bc

Sean dan Kanaya

book_age16+
2.1K
FOLLOW
8.3K
READ
love after marriage
second chance
pregnant
powerful
doctor
drama
city
wife
husband
selfish
like
intro-logo
Blurb

Ini tentang Jiana Kanaya, gadis berusia 25 tahun yang begitu tergila-gila pada sosok dokter yang sangat jauh dari kata cinta seperti Sean Arselino. Bagi laki-laki itu cinta bukan prioritasnya dan menolak perasaan Kanaya adalah hal yang tepat menurutnya.

Namun, ternyata apa yang dia lakukan salah. Gadis itu tetap gigih mendekatinya, menempelinya seperti lintah. Padahal, Sean sudah menolaknya dengan keras. Hingga sesuatu yang buruk menimpanya. Gadis itu telah berhasil menjebaknya dan membuat Sean mau tak mau harus mempertanggungjawabkan hal yang sebenarnya sama sekali tak ia tahu.

chap-preview
Free preview
1. Tentang Sean
Namanya Sean Arselino Handoyono, bergelar dokter Spesialis Bedah Onkologi. Tampan, mapan, digilai perempuan, itulah dia. Namun, meski begitu, wanita bukanlah acuan Sean. Selama ini, yang ia pikirkan, hanyalah bekerja, bekerja, dan bekerja, tentu untuk keselamatan pasien-pasiennya. Keluarga pun sudah menjadi nomor sekian. Bukan lagi prioritas utama. Hanya sedikit waktu yang ia luangkan untuk mereka, selebihnya ia gunakan untuk berkutat dengan segala macam alat kedokteran. Sean adalah satu dari sekian banyak orang yang begitu gila kerja, sebuat saja maniak. Apa pun ia lakukan untuk profesinya sebagai dokter. Termasuk jika harus mengorbankan penampilannya yang membuat kadar ketampanannya berkurang. Seperti, kantung mata yang menghitam atau jambang halus yang memenuhi daerah sekitar dagunya. Rambut acak-acakan, baju yang jauh dari kata rapi, lalu pancaran letih yang menguar dari tubuhnya. "Hoaaah!" Ia menguap lebar dengan kedua tangan yang telentang. Badannya terasa pegal, otot-otot tubuhnya pun terasa kaku dan mati rasa. Mungkin, perempuan-perempuan yang menggilainya akan langsung ilfeel melihat posenya yang begitu, eungh, menggelikan atau malah ... menjijikkan? Tapi, masa bodoh. Sean tidak peduli. Mau mereka jijik padanya, mau mereka memusuhinya, atau malah semakin menggilainya. Sean tidak peduli, titik. Lagi pula, pekerjaannya lebih penting daripada sekadar mengurusi tingkah laku kaum hawa itu. Dengan wajah lesu, Sean lantas menghela kakinya, menghampiri kursi empuknya lalu duduk menyender di sana. Sean berusaha mengistirahatkan tubuh serta otaknya yang letih karena terlalu ia paksa dalam bekerja. Perlahan, lelaki itu mulai melarikan jari-jemarinya ke daerah sekitar pelipis. Mencoba memberi pijatan untuk merilekskan otot-otot mata yang seharian ini ia gunakan untuk berjibaku dengan tubuh pasien-pasiennya. Jadwal operasi Sean memang sangat padat, mungkin sekitar dua atau tiga pasien harus ia operasi dalam sehari. Berkutat dengan alat-alat bedah, membongkar bagian tubuh pasien selama berjam-jam untuk mencari sel-sel kecil yang bisa memicu kematian pada si penderita, lalu mengangkatnya. Itulah hal yang tidak pernah jauh-jauh dari Sean. Rasanya, seluruh organ, indra, dan alat gerak pada tubuhnya menjadi kaku dan mati rasa. Tapi meski begitu, Sean merasa beruntung karena mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dan tanpa cela. Seorang dokter memang harus dituntut seperti itu. Sebab, nyawalah yang menjadi taruhannya. Sekali lalai, maka, tamatlah sudah semuanya. Pasien yang ia tangani tak dapat ia selamatkan, lalu rasa sesal dan dosa akan terus bercokol di hati, menghantuinya setiap waktu. Meskipun begitu, Sean tak pernah menyesal memilih 'dokter' sebagai profesinya ketimbang bekerja di balik kursi dengan berkas-berkas yang harus ia pahami. Menurutnya itu lebih memusingkan. Sean sangat menyukai profesinya itu. Bahkan, dulu dia rela belajar mati-matian supaya cepat mendapatkan gelar dokternya. Itu semua terbukti di umurnya yang masih berada di awal kepala tiga---tiga puluh satu tahun lebih tepatnya, dia sudah menjadi dokter Spesialis Bedah Onkologi terbaik di rumah sakit swasta yang memiliki kualitas terjamin di kotanya itu. Sadega Hospital Center. Begitu tersohor sampai ke pelosok negeri, dan memiliki dua cabang di kota yang cukup besar, Surabaya dan Bandung. Dulu, Sean mendapatkan gelar S.Ked.-Sarjana Kedokteran-saat usianya baru menginjak dua puluh satu tahun, lalu melanjutkan menjadi koas selama dua tahun, dan dinyatakan lulus UKDI dengan predikat terbaik. Ia pun sempat menjadi dokter umum selama kurang lebih dua tahun, kemudian melanjutkan studi PPDS-nya selama kurang lebih lima tahun. Yah, seperti itulah dia. Gila ilmu, gila gelar, gila profesi, gila kerja. Entah gila apa lagi dia nanti. Mendengar ketukan pelan di pintu ruangannya, Sean sigap menegakkan tubuh. Kesal, baru beberapa menit ia memejamkan mata, tapi sudah ada yang mrngganggunya saja. Ia kemudian merutuk dalam hati. Padahal, sebelumnya ia sudah mengingatkan pada siapa pun, entah perawat atau pekerja rumah sakit lainnya untuk tidak menganggunya, selama satu jam ke depan. Sean hanya ingin istirahat, sudah, itu saja. Tapi, malah dengan seenaknya ada orang yang mengganggunya. "Ya, masuk, saya ada di dalam, pintunya tidak saya kunci!" Meski enggan, Sean masih memberi izin pada orang yang barangkali kurang kerjaan itu. Sekian detik kemudian, pintu pun terbuka, menampilkan sesosok pria paruh baya dengan jas dokter yang melekat di tubuhnya. Melihat hal itu, mata Sean langsung terbuka lebar. Ia dengan sigap berdiri, melangkahkan kakinya mendekati pria paruh baya itu, mengucapkan kata maaf sebelum mempersilakannya untuk duduk di sofa abu-abu yang sudah tersedia di ruangannya. "Ada masalah apa, sampai-sampai Dokter Ferdinand datang ke ruangan saya? Apa karena saya punya kesalahanan fatal, atau karena kinerja saya yang mungkin menurun?" Sean langsung mencecar lelaki yang ia panggil Ferdinand itu sesaat setelah keduanya duduk saling berhadapan tanpa menunggu keterangan dari paruh baya itu. Dia tak tahu hal apa yang membuat pemilik rumah sakit tempatnya kini bekerja itu sampai harus bertandang ke ruangannya. Tidak mungkin juga kalau pria paruh baya itu ke ruangannya hanya untuk berbasa-basi busuk atau sekadar menanyakan kabarnya semata. Mana mungkin. Sean mendengkus dalam hati, ketika pikiran konyol itu menghampiri benaknya. Ferdinand, begitu sapaannya, berdeham pelan penuh wibawa. "Dokter Sean, sebelumnya, mungkin saya telah menganggu istirahat Anda tadi." Suara paruh baya itu terkesan berat dan sangat berwibawa. Sean hanya diam saja, sebab ia memang tak tahu harus menjawab bagaimana. Faktanya, laki-laki itu memang sudah menganggu waktu istirahatnya yang sempit. "Tidak ada masalah dalam kinerja Anda, saya tahu Anda bekerja dengan sangat maksimal. Jujur saja saya sangat menyukainya." Ferdinand kembali berujar. "Jadi begini Dokter Sean, kedatangan saya ke sini itu, ingin menanyakan sesuatu pada Anda, bisakah nanti malam Anda datang ke rumah saya? Saya mengadakan pesta kecil untuk merayakan kepulangan putri pertama saya yang sudah menamatkan pendidikan spesialisasinya di luar negeri. Anda tahu, putri saya sangat hebat, dia pernah menjadi residen terbaik di rumah sakit yang ada di sana, dan lulus di umurnya yang kedua puluh tujuh tahun," sambungnya panjang lebar. Lelaki paruh baya itu begitu menjunjung prestasi putri sulungnya. Itulah yang bisa Sean tangkap. Ia tak tahu pasti siapa namanya, sebab sebelumnya Ferdinand tak pernah mengangkat nama putri sulungnya itu, ketika terlibat obrolan-obrolan di antara mereka. Mungkin, kalaupun ia tahu, itu hanya dari mulut ke mulut para dokter dan perawat yang juga bekerja di situ. Namun sebenarnya bukan seperti itu. Jelas sekali ada maksud lain yang pria itu sengaja sembunyikan. Ferdinand sengaja mengagung-agungkan salah satu putrinya itu yang ia kira bisa membuat Sean tertarik lalu saat di pestanya nanti, lelaki muda itu akan berusaha mendekati putrinya. Fantasi Ferdinand langsung berkelana ke masa depan. Pastinya rumah sakitnya akan bertambah maju jika dipegang dua orang berotak jenius. Sementara itu, tanpa sadar Sean mengangkat sebelah alisnya. Ia merasa geli mendengar ucapan sang pemilik rumah sakit. "Jika tidak ada halangan, nanti saya akan hadir." Kemudian ia menyahut dengan iringan senyum tipis tak terlalu kentara di bibirnya. "Oh, harus, jangan sampai tidak datang, sebab pesta ini juga untuk memberi pengharagaan pada para dokter yang telah bekerja maksimal. Termasuk Anda juga." "Iya, saya usahakan," jawab Sean sembari tersenyum simpul. **** Koridor yang Sean lewati tampak begitu ramai. Banyak karyawan rumah sakit, keluarga atau kerabat pasien yang berlalu-lalang di sana. Sesekali mereka yang mengenal siapa Sean, memberikan sapaannya pada dokter jenius itu, yang dibalas dengan senyum tipis atau sapaan yang sama. Hal itu memberikan kesan ramah dan bersahabat pada Sean. Bahkan, para perawat, dokter atau koas yang berjenis kelamin perempuan pun, banyak yang mengidolakan dokter tampan satu itu. Tak jarang dari mereka, terang-terangan mengungkapkan rasa kagumnya pada Sean. "Dokter Sean!" Sebuah pekikan suara yang kecil namun terdengar sangat nyaring menggema di gendang telinga Sean, membuat pria itu dengan refleks memejamkan matanya sembari mengerutkan kening. Sean hafal betul itu suara milik siapa. Suara milik gadis itu. Gadis yang selalu mengejar-ngejarnya tanpa henti, meski sesungguhya tak Sean acuhkan. Gadis itu adalah Jiana Kanaya Sadega. Putri kedua Ferdinand Sadega yang sepertinya sangat tergila-gila padanya. Gadis yang begitu kurang aj*r dan pecicilan di mata Sean. "Dokter Sean!" Sean berjingkit keget ketika merasakan tepukan yang begitu keras di pundaknya. Kebiasaan Kanaya, perempuan itu memang selalu menepukkan tangannya ke bahu orang yang ia sapa dan membuat mereka langsung jengkel dengan perbuatannya itu. "Ada apa?" tanya Sean dengan suaranya yang terdengar ketus, keramah-tamahan yang sempat ia tunjukkan tadi mendadak menghilang. Dia tak pernah takut sekalinya gadis itu adalah anak pemilik rumah sakit tempat ia bekerja. "Ya Tuhan, Dokter Sean ketus banget sama Kanaya yang cantik jelita, manis melebihi madu, dan baik hati ini." Perempuan itu berdecak keras yang dibalas Sean dengan kedua mata yang berotasi. Laki-laki itu memang akan berubah ketus dan cuek jika sudah berurusan dengan Kanaya. "Kamu ada perlu apa dengan saya? Cepat katakan! Saya masih ada pekerjaan lain yang lebih penting daripada mengurusi kamu." "Aduh, sebantar kalau gitu ya, Dok. Aku mikir dulu, mau ngomong apa sama Dokter Sean yang ganteng bagai ulala, jambul khatulistiwanya Inces Syahrini yang beritanya lagi makan temen itu. Okeee," sahut gadis itu sambil mengedipkan sebelah matanya dengan gaya b*nal, membuat Sean ilfeel seketika. Menghela napasnya dengan kasar. Sebenarnya, tanpa ditanya pun Sean tahu jika gadis di depannya ini hanya ingin menganggunya, mengusiknya dengan gaya yang tak patut. Tapi, itu hanyalah pandangan Sean saja, karena nyatanya gadis itu bukan ingin menganggunya, melainkan karena dia ingin selalu berdekatan dengan pria berkulit putih bersih itu, si Sean Arselino. "Kalau tidak ada, saya lebih baik pergi saja, karena kamu hanya akan membuang-buang waktu saya," ujar Sean dengan nada ketus kemudian berlalu begitu saja dari hadapan Kanaya. "Dokter Sean, tunggu sebentar. Aku kan masih berpikir." Kanaya merengek, tampak kekanakan memang, padahal jika ditelisik umurnya sudah menginjak lebih dari seperempat abad. Sean tak menanggapi, laki-laki itu malah melanjutkan langkahnya, dan menganggap Kanaya adalah suara bajaj yang sering ia dengarkan di jalanan saat pergi atau pulang dari rumah sakit. Kanaya mengerucutkan bibirnya, kemudian melangkahkan kakinya menyusul Sean yang kian menjauhinya. Ia turut melangkahkan kakinya mengikuti ke mana pun Sean pergi. Membuat kejengkelan laki-laki itu semakin menjadi-jadi. "Kanaya, jangan mengikuti saya." Sean menghentikan langkahnya, memberi peringatan pada gadis yang kini tengah menatapnya dengan genit itu. "Ya sudah, Dokter jangan jalan lagi, biar nggak aku ikutin." "Apa-apaan sih kamu Kanaya, saya sedang repot dan jangan tambah merepotkan saya. Lebih baik kamu pulang saja, belajar, biar kamu cepat lulus dan gelar mahasiswi abadi kamu hilang. Lagi pula, umur kamu sudah tidak muda, kenapa kamu masih bertingkah seperti anak kecil?" tukas Sean yang sarat akan ketidaksukaannya. "Ya ampun Dok, kata-kata Dokter Sean kok mak jleb mak tretep gitu ya, di hati aku yang rapuh ini." Kanaya malah menjawab dengan alaynya, tak tahu saja apa yang ia perbuat malah membuat lelaki yang ia suka menjadi jijik padanya. "Huwaaaaaa ... aku pengen nangis Dok!" Pura-pura menangis, gadis itu langsung menghambur ke arah Sean. Memeluk tubuh tegap pria itu secara tiba-tiba, dan membuat Sean hampir jatuh terjerembab ke lantai karena ulah tiba-tiba gadis itu. Mengingat kondisi koridor yang cukup ramai, Sean menundukkan kepalanya. Wajahnya memerah lantaran malu pada orang-orang di situ, bahkan ada beberapa perawat yang mengabadikan potret dirinya yang tengah dipeluk Kanaya. "Kanaya, apa-apaan kamu ini? Lepaskan saya. Lihatlah, orang-orang sedang melihat ke arah kita." "Biarin. Aku nggak mau ngelepasin Dokter. Kalau mereka iri mau kayak gini ya, silakan aja pelukan sama tembok." Kanaya malah semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Sean, menekankan kepalanya pada dadda bidang pria itu. Ngomong-ngomong, dia memang sangat nyaman berada di sana. "Astaga Kanaya!" Sean mengerang frustrasi, ia berusaha melepas tubuh Kanaya agar menjauh darinya, namun hasilnya tetap nihil. "Dokter nggak bisa lepas dari aku, soalnya aku tadi udah minum jamu kuat." Sean mengacak-acak rambutnya dengan wajah nelangsa. Sudahlah, ia biarkan saja kalau begitu. Pasti Kanaya juga bosan sendiri nantinya. Tbc...

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.9K
bc

My Secret Little Wife

read
94.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.8K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.7K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook