bc

GODAAN SANG PELAKOR (GSP)

book_age18+
5.0K
FOLLOW
31.9K
READ
dark
drama
tragedy
comedy
sweet
humorous
serious
mystery
scary
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Ronald suami kaya raya dan royal, tapi sayang mata keranjang.

Ronald tergoda pembantu seksi bernama Sri.

Sedangkan sang istri, yakni Dinda. Baru saja melahirkan anak kembar.

Apa yang akan Dinda lakukan kepada Ronald dan Sri?

Mari dibaca, novel ini all genre, semua genre ada di sini mulai dari Romance, drama, misteri, komedi, detektif, thriller... novel ini juga trending dan viral di 3 platform. Trending pertama, jadi jangan sampai terlewat.

Siap-siap kecanduan ya☺️

chap-preview
Free preview
Mencurigakan
?Selamat Membaca? Part 1 ⚘⚘⚘⚘⚘ "Kenapa kamu jalannya seperti itu, Sri?" Tanyaku pada pembantu yang baru bekerja selama dua minggu di rumahku. "Nggak apa-apa, Bu Dinda. Kayaknya kakiku cuma keseleo aja," Sri menjawab tanpa menatapku, sembari merapihkan gelas kosong bekas kopi di meja ruang Tivi dan kemudian membawanya ke dapur. Aku yang sedari tadi duduk di sofa depan Tivi sambil menyusui anak kembarku yang baru berusia 3 minggu, terus saja memperhatikan cara jalan Sri yang aneh dan menurutku tidak seperti biasanya. Kali ini jalannya seperti tertatih dan sedikit mengangkang, seolah-olah sedang memakai popok atau pembalut yang berukuran sangat besar saja, jadi tak bisa jalan dengan kaki rapat, tampak tidak luwes seperti orang umum. Tak lama suamiku terlihat keluar dari kamar dan berjalan lesu menghampiriku kemudian duduk di sebelahku. "Kenapa sayang, kelihatannya hari ini capek banget, terus tumben tidur siang ... biasanya nggak suka tidur siang, tadi aku mau minta anterin ke Dokter Anak, malah Abang nggak ada. Tanya sama Ayah, katanya Abang lagi keluar. Terus pas pulang dari vaksin si kembar, nyampe rumah liat Abang udah tidur lelap. Sayang apa lagi nggak enak badan ya?" Aku bertanya, sambil meletakkan punggung tanganku di kening Bang Ronal. Ternyata normal saja tidak nampak demam. "Nggak sakit kok sayang, cuma capek aja, Pengen urut. Telponin Mbah paijem ya, sayang. Abang mau urut dulu," pinta Bang Ronal. Ia tampak memijat-mijat paha kakinya berulang kali. "Ya udah, biar aku telpon Mbah paijem. Nanti sekalian aja pembantu kita, si Sri urut juga, tadi katanya dia keseleo kakinya. Ayah Abang, juga kalau mau urut biar sekalian ..." ucapku. "Sri juga keseleo? Oh, ya udah nanti biar urut semua. Kamu juga kalau mau urut biar sekalian aja sayang," Bang Ronal tampak berbicara dengan sedikit gugup. Kemudian mengalihkannya dengan mengangkat Cila anaknya yang ku letakkan di atas sofa kemudian ia mengendongnya, sedangkan aku gantian menyusui Celo. Aku merasa suamiku tak seperti biasanya. Padahal hari ini hari sabtu, suamiku libur bekerja setiap sabtu dan minggu, pekerjaannya sebagai bos kontraktor bangunan dengan penghasilan yang sangat besar serta memiliki anak buah yang banyak, sehingga tinggal suruh-suruh saja. Tak heran jika selama ini suamiku jarang kelelahan. Aku heran hari libur begini malah dia kelihatan lesu. Padahal tadi ia tak mengantarkan anak dan istrinya ke Dokter. Aku tadi di antar Mang Narno supir pribadi suamiku. Seharian ini suamiku hanya tidur saja tampaknya. Tapi kelihatan capek sudah seperti orang yang kerja seharian. Pukul 16:00 sore. Mbah Paijem datang. Bang Ronal langsung di urut di ruang keluarga tak jauh dari tempat aku duduk, dengan menggelar kasur matras. Ayah mertuaku pun tampak menunggu giliran. Ayah mertua biasanya hanya minta di pijat pelan oleh Mbah Paijem, sekedar mengurangi pegal-pegal di tubuhnya. Ayah mertua usianya sudah 57 tahun. Sejak aku dan Bang Ronal menikah satu tahun lalu, Ayah mertua memilih tinggal bersama kami, karena Ibu Mertua sudah meninggal dua tahun yang lalu. Ia hanya memiliki satu orang anak yakni Bang Ronal. Ayah mertua dahulu juga adalah bos kontraktor, tak heran jika sekarang Harta warisan Ayah mertua sangatlah banyak dan kesemuanya jatuh di tangan anak semata wayangnya yakni Bang Ronal. Aku merasa beruntung di persunting oleh Bang Ronal, anak orang kaya raya namun tidak sombong. Selama ini ia selalu sabar tak pernah kasar, tak pernah memarahiku, selalu romantis dan sangat penyayang. Sebenarnya aku sendiri bukan asli orang kaya melainkan hanya anak orang miskin yang awalnya tinggal di kontrakan. Namun sejak lulus kuliah aku di terima kerja di suatu perusahaan dan di angkat menjadi manager. Kerja selama tiga tahun akhirnya aku bisa membangunkan orang tuaku rumah yang lumayan besar. Aku dahulu bisa kuliah hingga S2 karena mendapat bea siswa mahasiswi berprestasi. Setelah lulus kuliah ternyata banyak tawaran kerja menanti. Namun setelah menikah dengan Bang Ronal, aku tak diizinkan untuk bekerja. Apalagi saat tahu aku hamil anak kembar dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, aku langsung dipaksa resign dan fokus mengurus anak kembarku. Urusan apapun Bang Ronal yang menjamin. Bahkan jatah bulananku dari Bang Ronal lebih besar ketimbang gaji bulananku dulu. "Sri! Tolong buatin minum untuk Mbah Paijem, ya. Sekalian buatin kopi dan s**u juga," titahku pada Sri. Tak lama berselang Sri datang dengan membawa nampan berisi tiga gelas minuman sesuai yang aku minta barusan. Saat ia membungkukkan badannya di hadapanku untuk meletakkan gelas minuman di atas meja. d**a atasnya tampak menyembul. Aku terperanjat seketika saat melihat di dadanya banyak tanda merah. Aku ingin bertanya, namun kondisi sedang ramai orang. Aku pun mengurungkannya. Aku jadi ingat tanda merah seperti itu, aku juga sering di buatkan oleh Bang Ronal tepat di dadaku. Aku heran Sri kan masih gadis masih remaja, kok ada tanda seperti orang yang sudah menikah. Kalau misal buatan pacarnya. Tapi Sri sudah dua minggu tinggal di sini, harusnya sudah hilang merah-merah itu. Aku berusaha untuk berpikir positif, tak mau menuduh yang tidak-tidak. Takutnya malah menjadi fitnah dan dosa. Mungkin tanda itu hasil di kerik oleh Sri, buktinya tadi dia bilang sedang keseleo mungkin karena masuk angin. Tidak biasa pakai AC dan kipas angin di sini. Aku terus berpikir positif. Setelah menyuguhkan minum, Sri langsung kembali ke belakang. Aku memperhatikan suamiku yang sedang di urut. Aku heran juga saat melihat di leher suamiku ada tanda merah kecil namun memanjang tidak terlalu pekat. Tapi sedikit mencuri perhatianku. Ah mungkin terkena garukan kukunya sendiri. Setelah Bang Ronal dan Ayah mertua selesai di urut, giliran Sri yang akan di urut di kamar pembantu. Aku mengantarkan Mbah Paijem ke kamar Sri. Sesampai di kamarnya, aku melihat kasur Sri tak diberi alas seprai. Aku langsung bertanya. "Sri, seprainya kok di lepas?" Aku bertanya sambil memperhatikan kasurnya. Aku melihat ada noda merah di tengah-tengah kasurnya, yang sepertinya juga ada bekas elapan air namun masih terlihat flek pink samar di tengah kasurnya. "Itu bekas kamu cuci ya kasurnya? Kamu lagi haid ya, nembus ya?" Aku bertanya karena penasaran. "Iya, Bu. Lagi halangan hari ke dua jadi deras dan nembus ..." jawab Sri gugup. "Udah punya pembalut belum, nanti aku kasih ya. Aku punya banyak stock pembalut. Nanti aku kasih 1 ball," ucapku. "Oh iya, kalau kamu lagi haid, berarti nggak boleh urut, di pijit aja ya, mana yang keseleo?" Sela Mbah Paijem pada Sri. "Kakinya aja Mbah," balas Sri. Aku segera meninggalkan mereka berdua di kamar Sri, untuk kemudian mengambil pembalut di kamarku. ⚘⚘⚘⚘⚘ Malam harinya, jam 19:30 aku memanggil Sri untuk ke kamarku rasanya ingin menasehati Sri banyak hal termasuk cara berpakaiannya harus yang sopan. Aku sudah mengeluarkan baju bekas yang masih layak pakai, yang pasti sopan dan tidak ketat. Rasanya risih melihat Sri pakaiannya rata-rata sempit. Tubuh Sri cenderung berisi dan memiliki ukuran p******a yang besar, maka tak heran jika pakaiannya seperti kekecilan. Harusnya ia beli pakaian yang ukuran xl barulah bentuk tubuhnya akan tampak samar. Setelah di panggil berulang kali ia tak menyahut. Aku langsung menghampiri ke kamarnya. Ketika membuka pintu ternyata kudapati ia sedang menunaikan sholat isya. Sontak aku kaget melihatnya. Setelah Sri selesai sholat aku langsung bertanya. "Lho, tadi katanya masih haid hari ke dua. Sekarang kok udah bisa sholat?" Aku merasa sangat heran . Sri nampak salah tingkah dan gugup. "Haidku memang nggak lancar, Bu. Tiba-tiba berhenti besok-besok haid lagi, gitu Bu," Sri menjawab sambil memelintir-melintir ujung rambutnya yang belum terlalu kering sehabis keramas. "Masa masih remaja haidnya udah kayak gitu, jangan-jangan gangguan hormon, rajin buat kunyit asem aja, kamu. Biar lancar haidnya," aku memberi saran. Sri tampak mengangguk. "Sri aku mau ngasih masukan, mulai sekarang kamu jangan pakai baju ketat di rumah ini. Kalau beli baju yang ukuran XL, kalau kamu paksain pakai ukuran L atau M ketat banget nggak sopan di pandang. Apalagi dadamu sangat besar nggak pantes diliat laki-laki. Ini contohnya aku sekarang masih menyusui aku langsung pakai baju ukuran besar, kalau pakai yang kecil p******a pasti kelihatan jelas malu di lihatnya. Apalagi sama Bapak mertua. Ini aku punya baju masih layak pakai. Kamu pakai aja ini, baju kamu lainnya jangan di pakai di rumah ini. Malu apalagi kalau di lihat suamiku dan Bapak mertuaku," ucapku pada Sri. "Iya Bu ... Oh ya, Bu ... aku minta seprai lagi kalau ada, sama minta tisyu boleh nggak bu. Buat ngelap muka setiap hari berminyak," pinta Sri. "Seprai ada banyak di lemari kamu di bawah, tisyu boleh ... ambil aja di lemari meja makan banyak. Aku mau tanya lagi, tadi lihat di dadamu banyak merah-merah itu kena apa?" Tanyaku. "Oh, itu aku kerik sendiri, Bu, karena nggak tahan masuk angin. Mau ngerik punggung nggak bisa. Ya udah yang depan aja," jawabnya. Aku lumayan lega mendengar jawabannya dan langsung meninggalkan kamar Sri. Kemudian menghampiri suamiku yang sedang menunggu Celo dan Cila di kamar. Sesampainya di kamar, suami memintaku untuk duduk di dekatnya. "Sayang sini, Abang pengen meluk," panggil suamiku mesra. Aku langsung menghampirinya dan duduk di dekatnya. "Imut banget ya, anak-anak kita ini," kata Bang Ronal. Sambil menyentuh pipi Cila dan Celo. "Iya, mirip mamanya kan Bang ..." sahutku. "Iya, mirip kamu sayang, untung mirip kamu ya, putih mancung. Kalau mirip aku coklat kulitnya," pungkas Bang Ronal. "Tapi Abang walau coklat kulitnya, tapi ganteng dan gagah, kelihatan laki-laki banget," Aku memujinya. Bang Ronal tampak GR dan langsung mencium rambutku dan mengusap-usapnya. "Bang tumben malem ini nggak nanya kapan boleh berhubungan? Hehe biasanya nanya terus tiap hari, kayak anak kecil minta s**u," ledekku pada suami. "Ya udah Abang sabar Kok, lagipula kamu kan habis lahiran anak kembar, secara normal lagi. Biar pulih dulu, ya. Kemarin-kemarin abang cuma bercanda kok. Tapi sekarang udah tahu, jadi ya Abang bakal sabar," balasnya senyum. "Bercanda tapi setiap hari ya Bang, hehe semoga aja Abang sabar. Mengingat kita ini belum pernah puas pacaran. Setelah nikah aku langsung hamil terus melahirkan kembar kena banyak jahitan, mungkin sembuhnya lebih lama. Jadi takutnya Abang belum puas sayang-sayangan sama aku. Semoga Abang selalu setia dan sabar," ucapku penuh harap. " Iya, sayang. Abang sabar kok. Ya udah kamu nggak usah mikirin itu," balasnya. "Sayang kita cari babysitter atau pembantu satu lagi ya, biar bantu aku ngurus si kembar. Sri kan fokus beres-beres masak," pintaku pada Bang Ronal. "Nggak usah lah, kita urus sendiri aja. Abang nggak suka kalau rumah kelihatan terlalu ramai, sumpek rasanya," ujarnya. " Tapi kalau aku sendiri yang urus jadi repot, jadi nggak sempat urus suami. Karena fokus ke bayi terus. Kalau nggak aku minta bantuan Ibuku ya Bang," pintaku lagi. "Nggak usah sayang. Abang nggak suka rame, kayak gini aja enak," balasnya. Aku hanya diam dan sedikit kesal namun aku pendam. "Sayang, nanti Sri kamarnya pindah di kamar satunya dekat ruang makan aja ya. Kamar yang dekat dapur itu sangat kecil nggak layak, kasihan nanti malah orangnya nggak betah. Mana kelihatannya pengap lagi pentilasinya dikit," cetus Bang Ronal. "Kata siapa nggak layak. Dimana-mana kamar pembantu ya sebesar itu Bang. Kamar itu aja pas buat orang dua. Sekarang Sri sendirian artinya pas banget. Pentilasi banyak begitu Bang kok pengap, dari mana pengapnya. Kamar satunya itu buat tamu kalau banyak biar bisa tidur di situ. Kamar yang dekat ruang Tivi juga buat keluarga yang dateng," sanggahku. Suamiku tak menanggapi ucapanku. "Sayang, Abang mulai malam ini mau tidur di kamar dekat ruang Tivi aja, ya. Karena Abang kan pagi-pagi harus kerja, kalau tidur di kamar ini bentar-bentar bangun, kerjanya jadi ngantuk, Abang pengennya bisa tidur semalaman penuh biar semangat cari uangnya buat Dinda tersayang," pinta suamiku. "Lho kok gitu? Dinda makin repot dong sayang kalau nggak dibantuin malamnya. Kok tega sih sama istri, makanya cariin babysitter biar aku nggak capek ngurus bayi sendiri. Bisa-bisa pingsan aku kalau ngurus bayi kembar sendirian," celetukku kesal. "Hem, ya udah besok Abang cariin babysitter yang tua aja ya biar berpengalaman urus bayi, jadi setiap malam Babysitternya tidur nemenin kamu ya. Abang biar tidur di kamar dekat Tivi aja. Nanti kamar Abangnya mau dikunci dari dalem biar bisa tidur pulas. Nggak ada yang keluar masuk buka pintu," ujarnya. " Ok, aku tunggu besok harus dapet Babysitternya," Suamiku mengangguk menyetujui. Malam ini aku mulai tidur sendirian. Bang Ronal sudah pindah kamar mulai pukul 22:00 tadi. Pukul 23:00 aku berniat mengambil minyak anginku yang tertinggal di soffa Tivi. Saat aku melangkah menuju ruang Tivi, aku terkejut melihat sosok berambut panjang memakai baju merah. Melangkah dari dapur ke ruang Tivi. Saat aku menghidupkn lampu. Barulah terlihat jelas mukanya, ternyata Sri. Kenapa jam segini belum tidur. "Sri, kok belum tidur? Harusnya kamu tidur dari jam 21:00 karena kan subuh harus udah bangun, mau ngapain jam segini ke ruang Tivi?" Tanyaku merasa aneh. "Aku mau pinjam carger di ruang Tivi ada carger kan? Aku pinjem ya, Bu. Besok pagi aku kembaliin," terangnya dengan raut wajah gugup. "Oh, ya udah. Nanti lampunya matiin lagi ya. Aku mau ke kamar," aku bergegas meninggalkannya kemudian masuk ke kamarku dan menguncinya. *** Pagi harinya aku menghampiri Sri dan memintanya untuk berbelanja urusan dapur di warung depan rumah. Saat aku menemui Sri di dapur aku heran melihat wajahnya yang begitu pucat dan matanya sembab seperti kurang tidur. "Sri, kok pucat banget wajahmu. Matamu seperti habis nangis atau kayak kurang tidur, kamu begadang ya semalaman. Jangan-jangan pinjam carger biar Hp nggak lowbet kamu telponan ma pacar ya?" Selidikku. "Semalam nggak bisa tidur, Bu. Keinget Ibu di kampung, rasanya kangen padahal baru setengah bulan nggak ketemu," ujarnya. "Ya sabar aja, jangan sedih terus. Niatnya kan kerja buat bantu orang tua, jadi di tahan-tahanin meski gak ketemu. Nanti kan tiap lebaran bisa cuti. Kira-kira kamu betah nggak kerja di sini?" Aku bertanya kepada Sri. "Iya, Bu. Aku betah banget kok, Bu. Kerja di sini ... semua baik dan ramah," Sri menjawab dengan senyum sumringah. Ekspresinya mendadak ceria. "Syukurlah kalau betah, semoga selalu betah. Siapa tahu kalau lama kerja di sini nanti cinlok sama Mang Narno, malah enak jadi bisa awet kerja di sini hehe," candaku padanya. "Hehe masak sama Mang Narno sih, Bu. Nggak ada yang lebih ganteng apa?" Pungkas Sri sambil tertawa. "Maunya siapa? Adanya Mang Narno, kelihatannya juga dia naksir sama kamu, Sri. Hehe," ledekku lagi. Raut wajah Sri seketika berubah bete. Seolah tak mau di jodohkan dengan Mang Narno. Padahal menurutku mereka serasi, justru Mang Narno hidupnya sudah lumayan, sudah punya rumah sendiri hasil kerjanya selama lima tahun dengan suamiku, bahkan dari sebelum aku menikah dengan suamiku. Sedangkan Sri menurut penuturannya, ia adalah seorang Fakir miskin. Rumah tak punya, harta apapun tak punya. Ibunya tinggal menumpang di rumah majikan di kampungnya. Kakak perempuannya juga tinggal menumpang di rumah majikan di kota lain. Sri adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Bapaknya minggat sejak Sri masih bayi. Sri sebelumnya tak pernah bekerja. Ini kali pertamanya ia bekerja di rumahku. Usianya baru 18 tahun selisih enam tahun denganku. "Mau beli apa aja Bu hari ini?" Tanya Sri. "Beliin Ayam kampung satu ekor, sayur sop, tahu tempe dan telur. Nanti agak siangan aja masaknya, di masak kayak biasanya, ya," perintahku. Sri bergegas keluar rumah menuju gerbang. Saat melewati carport dan berpapasan dengan suamiku. Aku melihat mereka bedua berpandang-pandangan sambil melempar senyum seperti sudah sangat akrab. Tapi aku tak terlalu heran, suamiku memang selalu ramah terhadap siapapun. Bahkan dengan tukang sampah atau bahkan penjual jamu gendong langganan ia sangat ramah menyapa. Aku menghampiri suamiku. Aku memperhatikan wajahnya, aku kembali heran. "Sayang kok matanya merah begitu, kayak kurang tidur aja. Terus kok belum berangkat kerja, Kan kita udah sarapan. Nungguin apa? Apa lagi libur kerjanya," Aku bertanya sambil memahami wajahnya dari dekat. "Semalem masih kedenger suara si kembar nangis jadi masih suka kebangun, ya biarin lah namanya punya bayisudah resikonya, di syukuri aja. Abang mau ngerapihin taman kita dulu. Berangkat kerjanya nanti aja agak siang," ujarnya. Aku kembali kekamar untuk mengecek Cela Celo yang terlelap dari setelah mandi tadi. Pukul 11:00 suamiku pamit akan berangkat kerja. Aku lihat Sri juga seperti berpakaian rapi akan pergi keluar. "Sayang Abang mau berangkat kerja, Sri mau numpang ikut, dia katanya mau ke pasar ada yang mau di beli. Nanti biar pulangnya di anterin Mang Narno," ujar suamiku. "Lho tapi mana Mang Narno, kok sampai jam segini belum dateng? Tumben-tumbennya, apa dia lagi ada acara," balasku. " Dia izin masuk siang. Jadi habis dzuhur . Nggak apa-apa ini berangkatnya Sri nebeng. Nanti pulangnya biar Mang Narno yang antar pakai mobil satunya yang masih di pakai Mang Narno," imbuh suamiku. "Ya udah tapi jangan lama-lama ya, Sri. Nanti kalau minta bantu apa-apa bingung kalau kamu keluarnya lama. Dzuhur harus udah pulang lho," pungkasku. "Ok, Bu," jawab Sri. "Sayang pulangnya bawa Babysitter pokoknya," ucapku mengingatkan suamiku. "Siap Dinda ..." ujar suamiku. Aku mengantarkan mereka sampai garasi. Sri tampak duduk di barisan ke dua. Tak ada yang mencurigakan dari gerak gerik mereka di dalam mobil. Setelah mobil suamiku keluar dan tak terlihat lagi dari ujung jalan, aku segera menutup gerbangnya. Aku langsung menuju kamar melihat si kembar, ternyata masih terlelap. Setelah itu aku merasa ingin mengecek kamar yang digunakan tidur suamiku semalam. bergegaslah masuk ke kamar itu. Nampak biasa saja. Aku mencoba merebahkan badanku di atas kasur. Mulai tercium aroma parfum yang tidak asing bagiku. "Parfum siapa ya?" Batinku. Rasanya seperti tidak asing, yang pasti ini bukan parfum suamiku. Aku terus berpikir mengingat-ingat si pemilik wangi parfum ini. Pikiranku mulai curiga dan tak tenang. Setelah itu aku mencoba masuk ke dalam kamar pembantu yang memang tak pernah di kunci dari luar dan mulai mencari parfum di atas meja di kamar Sri. Kulihat ada dua jenis parfum milik Sri, aku mencoba menghirup satu persatu. Sontak aku kaget ketika mendapati kecocokan aroma parfum di kamar suamiku dengan parfum Sri yang baru saja aku hirup. ⚘⚘⚘⚘⚘ Bersambung...

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.3K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.5K
bc

My Secret Little Wife

read
84.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook