bc

Ketika Hujan Turun

book_age18+
7
FOLLOW
1K
READ
billionaire
love-triangle
family
sweet
bxg
brilliant
genius
campus
first love
lecturer
like
intro-logo
Blurb

Siapa yang bisa tahu cinta akan datang. Itu sama seperti hujan yang tak tahu pasti kapan akan turun. Manusia hanya memprediksi, karena sisanya takdir yang menentukan.

Saat kamu hadir, tak ada prediksi apalagi cinta. Tapi, ketika sentuhanmu memberikan sebuah reaksi tak biasa pada hatiku, dan aku mulai takut.

Menghindar, mengabaikan, dan tak perduli. Tapi terus berharap ... ketika hujan turun, kamu akan menemukanku.

chap-preview
Free preview
BAB : 1
Ketika bangun, membuka mata dan masih bisa melihat cahaya mentari yang menelisik masuk ke sela-sela gorden jendela kamar ... itu seperti sebuah anugerah yang berarti. Hal yang ditakutkan tak terjadi ... masih bisa bernapas hingga detik ini. Banyak orang yang menyia-nyiakan perkara nyawa, tapi baginya ... itu adalah hal yang paling menakutkan. Bukan perkara takut mati, tapi justru takut jika orang orang yang berada di sekitarnya ikut sedih. Takut, jika ia membuat mereka semua sia-sia menyayanginya hingga detik ini. Bangun dari posisi tidur, kemudian berjalan perlahan lanjut menuju kamar mandi. Tak butuh waktu yang lama untuk berada di dalam sana, karena dirinya bukanlah seorang gadis yang harus berlama-lama untuk perkara mandi. Lanjut berganti pakaian, berbenah diri ... kemudian segera keluar dari kamar dengan sebuah tas ransel sudah berada di punggungnya dan laptop yang ada di pegangannya. Suara obrolan terdengar jelas ketika kakinya melangkah menuruni anak tangga. Ya, asalnya dari arah ruang makan. Makin dekat, hingga bisa melihat siapa yang ada di sana. "Pagi, Ma, Pa," sapanya langsung duduk di kursi ... bersebelahan dengan seorang laki-laki paruh baya yang sedang menikmati sarapan. "Pagi, Sayang," balas Hana dan Justin pada putra mereka. Mulai menikmati sarapan yang sudah disiapkan untuknya. Ya, jauh berbeda dengan sarapan pada umumnya yang bisa menikmati makanan bebas, tapi tidak dengan dirinya malah justru harus dalam aturan ketat. "Pa, file semalam sudah ku kirim sama Papa. Nanti bisa dicek ulang ... siapa tahu ada yang salah," ungkapnya sambil menikmati salad sayuran dengan yogurt tanpa rasa. "Udah Papa cek kok tadi dan hasilnya udah benar semua," sahut Justin pada perkataan putranya. "Nanti kalau Papa butuh bantuan lagi, kirim saja padaku." Laki-laki paruh baya itu mengangguk sambil mengumbar senyuman. "Hari ini kamu kuliah sampai sore?" "Enggak, Pa ... aku ke kampus cuman mau ngasih tugas sama anak kelas lain. Karena Pak Wisnu berhalangan hadir," ungkapnya. "Langsung pulang, ya," pinta Hana. Hanya mengangguk dengan berat, saat kalimat itu dikatakan mamanya. Ya, selalu begitu ... pesan yang ia terima dari wanita paruh baya ini. Setiap hari, setiap tahun ... entah sampai kapan. Dari kejauhan terdengar langkah berlari dari arah lantai dua saat menuruni anak tangga. Bukan itu saja, bahkan saat menuju meja makan dia berlari seperti dikejar deadline. "Pagi, Ma, Pa, Kak," sapanya pada semua dengan muka panik. Saking hebohnya, beberapa asiten rumah tangga sampai celingak-celinguk karena kehebohan itu. Tapi saat melihat siapa pelaku kepanikan, mereka kembali ke tugas masing-masing. Seakan-akan ini adalah hal yang sudah biasa dia lakukan. "Vio, kamu kenapa lagi, sih, Nak?" Sampai heran, ini anaknya yang satu kayak nggak pernah bisa diam. Semua dibikin heboh dan terburu-buru tanpa kejelasan. Riga menarik napasnya dalam, kemudian menyenderkan punggungnya di kursi. "Semalam nonton sampai larut, telat bangun karena sengaja nggak set alarm, tiba-tiba keingat tugas belum bikin. Auto panik, langsung chat siapa yang udah bikin tugas di kelas buat contekan." Justin tersenyum saat mendengar penjelasan Riga yang seolah hapal betul apa yang sedang dialami Vio. Ayolah, saking terbiasanya dia begitu, kadang sampai berpikir jika Riga adalah sebuah pengingat dari kesalahan dan tindak tanduk saudarinya itu. "Apa kamu mencatat semua itu, Ga?" tanya Hana. "Sudah terekam di otakku, Mama," responnya. Mendengar penjelasan Riga, membuat Vio terkekeh. Kemudian memeluk Riga yang sedang dari arah belakang. "Vi, lepasin aku," kesal Riga atas sikap sang adik. "Nggak mau," tolak Vio. "Sekarang!" "Kamu memang kakakku yang paling tercinta, tersayang, terganteng dan palingggg ... pokoknya paling. Aku mencintaimu, Rigaa," jelas Vio panjang malah menciumi pipi kakaknya itu saking gregetnya. Serius, ya ... hal yang paling membuat otaknya kembali fresh adalah ketika melihat reaksi Riga saat ia jahili. Jujur, itu sebuah kenikmatan tersendiri membuat dia kesal. Tak akan ada yang berani melakukan hal itu selain dirinya pada cowok yang dianggap terlalu dingin oleh semua orang. Terlepas dari cengkeraman Vio, Riga langsung menyentil dahi gadis itu. "Kakak," rengeknya saat sentilan Riga lumayan berasa saat menerpa dahinya. Demi apa dia kesal, sampai menyentilpun pake kekuatan super. Merah nggak? Merah dong. "Mau ku sentil lagi?" Riga sudah bersiap dengan sentilannya. "Aku kan hanya menunjukkan betapa rasa sayangku padamu, tega sekali menyentil adikmu ini. Lihat, dahiku merah tahu nggak. Untung aja ada poni, hingga bekas itu tak terlihat," berengutnya. "Siapa suruh begitu agresif padaku," balas Riga. Memanyunkan bibirnya dengan tampang cemberut. Kemudian duduk di kursi yang ada di samping Hana, mamanya. Lihatlah, saking kesalnya Riga masih memberikan lirikan tajam padanya. Berasa punya anak banyak. Itulah yang dirasakan Hana dan Justin. Apalagi jika Violet sudah mulai beraksi, seakan dia memenuhi satu isi rumah. Bahkan ke setiap sudut rumah, akan menggelegar suara cerewet itu. Tapi setidaknya keduanya bersyukur, jika Riga dalam mode diam, ada Vio yang bisa mencairkan suasana. Ia dan Hana saja kadang bingung bagaimana cara memulai pembicaraan dengan Riga, tapi Vio dia seolah begitu mudah. Selesai sarapan, lanjut fokus dengan tumpukan benda-benda berbentuk butiran yang sudah disiapkan untuknya. Ya, benda yang kemungkinan jika tak ada mereka, usianya akan berakhir dalam sekejap. Riga membaca buku, sembari menunggu Vio yang sarapan. "Kak, aku butuh bantuan." "Dan aku nggak mau bantu," sahut Riga langsung seakan itu merupakan sebuah pertanyaan. "Aku belum bilang bantuan sejenis apa, loh." "Paling minta bantuan bikinin tugas," tebak Riga menutup buku yang ia baca. Kemudian melirik tajam pada saudarinya itu. Seketika Vio hanya bisa menghela napasnya berat. Ya, berat ketika harus dihadapkan pada seorang kakak jenis Riga. Seolah dia tahu semua apa yang ada dalam otaknya. Apa dia bukan manusia? Kenapa pikiran dia terlalu peka, sih. "Plisss," mohon Vio kembali menghampiri Riga. "Jangan mendekat." Menghentikan langkah Vio yang berjarak sekitar 30 centi dengannya. "Aku kapok dekat dekat denganmu." "Mama belum sarapan, tapi udah kenyang duluan ngeliat tingkah kalian berdua," ujar Hana. Riga yang mendengar itu, mengambil alih piring makanan milik mamanya yang belum tersentuh sedikitpun. Kemudian menyodorkan satu sendok makanan kehadapan wanita paruh baya itu. "Mama harus makan," ujarnya. Vio memasang wajahnya dengan salut. "Mama adalah orang yang paling beruntung bisa mendapatkan suapan dari seorang Riga yang terkenal seantero kampus dengan gaya coolboy. Itu harapan semua gadis yang dia abaikan," jelas Vio. "Jangan dengerin Vio, Ma." Hana menerima suapan makanan dari putranya dengan senyuman. Justin berdehem, membuat ketiga pasang mata itu seketika fokus padanya. "Trus, Papa apa kabarnya ini? Nggak ada yang berminat nyuapin kah?" Dengan cepat Vio melakukan apa yang sedang dipikirkan papanya." Baiklah, Papaku tersayang ... tugas diterima oleh putrimu yang paling cute ini," ujar Vio menyuapi satu sendok makanan pada papanya. "Semoga kita tetap dalam mode cute, Pa." Membuat tawa Justin dan Hana seketika pecah mendengar perkataan putri mereka, tapi tidak dengan Riga yang seolah tak memiliki ekspressi itu. Meskipun terbesit senyuman manis yang menghiasi bibirnya. Ya, hanya sedikit. Ponsel milik Vio berdering, dengan cepat segera ia jawab. Karena yang menelepon adalah Billa, sahabatnya. "Ya, Bil?" "Violet ku tersayang, lo di mana, sih? Ini udah jam berapa coba ... lo masih belum menampakkan diri di kampus. Nyari perkara banget ini anak." Vio sampai menjauhkan jarak ponsel dari pendengarannya ketika suara heboh dan cempreng Billa seakan sedang merusak jaringan sel darah merah yang berada di area indera pendengarnya. "Billa, suara lo pake toa, ya. Telinga gue, elahhh," berengut Vio mengusap ngusap telinganya yang terasa panas. "Beb ... ingat tugas. Lo masih ngomel aja." "Ya ampun, gue lupa." Menepuk dahinya dengan telapak tangan, ketika hal terpenting bisa-bisanya ia lupakan. "Oke, oke ... gue otewe, Bye." Langsung menutup percakapan dengan Billa, ketika tugas mengingatkannya pada si dosen yang suka bikin esmosi jika perkara tugas-menugas. Apalagi jika sampai melupakan. "Kak, ayo berangkat ... aku buru-buru, mau ngerjain tugas dulu." Menarik lengan Riga agar segera berangkat, tapi kakaknya ini malah nyari masalah lagi. Dia bahkan tak mau beranjak dari kursinya. "Kakak, ayolah." Riga mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas nya, kemudian menyodorkan pada gadis itu. Vio memasang wajah cemberut, seolah tahu saja apa yang ada di dalam lembaran buku yang disodorkan Riga. Beberapa pengalamannya membuktikan, jika ini adalah situasi yang buruk. "Aku tahu jika tugas yang kamu berikan belum selesai ku kerjakan, tapi jangan sekarang juga dong nambah tugas nya. Apa kamu nggak kasihan pada adikmu ini, otakku seakan mau meledak tahu nggak, Kak." Menghembuskan napasnya panjang saat omelan itu ia akhiri. "Lihat dulu isinya," balas Riga seolah Vio menyimpulkan langsung buku apa yang ia berikan. Dengan malas Vio menerima buku itu, karena berpikir jika itu adalah tumpukan tugas tambahan yang diberikan Riga padanya. Tapi, dalam sekian detik saja mukanya langsung cerah bagai bunga yang baru mekar, saat melihat dan mendapati isinya. "Ini, kan ..." "Pusing dengerin kamu ngoceh terus," keluh Riga beranjak dari kursinya, tapi lagi-lagi serangan manusia jenis Vio kembali memeluknya erat. "Ma, Pa ... tolong jauhkan dia dariku. Astaga! Vi lepasin aku," geram Riga berasa pengin narik kuping gadis ini saking gregetnya. "Ya ampun, kalian berdua kalau heboh terus, kapan berangkat ke kampusnya, hem," ujar Hana memperingatkan. Vio langsung melepaskan Riga dan menjauh seketika. Tak ingin jika sebuah sentilan kembali ia dapatkan dari tangan jahil itu. Pamit pada Justin dan Hana secara bergantin untuk segera berangkat ke kampus. Begitupun dengan Justin yang juga langsung berangkat ke kantor dengan seorang supir yang mengemudi. "Hati-hati, pesan Hana pada ketiga orang terkasihnya itu. Ya, balik lagi ke rutinitas setiap hari. Jadi ibu rumah tangga yang seolah kurang kerjaan. Ya bagaimana tidak, bahkan di rumah ia tak tahu harus melakukan apa. Karena bapak-bapak sejenis Justin, tetap fokus pada aturan yang dia buat sedari dulu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.8K
bc

My Secret Little Wife

read
93.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook