bc

Anyelir Kuning

book_age18+
9.4K
FOLLOW
101.0K
READ
fated
forced
second chance
pregnant
independent
drama
female lead
betrayal
secrets
stubborn
like
intro-logo
Blurb

Seperti kebanyakan gadis yang tinggal di desa Redan, Kalling Saharuddin atau yang biasa dipanggil Aling melepas masa lajangnya setelah menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas.

Perkenalan yang singkat tidak lantas membuat Aling tidak mencintai pria hitam manis bertubuh tinggi anak kampung sebelah dengan sangat dalam.

Karena cinta bodohnya, akhirnya Aliang kehilangan orang-orang yang ia kasihi.

Pengkhianatan itu seperti penyakit kanker, tak terlihat tapi lukanya diam-diam mengakar di setiap cela, membelenggu dan menghitamkan hati. Demikianlah luka yang Aling rasakan setelah pria yang ia agungkan layaknya dewa tanpa hati mendua.

Untuk menghilangkan rasa sakit yang mematikan sanubarinya, Aling memutuskan meninggalkan desa kelahiran.

Sama halnya burung yang terbang jauh, pada akhirnya akan kembali ke sarang. Begitu juga dengan Aling, dua belas tahun meninggalkan kampung halaman, Aling kembali demi memperkenalkan pria kota yang telah menawarkan mahligai rumah tangga bahagia kepada keluarganya. Dan ketika ia kembali, luka yang telah mengering, pelan-pelan mulai berdarah.

"Mari kita bahagia. Bahagia dengan tidak bersama. Aku membencimu, hingga setiap sendi dalam tubuhku seakan terbakar ketika melihatmu."

"Jangan lupa Ling, dalam tubuh seseorang... Mengalir darah kita berdua, darahku dan darahmu. Jangan terlalu membenciku."

***

Cover by : Destiyana Cindy

chap-preview
Free preview
PROLOG
    "Lepaskan Ling! Pisau itu bisa menyakitimu," teriak Yusuf di tengah riuhnya alunan musik pesta pernikahan yang hampir menulikan telinga.     Seketika musik berhenti, suasana menjadi hening, puluhan pasang mata kini fokus menatapku. Tak ada suara, hanya sesekali terdengar denting gelas dan piring yang saling beradu dari arah belakang kediaman mempelai wanita.     Aku mengedarkan pandangan pada setiap sudut pesta. Dekorasi pelaminan didominasi dengan warna emas dan silver. Kain-kain dengan ornamen sulam khas Negeri Angin Mamiri yang menjuntai di bagian atas pelaminan memberikan kesan mewah dan menawan. Bosara lompo yang tertutup kain sulam emas, di pajang berbaris dekat pelaminan. Tak ketinggalan vas-vas klasik bergaya Eropa yang diisi rangkaian bunga berwarna-warni turut meramaikan pesta.     Bagaimana mereka bisa begitu sempurna mempersiapkan semua ini setelah menancap duri di palung hatiku?     Teganya!     Pandanganku berhenti, menatap lekat mempelai wanita yang mematung, ia meremas baju bodo berwarna hijau yang melekat di tubuh menyembunyikan henna ala india-nya. Kalung berantai juga gelang keroncong bersusun yang menghiasi leher dan tangannya berbunyi saat ia berbalik membelakangiku ketika menghadiahkan senyum mengejek.     Wanita itu, dia tidak akan memiliki suami jika tidak merebut milikku, punyaku yang berharga, tempatku menitipkan semua harapan dan masa depan, sumpah mati aku membencinya.     Kularikan netra menatap pria yang mengenakan jas berkerah yang dipadu dengan sarung bermotif dan berwarna sama dengan yang dikenakan mempelai wanita. Sesekali aku lihat ia melirik pisau dapur yang berada dalam gengamanku.     Ia cemas, batinku bersorak.     "Kenapa Yusuf? Kau takut? Takut aku menikam mempelaimu yang cantik itu?" Pupilku tajam menghujam pada manik hitam di depan.     Pisau digengaman terarahkan pada mempelai wanita di atas panggung yang menatap ngeri.     "Jangan berbuat bodoh, Ling! Aku ini suamimu dan akan tetapi begitu, tak akan ada yg berubah, sumpah mati aku mencintaimu, jadi tolong kendalikan diri," ucapnya diangguki setuju oleh orang-orang yang mengerumuni kami. Aura cemas tergambar di setiap wajah.     "Kamu, tidak akan mengerti Yusuf! tidak akan pernah! Bukan kamu yang menjadi aku! Bukan kamu di posisiku, bukan kamu yang merasakan nyeri di sini!" Aku menunjuk d**a dengan ujung pisau, napasku memburu dengan bibir bergetar menahan tangis, sungguh dalam luka yang Yusuf tanam, nyerinya tak terlukis.     "Aling, dengarkan aku! Sampai kapanpun kamu prioritasku. Aku hanya membantunya." Ia menoleh pada mempelainya memohon pengertian atas ucapnya.     "Membantu menghangatkan ranjangnya? Itu maksudmu? Hah?" Sungguh miris, aku di sini berjuang mempertahankan suami yang sedang membangun pilar-pilar bahagianya dengan wanita lain tanpa menyudahi terlebih dahulu hubungan pernikahan kami.     "Jaga bicaramu! Perkataanmu bisa melukai hatinya dan keluarga!" Kali pertama dalam pernikahan kami pria yang aku kira setengah malaikat menghardikku. Jangan tanya rasanya, paku yang memang sudah tertancap di dalam dadaku, seperti sedang di palu agar semakin jauh melejit mengoyak, menusuk, mencacah relung hati yang sedari tadi berteriak pilu. Ia mengkhawatirkan perasaan mempelainya dibandingkan perasaanku yang kini berdarah-darah?     Kejamnya Yusuf!!     "Ling, ayo pulang, Nak." Bapak menyela, menyentuh tanganku, membujuk pulang.     "Tidak, Pak! Aling tidak akan kemana-mana tanpa Yusuf." Aku masih bertahan menatap manik hitam yang dulu pernah membuatku mabuk kepayang. Sekarang? Entah, semuanya terasa hambar, kobarnya telah padam, sisakan arang menghitam, sayangnya walau aku berharap ia menjadi debu agar angin membawa pergi tak bersisa, itu tak terjadi.     "Jangan keras kepala, Ling! Percayalah, kamu masih memilikiku. Aku masih memilikimu, kita bertiga akan hidup bersama, aku berjanji kita semua akan bahagia. Aku akan adil, Ling. Tolong, pahami posisiku," matanya memelas, yang entah bagaimana membuatku muak.     "Hah? Bagaimana bisa, Yusuf? Bagaimana bisa kamu meminta aku memahami posisimu, sedangkan aku tahu setelahnya harus rela membagimu dengannya dan juga membiarkanmu berbagi kamar dengannya? Kamu bukannya pria yang tidak mengerti agama, kan?" Ingin sekali aku tertawa terbahak-bahak mendengar khayalan rumah tangga bahagia yang ia janjikan di atas nestapaku.     "Bapakmu telah memberiku izin, Ling." Ia mencoba meraih jemariku, namun aku menghindar dengan menepis tangannya.     "Oyah? Sayangnya, aku tidak." Aku memutus jarak di antara kami. Pisau kumainkan membentuk lingkaran di dadanya lalu berhenti tepat pada satu titik. Jantungnya.     "Pria bisa menikah lagi tanpa izin istri pertama, jika ia mampu secara materi, fisik, dan mampu berbuat adil, itu ada dalam agama kita, Ling," matanya melirik pisau yang tidak berubah posisi.     Aku menatap Yusuf tidak percaya, sesuka itukah ia pada wanita yang sedang tersedu-sedu di atas pelaminan sana? Kemana ia buang janjinya dulu? Janji yang mengatakan hanya aku yang akan bertahta tak tergantikan di hatinya, sampai rambut memutih dan malaikat menjemput. S*alan Yusuf, ia menambah lebar lubang di d**a.     "Laki-laki bermulut pahit! Aku membencimu! Sangat!" teriakku histeris.     "Ayo Nak, kita pulang. Tidak baik membicarakan hal ini di hadapan orang banyak. Lihatlah, mereka sedang memperhatikan kalian." Bapak mendekat lalu menunjuk kerumunan tamu yang menyaksikan drama rumah tangga kami yang sebentar lagi akan karam. Bukan karena badai, tapi karena lelaki di hadapanku ini terlalu lemah untuk sekedar menolak pesona wanita berwajah ke ibuan di depan sana.     "Bawalah Aling pulang, Pak. Tiga hari lagi aku akan menyusul," katanya membuang muka.     Aku tidak tahu bagaimana keadaanku sekarang. Dadaku sesak, mataku berembun, aku kecewa, kecewa yang teramat sangat. Belum pernah seumur hidupku merasakan sakit seperih ini. Aku bahkan memilih mati, jika ternyata dengan cara itu menghilangkan sakitnya. Dadaku kebas sebab rasa perih tak tertanggung.     "Ah, Yusuf. Ingatkan aku untuk memaafkanmu kelak jika tuhan bermurah hati mempertemukan kita kembali." Kembali memainkan pisauku di atas dadanya, lalu dengan satu ayunan, aku menghujamkan ujung pisau dalam genggaman tepat kearah jantung.     Bukan jantungnya.     Tapi ... jantungku!     Memejamkan mata, aku tak ingin melihat benda bermata tajam itu mengoyak baju dan kulitku. Namun, dorongan seseorang membuatku terhempas ke belakang, tepat mengenai anak tangga pelaminan.     Sakit, nyeri dan sesak datang bersamaan, sekujur tubuh kebas mati rasa. Nafasku tersenggal, air mata tak terbendung, rok payung lusuhku basah oleh cairan berbau amis yang meleleh dari pangkal paha. Kuraba dadaku, tak ada darah di sana, akan tetapi aku semakin gemetar oleh rasa nyeri.     Ternyata sesakit ini. Apa malaikat Isroil sedang menertawai keputusan bodohku? Keputusan yang di murkai Allah dan dilaknat seluruh alam dan isinya.     "Darah!"     "Kandungannya!"     "Pak, buka matamu! Pak Saharuddin, sadarlah!"     Pekikan orang-orang, memberi isyarat bahwa terjadi sesuatu. Tapi mengapa mereka meneriakkan nama bapak? Bukankah aku yang sedang merasa sakit sekarang?     "Astagfirullah. Ya Allah, apa yang kau lakukan, Ling!" suara Yusuf panik.     "Aling— Nak bertahanlah! Bapak, sadar Pak. Ya Tuhan, selamatkan suami dan anakku." Kesadaranku sudah hampir hilang ketika terdengar suara wanita menangis tergugu. Mamak?     Sepertinya tuhan memang sedang menghukumku. Alih-alih meminta malaikat mencabut nyawaku dengan cepat, semuanya terasa lambat. Teriakan orang-orang, bau anyir, tangisan anak kecil dan air mata mamak membuat rasa sakit yang mendera semakin berkali lipat.     Mak, maafkan aku. Tolong ikhlaskan darahmu yang menetes saat melahirkanku dahulu. Maaf, karena memilih jalan ini. Aku menatap mamak dalam kebisuan.     Tuhan... Aku tahu ini keputusan yang salah. Walaupun begitu tolong ampuni aku. Di kehidupanku selanjutnya, tolong jangan pertemukan aku dengan pria itu.     Lalu gelap.                                                                                        ****  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.9K
bc

My Secret Little Wife

read
94.3K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.9K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook