bc

THE DNA

book_age18+
10.0K
FOLLOW
96.8K
READ
revenge
love after marriage
powerful
brave
doctor
drama
sweet
like
intro-logo
Blurb

Hidup Elsa Gabriella Setiawan (20) seperti dipermainkan oleh Tuhan. Tragedi bayi tertukar di rumah sakit itu benar adanya dan dia adalah salah satu korban kelalaian petugas medis rumah sakit tempat sang mama melahirkan dulu.

Kelalaian yang membawanya hidup sederhana bersama orang tua yang ia pikir adalah orang tua kandungnya. Kehidupan yang membuat ia harus merelakan cita-cita mulia yang ia miliki, kehidupan yang kemudian membuat ia terhina dan direndahkan oleh seorang laki-laki yang ia cintai hanya karena Elsa adalah gadis miskin biasa.

Hidupnya berujung pada kenyataan bahwa ia adalah anak kandung dari sepasang dokter spesialis kaya raya dan laki-laki yang pernah menghina dan merendahkan dirinya dengan begitu luar biasa itu ternyata adalah laki-laki yang kemudian disodorkan oleh orang tua kandungnya untuk Elsa nikahi.

Lantas bagaimana kehidupan Elsa selanjutnya? Akankah dia bahagian?

Cover :

Pinterest by @ThoughtCo

font by @canva (Pompiere)

chap-preview
Free preview
PROLOG
Gadis kecil dengan kulit putih bersih itu mengayuh sepedanya dengan penuh semangat. Senyum mengembang di wajahnya. Ia ingin segera sampai di rumah, ada sesuatu yang ingin sekali ia tunjukkan pada Anita, mamanya mengenai apa yang ia dapatkan dari Dinas Kesehatan Kota Surakarta atas beberapa hari waktu sekolahnya harus ia relakan untuk ikut pelatihan dan seminar kesehatan yang wajib ia ikuti sebagai perwakilan dokter kecil dari sekolahnya. Ya ... dari hampir lima puluh lima siswa yang duduk di kelas tiga, hanya Elsa dan dua orang temannya saja yang terpilih sebagai dokter kecil yang mewakili sekolahan untuk mengikuti segala macam pelatihan dan seminar kesehatan yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Kota Surakarta itu. Bukan tanpa alasan kenapa kemudian Elsa ikut dipilih sebagai perwakilan sekolah, dia terkenal paling menonjol di kelas. Cerdas, berani berbicara di depan umum, publik speaking Elsa juga sangat bagus dibandingkan anak-anak seumurannya, dan satu lagi, dari hasil test IQ, ia menempati urutan pertama dengan skor 126. Selain itu, Elsa sangat suka mata pelajaran biologi, semua hal tentang alam. Jadilah ia yang di sodorkan pihak sekolah sebagai ketua tim perwakilan dokter kecil sekolah. Sampai di rumah kontrakan sederhana itu, Elsa bergegas menyandarkan sepedanya, berlari masuk ke rumah berlantai ubin itu. "Ma ... Mama!" "Ya, ada apa?" tampak Anita sedang menidurkan Kevin, sang adik yang baru berumur tiga bulan. Elsa melepas tasnya, membuka tas ransel gambar Hello Kitty warna pink itu dan mengeluarkan selembar kertas tebal berwarna putih. "Elsa dapat ini!" sodornya dengan penuh bangga. Anita bankit, ia duduk di tepi kasur dan menerima selembar kertas itu. Dibacanya dengan seksama kemudian tersenyum penuh arti. "Wah hebat, tapi kenapa ini nggak ada fotonya, Nak?" tanya Anita sambil menunjuk kolom foto yang masih kosong. "Iya, kata Bu Guru suruh nempel sendiri," Elsa beringsut duduk di sebelah sang mama, matanya menatap Anita lekat-lekat. "Ma, Elsa besok boleh ya sekolah biar bisa jadi dokter," mohon Elsa lirih, ia menatap mamanya yang sontak parasnya berubah sedu itu. "Nak, mama tahu Elsa pintar, mama tahu Elsa cerdas, tapi untuk bisa jadi dokter itu tidak cukup cuma pintar dan cerdas, Sayang." Anita mengelus lembut kepala sang gadis kecil, hatinya mendadak pedih. "Lalu harus bagaimana supaya bisa sekolah kedokteran?" tampak semangat gadis itu begitu luar biasa, jadi dokter? Itu memang sudah menjadi cita-citanya! Apalagi penyuluhan dan pelatihan dokter kecil yang kemarin ia ikuti membuat dia banyak berinteraksi dengan dokter-dokter Puskesmas yang ditunjuk oleh dinas terkait. "Harus banyak uang, Nak." Anita tersenyum getir, "Sekolah kedokteran itu mahal sekali biayanya. Biaya masuk, buku, ujian dan praktek-nya. Dan satu lagi, kuliah kedokteran itu lama." Tampak Elsa tertegun, sorot bersemangat yang tadi menyala seketika redup dan padam. "Papa mu bukan orang berada, Nak. Mungkin kamu mampu masuk, mampu lolos, tapi kami sebagai orangtua belum tentu mampu membiayai." "Jadi yang boleh sekolah kedokteran dan jadi dokter itu cuma orang-orang kaya?" suara itu terdengar cukup getir, Elsa sekuat tenaga menahan tangis. Jadi cuma orang kaya yang boleh jadi dokter? Gadis miskin seperti dia tidak boleh? Meskipun dia pandai? Meskipun ia tidak takut darah, tidak jijik pada apapun, dia tetap tidak boleh jadi dokter? Elsa meraih tas dan piagam dokter kecil yang tadi diberikan oleh gurunya itu, dengan lunglai ia melangkah keluar dari kamar mamanya, berjalan menuju kamarnya sendiri. Anita menatap pilu gadisnya itu. Elsa memang terkenal cerdas. Sejak kelas satu dia selalu duduk di peringkat satu dengan rata-rata hampir sempurna, 9.8! Skor IQ-nya juga begitu tinggi dibandingkan skor seharusnya untuk anak seumuran dia. Namun keadaan ekonomi membuat Anita memilih untuk membunuh cita-cita mulia Elsa sejak dini, daripada ia bergantung pada asa yang tidak pasti. Daripada ia fokus pada hal yang belum tentu bisa ia raih, lebih baik Anita buat dia memikirkan hal lain bukan? Anita tidak mau Elsa fokus untuk hal yang belum pasti dan down ketika benar nanti cita-citanya tidak bisa terwujud. "Maafkan mama-papa ya, Nak!" *** Elsa menutup pintu kamarnya, ia menatap piagam itu dengan linangan air mata. Jadi seperti itu? Hanya orang kaya yang boleh jadi dokter? Tapi kata Dokter Rinjani, dokter cantik yang memberi pengetahuan perawatan luka ringan beberapa hari yang lalu, ia bilang kalau mau jadi dokter harus rajin dan pintar, ia tidak bilang kalau jadi dokter harus orang kaya. Elsa merasakan dadanya sesak, apa salahnya kalau dia punya cita-cita mulia seperti itu? Apa salahnya jika ia ingin besok jadi penolong sesamanya? Memeriksa dan menyembuhkan orang-orang yang butuh jasa ahli medis? Air mata Elsa luruh, ia menangis tanpa suara. Kenapa hidup tidak adil? Kenapa sekolah dokter harus mahal? Kenapa ia harus jadi anak orang tidak berada? Bayangan Dokter Rinjani memakai jas putih yang ia katakan namanya snelli itu terbayang dalam ingatan Elsa. Ia sudah membayangkan betapa cantiknya ia kelak memakai jas seperti itu, dengan stetoskop di lehernya. Namun sayang, rasanya semua itu hanya ada dalam angan Elsa semata, tidak akan menjadi nyata, karena sekali lagi sekolah dokter itu butuh banyak biaya dan dia bukan anak orang kaya! Kenapa terkadang hidup harus segetir ini? Salahkah jika Elsa punya cita-cita untuk bisa mengabdikan tenaga dan ilmunya untuk menolong sesama? Apakah kemudian ia sehina itu sampai ia tidak pantas memakai jas putih bersih kebesaran para dokter itu? Apakah Elsa sekotor itu? Elsa memeluk lututnya, air mata masih menetes membasahi pipi. Dadanya begitu sesak luar biasa, ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan isak tangisnya keluar dan kemudiang terdengar oleh sang mama. Ia malu kalau ketahuan menangis, ia paling tidak suka dikasihani. Elsa menyandarkan kepalanya di pintu kamar. Apakah lahir dalam kemiskinan itu adalah sebuah kesalahan? Apakah anak miskin yang bercita-cita tinggi itu adalah sebuah dosa? Apakah orang miskin selamanya akan tetap miskin? Tetap seperti ini saja kehidupannya? Tidak boleh maju? Tidak boleh jadi orang yang bermanfaat untuk sesama? Kalau boleh, kalau memang orang miskin juga diizinkan untuk bisa bermanfaat, kenapa uang masih dijadikan alasan utama? Kenapa untuk bisa bermanfaat bagi orang banyak saja harus mereka yang beruang banyak? "Nak, cepat ganti baju. Mama sudah masak pepes tahu kesukaan kamu." "Sebentar, Ma!" Elsa berusaha tetap terdengar biasa saja di nada suaranya, dan dia berhasil. Elsa bangkit, menyeka air matanya dan meletakan tas diatas meja belajar, meja yang warnanya sudah berubah cokelat itu dulu berwarna putih dan pink cantik, sebuah meja belajar pemberian Pakdhe Bondet, kakak tertua mama yang kaya raya itu. Elsa menghela nafas panjang, kenapa ia tidak jadi anak Pakdhe Bondet saja? Atau setidaknya kenapa orangtuanya tidak bekerja seperti pakdhe-nya itu? Kata mama, Pakdhe dan Budhe adalah seorang renternir, makanya bisa sekaya itu. Katanya lagi jadi renternir itu tidak baik, tapi kenapa malah uangnya banyak? Kenapa sih hidup selucu itu? Jadi untuk bisa kaya harus jadi orang yang tidak baik? Menyimpang dari ajaran agama begitu? Sedangkan dia yang ingin jadi orang berguna untuk sesama, kenapa harus duit yang jadi penghalangnya? Elsa menatap nanar piagam dokter kecilnya itu, kembali air matanya menitik, benarkah mimpinya hanya sebatas mimpi? ----- Sebuah kisah yang terinspirasi oleh kisah saya sendiri, apa yang saya alami. Kegagalan yang masih sampai sekarang menyiksa dan menghantui hidup saya. Pesan saya : "Jika kamu berani menggantungkan mimpi mu setinggi langit, maka beranilah untuk mewujudkan dan menggapai apa yang sudah begitu tinggi kau gantungkan itu. Jangan dengarkan apa kata orang, jangan hiraukan apa pandangan orang, karena Tuhan ada dan punya kuasa untuk menjadikan doamu menjadi nyata, menjadikan usahamu berhasil dan tidak sia-sia." - Selfie Hurtness -

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
93.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.7K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook