bc

HIs Prisoner

book_age18+
4.8K
FOLLOW
26.1K
READ
dark
FBI
forced
dominant
badboy
mafia
gangster
city
cruel
affair
like
intro-logo
Blurb

"Kau membunuhnya, dan aku adalah saksinya."

Hidup Aimee berubah total semenjak ia bertemu dengan Shane -si psikopat. Ia adalah saksi mata pembunuhan yang Shane lakukan, tetapi berakhir menjadi pelaku pembunuhan seorang wanita yang tidak Aimee kenal.

Shane tidak hanya menjadikan Aimee sebagai pelaku pembunuhan. Ia juga menjadikan Aimee sebagai miliknya. Ia mengancam jika Aimee menolaknya maka ia akan membunuh Aimee.

Aimee yang memiliki sebuah dendam yang ia jadikan alasan untuk terus hidup terpaksa mengikuti mau Shane, setidaknya sampai ia membunuh orang yang telah membuatnya dan juga ibunya menderita.

Ditengah berlangsungnya hubungan mereka yang didasari paksaan Shane, Aimee mengetahui fakta bahwa Shane memiliki istri, yang artinya ia dijadikan simpanan oleh Shane.

Aimee begitu membenci wanita simpanan, namun ia bertahan di sisi Shane karena istri Shane merupakan bagian dari pembuat penderitaannya dan juga ibunya. Aimee akan melakukan segala cara untuk merebut Shane dari tangan Valerie-istri Shane. Ia akan membalas semua sakit hatinya dan sang ibu.

"Aku sudah berusaha untuk melepaskanmu, Aimee. Namun, aku tidak bisa. Aku menginginkanmu."

-Shane Aleandro

chap-preview
Free preview
Prolog
Kaki Aimee berhenti melangkah. Ia segera membekap mulutnya ketika ia melihat seorang pria tengah menusukan pisau ke perut seorang wanita.   Aimee ingin berlari saat itu juga tetapi ia tidak bisa menggerakan kakinya seolah kakinya terpaku pada jalan.   Jantung Aimee berdebar cepat. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Matanya terbelalak saat pria yang memegang pisau melihat ke arahnya.   Aimee melihat jelas wajah pria yang berada 10 meter darinya. Kaki Aimee terseret mundur saat pria di depannya bangkit.   Lari, Aimee. Lari!   Aimee membalik tubuhnya. Dengan semua ketakutan yang menjebaknya, ia berlari di lorong panjang nan sepi.   Aimee telah melewati lorong itu selama lima tahun, dan hari ini ia merasa lorong itu begitu panjang. Ia selalu memilih melewati jalan yang sama untuk kembali ke flat miliknya, tetapi hari ini ia menyesali kesukaannya terhadap sepi. Andai ia memilih jalan lain maka ia tidak akan berada dalam situasi mengerikan seperti saat ini.   Kaki Aimee terus berlari. Sesekali Aimee melihat ke belakang. Dan pria itu masih mengejarnya.   Brak! Kaki Aimee tersandung, mengakibatkannya terjerembab ke aspal. Aimee mencoba bangkit. Namun, kakinya terkilir. Ia melihat ke belakang lagi. Pria yang mengejarnya kini melangkah pelan. Seolah pria itu tengah bermain dengannya.   Aimee merangkak, ia harus menyelamatkan dirinya.   "Kau tidak bisa lari ke mana pun lagi, Nona Aimee."   Aimee tercekat. Pria di depannya tahu namanya. Aimee tidak bisa berpikir bagaimana pria itu tahu namanya. Otaknya telah kehilangan fungsi. Yang ia pikirkan saat ini hanya tentang menyelamatkan diri.   "B- biarkan aku pergi," seru Aimee terbata. Tangan dan bokongnya terus bergerak, menyeret tubuhnya menjauh dari pembunuh yang mengejarnya. Pria di depannya menaikan sebelah alisnya. "Membiarkanmu pergi?" Ia memandang Aimee datar, "Setelah kau melihat segalanya?"   "Aku tidak akan mengatakan apa pun. Aku bersumpah." Aimee putus asa.  "Aku mohon biarkan aku pergi."   "Tidak! Lepaskan aku! Lepaskan aku!" Aimee memberontakan kakinya yang telah ditangkap oleh si pembunuh.   "Aku tidak mungkin membiarkanmu hidup. Kau pasti akan ingkar janji."   Aimee menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak! Aku tidak akan ingkar janji. Aku tidak akan bicara sedikit pun. Aku bersumpah." Aimee menangkupkan kedua tangannya, "Aku mohon, biarkan aku hidup." Ia semakin putus asa.   Suasana menjadi hening. Entah apa yang dipikirkan oleh si pembunuh. Yang pasti dia tidak mungkin percaya begitu saja pada Aimee.   "Ikut aku." Pria itu menggenggam tangan Aimee.   Aimee nyaris terjungkal karena mengikuti langkah pria yang menariknya. Kaki Aimee berhenti melangkah ketika sadar ia dibawa mendekat ke wanita yang berlumuran darah.   "T-tolong aku." Wanita itu masih hidup. Ia bicara dengan susah payah, matanya menatap Aimee memelas. Aimee seperti menghadapi hukuman mati. Ia bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi padanya.   "Hanya ada satu cara aku bisa membebaskanmu," seru pria di sebelah Aimee. "Bunuh dia."   Tubuh Aimee menegang. Apakah baru saja ia diperintahkan untuk membunuh wanita yang saat ini tengah sekarat di depannya?   "Jika kau membunuhnya kau akan tetap hidup. Dan jika kau tidak mau membunuhnya maka kau akan mati bersamanya."   Aimee masih tidak bersuara. Ia tidak mungkin membunuh orang. Ia tidak mau menjadi pembunuh, setidaknya untuk saat ini.   "Meski kau tidak membunuhnya dia akan tetap mati. Jadi, lakukan saja. Kau membunuh untuk menyelamatkan nyawamu. Itu adalah pilihan yang tepat." Si pembunuh mencoba mencuci otak Aimee.   "Ambil ini dan tusukan ke dadanya." Pria itu memberikan belati yang ia gunakan pada Aimee. Tidak ada gerakan dari Aimee, pria itu membuka tangan Aimee dan memaksa Aimee menggenggam belati miliknya.   "Tidak!" teriak Aimee. Matanya mulai berair. Tubuhnya gemetaran. Tangannya yng tadi menggenggam belati kini terbuka dengan darah yang mengotorinya.   Suara tawa terdengar di telinga Aimee. Disusul dengan sebuah bisikan, "Kau membunuhnya. Dan aku adalah saksinya."   Aimee tidak bereaksi. Ia terlalu terkejut dengan apa yang terjadi saat ini. Gadis yang tidak pernah membuat masalah sepertinya kini menjadi seorang pembunuh.   "Kau iblis!" desis Aimee lemah.   Pria yang disebut iblis oleh Aimee tersenyum datar. "Tidak ada manusia yang membunuh manusia lainnya selain iblis, Aimee. Dan sekarang kau juga iblis. Kau pembunuh, Aimee. Pembunuh."   "Tidak!" Aimee menggelengkan kepalanya. "Kau yang membunuhnya. Kau yang mendorong tanganku."   "Tidak, Aimee. Kau menusuknya. Kau membunuhnya untuk menyelamatkan dirimu sendiri. Kau pembunuh, Aimee."   Air mata Aimee mengalir semakin deras. Aku bukan pembunuh. Aku bukan pembunuh. Aku bukan pembunuh.   Berulangkali Aimee mengatakan ia bukan pembunuh, tetapi ketika ia melihat tangannya yang basah oleh darah, suara lain muncul.   Kau pembunuh. Kau pembunuh. Kau pembunuh.   "Hentikan! Aku bukan pembunuh!" Aimee menutup kedua telinganya.   Pria di sebelah Aimee tertawa datar. "Kau akan di penjara, Aimee." "Kau yang membunuhnya! Aku akan mengatakan semuanya pada polisi." Aimee menatap tajam si pembunuh. "Katakan saja. Polisi tidak akan mempercayaimu. Sidik jarimu di belati akan menjelaskan siapa pembunuhnya." Aimee lupa caranya bernapas. Ia merasa udara di sekelilingnya menipis. Kepalanya terasa sakit, seperti ada ribuan batu yang menghantamnya.   "Aku tidak mau di penjara." Aimee bersuara putus asa.   "Aku bisa menyelamatkanmu." Si pembunuh kini bersikap seperti malaikat. "Aku akan merahasiakan apa yang terjadi hari ini."   Aimee berharap yang terjadi saat ini adalah mimpi buruk. Ia berharap malam ini tidak pernah ada.   "Pergilah dari sini. Aku akan mengurus sisanya. Aku akan menyimpan senjata yang kau gunakan untuk membunuh wanita itu. Tenang saja, Aimee. Aku selalu menepati janjiku."   "Kenapa kau lakukan ini padaku? Kenapa?" tanya Aimee lirih.   "Aku tidak melakukan apa pun, Aimee. Aku hanya ingin membantumu."   "Kau telah membuatku menjadi pembunuh. Kau menghancurkan hidupku. Kau akan membuatku dihantui rasa bersalah. Kau menyiksaku sampai mati." Aimee menangis pilu.   "Sshhh.." Si pembunuh mengusap kepala Aimee. Aimee segera menghindar. Ia terlalu takut pada pria sakit jiwa di sebelahnya.   "Seiring waktu berjalan kau akan terbiasa, Aimee. Kau telah melakukan pilihan tepat. Kau memang harus mengorbankan nyawa orang lain agar kau bisa hidup. Jangan menangis, kau sudah mengambil keputusan yang benar."   Aimee tidak bisa berkata-kata lagi. Sekeras apa pun ia mencoba menyalahkan pria sakit jiwa di dekatnya, ia hanya akan digiring ke rasa bersalah semakin jauh.   "Aku Shane. Sekarang kita berteman." Pembunuh itu memperkenalkan namanya.   Aimee diam. Ia terlalu lelah untuk bersuara.   "Pergilah dari sini. Aku akan mengurus sisanya, Aimee."   "Aimee, kau mau pergi sini atau di penjara?"   Aimee mengangkat wajahnya, menatap datar Shane. Tanpa mengatakan apa pun, ia berdiri.   "Maafkan aku." Aimee merasa tak pantas mengucapkan kata maaf, tetapi sebagai manusia ia tetap mengucapkan kata-kata itu.   "Jaga rahasia kita baik-baik, Aimee. Aku tidak ingin datang ke kantor polisi sebagai saksi." Shane bicara dengan sangat tenang.   Aimee menatap Shane dengan tatapan takut sekaligus benci. Ia ingin memaki Shane habis-habisan, tetapi ia terlalu takut untuk melakukannya. Ia masih ingin hidup. Setidaknya sampai tujuan hidupnya tercapai.   Aimee melangkah pergi dengan kakinya yang masih terkilir. Tubuhnya bergetar karena rasa takut, rasa bersalah dan rasa putus asa. Ia bahkan tidak bisa melaporkan Shane pada polisi atas tindakan yang Shane lakukan.   Dan sekarang ia akan hidup dengan rasa bersalah. Ia akan tersiksa sampai ia mati. Tuhan, tidak cukupkah penderitaannya selama ini hingga ia harus merasakan hal yang lebih mengerikan lagi?  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.2K
bc

Mrs. Rivera

read
45.3K
bc

Beautiful Madness (Indonesia)

read
221.3K
bc

A Million Pieces || Indonesia

read
82.2K
bc

A Secret Proposal

read
376.4K
bc

T E A R S

read
312.6K
bc

HOT AND DANGEROUS BILLIONAIRE

read
570.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook