bc

Diary of Love Stories

book_age12+
857
FOLLOW
3.5K
READ
opposites attract
friends to lovers
goodgirl
badgirl
drama
comedy
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

Sebenarnya cinta tak pernah serumit yang kamu bayangkan jika kamu mau mengerti dan menerima cinta itu sendiri. Setiap cinta mempunyai kisahnya masing - masing. Setiap kisang mempunyai jalannya masing-masing. Dan setiap jalan mempunyai takdirnya masing-masing.

Tak ada kisah cinta yang sama. Yang sama hanya rasa manisnya saja namun dengan kadar yang berbeda.

chap-preview
Free preview
My Crush
Aku tak pernah meyakini bahwa cinta itu ada. Sudah dua puluh tahun usiaku, aku belum pernah sekali pun merasakan apa itu cinta. Sampai suatu hari aku bertemu dengannya. Sosok yang selalu membuat jantungku berdegup sangat kencang. Selalu membuatku gugup dan bertingkah layaknya seorang penguntit. Entahlah apa yang membuatnya spesial, aku tidak tahu. Tapi yang pasti kehadirannya bagaikan air hujan di tandusnya hatiku. “Lo tuh gila tau gak Ra, masak tiap hari mau buntutin tuh cowok mulu, sih. Lo juga punya kehidupan, ingat itu,” kata Hima sahabatku. “Iya Hima gue tahu. Tapi biarkan mata ini memandangnya sedetik lagi,” ucapku sembari memandang ke arah cowok tersebut. “Pandang juga noh cewek yang di sebelahnya,”ucapnya ketus. Aku mencebik. “Gak usah diingetin kenapa sih, kalau dia udah punya cewek,” kataku sambil cemberut. “Ya kudu diingetin dong, biar lo gak khilaf.” Aku hanya memandang sebal ke arah sahabatku yang satu ini. Dia memang tidak suka dengan kebiasaanku ngikutin cowok itu. Yah, mungkin aku juga kelewatan sih karena ke mana pun dia pergi di sekitar kampus pasti aku sudah standby nongkrongin dia di tempat-tempat persinggahannya. Maklumlah aku kan baru pertama kali merasakan perasaan kangen gak jelas sama orang. Jadinya setiap hari bawaannya pengen ketemu aja. Sepertinya aku sedikit menakutkan. *** Siang ini aku tidak ada jadwal kuliah serta jadwal bertemu si cowok itu, jadinya sekarang aku memutuskan untuk pergi ke minimarket dekat kampus untuk berbelanja kebutuhan wanita. Cowok, kapan aku bisa berkenalan denganmu? Hah, susah ya kalau lagi pertama kali jatuh cinta. Rasanya galau mulu. Setelah melewati tikungan di ujung kost, aku melihat ada kecelakaan sepeda motor di sana. Salah satu pengendaranya jatuh tertimpa motornya sendiri dan pengendara motor yang satunya lagi udah main kabur aja tidak tangung jawab. D 4444 NY. Plat nomor itu? Aku kenal plat nomor itu! Kemudian dengan panik aku berlari ke arah pengendara yang jatuh tertimpa motornya. Setelah sampai di sebelahnya, aku langsung membatu seperti terkena kutukan emaknya Malin Kundang. Jantungku mulai berdegup kencang, otakku mulai konslet, dan keringat dingin mulai bercucuran. Aku merasa sangat gugup sekaligus khawatir melihatnya sedekat ini dan kesakitan. “Hei, bisa bantu gue?” tanyanya dengan raut muka kesakitan. Aku hanya mengangguk sambil membulatkan mataku karena kaget akan suaranya yang merdu. Ini adalah kali pertama dia berbicara padaku. “Tolong singkirkan motor ini dari tubuh gue.” Aku mengangguk. Kemudian aku bergegas membantunya mendirikan motornya yang terjatuh. Setelah motor tersebut sukses berdiri, tiba-tiba gantian dia yang mencoba untuk berdiri. Tapi mendadak dia jadi limbung seperti hendak jatuh kembali. Buru-buru aku memeganginya sebelum dia benar-benar jatuh. Aku menatap wajahnya yang tampak begitu dekat. Ini adalah kali pertamanya aku memegang kulitnya. Rasanya seperti ada sengatan listrik di sekujur tubuhku. Jantungku pun rasanya seperti mau meledak karena degupan jantungku yang menggila. Setelah dapat menguasai diri, aku langsung mendudukannya dengan hati-hati di pinggir trotoar. Untung dia jatuhnya tepat di pinggir jalan yang penuh dengan pepohonan jadi kan gak panas. Pinter banget milih area buat jatuh. Setelah dia berhasil duduk dengan selamat, aku mengikutinya duduk di sebelahnya. Wah, ini adalah kali pertama aku duduk bareng sama dia. Biasanya jarak terdekat kami adalah sekitar tujuh meter, tapi sekarang setengah meter juga tidak ada. “Lo gak apa-apa?” tanyanya menampakkan wajah bingung. Aku hanya menggeleng sambil masih memandangnya takjub. Nah loh yang habis jatuh kan dia, kenapa jadi aku yang di tanyain gak apa-apa? “Lo ..., lo sendiri gimana? Ada yang luka atau nggak?” tanyaku agak tergagap. s**l, suaraku yang lantang ketika menyanggah pertanyaan waktu presentasi mana coba? Kenapa sekarang jadi suara Aziz Gagap yang muncul? Dia hanya menggeleng sambil tersenyum kepadaku. Mati. ternyata efek senyumannya lebih dahsyat apabila disaksikan dari jarak sedekat ini. Pingsan boleh gak sih? “Sepertinya hanya terkilir,” jawabnya sambil melihat kaki kanannya. Secara refleks aku pun ikut memandang kakinya yang terkilir. “Berdarah,” kataku kaget. “Lutut lo berdarah.” Kemudian dengan panik aku mengobrak-abrik tas slempang kecilku mencari sesuatu yang bisa menghentikan pendarahannya. Dan untung ada kain sleyer baruku yang baru aku beli kemarin. “Udah gak apa-apa, luka kecil doang ini mah,” katanya santai. Mana ada luka kecil tapi darahnya banyak gitu. Tanpa permisi langsung saja kubalut luka tersebut memakai kain slayerku sehati-hati yang kubisa.. “Hei, gak usah,” katanya menghalangi tanganku. “Nggak bantah. Nanti kalau darah lo habis gimana?” kataku khawatir. Kemudian dia hanya pasrah saja dengan apa yang aku lakukan dengan lututnya. “Ke klinik kampus ya?” ajakku seraya menatapnya dengan cemas. “Enggak usah, gue enggak apa-apa.” “Tapi luka lo—” “Gue baik-baik aja kok. Nggak usah khawatir,” potongnya meyakinkanku. Lalu ia tersenyum ke arahku. “Nama lo siapa?” tanyanya padaku. “Zara,” jawabku singkat. “Danny,” ucapnya mengulurkan tangan kanannya ke arahku. Dengan sedikit kaget aku menerima uluran tangannya. Ini adalah tangan yang selalu aku impikan untuk kugenggam. Dan sekarang aku benar-benar menggenggam tangan ini. Setelah itu, dia mengamatiku dari atas ke bawah ke atas lagi dan berhenti di wajahku. “Kenapa?” tanyaku bingung. Jangan bilang kalau Danny akhirnya tahu jika aku sering membuntutinya dan menatapnya dari jauh. Gawat. Dia hanya menggeleng kemudian memalingkan muka ke arah motornya dan tersenyum. “Lo pulangnya gimana?” tanyaku lagi. “Masih bisa naik motor?” “Boleh pinjem ponsel lo gak?” tanyanya padaku tanpa menjawab pertanyaanku tadi. Aku hanya mengangguk kemudian merogoh ponsel di kantong celana. Kemudian aku menyerahkan ponselku itu kepadanya. “Pinjem buat telepon ya? Gue lupa bawa ponsel tadi.” Dan aku pun mengangguk lagi. Kira-kira di ponselku ada pulsanya atau tidak, ya? Kalau tidak ada beneran malu-maluin. Dan dia mau menghubungi siapa kira-kira? Temennya? Atau pacarnya? “Halo Sa, ini gue Danny. Bisa tolong jemput gue gak sekarang di tikungan deket kampus. Habis jatuh gue. Oke gue tunggu. Jangan lupa ajak si Fandi,” katanya pada orang yang berada di ujung telepon. “Ini, makasih ya.” Danny menyerahkan ponselku sambil tersenyum manis. Aku mengangguk sambil menerima ponselku. “Lo gak balik?” tanyanya kepadaku. Apa ini artinya dia sedang mengusirku? “Gue boleh balik?” tanyaku ragu. Danny mengangguk. “Tentu.”       “Nanti lo sendirian,” kataku lagi sambil clingak-clinguk mengamati jalan yang sepi. Tumben sekali jalanan ini sangat sepi. Sejak kejadian jatuhnya Danny dari motor masih belum ada seorang pun yang lewat sini. “Bentar lagi temen gue dateng kok.” Aku mengangguk mengerti. “Jadi tadi lo telepon temen lo buat jemput, ya?” Danny menggeleng. “Tadi gue telepon ke  ponsel gue dan yang ngangkat kebetulan temen gue,” katanya sambil tertawa kecil. “Jadi lo telepon nomer lo pake nomer gue?” tanyaku tak percaya. “Iya. Apa ada yang salah? Habis gue hanya hapal nomer gue saja,” ucapnya ragu. Aku tersenyum kecil. Jadi, itu artinya aku punya nomor Danny dong? Entah mengapa hal ini begitu menggembirakan untukku. “Ah, nggak. Nggak ada yang salah kok,” kataku cepat-cepat sambil tersenyum lebar. “Apa perlu gue ganti pulsanya?” tanyanya lagi terlihat tidak enak hati. Sontak aku menggelengkan kepala. “Nggak perlu. Pulsa gue banyak kok. Nggak usah khawatir.”             Danny mengangguk. “Makasih, ya,” katanya. “Lo nggak jadi pulang?” tanyanya. “Ah, iya jadi kok,” jawabku tergugup sambil menatapnya. Namun sepertinya otakku berjalan lebih lambat dari biasanya sehingga sampai sekarangpun aku masih menatapnya sambil mlongo gak jelas tanpa bergerak sedikit pun. Kenapa badanku jadi susah untuk digerakkan sih? Sepertinya pantatku sudah terpaku di sebelahnya. Hingga dia menatapku bingung sambil mengernyitkan dahinya. Dan kurasa itu ekspresi pengusiran buatku. Dengan canggung aku mulai berdiri dan membersihkan kotoran di celanaku. Berat banget sih buat beranjak pergi ninggalin dia. Perlahan aku mulai berjalan dari tempatku. Sedihnya. “Zara, thanks ya,” ucapnya kepadaku. Kemudian aku berbalik dan memandangnya. Senyum manisnya masih terukir di sana. Senyum manis yang hanya untukku. Indahnya. “Sama-sama Danny,” ucapku lirih sambil tersenyum kepadanya. Dan setelah itu aku mulai berjalan pergi menjauh dari tempatnya. Satu langkah… Dua langkah… Tiga langkah… Empat langkah… Lima langkah… Sepertinya langkahku lambat laun semakin melambat. Hingga langkah kesepuluh kurasakan kakiku tak mampu lagi bergerak. Ingin rasanya aku berbalik dan memandangnya lagi. Tapi apa yang bakalan dia pikirkan jika aku melakukannya. Hah, aku gak boleh menengok ke arahnya. Dengan tekat yang kuat aku melanjutkan langkahku yang terhenti tadi hingga aku berbelok ke perempatan menuju minimarket. Di perempatan ini, aku hanya diam berdiri di balik gapura. Rasanya aku ingin kembali ke sana dan duduk di sampingnya lagi. Andai aku adalah angin, pasti aku dapat dengan mudah bergentayangan di sekitarmu, atau awan yang dapat dengan leluasa memandangmu tanpa takut kau pandang balik. Setelah pertemuan kami ini, akankah Danny akan mengingatku? Mengingat wajahku atau hanya namaku? Akankah? Kurasa setelah ini aku tak akan berani lagi  mengikutinya ke mana pun kau pergi. Bagaimanapun juga aku masih punya rasa malu. Aku takut jika ketahuan menguntitnya. Danny. Aku benar-benar ingin melihatnya lagi, paling tidak untuk yang terakhir kalinya. Dengan kepasrahan, aku mencoba mengintip Danny dari balik gapura ini. Setelah pasang mata dan hati ternyata si Danny sudah tidak ada di tempat. Ke mana dia? Apa temannya sudah menyusul dirinya? Atau aku tadi hanya berkhayal saja bertemu dengan Danny? Dengan lemas aku kembali menyandar pada gapura. Masak iya aku cuman berkhayal saja? Apakah pertemuanku tadi dengan Danny cuman mimpi saja? Tapi kenapa itu tadi seperti nyata? Bahkan alisan litrik yang sempat kurasakan ketika kulitku bersentuhan dengannya masih terasa jelas. Ponselku. Bukankah tadi dia menghubungi nomornya dengan ponselku? Paling tidak jika tadi itu hanya mimpi belaka, nomornya tidak akan pernah ada pada panggilan keluar dihapeku. Dengan buru-buru aku membuka ponselku dan mengecek panggilan keluar. Tertera sebuah nomor tak kukenal di sana. Nomornya Danny. Jadi itu tadi nyata? Dengan senyum yang mengembang aku mencoba mengatur napas dan jantung yang sedari tadi berdegup cepat. *** Malam harinya aku benar-benar tidak bisa tidur. Apalagi setelah apa yang telah aku lakukan. Dengan khilaf tadi sore aku mengirimi Danny pesan singkat. Hai Dan, aku Zara. Gimana kakinya? Masih sakit? Yah begitulah sms yang aku kirimkan ke nomornya Danny. Namun sampai pukul 00.00 dini hari tak ada balasan darinya. Huuaa..., bikin galau beratkan. Sedih, kecewa, malu, khawatir, semua perasaan ini menyakitkan. Dan alhasil beneran tidak tidur aku semalaman. Aku jadi bertanya-tanya apakah Danny sengaja mengabaikan pesanku? Atau jangan-jangan dia beneran lupa denganku? Mungkin seharusnya tadi aku tak mengiriminya pesan. Aku benar-benar menyesal. *** Sudah dua hari sejak kecelakaan yang dialami Danny terjadi, dan semenjak itu pula aku tidak melihatnya di kampus. Bahkan rutinitasku untuk standby di post-post tertentu agar aku bisa melihatnya tetap aku lakukan, dan hasilnya nol besar. Aku sama sekali tidak melihatnya. Sekarang aku sedang duduk sambil berlagak membaca novel di depan ruang kelasnya Danny. Tapi sampai kelasnya kosong, si Dannynya juga tidak muncul-muncul. Ke mana perginya Danny? Apa dia baik-baik saja? Apakah lukanya yang kemarin parah hingga sekarang dia tidak masuk kuliah lagi? Semua pertanyaan  mengenai dirinya senantiasa bergentayangan di otakku. Rasa khawatir dan cemas ini menyiksaku. Hingga hari ketujuh aku pun masih tidak dapat menemukannya di kampus. Apa dia masih hidup? Apa jangan-jangan dia meninggal gara-gara kecelakaan kemarin? Memikirkan hal itu malah membuatku semakin sedih dan galau. Dengan nekat aku merogoh ponsel di salah satu kantong tasku dan berniat untuk menghubungi Danny. Bodo amat ama yang namanya gengsi atau malu. Sekarang aku benar-benar khawatir. Namun sebelum aku menekan layar ponselku, tiba-tiba ada satu pesan masuk dari nomor yang ingin aku hubungi. Danny. Hai Zara. Ini gue Danny, malam ini ada waktu nggak?? Setelah membaca smsnya, kontan aku langsung merasa lega dan bahagia. Ternyata dia masih hidup dan sekarang malah dia mengirimiku sms. Hai Dan. Iya ada waktu, gimana? Kirim. Gue pengen ketemu. Gue mau ngembaliin slayermu yang dulu lo pake buat membalut luka gue. Kirimin alamat kost lo dong. Nanti malam gue ke kost lo, ya? Ini serius? Danny mau ketemu aku? Mau nyamperin ke kostku? Nanti malam? Ini enggak mimpi kan? Dengan cepat aku mengiriminya alamat kostku. Akhirnya matahari kembali terbit di duniaku yang belakangan ini mendung. Tanpa memikirkan lagi kuliahku siang ini, aku langsung cabut balik ke kost. Setelah sampai kost, aku langsung memilah milih baju apa yang bakalan aku kenakan untuk ketemu sama Danny. Aku ingin terlihat lebih cantik agar Danny dapat terpesona olehku. Setelah  memutuskan baju apa yang akan kukenakan, kemudian aku berlulur ria sebelum mandi. Tak lupa setelah selesai mandi, aku mencatok rambut hitam panjangku. Namun aku merasa rambutku terlalu tak bervolume, jadilah sekarang aku mengcurly rambutku. Dan sempurna, tepat pukul 5 sore aku selesai berdandan dan berhias diri menyambut Danny. Tapi aku rasa ini terlalu sore untukku bersiap-siap karena Danny bakalan ke sini pukul setengah delapan dan itu masih dua setengah jam lagi. Hah, masih lama banget ternyata. “Ra, rapi amat mau ke mana loe?” tanya seseorang memasuki kamarku. “Eh Hima, hehe.. nanti mau ketemu sama Danny” kataku tersipu malu. “Danny? Cowok yang sering lo lihatin itu?” Aku hanya mengangguk sambil tersenyum malu. “Ngapain ketemu si Danny?” tanyanya penasaran. “Dia mau ngembaliin slayer milik gue,” jawabku. “Terus?” “Terus?” kataku bingung. “Maksud gue habis itu mau ngapain?? Kencan? Atau Dinner?” tanyanya lagi. Aku hanya menggeleng lemas. “Jadi ketemu dan ngasihin sleyer lo doang? Dan lo dandan kayak gitu banget? Wow,” sindirnya.             Aku terdiam mendengar ucapannya itu. Iya ya. Kan Danny ke kost juga mau ngasihin sleyerku doang dan gak ngajakin kencan atau apa. Kenapa aku kepedean banget sih sampai dandan kayak begini. Palingan juga nanti ke sininya bareng sama ceweknya. Huuaa.. nyakitin. Kemudian dengan lesu aku mengambil kaos oblong dan celana pendek selututku.  Dengan langkah gontai aku pergi menuju kamar mandi dan ganti baju. Tidak lupa juga aku membersihkan make up yang sudah menempel cantik di wajahku. Sedangkan rambutku aku kuncir model acakadut dengan poni tengah. Dari gembel kembali ke gembel. Ya, gaya ini lebih cocok denganku. Tepat pukul setengah delapan Danny sampai di kostku. Dan jantungkupun kembali berdegup sangat kencang. “Hai Dan,” sapaku. “Hai. Ini punya lo. Makasih ya,” ucapnya langsung seraya menyerahkan slayerku yang sudah terlipat rapi dan wangi. Kupikir Danny ke sini hanya ingin menyerahkan slayerku saja terus pulang. Tapi tidak. Dia sekarang malah duduk manis di kursi depan kostku. Nah loh? Gak pulang. Aku yang bingung langsung ikutan duduk di sebelahnya sambil masih memuja dirinya. “Maaf ya, gue gak bales sms lo,” katanya padaku. Sms? Sms yang mana? “Sudah seminggu gue gak ngidupin ponsel,” katanya lagi. “Dan gue baru baca sms lo tadi pagi. Maaf ya,” lanjutnya. Oh sms yang dulu banget. “Oh, iya gak papa,” kataku gugup. “Kaki lo gimana? Udah sembuh?” tanyaku “Iya. Udah bisa buat lari malah,” katanya sambil tertawa ringan. Syukurlah. Aku benar-benar merasa lega. “Kenapa ponsel seminggu gak lo hidupin, sih?” tanyaku penasaran. “Biasa, lagi berantem sama pacar.” “Oh gitu.” Aku mengangguk mengerti. “Terus sekarang udah baikan?” tanyaku lagi. Semoga pertanyaanku ini tidak terlihat begitu penasaran meskipun aslinya aku sangat penasaran. Danny tersenyum tipis. Kulihat ia menghela napas dalam sebelum menjawab pertanyaanku. “Kami udah putus,” jawabnya menoleh ke arahku. Putus? Danny dan pacarnya putus? Aku tidak salah dengarkan? Kurasa ini berita bagus untukku. “Sebenarnya kemarin pas gue jatuh itu, gue sedang buntutin cewek gue yang lagi dibonceng sama cowok lain.” “Cewek lo selingkuh?” tanyaku gak percaya. Danny hanya mengangguk sambil tersenyum menatap laintai. Bagaimana bisa sih ada cewek bodoh macam dia? Udah dikasih cowok cakep dan baik hati kayak Danny masih selingkuh. Beneran nggak bersyukur! Danny pantas dapat yang lebih baik dari mantannya itu. “Sabar ya, Dan. Nggak ada manusia yang berhak diselingkuhi gitu. Lo pantas dapat yang lebih baik dari dia,” kataku mencoba untuk menghiburnya. Danny tersenyum kecil dan mengangguk. “Gue tahu,” katanya singkat sambil memandangku. “Zara, maafin gue ya,” katanya lagi. Aku mengernyit bingung. “Maaf? Maaf untuk apa?” tanyaku bingung. “Kerena selalu bikin lo nunggu.” “Maksudnya?” tanyaku lagi tambah bingung. “Sebenarnya gue tahu kalau lo adalah gadis yang selalu duduk di kursi depan kelas sambil membaca novel yang sama, gadis yang selalu duduk di meja pojok yang sambil memesan lemon tea pas di kantin, gadis yang selalu menunggu seseorang lewat di taman kampus sambil memasang headphone di telinganya, gadis yang selalu ada di post satpam menunggu seseorang keluar dari parkir motor. Gadis yang selalu ada di mana pun gue berada. Gadis yang hampir lima bulan ini selalu gue lihat. Itu lo kan Zara?” ujarnya yang membuatku kaget. Ya, aku kaget. Bagaimana bisa Danny menyadari semua hal yang telah kulakukan beberapa bulan belakangan? “Gimana lo bisa tahu?” tanyaku lirih. Ini memalukan. Benar-benar memalukan. Juga menakutkan. Aku sudah tidak punya muka lagi di hadapan Danny. “Selama itu pula gue selalu memperhatikan lo, Zara. Gadis yang ke perpus hanya untuk tidur doang, gadis yang sering nabrak orang karena meleng, dan juga gadis yang selalu datang terlambat ke hampir setiap kelas,” katanya sambil tersenyum. Ketika tadi kupikir aku sudah sangat malu karena ketahuan menguntit, kini ternyata rasa maluku masih bisa bertambah karena Danny tahu kebiasaan burukku. Baiklah. Sepertinya setelah ini aku tak akan pernah lagi menemui Danny. “Gue juga pernah ngikutin lo beberapa kali. Tapi nggak sebanyak lo ngikutin gue,” katanya sambil tertawa kecil. “Gue terdengar mengerikan,” balasku meringis. “Maaf.” Dia hanya tersenyum manis kepadaku. “Bisakah kita mulai dari awal lagi?” tanyanya sambil mengulurkan tangan ke arahku. “Gue Danny, dan jika lain kali lo mau ketemu sama gue, lo bisa langsung nyamperin gue. Gak perlu ngumpet-ngumpet lagi.” “Lo beneran nggak keberatan?” tanyaku tak yakin. Danny terkekeh dan mengangguk. “Sori ya kalau gue sempet bikin lo takut,” kataku menatap tangannya yang masih terulur ke arahku. “Gue Zara,” tambahku sambil menerima uluran tangannya. Danny tersenyum lebar yang kubalas dengans senyum malu-malu. Selama kita masih mempunyai keyakinan kuat, orang asing pun dapat kita takhlukan.. Seperti aku menemukan keyakinanku pada Danny. Kita tidak pernah tau kapan cinta itu datang. Dan ketika saat itu tiba, bersiaplah untuk semua kejutannya.  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

The Prince Meet The Princess

read
181.5K
bc

True Love Agas Milly

read
197.4K
bc

Fake Marriage

read
8.3K
bc

Marriage Agreement

read
590.3K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.0K
bc

Bridesmaid on Duty

read
161.8K
bc

T E A R S

read
312.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook