bc

Terperangkap Lembah Renjana [BAHASA INDONESIA/ON GOING]

book_age18+
699
FOLLOW
4.1K
READ
billionaire
sex
one-night stand
arrogant
dominant
CEO
boss
drama
bxg
city
like
intro-logo
Blurb

Karir Pamela Arbizza Welby sebagai seorang wartawan dibuat hancur berantakan saat dirinya dan temannya kedapatan mengekspos skandal penggelapan dana yang dilakukan Prime Enterprises. Tanpa Pamela duga, pemilik perusahaan itu adalah Sebastian Orlando Narendra, seorang laki-laki tampan namun berhati dingin.

Demi mempertahankan nama baik perusahaannya, Sebastian lantas menjebloskan teman Pamela ke balik jeruji besi. Namun tidak dengan Pamela. Sebastian yang sudah kadung jatuh hati pada kemolekan tubuh dan wajah Pamela itu kemudian menawari Pamela kebebasan, tapi dengan syarat Pamela harus jadi teman tidurnya.

Pamela yang didesak keadaan mau tak mau menerima tawaran tersebut. Keperawanan serta harga dirinya sebagai wanita baik-baik langsung lenyap dalam satu malam. Tapi setelah satu kali mencicipi bagaimana nikmatnya tubuh Pamela, Sebastian malah pergi begitu saja. Dia lenyap, hilang bak ditelan Bumi dan tak ada seorang pun yang tahu di mana rimbanya.

Setelah setahun berlalu, Pamela yang masih sakit hati itu mulai mencoba untuk bangkit dari trauma masa lalunya. Dia mengubur mimpinya dan memberanikan diri untuk menata kembali karirnya. Siapa sangka, dia malah dipertemukan lagi dengan Sebastian, yang ternyata menjabat sebagai CEO di perusahaan barunya.

Tetapi anehnya, Sebastian sama sekali tak mengenalinya. Sikapnya juga berubah seratus delapan puluh derajat, dan Pamela menggunakan kesempatan ini untuk membalaskan dendamnya. Mampukah Pamela menjalani misinya dan memecahkan teka-teki atas perubahan sikap Sebastian? Ataukah Pamela akan terjerat dalam nafsu terlarang, sesuatu yang tak seharusnya dia peroleh dari Sebastian?

chap-preview
Free preview
Chapter 1 - Skandal Mengejutkan
Suara derap langkah kaki berhiaskan high heels setinggi lima senti mengisi lorong gedung Prime Enterprises. Dua orang wanita muda yang juga berprofesi sebagai wartawan itu nampak sedang asik bergunjing. Pengalaman wawancara dengan salah seorang petinggi perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan itu rupanya memberi kesan yang kurang mengenakkan bagi keduanya. “Kamu lihat bagaimana dia memotong ucapanmu tadi?” tanya Pamela Arbiza Welby pada teman sejawatnya, Lavinia Gregory. Dia tersenyum mengejek. “Oh, dan jangan lupakan gaya bicara dan bahasa tubuhnya. Dia benar-benar arogan,” imbuhnya geram. Berbeda dengan Pamela yang dibuat naik pitam, Lavinia malah terlihat jauh lebih tenang dan bersikap acuh tak acuh. “Benar. Bukan sekali dua kali dia memotong ucapan kita,” sahutnya sesampainya di kamar mandi wanita. Dikeluarkannya sebuah lipstik dari dalam handbag-nya dan dipakainya untuk memulas kembali perona bibirnya yang sudah agak luntur. “Sebenarnya dia menganggap kita apa sih? Pengemis? Kalau tidak bersedia diwawancara, harusnya katakan saja dari awal,” gerutu Pamela sambil melipat kedua tangannya di depan dadaa. Lavinia menunjukkan senyumnya sembari meletakkan kembali lipstiknya ke dalam handbag-nya. “Maklumlah. Mungkin karena jabatannya tinggi makanya dia jadi besar kepala,” pikirnya santai. “Manajernya saja sesombong itu. Bisa kamu bayangkan bagaimana sikap CEO-nya?” cemooh Pamela yang nada suaranya seketika naik sebanyak dua oktaf. “Shh … Pelankan suaramu,” bisik Lavinia takut-takut. “Jangan lupa, kita masih di kawasan Prime Enterprises.” Pamela menghela nafas panjang guna meredam emosinya. “Aku buang air kecil dulu,” katanya. “Oke, kutunggu di luar.” Pamela baru saja selesai merapihkan blouse dan roknya saat telinganya mendengar suara pintu kamar mandi dibuka. Tadinya dia pikir itu Lavinia, namun dugaannya meleset saat dia mendengar suara seorang wanita asing yang sedang bicara dengan temannya di telepon. Karena penasaran, Pamela memutuskan untuk berdiam diri sebentar di balik bilik kamar mandi sambil mendengarkan percakapan wanita itu dengan serius. “Kalian sudah memecahkan kode yang tepat untuk membuka brankas itu?” tanya sang wanita berambut pirang tersebut. “Belum,” jawab laki-laki yang sedang teleponan dengannya. Dahi wanita itu langsung mengerut. “Jadi kalian masih di ruang meeting?” tanyanya dengan raut wajah kesal. “Ya,” jawab laki-laki itu. “Stetoskop yang kamu berikan tidak begitu membantu.” “Bagaimana dengan wartawan itu? Apa mereka sudah pergi?” tanya sang wanita. “Kau tahu apa ganjaran yang akan kita dapat kalau sampai ada saksi mata yang mengetahui hal ini, bukan?” imbuhnya dengan nada bicara sedikit mengancam. “Aku paham,” sahut laki-laki itu seraya memutar bola matanya. “Sudah, cepatlah ke sini. Kami perlu bantuanmu,” tutupnya. Panggilanpun berakhir. Manik Pamela sontak terbeliak lebar. Jantungnya mulai berpacu dengan kencang. ‘Siapa mereka? Kenapa mereka membicarakan soal brankas? Apa jangan-jangan mereka mau merampok?’ terkanya dalam hati. Segera setelah memastikan kalau wanita yang gerak-geriknya mencurigakan itu telah pergi, buru-buru Pamela menghampiri Lavinia kembali. Dia sedang berdiri sendirian di samping lift. “Kamu lihat ada perempuan yang masuk ke kamar mandi?” tanyanya. “Maksudmu yang rambutnya dikuncir satu, pakai blazer dan rok span? Sepertinya dia pegawai sini,” jawab Lavinia. “Dia tidak bertanya apa-apa padamu?” Lavinia menggeleng. “Sepertinya juga dia tidak melihatku. Dia terlalu fokus dengan ponselnya dan jalannya buru-buru sekali,” jawabnya. “Kenapa?” “Gawat, Lavinia,” gumam Pamela panik. Diceritakannya semua yang didengarnya tadi di kamar mandi pada kawan baiknya. “Wartawan? Maksudnya kita?” desis Lavinia yang tak kalah kebakaran jenggotnya dengan Pamela. “Sudah pasti. Siapa lagi?” cetus Pamela. Dengan sigap Lavinia memegang pergelangan tangan kanan Pamela saat melihatnya hendak memencet tombol lift. “Kamu mau ke mana?” tanyanya cemas. “Ke ruang meeting. Mereka pasti mau merampok, dan kita harus menghentikannya.” “Apa? Kamu sudah gila, ya? Kalau mereka bawa senjata tajam bagaimana?” debat Lavinia. Pamela terdiam sejenak sebelum kembali bicara, “Kita langsung telepon polisi.” Lantai dua puluh satu, tempat di mana ruang meeting Prime Enterprises berada, nampak kosong melompong. Sambil mengendap-endap Pamela dan Lavinia mendekati ruang meeting yang pintunya ditutup tirai gulung itu. Berbekal alat perekam suara untuk merekam bukti kalau-kalau ada sesuatu yang membahayakan terjadi, serta sebuah ponsel untuk memanggil polisi. Siapa sangka, berawal dari rasa penasarannya, Pamela malah disuguhkan pada sebuah rahasia besar yang menyangkut soal kebusukan Prime Enterprises. Wanita yang tadi suaranya dia dengarkan di kamar mandi itu bukannya mau mencuri brankas, melainkan ingin membuka brankas yang isinya surat-surat dan aset berharga milik perusahaan itu—yang diperoleh dari hasil penggelapan dana dan praktik cuci uang. Usai mendengarkan sekaligus merekam apa yang mereka butuhkan, Pamela dan Lavinia yang masih tak punya nyali untuk ikut campur itu langsung meninggalkan gedung Prime Enterprises. Keduanya berjalan cepat, nyaris berlari, menuju parkiran mobil. “Mampus,” ujar Lavinia dengan nafas sedikit terengah-engah sesampainya di dalam mobil. “Menurutmu … apa ada CCTV yang merekam kita?” tanyanya. “Aku tak tahu,” gumam Pamela seraya menggeleng. Dia lanjut menyalakan mobilnya. “Kita balik ke kantor sekarang,” ajaknya. Setibanya di gedung publikasi Wordsmith Press, Pamela dan Lavinia lantas mendiskusikan bukti kebobrokan Prime Enterprises itu pada Ruslan, chief editor-nya. Ruslan sendiri sampai harus mendengarkan obrolan itu menggunakan headset sebanyak empat kali, sangkin merasa tak percayanya dengan telinganya sendiri. Bagaimana mungkin perusahaan sesukses Prime Enterprises, yang tiap tahun memperoleh gelar perusahaan terbaik dan digandrungi banyak mahasiswa tingkat akhir sebagai tempat magang itu, melakukan praktik seilegal ini? “Ini terlalu riskan,” resah Ruslan seraya melepas headset-nya. “Kalau sampai berita ini terkuak, bukan cuma Prime Enterprises yang akan jatuh, tapi Wordsmith Press juga akan terbawa-bawa dalam kasus ini,” timpalnya. “Tapi apa yang mereka lakukan itu sudah melanggar hukum!” ujar Pamela emosi. “Walaupun mereka perusahaan besar, kita tak boleh membiarkan praktik sekotor itu berkembang begitu saja. Toh kita juga punya bukti yang kuat, kan?” Ruslan menghabiskan waktunya sejenak untuk menimbang-nimbang keputusannya. “Kalian benar-benar yakin mau mempublikasikan hal ini ke media masa?” tanyanya. Lavinia beralih menatap wajah cantik kawannya. “Kamu yakin, Pamela?” tanyanya. “Aku takut sekali …,” bisiknya dengan wajah pucat pasi. “Kita ada di pihak yang benar,” tutur Pamela mantab. “Jadi apa yang kita takutkan?” Skandal itu langsung menyebar dengan cepat, bahkan sejak pertama kali dipublikasikan. Wordsmith Press berhasil mendapatkan banyak acungan jempol serta ketenaran dalam sekejap, tentunya sebagai media pertama yang berani menyuarakan sisi gelap Prime Enterprises. Sebagai ganjaran atas praktik ilegal yang dilakukannya, tidak cuma sahamnya saja yang langsung anjlok, beberapa petinggi besar Prime Enterprises juga langsung disidak polisi—dan berujung pula pada disitanya beberapa aset perusahaan. Dan tak butuh waktu lama hingga akhirnya berita ini sampai ke telinga Sebastian Orlando Narendra, CEO Prime Enterprises yang berhati dingin, congkak nan dominan. **Siang itu, di kediaman Sebastian** Desahan penuh gairah yang keluar dari bibir seorang wanita p3nghibur, Nastya namanya, mengisi seluruh penjuru kamar tidur Sebastian. Sambil duduk mengangkang di atas paha Sebastian, Nastya asik menggenjot batang berurat milik Sebastian yang panjang dan perkasa. “Ahhh … Punyamu besar sekali, sayang … Ahh f**k …,” desah Nastya seraya menggoyangkan pinggulnya dengan lincah. Dia meletakkan tangan kirinya di atas perut Sebastian yang dihiasi otot kotak-kotak sebagai tumpuan agar tubuhnya tak tumbang. Dua jari tangan kanannya yang dirias menggunakan cat kuku warna merah muda itu tak berhenti mengusap klitorisnya sendiri—menambah stimulasi yang membuat dirinya makin dekat dengan puncak orgasmenya. Selagi tangan kirinya sibuk meremas b****g Nastya yang sintal, tangan kanan Sebastian bergerak untuk meremas satu gundukan ranum milik Nastya yang bulat dan kenyal. Dielusnya puncak gunung kembarnya yang menegang itu dengan ibu jarinya, membuat tubuh Nastya menggelinjang dengan liar. Sepasang gundukan kembarnya ikut naik turun seirama dengan dorongan pinggulnya yang bertambah cepat. “f**k, yes, baby,” erang Sebastian. Dia beranjak memukul b****g Nastya dengan gemas, tidak hanya menyalurkan rasa perih tapi juga memberikan nikmat bagi tubuh Nastya. “Kau suka ini, sayang?” tanyanya sambil merayu. “Ahhh Sebastian …,” desah Nastya dengan tatapan sensualnya. Wanita pemuas nafsu langganan Sebastian itu jadi orang pertama yang berhasil meraih klimaks dari aktifitas ‘olahraga ranjang’-nya. Dengan lekas dia mengeluarkan batang kejantanann milik Sebastian dari dalam lubang kewanitaannya yang basah akibat cairan pelumas yang bercampur dengan lubrikan vaginanya sendiri, lalu dimasukkannya ke dalam mulutnya. Nastya terus mengulum milik Sebastian yang berkedut-kedut itu sembari sesekali memijat ujungnya, membuat Sebastian makin tenggelam dalam nikmatnya lautan ekstasi. Sebastian lantas menjambak pelan rambut panjang Nastya yang dicat menggunakan pewarna coklat itu kala cairan kental dari batang jumbonya muncrat di dalam mulut Nastya yang hangat. Dijilatinya cairan kental itu sampai habis. “Bagaimana ‘servis’-ku hari ini?” tanya Nastya. Dia lanjut meraih sebuah tissue untuk membersihkan bibir serta wajahnya yang kotor akibat benih cinta milik Sebastian. “Seperti biasa …,” jawab Sebastian seraya mengenakan lagi kaos hitam polos merek calvin klein-nya. Dia mengecup dahi Nastya sekilas. “… mengagumkan, sayang,” imbuhnya, lalu lanjut mengenakan boxer-nya. Nastya hanya tersenyum. Tepat setelah dirinya menyisir rambutnya dan memakai kembali dress spandex berbelahan d**a rendah miliknya, seseorang mengetuk pintu kamar tidur Sebastian. “Keluarlah dulu,” perintah Sebastian. “Akan kutransfer sisa pembayaranmu setelah ini.” Nastya menghadiahi bibir Sebastian dengan sebuah ciuman sebelum akhirnya pergi meninggalkan kamar tidur yang interiornya mayoritas berwarna abu-abu itu. Seorang laki-laki bertubuh tinggi dan berkepala plontos, Gustav biasa orang-orang memanggilnya, lanjut memasuki kamar tidur itu dengan langkah agak tergesa-gesa. “Saya punya kabar buruk, boss,” ucapnya. “Kabar buruk apa lagi? Soal tawaran merger dengan pemilik perusahaan gas itu?” terka Sebastian. “Bukankah aku sudah bilang padanya kalau aku menolak untuk diajak kerjasama?” ocehnya. “Bukan soal itu, boss,” jawab Gustav. Diberikannya sebuah majalah yang kepala beritanya berjudul ‘Skandal Gelap di Balik Suksesnya Prime Enterprises’ itu pada Sebastian. “Ada orang yang mengetahui rahasia perusahaan dan sengaja membocorkannya ke publik. Beberapa aset sudah disita, sepuluh dari lima belas orang petinggi perusahaan sudah dipanggil polisi dan nama boss sudah masuk dalam daftar pencarian,” timpalnya. Dibacanya berita yang menurutnya adalah berita sampah itu dengan tatapan gusar. “b******k!” umpat Sebastian seraya melempar majalah itu ke atas lantai. “Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?” tanyanya sembari meremas rambut tebalnya dengan frustrasi. Dia terdiam sejenak untuk berpikir. “Siapa yang kau suruh untuk membuka brankas itu?” tanyanya. “Vika, boss,” jawab Gustav yang tak kuasa memandang balik wajah tampan boss-nya. Dia tahu persis bagaimana mengerikannya sikap Sebastian kalau sedang marah. “Ah, Vika rupanya,” gumam Sebastian seraya menyeringai bak seekor serigala yang siap menyantap mangsanya. “Ck, lalai sekali. Harusnya dia bisa lebih hati-hati.” “Apa yang akan boss lakukan padanya?” tanya Gustav. “’Hilangkan’ dia dan seluruh orang yang terlibat dengannya.” Gustav mengangguk, “Baik, boss.” “Dan cari tahu siapa pencetus berita b*****t ini,” perintah Sebastian. “Suruh dia bertatap muka langsung denganku.” **Keesokan paginya, di kantor Wordsmith Press** Tubuh Ruslan dibuat bergidik karena ngeri. Sebenarnya dia paham apa konsekuensi berat yang akan dia peroleh saat dia mengiyakan ajakan timnya untuk mempublikasikan sesuatu yang berbau Sebastian Orlando Narendra. Kebengisannya sudah terkenal seantero jagad raya. Dan benar saja dugaannya, tak sampai seminggu berlalu, Sebastian langsung mengutus lima orang anak buahnya yang berbadan kekar dan berpakaian serba hitam itu untuk mendatangi kantor tempatnya bekerja. “Bu … bukan saya, sungguh,” ujar Ruslan agak terbata-bata. “Saya cuma mengikuti keinginan tim saya saja. Mereka juga yang pertama kali tahu dan merekam bukti itu.” “Siapa namanya?” tanya salah seorang anak buah Sebastian. “Pamela dan Lavinia. Mereka wartawan baru di sini,” jawab Ruslan sembari menundukkan kepalanya. Layaknya memasuki jalan buntu, dia tak punya pilihan lain selain mengaku. Keselamatan dirinya juga penting. “Panggil mereka ke sini.” Dibawanya Pamela dan Lavinia ke ruang kerja pribadinya. Ruslan tak berkata apapun lagi setelah itu. Lavinia hanya bisa pasrah dan terus berdoa dalam hati saat dia tahu kalau lima orang laki-laki yang berperawakan layaknya mafia itu akan membawa dirinya. Tapi tidak dengan Pamela. Dia masih bisa melawan, bahkan terus memberontak saat anak buah Sebastian memaksanya masuk ke dalam sebuah mobil alphard. “Lepaskan kami! Siapa kau?!” bentaknya. “Jangan melawan,” ancam salah seorang anak buah Sebastian seraya menodongkan sebuah pisau ke leher Pamela yang jenjang. “Tuan Sebastian ingin bicara dengan Anda.” ♥♥TO BE CONTINUED♥♥

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.8K
bc

My Secret Little Wife

read
93.7K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook