bc

Setelah Masa Lalu (Non Exc)

book_age16+
1.4K
FOLLOW
7.6K
READ
family
love after marriage
fated
second chance
aloof
sensitive
self-improved
female lead
friendship
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Annisa Fauziah atau lebih karib disapa Zizi—si Gadis hitz pada masa SMA—yang terkenal dengan sifat-sifat buruknya. Mendadak dia berubah. Rambutnya yang indah kini tertutup hijab lebar. Tutur katanya yang kasar pun berubah menjadi santun. Sikapnya yang brutal dan arogan, berubah menjadi anggun dan lemah lembut.

Setelah bertahun-tahun dia kembali dipertemukan dengan teman-teman semasa SMA-nya melalui acara reuni. Untuk pertama kalinya pula ia kembali bertemu dengan Reno Alamsyah—laki-laki yang memiliki tempat spesial dalam hatinya. Dia adalah kekasihnya semasa putih abu. Namun, kenyataan pahit harus ia terima saat Alfian Aripin—si mantan ketua OSIS—yang juga sepupu dari Reno sekaligus musuh bebuyutannya, mengabarkan jika laki-laki itu akan menikah dalam waktu dekat, dengan seorang yang tidak lain adalah sahabat baik Zizi.

Kenyataan pahit itu harus ia terima di saat dirinya sedang berusaha untuk menyembuhkan luka masa lalunya. Bagaimana hidup Zizi setelah itu? Akankah Zizi bisa move on dari cinta masa lalunya? Dan berhasilkah Zizi menyembuhkan luka masa lalunya?

chap-preview
Free preview
Temu
Pagi datang lagi. Mentari menyapa, tebarkan hangat sinarnya. Masih dan selalu dengan doa yang sama, semoga hari ini menjadi lebih baik dari sebelumnya; tak ada tangis yang menghiasi pelupuk mata; tak ada lara yang bersarang dalam hati. Untuk diriku, terima kasih telah bertahan sampai sejauh ini. Maaf, jika selama ini aku selalu ceroboh menyakitimu; menganggapmu bodoh; lemah; tak berguna; dan semua caci maki lainnya. Untuk diriku, terima kasih telah menemaniku berproses; membantuku untuk kembali berdiri tegak; dan bergerak menepis semua rasa takut. Untuk diriku, kamu hebat; kamu luar biasa; dan kamu berharga. *** Langkah kaki berjalan cepat, menyusuri trotoar dengan pemandangan hiruk pikuk jalanan yang ramai oleh lalu-lalang kendaraan. Suara klakson terdengar nyaring dan saling bersahutan. Matahari tepat berada di atas kepala, panasnya terasa tembus membakar hangus kulit yang tertutup kain. Bulir-bulir keringat mengucur di balik kerudung yang membalut mahkota indahku. Sesekali punggung tangan bergerak mengusap keringat yang membasahi dahi. Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan, jarum jam berada di antara angka dua belas dan dua. Sepasang kaki ini tak henti bergerak, dengan dahi yang mengerut sebab tak kuat menahan panasnya cuaca siang ini. Hanya beberapa meter lagi untuk sampai di tempat tujuan. Tiba-tiba saja terdengar suara nyaring berasal dari dalam tas yang tersampir di lenganku. Terpaksa langkah pun terhenti. Satu tangan merogoh benda pipih itu dan menempelkannya di telinga. “Assalamualaikum, kenapa, Sit?” tanyaku pada seseorang di balik telepon. “Wa'alaikumsallam. Teteh hari ini ke kafe, ‘kan? Laporan yang minggu kemarin kayanya ada yang salah. Bisa tolong diperiksa lagi, Teh?” “Iya, ini Teteh lagi dijalan sebentar lagi sampai,” jawabku dan mengakhiri panggilan. Benda pipih berwarna hitam itu kembali ke tempat semula, dalam tas cokelat hadiah pemberian dari Kak Prita—kakak iparku, satu tahun yang lalu. “Zi!” Seseorang menyerukan namaku. Wajahku langsung terangkat, menatap sosok yang berjalan menghampiri. Netraku menatapnya lekat, sedikit terkejut dengan keberadaannya. Tak diduga di hadapanku kini berdiri pria berkacamata, bertubuh tegap, rambutnya yang hitam tersisir rapi, senyumnya yang menawan mengarah padaku. Raut wajah pria itu terlihat maskulin dan memikat. “Alfian?” Bibirku akhirnya menyebut nama pria itu. Dia kembali tersenyum. Sekilas tampak ia memandangku dari ujung kaki sampai kepala. Aku kembali terdiam kaku, membeku dalam ketidakpercayaan akan pertemuan ini. “Apa kabar, Zi?” Dia kemudian bertanya, setelah beberapa saat memperhatikanku. “Aku baik, alhamdulillah. Kamu sendiri, Al?” Aku juga menatapnya, menebar senyum tipis dan bertanya di akhir kalimat. Dia tertawa pelan sebelum menjawab, “Baik juga, alhamdulillah! Kamu pangling, Zi.” Pandangan dalam sekejap menurun ketika dia mengomentari penampilanku. Bibir ini lantas mengulas senyum tipis. “Setiap manusia pasti berubah seiring waktu dan perjalanan hidupnya, Al.” Responsnya hanya tersenyum seraya menaik-turunkan kepala. Setelah bertahun-tahun, ini adalah pertemuan pertama kami. Wajar, jika dia terlihat heran. Itu juga yang aku rasakan saat melihatnya. Meski tidak banyak yang berubah dari penampilannya, tetapi kuakui dia begitu memesona saat ini. “Kamu habis dari mana, Al?” tanyaku sedikit basa-basi. “Dari sana.” Dia menunjuk ke arah bengkel mobil di seberang kafe, “habis ketemu sama teman.” “Temannya yang punya bengkel itu?” Aku kembali bertanya, sedikit penasaran. “Bukan, kami tidak sengaja bertemu. Katanya mobilnya mogok dan kebetulan aku melintas tidak sengaja melihatnya. Lalu, kamu sendiri mau ke mana, atau habis dari mana?” “Mau ke kafe seberang bengkel itu.” Langkahku kembali maju, dia menyejajarkan langkah. Berjalan di samping kananku. Tubuhnya yang tinggi, membuatku terlihat kerdil. “Mau mampir, ngopi atau ....” “Oke!” Dia langsung setuju, “aku pindahkan mobil dulu.” Alfian berlalu, sementara pandanganku seperti enggan lepas darinya. Dia sangat berbeda, begitu memesona dengan kemeja biru muda yang lengannya digulung. “Astagfirullah ....” ucapku cepat. Bergegas aku masuk. Suasana kafe tidak terlalu ramai, hanya beberapa meja yang terisi. Beberapa bulan terakhir selain sabtu malam, seperti inilah penampakkan kafe. Aku pun lekas menghampiri Siti. Dia rupanya sudah menunggu. “Nanti Teteh cek laporannya. Sekarang ada teman Teteh. Minta tolong dituliskan pesanannya, ya,” ujarku pada Siti. “Siap, Teh.” Siti ikuti langkahku. Ternyata Alfian sudah duduk manis sembari memainkan ponsel. Dia sedikit tersentak dengan kedatanganku. “Pesan saja dulu, Al.” Siti serahkan buku menu. Tidak lama dia memilih, langsung memesan, “Iced Coffee Latte saja.” Hanya itu yang dia pesan. Usai gadis yang sudah bekerja lebih dari dua tahun bersama Mama itu pergi, kami lanjutkan saling berbincang. Alfian tanyakan banyak hal padaku. Salah satunya ia bertanya, “Kamu kerja di mana, Zi?” “Di sini,” jawabku dengan santai. “Di sini?” Dia seperti sedang meyakinkan. “Iya, di sini. Mama adalah pemilik kafe ini dan aku bekerja membantu mengurusnya.” “Oooh,” ujarnya singkat dengan pandangan memperhatikan sekeliling. Tak berselang lama gadis yang mengenakan seragam berwarna merah marun itu datang dengan membawa pesanan Alfian dan juga segelas jus mangga favoritku. Diletakkannya di atas meja bundar dengan taplak meja terpasang rapi di tengah kursi yang kami duduki. “Terima kasih, Sit,” ucapku dan gadis itu hanya mengulas senyum, lantas kembali bekerja. Usai kepergian Siti, sepasang manik mataku menangkap basah Alfian yang memandang ke arahku. Pandangannya seperti sedang menguliti penampilan baruku. Dia mungkin masih merasa tidak percaya dengan apa yang tampak di depan matanya. Sebenarnya ada rasa tidak nyaman melihat cara pria itu menatap. “Diminum, Al,” ujarku membuatnya sedikit terkejut. “Omong-omong kamu sendiri kerja di mana?” tanyaku, berusaha mencairkan suasana yang terasa mulai membuatku canggung. Pria berkacamata dengan frame hitam itu tidak langsung menjawab. Diraihnya cangkir berisi minuman yang ia pesan dan menyesapnya perlahan. Setelah itu baru dia menjawab, “Ayahku punya usaha di bidang furnitur. Aku membantunya di sana. Sekalian belajar bisnis.” “Kenapa tidak memulai bisnismu sendiri? Bukannya itu jauh lebih menantang. Seingatku, kamu bukan tipe orang yang senang bergantung pada orang lain.” Pria itu tertawa kecil. “Sepertinya kamu sangat mengenalku dengan sangat baik.” “Ish ... ya, karena memang kenyataannya seperti itu, ‘kan?” Mendadak aku merasa gugup. “Sebenarnya aku ini seorang arsitek,” katanya, sembari mengubah posisi duduk, sedikit memajukan kursinya. “Jadi kamu arsitek, Al?” “Ya ... arsitek muda,” jawabnya begitu percaya diri. Aku tertawa mendengarnya dan dia membelalakkan mata menatap dengan ekspresi keheranan. Tangannya kini terlipat di atas meja dan menatap lurus padaku. Tawaku dalam sekejap terhenti, pandangan kami saling bertemu dalam beberapa detik. “Kenapa? Bukankah muda menurut orang Indonesia adalah orang yang berusia enam belas sampai tiga puluh lima tahun? Usiaku belum menginjak tiga puluh tahun, Annisa Fauziah.” “Bukan ... bukan itu. Kenapa harus ada kata 'muda'? Kamu sepertinya takut dibilang tua?” “Sudahlah, lupakan. Bicara tentang tua, aku tersinggung, Zi.” Pria itu tergelak. Kami pun larut dalam obrolan. Tidak disangka sikapnya ternyata begitu hangat. Dia juga begitu mengasyikan, meski sempat membuatku canggung. Kami bicara tanpa sekat, seperti dua orang sahabat karib yang lama tidak bertemu dan sedang melepas rindu. “Berbisnis itu tidak mudah, harus siap dengan risiko rugi, itu yang dikatakan mamaku.” “Ya, betul. Aku pun awalnya tidak tertarik sama sekali untuk berbisnis, tapi setelah memulai rasanya seperti makan cokelat. Manis dan membuat ketagihan.” Mataku menatapnya konsisten. Cara ia bercerita seperti mengandung magis. Tidak membosankan dan membuat tertarik untuk terus mendengarkannya. Dia tidak pernah bicara banyak sebelumnya. Wajahnya juga tidak pernah terlihat sesantai ini padaku. Dulu dia selalu menatapku dingin dan tajam. Seiring berjalannya waktu, semua yang ada di muka bumi ini pasti berubah. Hubungan buruk tak selamanya tetap buruk, pun sebaliknya dengan hubungan baik yang tidak akan selamanya tetap baik. Namun, semua bisa diupayakan. Bagaimana caranya hubungan buruk bisa menjadi baik, dan hubungan yang telah terjalin baik, tetap bisa menjadi baik. Berlaku untuk semua hubungan, termasuk dalam pertemanan. Jangan sampai yang dulu begitu dekat dan akrab, kini menjadi berjarak seperti orang asing. Pria yang telah kukenal lebih dari sepuluh tahun yang lalu itu masih tak henti bicara. Dia begitu terlihat nyaman duduk bersandar pada bahu kursi, dengan tangan kiri berada di atas meja, serta ponsel yang terletak di samping cangkir kopinya. “Ayahku sudah tua, Zi. Sudah waktunya dia duduk dan bermain dengan cucunya. Bukan bekerja,” ujarnya dengan tatapan penuh cinta. “Selain arsitek muda, rupanya kamu juga sudah menjadi ayah muda, Al,” tanggapanku, tidak tahu kalau dia sudah menikah. Dia malah tertawa setelah aku bicara dan langsung menyangkal. Katanya cucu yang ia maksud adalah anak-anak dari kedua kakaknya. “Manusia itu terkadang sok tahu, seperti kamu misalnya.” Kami pun kompak tertawa. “Aku pikir kamu sudah menikah, Al.” “Kamu sendiri sudah menikah?” Aku terdiam beberapa saat, lantas alihkan topik bicara. “Omong-omong ... bisnis itu kamu jalani sendiri atau dibantu kakak-kakakmu, Al?” Pria itu bukannya menjawab, malah melayangkan tatapan penuh selidik. Pandanganku pun menurun. Pertanyaan itu selalu membuatku tidak nyaman. Mungkin terdengar sederhana dan biasa, tetapi tidak bagiku. Berbicara tentang pernikahan, selalu saja membuat d**a ini sakit dan sesak. “Kedua kakakku enggan untuk melanjutkan usaha ayah. Mereka bilang tidak ada bakat dalam berbisnis. Kakakku yang pertama seorang dokter bedah dan yang kedua seorang dosen.” Akhirnya dia menjawab. Mataku kembali fokus pada gerak bibirnya yang kembali bercerita tentang suka dukanya dalam menjalani bisnis ayahnya itu. Dia mengaku sampai detik ini selalu kesulitan membagi waktu antara pekerjaannya sebagai arsitek sekaligus pebisnis. “Keduanya sama pentingnya. Aku tidak ingin gagal melanjutkan bisnis yang dibangun susah payah oleh Ayah. Dari bisnis itu, ia bisa menyekolahkan ketiga anaknya sampai menjadi seperti saat ini,” ujarnya yang membuatku terkesan. Alfian ternyata bukan sosok yang egois. Meski bisa saja dia menolak seperti kedua kakaknya, tetapi dia tidak melakukan itu. Dia juga sosok yang begitu mencintai keluarganya. Itu yang bisa aku simpulkan dari obrolan dengannya. “Kamu sendiri, sudah lama membantu mamamu mengurus kafe ini?” Giliran dia bertanya tentangku. “Belum lama, sekitar dua tahun yang lalu.” “Terus sebelumnya kamu kerja di mana?” “Di salah satu Bank BUMN, hampir empat tahun semenjak lulus kuliah.” Dadaku bergejolak saat mengatakan itu. “Kenapa berhenti?” “Aku mengundurkan diri, karena suatu hal.” Seulas senyum aku lempar padanya. Pertahananku hampir saja roboh. Kesedihan itu kembali menumpuk dalam d**a. Ingin rasanya mengakhiri pertemuan ini dan pergi mengurung diri dalam kamar yang gelap. Sekuat tenaga aku berusaha untuk mengendalikan diri. “Kamu baik-baik saja Annisa Fauziah?” tanyanya, menyebut lengkap namaku. “Aku baik-baik saja,” jawabku, kembali memasang topeng. Pria itu benahi posisi duduknya dan kembali menatapku. “Jujur saja, Zi ... aku masih tidak percaya kalau yang duduk di depanku ini adalah kamu.” “Kenapa? Karena sekarang aku mengenakan kerudung dan lebar pula?” kuhela napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan, “seperti kataku, setiap manusia bisa berubah seiring waktu dan perjalanan hidupnya, Al.” “Aku salut dengan perubahanmu yang luar biasa menurutku. Bukan hanya penampilanmu saja yang berubah, sekarang kamu juga lebih santun dan anggun dalam bertutur kata.” “Lo, mau gelang gue? Nih, ambil gelang gue!” Gelang itu jatuh tepat di wajah Alfian, yang langsung memalingkan wajah. “Tunggu, Annisa Fauziah! Annisa Fauziah!” Dia berulang-kali meneriakkan namaku. Masa bodo! Aku tidak peduli dan terus melenggang pergi bersama ketiga temanku—Melisa, Anggi dan Ratna, mengabaikan seluruh pasang mata di sepanjang koridor kelas yang menyaksikan pertengkaranku dengan si ketua OSIS itu. “Kamu kenapa, Zi?” Aku kembali tersadar dan menggeleng cepat. “Kamu pasti masih ingat pertengkaran soal gelang itu?” Dia tersenyum menjawab pertanyaanku, “Tentu saja aku masih ingat. Semuanya aku masih ingat.” “Aku minta maaf, ya, Al.” “Terlambat, Zi,” ungkapnya membuatku tak enak hati. Sikapku saat itu pasti sangat melukainya. Aku hanya bisa tertunduk dengan perasaan yang campur aduk. “Tenang saja, Zi. Aku sudah memaafkanmu jauh dari sebelum kamu meminta maaf. Lagi pula itu masa lalu dan kejadiannya juga sudah lama.” Di bawah hidungnya terlukis garis melengkung yang membuat d**a seketika merasa lega. “Kamu belum jawab pertanyaanku, Zi.” Dahiku mengerut menatapnya. Pertanyaan? Apa dia menanyakan sesuatu saat aku larut dalam lamunan? Wajahku menampakkan kebingungan. “Tadi aku tanya kamu sudah menikah dan kamu belum menjawab pertanyaanku. “Belum, Al. Doakan saja,” kataku sembari berusaha tetap tersenyum. “Tunggu apa lagi, sih? Umur kamu itu makin tua, lho. Teman-teman sudah pada punya anak, kamu masih saja belum menikah.” Kalimatnya terdengar seperti cibiran. “Dua puluh delapan tahun untuk ukuran wanita di mata masyarakat kita memang sudah tua, Al. Namun, bagiku pernikahan bukanlah suatu pencapaian atau ajang perlombaan. Takdir kita itu tidak terlepas dari campur tangan Allah, jika Dia masih merahasiakan jodohku. Aku bisa apa selain berdoa?” jawabku sedikit kesal. “Aku tidak bermaksud apa-apa, Zi. Aku minta maaf.” Air mukanya berubah, menunjukkan penyesalan. Sorot matanya yang bening menatap dalam ke arahku. “Tidak apa-apa, Al. Aku juga minta maaf, karena tiba-tiba kasar.” Aku mengulas senyum samar. “Oh, iya ... kamu masih ingat Reno?” tanyanya, mengubah topik. Mendengar nama itu, selintas bayangan mampir dalam ingatan. Senyumnya yang menenangkan, manik matanya yang selalu menatap penuh cinta, aroma tubuhnya yang selalu wangi membuat rindu kembali mendera. “Tiga bulan lagi Reno menikah,” katanya membuat hati seketika sakit dan aku terdiam, menatap dengan kecewa. “Oh, ya? Kamu serius?” tanyaku berusaha untuk terlihat baik-baik saja. “Tentu saja aku serius, Zi. Dia sepupuku, tentu aku tahu semua tentangnya.” “Reno akan menikah dengan Melisa, Zi, sambungnya lagi. Wajahku spontan terangkat. Melisa? Dia yang akan menjadi calon istrinya Reno? Hanya satu orang Melisa yang aku kenal dan dia adalah sahabat baikku semasa SMA dulu. Hidup ini terlalu penuh teka-teki, penuh dengan kejutan. “Maafkan aku, Zi ...!” “Tidak apa-apa, Al. Aku baik-baik saja.” Aku berusaha untuk kembali tersenyum. Pria itu kemudian melirik arloji silver yang melingkar di tangan kirinya. “Kalau begitu aku pamit, ya.” Dia lantas mengeluarkan selembar uang pecahan seratus ribu dan menaruhnya di atas meja. Segera aku kembalikan. “Simpan uang itu dan datang lagi kemari bersama teman-temanmu.” Pria yang kukenal memiliki jiwa pemimpin itu tertawa kecil. “Baiklah! Aku janji akan kembali membawa banyak teman, asalkan langsung kamu yang melayaninya, Zi.”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.6K
bc

My Secret Little Wife

read
93.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.7K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook