, melainkan juga paras cantiknya yang terlihat imut dan manis seperti remaja polos. Di tambah lagi postur tubuhnya yang tidak sampai seratus lima puluh centi meter, membuatnya benar-benar terlihat seperti remaja tiga belas tahun. Walau sebagian besar pengunjung menganggap wanita itu adalah gadis kecil yang baru masuk SMP, namun tidak ada yang mencoba menegur. Jangan pernah mencoba mengganggu urusan orang lain kalau urusanmu sendiri tidak mau di ganggu, begitulah prinsip hampir semua orang di club itu.   Wanita itu seperti tidak menyadari perhatian orang-orang di sekelilingnya. Entah karena terlalu cuek atau karena dia sudah mabuk berat. Dengan liar dia terus bergoyang hingga rasa mual itu datang, mengaduk perutnya dengan ganas lalu naik ke kerongkongan. Buru-buru wanita itu menyingkir dari lantai dansa. Jalannya sempoyongan menandakan dia sudah kehilangan setengah kesadaran karena minuman beralkohol. Penglihatannya sedikit berkunang-kunang. Perutnya terus bergolak. Kedua kakinya sudah tidak bisa menapak dengan benar. Semua itu diperparah dengan kenyataan bahwa dia baru pertama kali datang ke club itu. Tentu saja dia tidak tahu dimana letak toiletnya. Dengan terhuyung, wanita itu melangkah menuju meja bar. Daripada menanyai pengunjung lain yang belum tentu tahu, lebih baik dia langsung bertanya pada pegawai di club itu. “Permisi, bisa tunjukkan dimana toilet?” wanita itu bertanya pada seorang bartender yang sedang menyajikan minuman. “Lurus saja ke sebelah sana.” Bartender itu menunjuk ke sebuah arah. “Di sana ada papan petunjuknya. Ikuti saja.” “Terima kasih.” Gumam wanita itu. Dia segera menyeret tubuhnya menuju arah yang ditunjuk si bartender, walau dia merasa penjelasan lelaki itu kurang detail. Dia bahkan tidak bisa menebak di sana yang dimaksud si bartender itu tempat semacam apa? Apa papan petunjuknya di tempel di meja, kursi atau mungkin di dahi seseorang? Wanita itu merasa sudah berjalan bermil-mil jauhnya tapi belum juga menemukan papan petunjuk yang dimaksud. Sempat dia berpikir untuk kembali menemui si bartender, tapi gumpalan yang serasa hendak keluar dari kerongkongannya tidak bisa di tahan lebih lama lagi.     Tidak ada pilihan lain selain terus melangkah. Wanita itu hanya berharap segera menemukan toilet. Kalau tidak, dia akan membuat malu dirinya sendiri karena muntah di depan banyak orang. *** Alan meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Sesekali dia memijit tengkuk dan belakang lehernya. Desahan lelah keluar dari sela bibirnya ketika pandangannya jatuh kembali ke atas meja kerjanya. Masih banyak dokumen yang harus Alan periksa dan tanda tangani. Harusnya Alan tidak menerima ajakan berlibur dari sahabatnya. Terutama saat ini, ketika dia masih disibukkan dengan proyek pengembangan dan pembangunan cabang Fly Club. Tapi tentu saja Alan tidak mungkin bisa menolak permintaan Rafka. Terutama jika sahabatnya itu membujuk menggunakan puppy eyes andalannya. Alan tersenyum sendiri ketika membayangkan Rafka dan mata memohonnya. Kadang Alan berpikir, mata Rafka lah yang membuatnya begitu menyayangi lelaki itu. Seperti ada lautan misteri di balik mata itu yang menarik orang lain untuk menyelaminya. Bahkan saat sahabatnya itu sudah diselimuti kebahagiaan seperti saat ini. Sorot matanya tidak berubah, malah sekarang lebih indah karena selalu berbinar. Entah sejak kapan, kebahagiaan Rafka menjadi kebahagiaan Alan juga. Dan begitu pula sebaliknya. Tapi yang mengesalkan, akhir-akhir ini Rafka malah berubah menjadi mak comblang. Karena merasa dirinya begitu bahagia dengan keluarganya, Rafka juga ingin Alan merasakan hal yang sama. Seperti liburan kemarin. Yang semula hanya dua hari, malah berlanjut sampai satu minggu karena wanita-wanita yang disodorkan Rafka—dan dibantu adik ipar tengil sahabatnya itu—tidak ada yang cocok. Saat itu Rafka berkata bahwa Alan tidak boleh pulang sebelum mendapat seorang kekasih. Dan mungkin liburan itu akan terus berlanjut sampai satu bulan kalau Alan tidak berhasil melarikan diri. Alan mendesah. Cukup sudah memikirkan sahabatnya itu. Sekarang waktunya kembali bekerja. Alan meraih sebuah dokumen lalu membacanya. Belum sampai sepuluh menit berlalu, Alan sudah membanting dokumen itu kembali ke meja. Rasa pegal di seluruh tubuh akibat duduk selama hampir enam jam penuh membuat Alan tidak bisa konsentrasi. Lelaki itu segera berdiri. Bokongnya yang terasa panas seolah menjerit gembira. Dia membereskan beberapa dokumen yang sudah selesai diperiksa lalu membawanya ke lemari arsip di ruang perpustakaan. Perpustakaan itu merupakan bagian dari ruang kerja Alan di Fly Club yang dulunya adalah kamar Mayangsari Aditama, pemilik Fly Club sebelumnya. Selesai dengan kegiatan membereskan dokumen, Alan keluar ruangan sambil mengenakan jaket. Dia berencana akan minum sebentar di bar lalu keluar untuk menghirup udara segar. Sepanjang jalan Alan menatap puas sekelilingnya. Banyak perubahan yang telah dirinya lakukan terhadap Fly Club, tanpa mengubah bentuk bangunan aslinya. Lebih banyak ornamen di sana-sini yang membuat kelab malam itu tampak lebih hidup dan elegan. Namun di antara semua perubahan yang terjadi, yang paling mencolok dan menuai protes dari para pelanggan adalah diberhentikannya para p*****r dari club itu. Fly Club sempat kehilangan pelanggan. Tapi Alan tidak menyerah. Dengan bantuan Rafka dan keluarga sahabatnya itu serta kemampuan alami Alan dalam berbisnis, dia bisa mengembalikan kejayaan Fly Club walau tanpa adanya pekerja seks. Sebagian besar mantan pekerja seks di Fly Club beralih menjadi pegawai di sana. Alan sendiri merupakan bos yang pemurah. Dia menyekolahkan kembali semua pekerja yang masih memiliki semangat untuk belajar. Entah sengaja atau kebetulan, hampir semua pekerja Fly Club merupakan orang-orang kalangan bawah yang dipungut Maya dari jalanan. Termasuk Alan sendiri. Pikiran Alan yang setengah melamun mendadak tertuju pada wanita bergaun seksi warna hitam yang melintas di sampingnya namun berbeda arah. Bukan lekuk tubuh wanita itu—yang begitu menggiurkan kaum adam—yang menarik perhatian Alan. Melainkan wajahnya yang imut dan manis. Tampaknya wanita itu berusaha menutupi wajah bak remaja polos itu dengan make-up tebal. Untuk sesaat Alan masih terdiam di tempat, sebelum akhirnya dia mengumpat sambil menepuk kening dengan telapak tangan. “Lain kali aku akan menyuruh penjaga pintu Fly Club agar meminta KTP pengunjung yang hendak masuk.” Gerutu Alan sambil berbalik arah. Dia memutuskan akan mengikuti wanita, ah tidak, gadis kecil tadi. Benak Alan mulai merancang aturan baru yang hendak dia terapkan. Harusnya anak di bawah delapan belas tahun tidak boleh masuk kelab malam. Dari jauh Alan bisa melihat gadis kecil itu sedang menuju toilet. Buru-buru Alan mempercepat langkah lalu dengan sigap dia menangkap lengan gadis itu. Gadis itu sempat memekik kaget sebelum menoleh ke arah Alan. Desahan frustasi bercampur kesal keluar dari bibir Alan ketika mendapati mata gadis itu sudah tidak fokus. Jelas dia mabuk. “Siapa kau? Tolong minggir! Aku harus ke toilet.” Ujar gadis itu sambil mendorong Alan dengan tubuhnya yang sedikit limbung. “Siapa yang menemanimu ke sini?” tanya Alan dengan geram. “Kalau kau tidak melepaskanku sekarang, aku akan muntah di pakaianmu.” Jelas gadis itu dengan wajah memerah menahan mual. Seketika cengkeraman Alan langsung terlepas. Gadis itu tidak membuang waktu. Dia segera melesat meninggalkan Alan yang berkacak pinggang di depan toilet dengan kesal sambil melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Orang tua macam apa yang membiarkan anak gadisnya berkeliaran selarut ini? Tapi setelah dipikir lagi, hal itu bukanlah sesuatu yang aneh. Terutama setelah Alan mengenal orang tua mengerikan macam Maya. Sudah lima belas menit berlalu dan gadis kecil itu belum juga keluar. Alan bertekad akan menerobos masuk ke toilet perempuan kalau dalam lima menit lagi gadis itu tidak kunjung keluar. Tak lama kemudian, pintu toilet terbuka dan menampakkan sosok gadis kecil itu dengan make-up yang sudah sedikit luntur, membuat wajah kekanakannya semakin terlihat jelas. Wajah gadis itu pucat dengan mata sedikit merah. “Merasa lebih baik?” tanya Alan berusaha ramah padahal hatinya mendidih. Dia sangat kesal dengan tingkah gadis itu yang berani datang ke tempat semacam Fly Club tanpa memperhatikan bahwa usianya belum pantas untuk berada di sana. Rasanya Alan sangat ingin memukul b****g gadis kecil yang sekarang  menatapnya dengan bingung itu. Gadis itu mengangguk pelan. Dia terlihat seperti berusaha mengenali Alan. “Bagus. Sekarang aku akan mengantarmu langsung kepada orang tuamu.” Jelas Alan sambil meraih tangan gadis itu agar mengikutinya keluar. Tak diduga, gadis itu menarik kembali tangannya. “Tidak. Aku tidak mau pulang.” Jawabnya ketus dengan bibir cemberut. Alan mendesah. Dia harus bersikap lebih lembut. Menghadapi remaja nakal yang sedang mencoba hal-hal baru tidak bisa menggunakan kekerasan. “Siapa namamu?” Alan mencoba taktik lain. “Destia. Dan kau sendiri siapa? Sepertinya aku tidak mengenalmu.” Alan tersenyum. Setidaknya gadis itu masih cukup sadar. “Aku Alan. Pemilik tempat ini.” Jelasnya hati-hati. “Aku akan mengantarmu pulang. Kau belum cukup umur untuk berada di tempat semacam ini. Anggap saja ini kesalahanku karena bertindak lalai. Lain kali aku akan menetapkan batas usia pengunjung yang boleh masuk ke club ini.” Mendadak wajah gadis itu berubah masam. Dia mengangkat dagunya tinggi-tinggi seolah menantang Alan dengan postur tubuhnya yang hanya mencapai d**a Alan. “Apa maksudmu? Kau kira aku masih anak SD?” Sekali lagi Alan tersenyum berusaha menenangkan. Dia seperti menghadapi anjing kecil yang terluka. Kalau dirinya bertindak kasar dan gegabah, bisa-bisa anjing itu malah kabur atau bahkan menyerangnya. “Kalaupun kau sudah SMP, tetap saja belum boleh datang ke tempat seperti ini.” “Dasar menyebalkan! Kau sok kenal sekali.” Bentak gadis itu galak lalu berbalik berusaha menjauhi Alan. Lagi-lagi Alan menangkap lengan gadis itu. “Aku akan mengantarmu pulang. Siapa yang menemanimu datang ke sini?” “Hei, Tuan pemilik tempat ini. Dengarkan baik-baik! Aku sudah dua puluh enam tahun. Aku sudah cukup dewasa untuk datang ke tempat manapun yang aku mau tanpa pengawasan. Kau mengerti?” gadis bernama Destia itu berusaha melepaskan cengkeraman Alan namun gagal. “Berbohong itu tidak baik, gadis kecil. Aku tetap akan mengantarmu pulang. Katakan saja alamat rumahmu.” Tanpa mau memperpanjang perdebatan lagi, Alan setengah menyeret Destia menuju pintu depan Fly Club. “Aku sama sekali tidak berbohong.” Geram Destia sambil berusaha melepaskan lengannya. Langkahnya tertatih karena Alan terus menariknya. “Lepaskan! Aku wanita dewasa dan kau malah memperlakukanku seperti aku ini anak kecil yang nakal.” “Kau memang gadis kecil yang nakal. Kalau orang tuamu mengizinkan, dengan senang hati aku akan memukul pantatmu. Tapi sebelum itu mungkin aku akan menendang p****t orang tuamu terlebih dahulu karena membiarkan anak gadisnya keluyuran selarut ini bahkan sampai mabuk-mabukan.” “Aku berkata jujur. Dengan cara apa aku harus membuktikannya padamu agar kau percaya, hah?” bentak Destia. Seketika Alan berhenti, membuat Destia menubruk punggung Alan. Lelaki itu langsung berbalik hingga jarak mereka cukup dekat, membuat Alan harus menunduk agar dia bisa menatap tajam mata gadis itu. “Perlihatkan KTPmu. Baru aku akan percaya.” Pinta Alan dengan tenang. Untuk beberapa saat Destia hanya diam sambil menggigit bibirnya. “Ketinggalan di rumah.” “Apa tidak ada alasan yang lain?” “Aku berkata yang sebenarnya.” Destia ngotot. “Lalu apa? Tetap saja solusinya aku-akan-mengantarmu-pulang.” Alan menekan tiap katanya untuk membuat gadis bebal di hadapannya paham. “Aku tidak mau pulang.” Sahut Destia ketus sambil memalingkan muka. “Jangan bilang kau kabur dari rumah.” “Kalau iya, kenapa?” Destia kembali menatap mata Alan dengan menantang. “Benar-benar gadis kecil yang nakal. Kau pikir semua masalah akan selesai begitu saja dengan melarikan diri?” tanya Alan dengan geram. “Tidak ada bantahan. Aku akan mengantarmu pulang.” Belum sempat Alan berbalik, mendadak tubuh Destia melemas. Nyaris saja tubuh gadis itu menghantam lantai kalau Alan tidak segera menangkap pinggangnya lalu mengangkat gadis itu ke dalam gendongan. ---------------------- ♥ Aya Emily ♥

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
93.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.7K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook