bc

My Arrogant CEO

book_age16+
35.1K
FOLLOW
272.0K
READ
billionaire
possessive
escape while being pregnant
arrogant
CEO
Writing Challenge
ambitious
office/work place
enimies to lovers
virgin
like
intro-logo
Blurb

(WARNING 21+ <--> CERITA INI MENGANDUNG UNSUR BUDAYA BARAT, BIJAKLAH DALAM MEMILIH BACAAN!)

Terpaksa jadian karena sebuah "dare", adalah hal yang paling Sivia sesali di dunia ini. Awalnya, Sivia tidak menyukai Alex. Pria tampan kaya raya yang menjadi idaman hampir seluruh wanita-wanita di kampus. Menurut Sivia, Alex adalah sosok pria manja sombong dan menyebalkan sejagad raya. Mereka bahkan selalu bertengkar setiap kali bertemu.

Hingga akhirnya Sivia terjebak dalam sebuah permainan. Sebuah dare yang membuat dia terpaksa harus menjadi kekasih seorang Alex McKenzie, pewaris tunggal sekaligus calon CEO dari McKezie Group.

"Biar kukatakan yang sebenarnya! Aku tidak menyukaimu, Alex! Kita tidak punya hubungan apapun karena aku menembakmu hanya karena sebuah dare sialan!"

"Aku tidak peduli. Mulai saat ini kau adalah kekasihku, milikku, calon istriku dan calon ibu dari anak-anakku."

chap-preview
Free preview
Part 1 - Cinderella Jaman Now
Rumah lantai dua yang didominasi dengan cat berwarna putih itu masih tampak sepi seperti biasa. Selain karena matahari baru muncul sepuluh menit yang lalu dari ufuk timur, sang penghuni rumah juga adalah orang-orang yang pemalas. Atau mungkin tidak? Karena ada satu orang gadis yang sudah bangun tepat satu menit sebelum matahari terbit demi memancarkan sinar hangatnya pada penduduk bumi. Gadis dengan rambut dicepol asal-asalan ke belakang itu tengah sibuk berkutat di dapur. Dia menyiapkan seluruh bahan-bahan untuk memasak, lalu mengupas dan memotongnya dengan cepat. Ia memasak masakan paling simple pagi itu, nasi goreng sayur dan 3 buah telur mata sapi. Cukup untuk mereka sekeluarga. Setelah dirasa semua beres, gadis itu segera menatanya di meja makan. Tak lupa juga untuk mencuci wajan dan beberapa alat dapur yang sudah kotor ia gunakan. Gadis itu naik ke lantai dua di mana kamarnya berada untuk bersiap berangkat ke kampus. Tak lebih dari satu jam kemudian, ia telah siap. Senyumnya terkembang manis di depan sebuah cermin meja rias, sesekali dia memutar-mutar tubuh untuk mengecek bagaimana penampilannya. "Sempurna!" tukasnya puas. Kemeja merah kotak-kotak, celana jeans biru dan sneakers putih, semua tampak serasi dan pas di tubuhnya. Rambut hitam bergelombangnya diikat menjadi satu di belakang. Sementara si 'poni' ia biarkan membingkai di sisi kanan dan kiri wajahnya. "SIVIAAAA!!" Senyum gadis itu langsung musnah kala mendengar teriakan dari lantai bawah. Memutar bola mata jengah, gadis yang memiliki nama lengkap Sivia Angelina Russel tersebut segera menyambar tas ransel yang sudah ia siapkan di atas kasur dan segera keluar dari kamar untuk turun ke lantai bawah, di mana suara teriakan itu berasal.. "Pagi, semua!" sapa Sivia sekenanya sembari berjalan ke meja makan. Dengan muka cuek, ia mengambil tempat duduk di salah satu meja makan dan langsung mengambil nasi goreng secukupnya serta sebuah telur mata sapi ke piring. Saat itu meskipun Sivia tau bahwa ada dua sosok perempuan lain yang ada di sana tengah menatapnya dengan tajam, tetapi ia memilih mengabaikan mereka. Demi kesehatan mental, jiwa dan raga, Sivia mengambil tindakan yang dirasa paling elegan dan berkelas, yaitu tetap makan dengan santai dan lahap. Anggap saja dua makhluk itu tidak kasat mata. Barulah setelah makanannya habis dan setelah meneguk segelas penuh air putih, ia menatap dua perempuan itu. Sivia sudah siap. "Kenapa?" tanya Sivia malas sambil melipat kedua tangan di depan d**a. Menatap bergantian pada  seorang gadis yang berusia sama dengannya dan pada seorang wanita paruh baya di sampingnya. Mereka berdua sangat kompak memelototi Sivia dengan murka. Entah penghargaan apa yang harus Sivia sematkan pada mereka sebab pada hampir semua hal, dua wanita itu selalu kompak. Lihat saja wajah mereka yang sama-sama terlihat menahan kesal. Membuat Sivia teringat akan kata pepatah terkenal jika 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya'. Astaga, mereka benar-benar mirip, batin Sivia. "Lo tiap hari makin b**o' apa gimana, sih? Kuliah bukannya makin pinter malah makin g****k!" Gadis yang berumur sama dengan Sivia itu langsung memaki kesal. Hal yang selalu gadis itu lakukan setiap pagi dan setiap mereka ada di tempat dan waktu yang sama. Dengan kata lain, setiap gadis itu melihat Sivia, pasti ia akan mengeluarkan kata-k********r. Seolah mulutnya memang sudah terprogram seperti itu sejak lahir. Sivia tidak pernah tau apa yang salah. Kenapa atau alasan lebih tepatnya mengapa saudarinya itu sangat tidak suka padanya. "Kalau gue g****k, berarti lo g****k banget, dong, alias nggak punya otak," jawab Sivia enteng yang membuat wajah gadis seumurannya itu memerah. Ia menggenggam sendok dan garpunya erat-erat, membayangkan seandainya saja saat ini dia bisa menusukkannya tepat ke wajah Sivia. "Apa lo bilang?!" "Gue ngomong fakta, ya, Dora. Lo tau sendiri siapa yang dulu lulus SMA dengan nilai tinggi dan siapa yang yang hampir aja nggak lulus SMA. Dan by the way, Sist, habis berapa ribu dollar lo nyogok universitas buat terima murid kayak lo?" "Nama gue Alea, bukan Dora!" "Habis gimana ya, rambut lo mirip Dora, sih!" Sivia terkekeh, menikmati ekspresi kesal dari Dora alias Alea yang kini melotot tajam padanya. "Apakah kalian tau di mana jalan ke gunung? Ke kanan atau ke kiri? Ke kanan atau ke kiri? Hahaha ...” ledek Sivia menirukan gaya tokoh kartun yang dulu ia sukai saat ia masih berusia empat tahun. "Sivia!" Teguran tajam dari wanita paruh baya yang duduk di kursi sebelah Alea berhasil membungkam tawa Sivia. Dengan muka tertekuk, ia membuang napas kecil. "Iya, iya! Sorry, lupa!" Sivia segera berdiri meninggalkan meja makan. Membawa sekalian piring dan kelas kotornya. Setelah memasukkannya ke wastafel tanpa perlu repot-repot mencucinya, ia menuju rak piring dan mengambil dua gelas kaca dari sana. Sivia menuangkan s**u putih dalam kemasan yang ia ambil dari dalam kulkas ke dalam sebuah panci. Setelah mendidih, ia menuangkannya dengan hati-hati ke dalam masing-masing gelas. Tara! Jadilah dua gelas s**u putih spesial untuk dua perempuan paling menyebalkan di hidupnya. Alea Shafira dan Sarah Shafira. Sang adik dan mama tirinya. Ibu kandung Sivia sudah meninggal terkena kanker hati ketika Sivia berumur 7 tahun. Ayahnya yang saat itu sangat terpukul atas kepergian sang istri memutuskan untuk meninggalkan Indonesia untuk kembali ke Negara asalnya, yaitu Amerika. Mereka berdua tinggal di Ohio, di rumah peninggalan Nenek dan Kakek Sivia yang berdarah Amerika dan tidak pernah ia kenal sebab mereka telah meninggal bahkan sebelum ayahnya menginjakkan kaki di Indonesia dan bertemu dengan ibunya. Ayahnya, Brian namanya, adalah sosok ayah yang baik. Ia sangat menyayangi Sivia putri semata wayangnya. Sampai saat umur Sivia menginjak 11 tahun, Brian tiba-tiba membawa pulang dua perempuan yang juga asli dari Indonesia dan telah lama tinggal di Amerika. Dengan mengejutkan pula, Brian sudah memperkenalkan mereka sebagai ibu dan saudari barunya. Sivia tidak pernah menanyakan alasan kenapa pada Brian. Ia tau setelah Ibunya meninggal dunia, Brian sering kesepian. Pria itu sering menyendiri dan kadang minum alkohol sampai tertidur. Dan dalam tidurnya, Brian akan menggumamkan nama ibunya. Yang jelas, Brian pernah mengatakan satu hal bahwa ia melakukan sebuah kesalahan satu malam pada Sarah. Dan sebagai pria ia harus bertanggung jawab. Jujur saja, Sivia  tidak peduli apapun alasan Brian. Sivia sudah sangat senang dengan tambahan anggota baru keluarga karena rumah terasa lebih hangat dan ramai. Akhirnya ia memiliki ibu setelah sekian lama dan mendapat bonus saudara perempuan yang cantik. Sivia benar-benar ingat betapa senangnya ia saat punya saudara seumuran. Meskipun Alea bukan saudara kandungnya, tetapi Sivia tetap menyayangi perempuan itu. Juga Sarah, ibunya. Tapi semua tidak berlangsung lama. Entah sejak kapan Brian mendadak jadi gila kerja. Pria itu sering tidak pulang ke rumah. Bahkan dalam sebulan kadang hanya pulang satu atau dua hari saja yang membuat Sivia berpikir kenapa Brian tidak menikahi pekerjaannya saja daripada menikahi Sarah sehingga ia tidak perlu terjebak dengan dua perempuan menyebalkan itu bertahun-tahun? Dan jika dipikir-pikir, hidup Sivia sudah seperti kisah Cinderella. Ia punya Ibu dan saudara tiri yang jahat dan mendadak berubah jadi baik seperti malaikat hanya saat Brian pulang ke rumah. Sebenarnya bisa saja Sivia mengadukan semua perlakuan Sarah dan Alea pada Ayah, tetapi dia tidak melakukannya. Sivia merasa tidak berhak dan tidak perlu karena ia ingin menghargai keputusan Brian di masa lalu. Selain itu, ia juga masih bisa menghandle dua nenek sihir itu selama ini. Baiklah... Selamat datang di era Cinderella masa kini. Sivia bukanlah seorang gadis lemah yang mudah ditindas. Dia adalah Cinderella jaman now yang tidak takut pada kekejaman ibu dan saudara tirinya hingga pasrah diperlakukan tidak adil di rumah sendiri. Sivia bahkan tak segan-segan membalas apa yang dua perempuan itu lakukan. Sebuah senyum picik tiba-tiba terbit di bibir Sivia. Mendadak otaknya yang cemerlang mendapatkan sebuah ide yang luar biasa. Diam-diam, gadis itu mengambil garam dapur di salah satu wadah bumbu yang tersusun rapi di rak almari kayu. Dengan tanpa dosa, ia menambahkan satu sendok besar garam ke masing-masing gelas s**u lalu mengaduknya dengan seringaian jahil yang terus mengembang di wajah ayu-nya. Sivia kembali ke meja makan setelah mati-matian berusaha memasang wajah datar. Dia berusaha berekspresi senormal dan setidak mencurigakan mungkin. "Ini s**u putih hangat spesial untuk Mama dan adikku tersayang!” ucap Sivia meletakkan dua buah gelas s**u tersebut ke atas meja. "Cih, gue bukan adik lo! Please deh, kita seumuran." "Tapi gue lebih tua dua bulan dari lo, dodol! Jadi mau nggak mau lo itu adik gue dan gue itu kakak lo," tukas Sivia sambil menonyor pelipis Alea dengan jari telunjuk. "SIVIA!" Sarah berteriak dengan lantang ketika melihat kelakuan Sivia pada anak gadis kesayangannya. "Ups, sori, Kanjeng Ratu Ningrat Sarah Shafira. Saya sengaja," Sivia tersenyum tidak sampai mata menatap Sarah sesaat. "Ya udah. Aku berangkat dulu, ya, Ma! Bye semuaaa.... Eits, jangan rindukan gue ya adik kecil!" Sivia berkata lebay yang membuat Alea memasangkan ekspresi ingin muntah sedangkan Sarah sudah bersiap untuk melemparkan sendok ke arah anak tirinya yang menurutnya agak gila itu. Sivia melembaikan tangan lalu segera berjalan cepat menuju pintu keluar. Tak lupa ia mengambil mantel kulit miliknya dan wool caps yang tergantung di sebuah tiang gantungan khusus mantel dan topi. Baru satu langkah kakinya menginjak teras rumah, sudah terdengar dua buah teriakan keras dari dalam. "SIVIAAA ....!! ASIIIN .....!!" Sivia terkekeh geli mendengar teriakan dan berbagai u*****n yang tidak jelas dari dalam sana. Tanpa perlu repot-repot kembali untuk meminta maaf,  gadis itu tetap berjalan dengan acuh meninggalkan halaman rumah berlantai dua itu. *** Sivia berjalan dengan santai sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam masing-masing saku mantel. Sesekali dia mengeratkan mantel ke tubuh ketika merasakan angin yang bertiup cukup dingin menembus kulitnya. Musim gugur di pagi hari memang terasa lebih dingin seperti biasa. Banyak orang-orang yang berjalan kaki di jam-jam ini. Mereka memadati trotorar yang cukup luas untuk melakukan berbagai macam aktifitas yang berbeda. Menelpon seseorangd an berjalan cepat ke arah kantor, mencegat taksi di tepi jalan raya, pergi ke minimarket terdekat untuk membeli kebutuhan belanja yang sudah habis atau anak-anak berusia remaja ke bawah yang hendak pergi ke sekolah. Sivia terus berjalan melewati mereka, sesekali meminggirkan badan dari beberapa remaja yang berlari menerobos keramaian semi mengejar bis sekolah yang baru pergi. Sivia tidak naik kendaraan umum menuju kampusnya karena jaraknya cukup dekat dengan rumah. Hanya kurang lebih tiga puluh lima menit berjalan kaki. Sivia sedikit mempercepat langkah setelah melirik arloji di tangan. Ini adalah hari pertamanya pergi ke kampus setelah libur panjang  musim panas dan ada jadwal upacara penyambutan pagi oleh Kepala Kampus. Dan ia tidak mau terlambat untuk menghadirinya. Ketika Sivia hendak menyeberang jalan, ia terkejut bukan main karena tiba-tiba sebuah mobil BMW silver melaju cepat ke arahnya. Hampir saja ia tertabrak jika terlambat mundur satu detik saja. Sivia mengumpat pada siapapun yang ada di dalam mobil itu. "Buka!" emosi Sivia mengetuk kesal pada sebuah kaca jendela BMW itu. Ia mendengus saat kaca jendela mobil tersebut telah tutun dan menemukan dua sosok yang ia kenal sedang menatapnya remeh "Hallo, my step sister! Lain kali hati-hati, okay? Atau kau akan mati konyol tertabrak mobil," ucap Alea dengan gaya yang ingin sekali Sivia jambak saat ini. "Come on, Luke. Tinggalkan b***h ini sendirian." Alea berkata pada seorang pria di sampingnya yang memegang kemudi mobil. Pria itu Lucas Newton, pacar Lea. Mereka baru dua minggu jadian. Karena Alea sering mengajaknya ke rumah, Alea jadi tau sedikit tentang pria itu. Luke mengangguk pelan, tak lupa mengerlingkan matanya ke arah Sivia yang membuat Sivia muak dan ingin menonjok wajah pria itu sekarang juga. Tapi Sivia menahannya karena ingat dia berada di tempat umum dan banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan.  Sivia mendengus dengan kasar ketika BMW tersebut telah melesat meninggalkannya masuk kedalam area kampus. "Gue sumpahin ban mobil lo kempes!" umpat Sivia tak berarti, mengabaikan orang-orang yang menatapnya aneh karena tidak mengerti bahasa apa yang di pakai oleh gadis itu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dependencia

read
185.8K
bc

Accidentally Married

read
102.5K
bc

Crazy In Love "As Told By Nino"

read
280.6K
bc

Married By Accident

read
223.9K
bc

AHSAN (Terpaksa Menikah)

read
304.0K
bc

The crazy handsome

read
465.2K
bc

Playboy Tanggung Dan Cewek Gesrek

read
461.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook