bc

Tuan Pencakar Langit

book_age18+
5.4K
FOLLOW
45.5K
READ
billionaire
love-triangle
possessive
sex
one-night stand
goodgirl
badgirl
drama
bxg
humorous
like
intro-logo
Blurb

Warning 21+ Bijaklah dalam memilih bacaan

“Mau ke Amsterdam?” tanya Armand.

“Sama kamu?”

“Iya dong, sama siapa lagi” Armand lalu terkekeh.

“Naik kereta?”

“Iya”

Amber menarik nafas, ia melirik Armand, “Tapi aku sebenernya pengen ke Praha”

“Boleh juga tuh, kapan? Aku sebenernya juga pengen ke Praha juga. Berhubung aku sendiri takutnya kalah romantis. Jadi pikiran aku ke Amsterdam” Armand lalu tertawa.

Amber juga ikut tertawa, “Iya sih kalau pergi sendiri ke Praha kayak gimana gitu, terlalu romantis”

“Kapan?” tanya Armand.

“Ya, nikmati Brussel dulu lah ya” Armber terkekeh, ia memakan croissant dengan tenang.

“Kamu sudah ke mana aja di Brussel”

“Aku kemarin ke Grnad Place, main square nya Brussel. Lalu muter-muter di pusat kota. Aku ke Manneken Pis, ternyata kecil banget. Terus kemarin aku nyobaik waffle coklat khas Brussel di Mokafe”

“Mokafe itu kalau nggak salah satu café legendaris dan tua di Brussel ya”

“Ih kok tau sih”

“Iya tau lah”

“Enak tau waffle nya”

“Aku pingin ke sana tadi, Cuma muternya ke sini”

“Yaudah nanti aku temenin” ucap Amber.

“Sure?”

“Iya lah”

“Thank you” ucap Armand lalu tertawa.

chap-preview
Free preview
Bab 1
    ***   Ketika tunangan menikah dengan pria pilihannya merupakan akhir dari kisah cintanya. Jujur ia memang kecewa ketika orang yang ia cintai berjodoh dengan pria lain, meninggalkan sakit hati seorang diri seperti ini. Sejujurnya Ia sudah mengikhlaskan apa yang telah terjadi. Ia akan menerapkan sebuah pepatah bahwa cinta tak harus memiliki. Ia pernah mengatakan bahwa cinta tak harus memiliki itu adalah cinta fiktif belaka, namun yang terjadi, ia mengalaminya sendiri. Hati mana yang tidak terluka ketika sang pujaan hati selama ini malah bukan berjodoh dengan dirinya. Ada kesadaran dalam diamnya, ada penghargaan dalam teriaknya, tapi tetap saja pergi meninggalkan. Maka besar kekecewaan dan rasa sakit yang membendung dihati. Akan tetapi apa yang mau dikata jika kondisi memang harus berpisah tidak ada hal yang perlu dilakukan, selain membahagiakan diri sendiri. Mungkin inilah jalan  yang terbaik, merelakan pergi karena ini yang dapat membuat dia bahagia dengan pilihannya. Namun ia tidak perlu merisaukan hal itu, karena ia yakin Tuhan akan memberikannya jodoh terbaik untuk dirinya. Setiap pertemuan  pasti ada perpisahan, hal ini adalah hal yang wajar. Ia akan terbang mencari kebahagiaanya sendiri. Ini hari pertamanya di kota Brussel, ini adalah musim semi terbaik suhu tidak terlalu dingin. Ia menikmati matahari penuh, kota, taman, jendela toko dan rumah penduduk  berhias kelopak bunga warna-warni. Daun maple masih hijau, café ditepi jalan menghamburkan aura positif setiap orang memandangnya. Beberapa pengunjung asik menikmati bir sambil mengobrol bersama teman-temannya. Armand menatap Hallerbos yang menawan menghiasi setiap sudut kota. Hallerbos itu adalah bahasa Belanda yang artinya sebuah taman atau Bois de Halle dalam bahasa Perancis. Memperlihatkan hutan hijau yang lantainya penuh dengan  bunga yang sedang mekar. Ia pernah membaca novel-novel karya Hemingway yang membahas tentang kota Brussel, yang menceritakan Cobblestone, jalanan yang terbuat dari batu kecil, bersusun membentuk pola. Hemingway menceritakan  dengan begitu romantisnya kota ini, sehingga ia dapat menempelkan kenangan yang indah pada pembacanya. Sehingga ini adalah alasannya ia ke sini. Ia seperti menemukan dirinya yang lain di kota ini, berjalan kaki mengitari setiap sudut kota. Jalan-jalan kuno yang mempesona, dan melupakan bahwa ia hampir tidak pernah berjalan kaki di Jakarta. Armand menatap seorang wanita terjatuh paperbag berisi croissant itu berjatuhan ke jalan. Wanita itu tersandung hingga tubuhnya mencium jalan. “Aduh …!” Armand mengerutkan dahi, kata aduh merupakan  kata seru untuk menyatakan rasa heran, atau sakit dalam bahasa Indonesia. Armand menghentikan langkahnya lalu menoleh menatap wanita itu, ia lalu segera menolong dan mengambil paperbag bertulisan croissant. “Are you oke?” Ucap Armand, ia memandang wanita muda, mengenakan dress kuning dengan motif florist kecil  dengan tali spaghetti, ia dapat melihat secara jelas kulit mulus wanita itu. Armand memasukan croissant itu ke dalam paperbag. “Thank you,” ucapnya, lalu mengusap tubuhnya yang sakit, ia memandang seorang pria, mengenakan kaos berwarna putih dan celana jins. Ia lalu mengalihkan pandangannya ke arah high heels yang dikenakannya ternyata patah. Oh Tuhan, ia tidak tahu apa yang terjadi padanya, bisa-bisanya high heelnya patah, mungkin karena permukaan jalan yang tidak mulus, membuat high heelnya  seperti ini. Harusnya tadi ia mengenakan sepatu flat ketika membeli croissant. “Are you from Indonesia?” Ucap Armand, menatap wanita berambut coklat terang itu dan membantunya berdiri. “Yes.” Wanita itu mengerutkan dahi, memandang pria itu, “Are you from Indonesia?” Armand tersenyum, ia lalu mengulurkan tangan kepada wanita itu, “Yes, of course. I'm from Jakarta.” Wanita itu tersenyum, menyambut uluran tangan Armand, “Saya juga dari Jakarta.” “Saya Armand.” “Saya Amber.” Armand merasakan tangan halus  itu  dipermukaan tangannya. Wanita lalu melepaskan tangan dan membalas senyuman Armand. “Apa kaki kamu terluka?” Tanya Armand, ia mengintai dari ujung kaki wanita bernama Amber dari atas hingga ke bawah. Ia melihat ada luka dilutut wanita itu dan high heels yang dia pakai patah. “Kaki kamu terluka,” ucap Armand kembali memperhatikan betis mulus itu. “Iya sedikit,” ucap Amber melihat lututnya mengeluarkan sedikit darah. Armand membantu Amber berjalan. Amber membuang croissant yang ia beli barusan ke tong sampah, karena menurutnya sudah kotor. Lalu mereka melangkah menuju café terdekat dan duduk di sana. Armand memesan dua cangkir kopi dan croissant. Server mengantar pesanan mereka. Armand kembali memandang wanita di hadapannya. Wanita itu memiliki wajah rupawan, hidung mancung, alis terukir sempurna dan matanya bening. Wajahnya seperti tidak asing. Ia tidak tahu apakah wanita itu artis atau bukan. “Aku belikan kamu hansaplast dan antibiotik sebentar di toko sebelah,” ucap Armand. “Ah nggak usah,” Amber mencoba menolak, namun Armand sudah beranjak dari kursinya. Amber hanya bisa menunggu pria bernama Armand itu  kursi sambil menikmati secangkir kopi, sejujurnya ia tidak nyaman diperlakukan seperti itu, terlebih Armand adalah orang yang baru ia kenal. Armand melangkah menuju toko sebelah, ia membeli hansaplast dan obat antiseptic, setelah itu membayar ke kasir. Setelah ia membeli itu, Armand mencari toko sepatu. Armand menatap sebuah toko bertulisan Crockett & Jones yang di dalam nya terdapat berbagai macam sepatu pria dan wanita. Armand masuk ke dalam toko, ia mencari sepatu di rak sepatu. Ia sebenarnya tidak tahu sepatu ukuran wanita yang baru di kenalnya tadi, namun ia inisiatif sendiri mengambil sepatu sneakers berwarna putih dihadapannya. Armand lalu membayar ke kasir, setelah itu ia kembali ke caffee. Ia hanya berniat untuk membantu wanita bernama Amber, bukan karena hal lain. Setidaknya ia memiliki teman sesama dari Indonesia di Brussel. Amber tidak percaya apa yang ia lihat, pria itu membawa paperbag bertulisan Crockett & Jones. Mata mereka bertemu dan saling berpandangan satu sama lain. Ia melihat senyum pria itu, ternyata pria itu sangat tampat, tubuhnya tegap ia yakin hasil dari olah raga teratur. “Apa kamu menunggu lama?” Tanya Armand ia lalu duduk di hadapan Armand. “Nggak kok,” Amber menyelipkan rambut di telinganya. Amber menatap pria itu, dia tersenyum, “Aku membelikan kamu sepatu tadi di toko depan.” “Oh God, kamu terlalu repot-repot,” ucap Amber, ia merasa tidak enak karena pria di hadapannya ini adalah pria yang baru dikenal. Amber menatap Armand, pria itu mengambil hansaplast dan obat antiseptic yang dibelinya. “Aku bantu obatin luka kamu,” ucap Armand, lalu bejongkok di hadapan Amber, ia melihat luka  goresan yang mengelurakan sedikit darah di lutut Amber. Amber menelan ludah, sejujur ia tidak enak namun ia membiarkan Armand menutupi  lukanya dengan handsaplast. Amber merasakan tangan hangan Armand dipermukaan kulitnya. Pria itu juga mengeluarkan sepatu yang dibelinya barusan. Itu adalah sepatu sneakers berwarna putih. Pilihan Armand tidak buruk menurutnya. “Aku sebenarnya tidak tahu ukuran sepatu kamu, semoga saja pas,” Armand mencoba tersenyum kepada Amber. Amber melihat Armand menyingkirkan high heels yang dikenakannya. Pria itu memasukan kakinya ke sepatu. Kini high heels Dior kesayangannya berganti dengan sepatu sneakers. Sepatu itu ternyata sangat pas di kakinya. “Thank you so much,” ucap Amber kepada Armand, setidaknya memakai sepatu ini lebih baik. “You're welcome,” Armand tersenyum. Armand kembali ke tempat duduknya, ia memandang coffeenya masih utuh, lalu menyesapnya secara  perlahan. Ia menatap wanita itu. “Apa kamu tinggal di sini?” tanya Armand. “Enggak, aku liburan,” Alis Armand terangkat, “Sama siapa?” “Sendiri sih, kamu?” “Liburan sendiri juga,” ucap Armand, ia kembali menyesap kopinya sambil memakan croissant. Amber menyesap kopinya, ia melirik Armand, “Ketika di Jakarta aku benar-benar menguras tenaga, waktu dan pikiran. Aku mencoba inisiatif sendiri mengambil liburan panjang ke Brussel, agar pikiran aku lebih fokus. Ya merenung sembari menyesap kopi sambil makan croissant. Itu benar-benar cara agar diri aku senang, rileks dan menikmati hidup,” ucap Amber lalu tersenyum. “I see.” “How about you?” Tanya Amber, menatap pemuda bernama Armand. “Sama dengan kamu, melupakan sejenak tentang kehidupan di Jakarta.” “Di Jakarta kamu kerja di mana?” Tanya Armand. “Aku punya butik, ya butik kecil-kecilan aja sih. Kalau kamu?” “Aku kerja di Kilang minyak, tapi aku punya usaha kecil-kecilan juga, ya nggak seberapa, capek juga ngurusnya,” Armand lalu tersenyum dan kembali tertawa. “Udah lama kerja di Kilang?” Amber ia menatap ada beberapa orang masuk ke dalam caffee. Ia tidak tahu usaha apa yang dijalani pria itu, namun ia kembali bertanya soal pekerjaan pria itu. “Lumayan, empat belas tahun.” “Wow, lama juga ya, bagian apa?” “Chief supply chain.” “Kepala bagian?” “Yes.” “Keren dong, lulusan perminyakan ya,” Amber tersenyum memandang Armand. “Iya, di UI. Kamu?” “Aku dulu sekolah fashion di Paris. Oiya kamu nginap di mana?” Tanya Amber penasaran, ia menyesap kopinya lagi. “Aku nginap di Steigenberger Wiltcher’s. Kamu di mana?” Mendengar Steigenberger Wiltcher’s alis Amber terangkat, ia tidak percaya bahwa sekelas Armand menginap dihotel bintang lima di sini. Ia saja pergi ke Brussel dengan menghemat biaya menginap di hotel bintang dua. Hotel yang ditempati Armand adalah hotel kelas atas yang megah ini terletak di antara pertokoan kelas atas di Avenue Louise, berjarak 1 km dari Royal Museums of Fine Arts, dan 2 km dari Royal Palace of Brussels. “Aku di Meininger hotel.” “Jauh dari sini?” “Enggak kok deket.” “Kamu udah berapa lama di sini?” Tanya Armand, ia menyesap kopinya lagi. “Baru dua hari.” “Kamu?” “Baru hari ini.” “Sampai kapan ke?” Tanya Armand lagi. “Sampai bosan aja sih. Kalau kamu?” “Mungkin seminggu lebih atau dua Minggu, aku mau benar-benar ingin me time.” Amber mulai berpikir berapa budget menginap si Armand, jika permalam pria itu menghabiskan empat juta, jika sepuluh hari untuk menginap empat puluh juta. Ia kembali memandang Armand. Belum makan, belum ongkos taksi, ia tidak yakin pria itu hanya ke Brussel. “Kamu cuma pergi ke Brussel?” “Enggak, mungkin aku akan ke Amsterdam, jaraknya juga dekat 2,5 jam saja kan Brussel. Kamu mau ke mana saja?” “Palingan sini-sini aja sih.” “Mau ke Amsterdam?” tanya Armand. “Sama kamu?” “Iya dong, sama siapa lagi,” Armand lalu terkekeh. “Naik kereta?” “Iya.” Amber menarik nafas, ia melirik Armand, “Tapi aku sebenernya pengen ke Praha.” “Boleh juga tuh, kapan? Aku sebenernya juga pengen ke Praha juga. Berhubung aku sendiri takutnya kalah romantis. Jadi pikiran aku ke Amsterdam” Armand lalu tertawa. Amber juga ikut tertawa, “Iya sih kalau pergi sendiri ke Praha kayak gimana gitu, terlalu romantis.” “Kapan?” Tanya Armand. “Ya, nikmati Brussel dulu lah ya,” Armber terkekeh, ia memakan croissant dengan tenang. “Kamu sudah ke mana aja di Brussel.” “Aku kemarin ke Grnad Place, main square nya Brussel. Lalu muter-muter di pusat kota. Aku ke Manneken Pis, ternyata kecil banget. Terus kemarin aku nyobaik waffle coklat khas Brussel di Mokafe” “Mokafe itu kalau nggak salah satu café legendaris dan tua di Brussel ya.” “Ih kok tau sih.” “Iya tau lah.” “Enak tau waffle nya.” “Aku pingin ke sana tadi, cuma muternya ke sini.” “Yaudah nanti aku temenin,” ucap Amber. “Sure?” “Iya lah.” “Thank you,” ucap Armand lalu tertawa. Armand dan Amber meninggalkan caffe, mereka melangkah menelusuri jalan. Mereka menikmati indahnya kota Brussel. “Katanya di Brussel nggak ada apa-apanya sih, katanya di Bruges lebih seru dibanding di sini. Di sana kotanya cantik banget,” ucap Amber membuka topik pembicaraan. “Owh ya, tau dari siapa?” “Receptionis hotel. Katanya kalau mau berangkat pakek kereta, palingan cuma sejam dari sini. Tiketnya murah Cuma 14 euro. Sebenernya aku nggak tau apapun sih kota ini. Modal nekat aja,” “Owh ya.” “Iya rekomendasi dari temen sih, katanya kalau mau me time, waktu yang tepat mencari ketenangan ke Brussel aja. Kota ini bukan seperti kota metropolitas seperti Paris, Amsterdam, ya setidaknya tenang. Temen aku bilang jangan lupa mampir ke Ghent, aku cek di google  ternyata kotanya lucu dan jaraknya deket banget sama Bruges. Katanya di sana ada restoran Indonesia yang super enak, wajib mampir,” ucap Amber lalu tertawa. “Ayo kita ke sana.” “Besok deh, hari ini kita keliling dulu ke Brussel,” ucap Amber. “Iya, aku juga baru nyampe. Tapi kamu banyak tau loh kota ini disbanding aku. Soalnya aku nggak tau apa-apa sih. Taunya kalau ada hotel enak yaudah nginap aja.” “Uh dasar, katanya me time.” “Ya emang me time, cuma nggak tau aja kota A, kota B, Cuma keliling aja sendiri, kalau ada kamu kayaknya seru ya. Jadi ke mana-mana ada temennya,” Armand terkekeh. “Iya.” “Welcome to Brussel.” Armand tersenyum menatap Amber, ia tidak percaya bahwa dipertemukan seorang wanita ceria bernama Amber di sini. Obrolan mereka sangat seru membahas kota-kota indah di sini. Mereka menikmati indahnya kota Brussel yang seperti kota abad pertengahan. Mereka melewati gang-gang cobblestone yang diapit gedung-gedung tua yang penuh ukiran dan sejarah. Tuhan selalu mempertemukan seseorang dengan cara cantik dan berujung indah. Senyum dan mata itu kembali, hingga ia bertanya, apakah ini cintanya?.   ***      

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
84.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.5K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.3K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook